Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan - Nurcholish Madjid

Page 1



F NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM G

NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM Suatu Antisipasi terhadap Kecenderungan Konvergensi Nasional Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Setelah 40 tahun menjadi bangsa yang merdeka, patutlah rasanya kita menengok ke belakang dengan penuh apresiasi. Harus diakui bahwa tekanan kepada apresiasi itu mencerminkan suatu sikap pandang yang optimistis, namun kiranya sejalan dengan semangat penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa seperti diajarkan oleh agama-agama. Malah mungkin sikap itu bisa dibenarkan, karena kiranya ia mengandung “realisme yang cukup realis”, yaitu suatu realisme historis, yang tidak banyak mengizinkan adanya pengandaian atau penyesalan-penyesalan normatif berkenaan dengan masa lalu. Dalam semangat realisme historis itu, kita ingin mengemukakan suatu pandangan bahwa sejarah bangsa kita, khususnya masa 40 tahun terakhir ini, telah lewat tanpa sia-sia. Karena itu, kita ingin menyatakan penghargaan kita kepada mereka semua yang telah secara positif ikut membina bangsa Indonesia. Dan jika masa 40 tahun terakhir itu kita bagi menjadi dua bagian yang kurang lebih sama masanya, yaitu “Orde Lama” dan “Orde Baru”, kiranya dibenarkan untuk menyatakan bahwa masing-masing masa itu, D1E


F NURCHOLISH MADJID G

dengan pola dan caranya sendiri, telah memberi sumbangan besar kepada usaha penumbuhan dan pengembangan bangsa Indonesia. Dart sudut pandang ini, maka “Orde Lama” dapat dinilai sebagai masa persiapan dan pengalaman yang akhirnya mengantarkan kita kepada konklusi tentang perlunya ditempuh jalan “Orde Baru”. “Orde Lama”, dalam pandangan yang apresiatif itu, harus dilihat sebagai yang bertanggung jawab atas pertumbuhan modern bangsa Indonesia itu sendiri, yang kini terwujud dalam bentuk negara nasional yang meliputi wilayah Sabang-Merauke dengan konstitusi dan falsafah yang, secara formal, telah mapan dan mantap. Untuk itu sudah sewajarnya kita berterima kasih kepada para bapak pendiri Republik, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, dua proklamator kemerdekaan kita, dan dua orang yang paling banyak berjasa dalam merumuskan berbagai nilai ideologi nasional kita. “Orde Baru”, betapapun berbeda dengan “Orde Lama”, harus dipandang sebagai kelanjutan langsung masa sebelumnya itu. Ia lahir berkat pengalaman periode yang mendahuluinya, dan ia menjadi wujud penarikan manfaat dari pengalaman itu. Dan wujud penarikan manfaat dari pengalaman itu ialah peneguhan tekad untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Peneguhan tekad itu tidak terjadi tanpa “ongkosongkos” yang kadang-kadang cukup tinggi, seperti tekanan kepada “keamanan” yang sering disertai implikasi penekanan terhadap “kebebasan”, demikian pula pragmatisme pembangunan ekonomi yang berakibat untuk sementara, tentunya terdesaknya ke belakang usaha mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang justru dinyatakan dalam konstitusi sebagai tujuan kita bernegara. Tetapi, pengalaman memiliki stabilitas politik, keamanan nasional dan pembangunan ekonomi pragmatis, selama kurang lebih dasawarsa ini, haruslah dianggap sebagai sesuatu yang amat banyak memperkaya proses pertumbuhan kita sebagai bangsa. Walaupun demikian, adalah suatu truisme yang sederhana jika kita katakan tentang tidak adanya sesuatu yang sempurna pada D2E


F NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM G

“Orde Baru”. Bahkan, para partisipan “Orde Baru” paling apologetis pun tidak pernah terdengar menyatakan kesempurnaan masa dua dasawarsa terakhir kenegaraan kita ini. Dalam suatu perspektif perkembangan nasional yang menyeluruh, “Orde Baru” akan tampak sebagai masa persiapan pertumbuhan kebangsaan Indonesia lebih lanjut. Suatu kecenderungan umum, yang “Orde Baru” banyak memberikan saham untuk menumbuhkannya, ialah pertumbuhan ke arah konvergensi nasional pada tataran sosial-budaya.

Tinjauan Selintas tentang Nasionalisme Sebelum meneruskan pembahasan tentang tema pokok makalah ini, ada baiknya kita mengingat kembali beberapa konsep dasar tentang nasionalisme atau paham kebangsaan. Dalam mendefinisikan perkataan “nasionalisme”, Stanley Benn menyebutkan, paling tidak, lima hal: (1) semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme); (2) dalam aplikasinya kepada politik, “nasionalisme” menunjuk kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya jika kepentingan bangsa sendiri itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain; (3) sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa, dan, karena itu; (4) doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa untuk dipertahankan; (5) nasionalisme adalah suatu teori politik, atau teori antropologi, yang menekankan bahwa umat manusia, secara alami, terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu. Pengertian nasionalisme menurut angka-angka (4) dan (5), dalam formulasinya yang jelas, berasal dari pemikiran akhir abad kedelapan belas, meskipun bahan-bahan dan bibit-bibitnya telah ada pada umat manusia sejak masa lalu yang amat jauh. Sifat dasar dan kriteria nasionalitas dapat diberi batasan: (1) sebagai bentuk kenegaraan (nasionalitas identik dengan negara, Abbe Sieyes, 1789); D3E


F NURCHOLISH MADJID G

(2) sebagai kesatuan bahasa dan budaya (antara lain Fichte); (3) sebagai kesatuan warisan umum atau common heritage (dibantah oleh Ernest Renan, 1882); (4) sebagai kesatuan wilayah; (5) sebagai perwujudan adanya tujuan bersama (khususnya untuk kasus-kasus nasionalisme Asia dan Afrika yang umumnya tumbuh karena tujuan bersama untuk mengusir penjajah); dan (6) sebagai perwujudan upaya penentuan nasib sendiri (nasionalitas Palestina sebagai kasus paling mutakhir dan menonjol).1 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pada tingkat perkembangannya sekarang ini, bangsa Indonesia telah tumbuh secara mantap sebagai “nasion”. Modal nasionalitas kita yang amat berharga ialah, seperti telah disinggung, keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan (administrasi, birokrasi) yang meliputi seluruh tanah air, jajaran militer selaku tulang punggung ketertiban dan keamanan, kemudian pengalaman pembangunan ekonomi secara pragmatis, meskipun yang terakhir ini masih jauh dari tujuan dasar bernegara. Dapat ditambahkan adanya pengalaman politik berwujud penerapan semacam pluralisme terbatas yang menjadi salah satu ciri sistem politik “Orde Baru”.

Kecenderungan Konvergensi Nasional Telah ditegaskan bahwa pengalaman “Orde Baru” ini, bagaimanapun, tidak dapat dipandang sebagai hal yang final untuk pertumbuhan bangsa kita, dan memang tak seorang pun berpendapat demikian. Sebaliknya, pengalaman itu harus dipandang sebagai tidak lebih dari suatu fase yang mungkin secara historis mesti dilalui, disebabkan determinisme berbagai pengalaman historis itu sendiri dalam kombinasinya dengan kondisi lingkungan fisik bangsa kita. 1

Lihat Paul Edwards, editor in chief, The Encyclopedia of Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, Reprint 1972), s.v. Nationalism oleh Stanley I. Benn. D4E


F NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM G

Dari sudut pandang itu, dan jika harus disebutkan sesuatu yang banyak memberi harapan masa depan kita, maka harus disebutkan adanya kecenderungan umum bangsa kita ke arah suatu konvergensi nasional, yakni konvergensi di bidang konsep-konsep dasar sosial, budaya dan politik harus diakui bahwa ungkapan ini pun bernada optimistis, seperti halnya dengan pandangan apresiatif kepada masa lalu bangsa kita sebagaimana disinggung di awal. Namun, lepas dari nada optimistisnya, kita ingin mengajukan beberapa bahan argumen guna menopang pandangan itu. Konvergensi adalah suatu hasil bentuk saling pengertian, mutual understanding, dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima. Memberi dan menerima itu sendiri, pada urutannya, berakar dalam kemantapan masing-masing kelompok kepada diri mereka sendiri, atau, secara negatifnya, timbul dari hilangnya berbagai kekhawatiran antarkelompok. Pertanyaan cukup serius pun timbul: benarkah, pada tahap perkembangan sekarang ini, masing-masing pengelompokan intra-Indonesia telah menjadi semakin mantap kepada diri masingmasing sehingga terjadi perasaan aman dan saling memercayai dalam hubungan antarkelompok? Ini pun bisa dijawab secara optimistis, namun untuk tidak kehilangan realismenya, jawaban itu harus mengandung kenisbian secukupnya. Maksudnya, dibandingkan dengan masa-masa lalu, masa menjelang windu kelima kemerdekaan ini ditandai dengan secara nisbi semakin dimungkinkannya hubungan positif antarkelompok. Keadaan, tentu saja, belum seideal keinginan banyak dari kita, namun dari yang sedikit ada itu, kita berharap dapat mengembangkannya secara maksimal.

Perataan Beban dan Kesempatan Perataan beban dan kesempatan di segala bidang, pada individuindividu dan kelompok-kelompok anggota bangsa, merupakan D5E


F NURCHOLISH MADJID G

salah satu wujud nyata ide tentang keadilan sosial, sehingga bisa disebut sebagai salah satu wujud langsung tujuan kita bernegara. “Orde Baruâ€?, dengan segala kekurangannya yang serius ataupun yang ringan, menunjukkan kemungkinan diwujudkannya cita-cita perataan beban dan kesempatan itu. Jika tidak dalam politik pluralisme terbatas terasa menjadi penghalang, dan jika tidak dalam bidang ekonomi (pragmatisme ekonomi tidak terlalu menopang), perataan itu cukup terasa dalam bidang pendidikan. Dan dalam bidang pendidikan ini pun, jika tidak berlaku untuk semua lapisan masyarakat (kecenderungan elitis pendidikan karena sistem seleksi calon siswa/mahasiswa, baik seleksi menurut kemampuan akademis maupun ďŹ nansial, semakin terasa tidak sejalan dengan prinsip keadilan pendidikan), dan kenyataan bahwa akses kepada pendidikan semakin banyak ditentukan secara meritokratis (berdasarkan kemampuan, baik akademis maupun ekonomis), dan bukan berdasarkan pertimbangan askriptif (faktor keturunan atau status orangtua seperti pada zaman kolonial), telah dihasilkan suatu perataan relatif pendidikan nasional kita. Disebabkan nilai strategis pendidikan dan keadaan berpendidikan (being educated), yaitu karena implikasinya yang besar sekali terhadap bidang-bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya, maka perataan relatif pendidikan ini dapat dipandang sebagai penyumbang utama tumbuhnya kemantapan kelompok dan perseorangan anggota bangsa. Hal itu demikian keadaannya, meskipun masih dirasakan adanya berbagai kesenjangan, dalam bidang pendidikan ini, yang sangat mengganggu rasa keadilan. Perolehan pendidikan tidak saja menunjang mobilitas horizontal, tetapi lebih penting lagi mobilitas vertikal. Memang, berbagai mobilitas itu sering menjadi sumber gangguan sosial karena dampaknya yang bisa mengancam kemapanan (establishment), baik dalam susunan horizontal maupun vertikal, tetapi hal itu adalah dampak sampingan. Secara menyeluruh, mobilitas itu harus dilihat sebagai bagian terpenting pertumbuhan nasional. D6E


F NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM G

Kosmopolitisme, Bukan Nativisme Kecenderungan konvergensi nasional itu harus diarahkan kepada penguatan pandangan hidup yang lebih kosmopolit, yaitu suatu tata pergaulan nasional, dalam arti lahiriah maupun maknawiah, yang berwawasan meliputi seluruh anggota bangsa. Ini mengingat bahwa, dalam kenyataannya, kebangsaan Indonesia disusun sebagai gabungan berbagai pengelompokan etnis yang sedemikian beragamnya, sehingga sesungguhnya, jika kita terapkan pada Benua Eropa, misalnya, masing-masing kelompok itu memenuhi beberapa kriteria untuk menjadi bangsa tersendiri (perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda, misalnya, adalah kurang lebih sebanding saja dengan perbedaan antara bahasa Spanyol dan bahasa Portugis, dua bahasa dari dua bangsa yang berdiri sendiri). Jika disebutkan bahwa budaya Indonesia ialah rangkuman puncak berbagai budaya daerah, nilai keindonesiaan itu harus bersemangatkan kosmopolitisme, bukan nativisme. Sebab, dalam kelanjutan wajarnya, nativisme akan hanya berakhir pada daerahisme, jika bukan sukuisme. Dalam gabungannya dengan atavisme, suatu nativisme akan merupakan penghalang besar pertumbuhan keindonesiaan. Kebesaran bangsa pada masa lampau pada zaman nenek moyang, tentu tetap relevan untuk dikenang dan disadari, antara lain sebagai sumber inspirasi dan bahan penumbuhan rasa kesinambungan dan kelestarian historis. Tetapi, kebesaran bangsa sekarang tidak akan terwujud dengan terlalu banyak menengok ke belakang. Yang diperlukan ialah justru sikap yang lebih berani untuk menghadapi masa depan. Dan, untuk Indonesia pada tingkat sekarang, saat nilai keindonesiaan yang benar-benar diterima oleh seluruh anggota bangsa belum terwujud dengan kukuh, maka nativisme akan berakhir dengan penekanan makna penting pola budaya kelompok yang sedang berkuasa, dan itu berarti suatu sukuisme yang dinasionalisasikan. Ini tidak saja tidak adil terhadap suku-suku lain, tapi langsung berlawanan dengan ide semula kebangsaan kita, karena juga langsung mengancamnya. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Nilai-nilai keindonesiaan umum yang kosmopolit Indonesia itu dapat secara pasif dibiarkan tumbuh sendiri, yaitu antara lain karena nilai-nilai bisa merupakan hasil bersih interaksi pergaulan berbagai kelompok anggota bangsa Indonesia yang ditopang oleh adanya pemerataan kesempatan. Dari kelompok-kelompok itu, satu atau lebih kelompok yang mempunyai karakteristik kosmopolit, baik dalam kosmopolitisme mereka dalam pandangan hidup tradisional maupun modern, akan dengan sendirinya muncul dan tampil sebagai kelompok terpenting pengisi keindonesiaan, disebabkan posisinya selaku common denominator berbagai segmen nasional. Akan tetapi, sikap pasif itu dapat dibenarkan jika ada asumsi yang berdasar bahwa pertumbuhan wajar keindonesiaan itu tidak akan terkena oleh usaha interupsi yang penuh kesengajaan (deliberate) misalnya, oleh bahaya laten komunisme yang sampai sekarang masih menjadi doktrin hankam kita. Karena itu, pertumbuhan keindonesiaan itu lebih baik ditangani secara aktif, serta deliberate pula, dan tidak diserahkan hanya semata-mata kepada perkembangan alaminya yang serba-aksidental. Hal tersebut, dalam praktik, akan memerlukan dorongan ke arah terjadinya proses pendewasaan diri setiap anggota bangsa, baik perseorangan maupun kelompok, yang kedewasaan itu menyatakan diri dalam kemampuan, yang senantiasa meningkat, untuk mengenali nilai-nilai universal diri dan kelompoknya guna dikomunikasikan dengan orang dan kelompok lain. Dan ini berarti bahwa setiap orang atau kelompok dituntut untuk tidak terlalu terikat kepada simbol-simbol eksklusif diri atau kelompoknya, dan hendaknya pandangan dikembangkan ke arah yang lebih inklusivistis, berdasarkan kesadaran akan fungsi-fungsi sosial nilainilai di balik simbol-simbol formal itu. Jika suatu “kebenaran� yang diklaim oleh pribadi atau kelompok itu memang benar, dan tidak semata-mata hasil ilusi psikologis/sosial, yang kaitannya dengan manfaat umum hanya semu atau palsu bagaikan buih, dan jika kemanfaatan “kebenaran� itu untuk sesama manusia memang beralasan dan terbukti — setidaknya secara logis — “kebenaran� itu, D8E


F NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM G

pada peringkat nasional, harus bisa dinyatakan dalam bahasa-bahasa yang inklusivistis, yang memungkinkan partisipasi dan sharing oleh orang atau kelompok lain.

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Penumbuhan dan penemuan nilai-nilai keindonesiaan umum — yakni universal Indonesia yang mencakup seluruh segmen bangsa — itu akan mempunyai dampak strategis dalam pembangunan politik nasional kita, yaitu adanya sumber legitimasi kultural bagi kekuasaan yang ada. Legitimasi kekuasaan dapat diperoleh bagi berbagai sumber, sejak dari keberhasilan mewujudkan stabilitas (lahiriah) dalam suatu masyarakat yang baru mengalami situasi kacau sampai kepada kemampuan mengejawantahkan nilai-nilai luhur yang menjadi tujuan bersama bangsa. Sebagaimana diketahui, nilai-nilai luhur bangsa kita dirumuskan dalam konstitusi, yakni Pancasila. Dan sumber legitimasi inilah kriteria terakhir keabsahan suatu kekuasaan di negeri kita. Legitimasi itu semakin diperlukan sebagai sumber daya dorong bangsa kita yang sering dilukiskan sebagai hendak “tinggal landas”. Sebagaimana disyaratkan dunia penerbangan yang menjadi sumber metafor itu sendiri, tenaga dorong yang diperlukan untuk tinggal landas adalah jauh lebih besar berlipat ganda daripada yang diperlukan ketika melakukan taxiing menuju runway dan masih lebih besar berlipat ganda dari tenaga dorong yang diperlukan untuk cruising kelak di angkasa. Maka, tanpa menjadi terlalu pesimistis, metafor penerbangan itu juga mengisyaratkan bahwa jika untuk tinggal landas itu tidak tersedia cukup sumber tenaga, pesawat mungkin akan menukik dan jatuh berantakan. Dalam kehidupan kenegaraan kita yang sedang membangun ini, hal yang paling tepat untuk dikiaskan dengan daya dorong guna take off itu ialah legitimasi politik. Semakin meyakinkan legitimasi itu, semakin besar daya dorong yang dihasilkannya, yaitu dalam wujud D9E


F NURCHOLISH MADJID G

kesediaan setiap anggota bangsa, perseorangan maupun kelompok, untuk berkorban. Sebab, anggota-anggota bangsa itu yakin bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia, karena misalnya, tidak akan berakhir hanya pada pemenuhan nafsu kekuasaan para penguasa atau para penopangan keinginan memperkaya diri para pejabat. Lebih lanjut, saat take o, sebagaimana saat landing (tapi malah mudahan landing tidak akan perlu kita pinjam sebagai metafor untuk bangsa kita!), adalah saat-saat paling kritis dalam penerbangan, saat seluruh penumpang, termasuk awak pesawat, dituntut untuk menahan diri (tidak merokok! ) dan prihatin (mengenakan tali kursi!). Para awak pesawat, disebabkan oleh tanggung jawab mereka, harus memberi contoh. Jika tidak, kelalaian mereka akan menjadi alasan untuk para penumpang meniru-niru, dan ini akan bisa mengancam keselamatan seluruh isi pesawat. Penggunaan dunia penerbangan sebagai kiasan tahap perkembangan bangsa kita cukup beralasan, tapi juga menguatkan kita semua akan skema tanggung jawab nasional yang kita hadapi. Untuk mempertinggi kemampuan kita memikul tanggung jawab itu, kita harus secara kreatif menumbuhkan sikap mantap kepada diri sendiri sebagai bangsa. Memang, pertumbuhan kemantapan itu berjalan sejajar dengan pertumbuhan keindonesiaan itu sendiri (termasuk keberhasilan mengembangkan sumber legitimasi kekuasaan tadi). Tetapi, kemantapan itu juga bisa ditumbuhkan secara deliberate, antara lain dengan menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa kelima terbesar di dunia. Kemantapan itu tidak saja berimplikasi kebebasan dari rasa cemas yang tidak pada tempatnya, baik cemas yang berlebihan terhadap pluralitas dalam negeri maupun cemas dalam bentuk xenophobia, suatu perasaan takut kepada yang asing atau pengaruh asing. Maka, kemantapan diharapkan menjadi pangkal bagi adanya fase pertumbuhan lebih lanjut yang lebih penting lagi, yaitu keterbukaan. Kita menginginkan pertumbuhan kebangsaan kita menjadi bangsa yang mantap kepada diri sendiri dan terbuka. D 10 E


F NILAI-NILAI KEINDONESIAAN UMUM G

Maka, kembali kepada kemampuan mewujudkan nilai-nilai luhur atau keberhasilan menunjukkan komitmen kepadanya, sebagai sumber legitimasi politik tersebut, kemantapan dan keterbukaan itu menghendaki adanya persepsi kepada Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sebagai rumusan tentang cita-cita nasional yang tinggi itu, Pancasila tidak mungkin dibuatkan penjabarannya sekali untuk selamanya. Pelaksanaan nilai-nilai itu akan menyatu dengan proses, dan proses yang progresif (terus-menerus membuat kemajuan) hanya terjadi jika dijiwai oleh semangat keterbukaan. Nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila itu, baik masingmasingnya secara terpisah maupun keseluruhannya secara utuh, jelas sekali mempunyai dimensi yang bersifat universal. Karena keuniversalannya itu, Pancasila tidak mungkin diwujud-nyatakan dengan semangat nativistis atau atavistis. la menghendaki kesediaan yang cukup besar dari bangsa Indonesia untuk menimba dari pengalaman manusia sejagat. Ideologi negara Pancasila, sebagai bentuk konvergensi nasional dalam peringkat formal konstitusional, telah menunjukkan keefektifannya sebagai penopang Republik (sehingga ada persepsi yang terdengar agak magis kepadanya, seperti ungkapan “kesaktian Pancasila”). Tapi, keefektifannya itu agaknya terbatas kepada kemampuannya untuk menjadi sumber legitimasi bagi usahausaha mempertahankan status quo. Bahkan, di tangan penguasa atau pejabat yang tidak kreatif, Pancasila sering berfungsi sebagai alat pengenal diri yang dangkal (ingat, “sepak bola Pancasila”), atau sebagai pemukul orang atau kelompok lain yang kebetulan “tidak berkenan di hati”. Karena itu, Pancasila di tangan bangsa yang belum mantap pertumbuhannya akan tetap rawan terhadap berbagai manipulasi. Kenyataan bahwa Orde Lama, termasuk fase-fase terakhirnya yang amat berbahaya itu, juga mengaku sepenuhnya berpegang kepada Pancasila, secara demonstratif menunjukkan kemungkinan manipulasi itu. Sebagai obyek manipulasi, Pancasila bisa berfungsi tidak lebih daripada suatu alat politik, suatu ideological weapon untuk kepentingan sesaat. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Sedangkan yang amat kita perlukan sekarang ialah Pancasila yang berfungsi penuh sebagai sumber untuk memacu masa depan. Pemfungsian (atau, lebih tepatnya, “penyalahfungsian”) Pancasila seperti itu adalah akibat persepsi yang reaktif terhadap Pancasila. Dengan persepsi reaktif itu kita lebih tahu tentang apa yang bukan Pancasila, namun tidak, atau sedikit sekali, mengetahui tentang apa yang Pancasila. Apalagi karena acapkali kita beringsut ke belakang dengan segala sikap apologetisnya, saat kita hendak membicarakan perwujudan nyata dalam masyarakat untuk sila-sila Perikemanusiaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Tentu saja, kita tidak bisa membiarkan diri terus-menerus bersikap “tiba di mata dipejamkan, tiba di perut dikempiskan” terhadap nilai-nilai Pancasila itu. Karena itu, diperlukan sikap yang lebih proaktif terhadap nilai-nilai Pancasila itu, yaitu usaha mengetahui dan menghayati apa sebenarnya yang dikehendaki oleh nilai-nilai luhur itu, dengan keberanian mengadakan “pengusutan” kepada keadaan sekarang. Di sini berarti dikehendakinya adanya persepsi kepada Pancasila sebagai ideologi terbuka. Ke sanalah muara konvergensi nasional kita, nilai keindonesiaan kita. [ ]

D 12 E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN DENGAN TUNTUNAN NABI MUHAMMAD SAW Oleh Nurcholish Madjid

Sebagai bangsa Indonesia, sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah swt atas karunia-Nya yang berupa tanah air dan negara Republik Indonesia ini. Kita juga sepatutnya dengan tulus bersyukur kepada Allah swt atas hidayah yang diberikan-Nya kepada para pendiri Republik kita untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar kita bermasyarakat dan bernegara, masyarakat dan negara Indonesia. Sebab kita sekarang semakin yakin, berdasarkan berbagai pengalaman dalam sejarah bangsa sendiri, dan membandingkannya dengan pengalaman dari berbagai bangsa yang lain, bahwa lima prinsip yang terkandung dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, kita itu adalah prinsip-prinsip yang amat luhur. Prinsip-prinsip itu tidak saja mampu melandasi persatuan bangsa kita dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga lebih penting lagi, prinsip-prinsip itu dapat menjadi pangkal tolak pengembangan pemikiran kenegaraan Indonesia modern. Sebagai bangsa yang menganut paham dan falsafah Pancasila, kita percaya bahwa agama adalah karunia Allah, Tuhan Yang Mahaesa, kepada kita semua. Sebab dengan agama, kita mengetahui keberadaan kita dalam sistem alam raya ini, dan dengan agama pula kita mengetahui dari mana, bagaimana, dan ke mana hidup kita ini. Agamalah yang menjawab pertanyaan, mengapa kita ada di dunia ini, oleh siapa, dan ke mana kita akan pergi. Dengan kata D1E


F NURCHOLISH MADJID G

lain, agama memberi kita tujuan hidup yang menyadarkan kita bahwa tidak sepotong pun dari perbuatan kita sehari-hari lepas dari suatu makna, dan tidak satu bagian pun dari kegiatan kita lepas dari drama kosmis yang, meskipun berada di luar diri kita, terwakili dalam diri kita. Maka, kita mensyukuri adanya agama itu, karena kebahagiaan hidup ini tidak mungkin ada tanpa kesadaran akan makna hidup itu sendiri. Kebahagiaan hidup kita rasakan hanya kalau kita merasakan dan meyakini, secara mendalam, bahwa hidup ini tidak sia-sia, bahwa pekerjaan kita tidak muspra, bahwa amal-bakti kita menuju perkenan atau rida Pencipta dan Penguasa seluruh jagat raya, Tuhan Yang Mahaesa.

Islam: Ajaran Sikap Pasrah kepada Tuhan Salah satu agama yang mendapat penganut dari kalangan bangsa kita, bangsa Indonesia, ialah agama Islam, agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, yang dalam bentuk mutakhirnya diajarkan melalui Nabi Muhammad saw.1 1

Islām adalah sebuah kata dalam bahasa Arab, yang berarti pasrah, yakni pasrah kepada Allah, karena menaruh kepercayaan kepada-Nya. Semua agama yang dibawa oleh para nabi (pengajar kebenaran, pembawa kabar gembira dan peringatan bagi umat manusia) mengajarkan pasrah kepada Allah ini. Meski seorang nabi tidak berbahasa Arab, dia tetap disebut Muslim, dan agamanya pun disebut Islām, karena dia sendiri pasrah kepada Allah, dan membawa ajaran yang menyeru manusia untuk pasrah kepada Allah. Lihat antara lain, Q 29:46. Sarjana Muslim kenamaan, Muhammad Asad, menjelaskan bahwa makna Islām dan Muslim dalam al-Qur’an adalah lebih luas daripada makna katakata itu dalam “agama Islam” yang telah mengalami pelembagaan. Betapapun pelembagaan itu dibenarkan, kata Asad, dalam makna asalnya di zaman Nabi dan para sahabat, malah juga di kalangan para sarjana Muslim sendiri dari antara orang-orang Arab, makna Islām dan Muslim tidaklah terbatas hanya pada suatu kelompok tertentu manusia, tetapi mencakup pula setiap sikap “pasrah kepada Allah”, dan setiap orang yang menunjukkan sikap demikian. (Muhammad Asad, The Message of the Quran [London: E.J. Brill, 1980] h. vi [pengantar]). D2E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

Sebagai utusan Tuhan, Nabi Muhammad saw tidaklah unik atau satu-satunya. Sebelum Nabi Muhammad, telah lewat utusan-utusan lain Tuhan, yang datang silih berganti dalam berbagai kurun zaman (Q 3:144). Mereka adalah para pengajar tentang kebenaran, dan mereka itu telah pernah datang kepada semua kelompok manusia tanpa kecuali (Q 35:24), sehingga satu per satunya tidaklah diketahui dengan pasti. Sebab, sebagian diceritakan dalam Kitab Suci, dan sebagian tidak (Q 4:164; lihat juga Q 40:78). Maka, kedatangan Nabi Muhammad itu bertugas melengkapi rentetan pengajar kebenaran itu, sehingga ajaran Nabi Muhammad pun berfungsi sebagai pendukung dan pelengkap bagi ajaran-ajaran kebenaran yang telah ada sebelumnya (Q 5:48). Karena itu, berkenaan dengan persoalan siapa sebenarnya Nabi Muhammad saw ini, yang pertama dan utama ialah bahwa beliau adalah seorang manusia biasa seperti kita, namun menerima wahyu, atau pengajaran langsung dari Sang Maha Pencipta, bahwa Tuhan kita adalah Tuhan Yang Mahaesa, yakni prinsip yang dikenal dengan ajaran tauhid, prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa (Q 18:110; Q 41:6; Q 21: 25). Dengan perkataan lain, Nabi Muhammad membawa ajaran yang sama dengan yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya dari Allah swt, seperti yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa al-Masih (Yesus Kristus) as, suatu kebenaran tunggal, yang dipesankan oleh Tuhan untuk tidak dipecah-pecah dan dipisah-pisah (Q 42:13). Tuhan adalah Mahaesa, kemanusiaan universal adalah satu, maka ajaran tentang kebenaran pun sama (Q 23:51-52; Q 21: 92). Inti dari ajaran itu ialah keyakinan kepada Tuhan Yang Mahaesa, Allah subhānahu wa ta‘ālā, kepada adanya hidup jangka panjang, khususnya hidup sesudah mati di Hari Kemudian, dan kepada adanya tanggung jawab pribadi yang mutlak di hadapan Allah pada Hari Kemudian itu atas segala perbuatannya dalam hidup jangka pendek, yakni dunia ini. Maka, siapa pun yang berpegang kepada sendi-sendi ajaran itu akan memperoleh kebahagiaan, tak perlu takut maupun D3E


F NURCHOLISH MADJID G

khawatir dalam kehidupannya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik di dunia maupun di akhirat.2

Seruan kepada Umat Manusia Dalam Kitab Suci ditegaskan bahwa manusia, dalam hidupnya, dihadapkan kepada pilihan moral yang fundamental. Manusia tidak dibenarkan bertindak setengah-setengah. Di satu pihak manusia boleh memilih untuk berpihak kepada Sang Pencipta, Allah, Tuhan Yang Mahaesa, merasakan kedahsyatan kehadiran-Nya, dan menerima tantangan moral-Nya. Jika ia memilih jalan ini, jalan menuju Tuhan, Tuhan dengan rahmat-Nya akan membimbing manusia beriman itu, dan menuntunnya menuju berbagai jalan untuk menjadikan dirinya pribadi yang lurus dan bersih, bahagia, dan selamat.3 Atau, manusia bisa memilih untuk berpaling dari hadirat Tuhan, menjadi tenggelam dalam angan-angan pribadinya sendiri, dan membaktikan seluruh hidupnya untuk keberhasilan mencapai tujuan-tujuan kecil hidupnya itu. Dalam hal ini, maka Tuhan pun akan “berpaling” dari orang itu, dan membiarkannya terjerumus ke dalam kekerdilan, hidup dan dosa, dan kepada kehancuran martabat kemanusiaannya (Q 53:29-30, 33-34). Manusia tidak akan mampu menentukan sendiri kesucian hidupnya sebagaimana dia suka. Manusia dikaruniai kebebasan memilih, namun dia tidaklah sepenuhnya menguasai jalan hidup2

Q 2:2 dan Q 5:69. Untuk keterangan tebih lanjut tentang hal ini, lihat Muhammad Asad, op. cit., h. 14, catatan kaki 50. Muhammad Asad menyatakan, “Ayat di atas — yang diulang beberapa kali dalam al-Qur’an — meletakkan ajaran dasar Islam. Dengan suatu keluasan pandang yang tidak ada bandingannya dengan kepercayaan agama lain mana pun, ajaran “keselamatan” di sini dibuat hanya di atas tiga unsur: percaya kepada Allah, Hari Kemudian, dan amal baik dalam hidup.” cf., ibid., h.vi. 3 Q 5:16. Perhatikan kata-kata “berbagai jalan” (subul, bentuk jamak dari sabīl, jatan) dalam ayat ini. D4E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

nya sendiri. Manusia akan mencapai kesucian moral hanya dengan bantuan kekuatan dan petunjuk Tuhan Yang Mahaesa, karena Dia-lah yang menguasai kehidupan baik dunia maupun akhirat (Q 92:4-13). Jika seorang manusia memang menghendaki hanya keberhasilan dalam mencapai tujuan-tujuan kecil dan pendek dalam hidupnya, Allah akan memberinya jalan mencapai tujuan itu, namun tanpa keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup jangka panjangnya. Dan sebaliknya, jika seseorang memilih untuk mengorientasikan hidupnya kepada tujuan-tujuan besar, strategis, dan mengatasi kekinian dan kedisinian, Allah pun akan menunjukkan jalan-Nya, dan membimbing manusia itu untuk mencapai tujuan hidup utamanya sendiri itu, dan sekaligus dia akan memperoleh tujuan-tujuan hidup jangka pendeknya di dunia ini (Q 3:145 dan Q 4:134). Sungguh, kelemahan manusia yang paling pokok ialah bahwa dia mudah tertipu oleh dimensi jangka pendek hidupnya, dan melupakan dimensi jangka panjangnya (Q 75:20-21). Karena itu, manusia diseru untuk tidak menganggap enteng hidup. Hidup manusia tidaklah diberikan Tuhan untuk hal yang sia-sia (Q 23:115). Manusia diseru untuk menjalani hidup dengan penuh kesungguhan, yaitu menjalani kehidupan dalam suasana yang diliputi oleh kesadaran yang setinggi-tingginya akan kehadiran Tuhan. Maka, manusia tidak sepatutnya menempuh hidup enakkepenak, dengan kekayaan yang melimpah dan keturunan yang berkembang. Manusia diingatkan bahwa kekayaan dan keturunan tidaklah akan meningkatkan kualitas hidup manusia, yakni tidak akan mengantarkan manusia kepada tujuan hidupnya yang hakiki, yang wujud tertingginya ialah kedekatan kepada Tuhan. Kekayaan dan keturunan adalah ďŹ tnah (ujian) dari Tuhan, yang diperbolehkan dimiliki hanya kalau seorang manusia menggunakan kekayaan itu atau mendidik keturunannya di jalan yang diridai Tuhan, yakni untuk kepentingan strategis, menyeluruh bagi sesama manusia, bagi kebaikan orang banyak. Ringkasnya, untuk amal saleh, demi rida Allah swt (Q 8:28 dan Q 34:37). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Maka, di hadapan manusia tersedia pilihan dua jalan hidup. Pertama ialah jalan hidup yang benar, yang bakal mempertahankan ketinggian martabat kemanusiaan. Inilah jalan Tuhan, yaitu jalan hidup karena iman, yang mengejawantah dalam amal perbuatan orang saleh. Dan yang kedua ialah jalan hidup tanpa iman dan amal saleh, yang menuju penghancuran harkat dan martabat kemanusiaan karena perbudakan dan perhambaan oleh sesama manusia atau sesama makhluk, yang menjerumuskan seorang manusia ke lembah yang hina (Q 95:4-6). Dan inilah jalan hidup yang dipenuhi dan disemangati oleh tirani (tughyÄ n) yang merampas kebebasan mausia. Beriman kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa, itu disebut sebagai jalan hidup yang bakal mempertahankan ketinggian martabat manusia, karena semangat Ketuhanan Yang Mahaesa itu, dengan sendirinya, atau seharusnya, membawa dampak pembebasan. Yaitu pembebasan dari segala sesuatu yang akan membawa kepada pengingkaran harkat kemanusiaan itu sendiri.

IshlÄ h: Tugas Utama Kekhalifahan Manusia Dampak pembebasan itu dimulai oleh adanya keyakinan dan keinsafan bahwa Allah, Tuhan Yang Mahaesa-lah yang berada di atas manusia. Sebagai makhluk tertinggi yang diangkat untuk menjadi khalifah atau wakil Tuhan di bumi, manusia hanya tunduk kepada Tuhan, dan sekalian makhluk yang lain, termasuk para malaikat, harus mengakui kekhalifahan manusia. Karena itu, manusia adalah makhluk bebas, yang dengan daya kreativitasnya sendiri bertanggung jawab mengemban tugas kekhalifahannya, membangun bumi tempat hidupnya.4 4

Tentang kedudukan manusia sebagai khalifah (wali Allah) di bumi, dan tanggung jawabnya dalam menggunakan segala “fasilitas� yang ada padanya, untuk melaksanakan tugas itu, lihat antara lain, Q 6:165. D6E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

Membangun kehidupan di bumi dengan sebaik-baiknya (ishlah al-ardh), itulah tugas utama kekhalifahan manusia. Yaitu tugas melaksanakan program mengembangkan kehidupan yang layak, yang berkenan pada Tuhan atau diridhai-Nya.5 Untuk dapat melaksanakan tugas itu, manusia dilengkapi Allah dengan petunjuk-petunjuk dan hidayah-hidayah. Petunjuk dan hidayah itu dimulai dengan adanya fitrah dalam diri manusia sendiri, yaitu kejadian asalnya yang suci dan baik. Manusia, pada dasarnya, adalah makhluk yang suci dan baik. Sebab, manusia dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri mana hal-hal yang buruk, yang bakal menjauhkannya dari Kebenaran, dan mana hal-hal yang baik, yang bakal mendekatkan dirinya kepada Kebenaran. Maka, dengan fitrahnya itu manusia menjadi makhluk yang hanīf yaitu yang secara alami cenderung dan memihak kepada yang benar, yang baik, dan yang suci.6 Oleh karena itu, manusia akan merasa aman dan tenteram dengan kebenaran, kebaikan, dan kesucian. Memihak kepada yang baik dan benar, yang dalam wujud tertingginya ialah memihak kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa, Sang Kebenaran Mutlak, menjadi satu pada diri manusia, karena hal itu merupakan pelaksanaan perjanjian primordial antara manusia dan Penciptanya. Perjanjian itu diikat ketika Allah hendak menciptakan manusia, dan Allah, Sang Pencipta, menegaskan kepada manusia dalam Kitab Suci, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu hendak mengembangkan dari anak-cucu Adam, yakni dari benih-benih mereka, anak turun mereka 5

Karena itu, salah satu tugas para Nabi sebagai pengajar tentang kebenaran ialah membangun (ishlāh) kehidupan layak di bumi, suatu bentuk kehidupan yang diridai oleh Allah, sebagai kelanjutan tugas kemanusiaan itu sendiri, seperti dikisahkan tentang Nabi Hud (Q 11:88) ketika ia berkata kepada kaumnya, “Aku tidak menghendaki sesuatu, kecuali membangun (ishlāh, membarui) sedapatdapatku.” Maka salah satu kejahatan amat besar manusia ialah membuat kerusakan di bumi, setelah bumi itu dibangun. Lihat Q 7:56 dan Q 21:105. 6 Q 91:7-8 dan Q 30:30. Ayat ini sesuai dengan sabda termasyhur Nabi (riwayat Bukhari dan Muslim) bahwa setiap pribadi manusia diciptakan dalam fitrah ... Lihat pula Muhammad Asad, op. cit., h. 621, catatan kaki 27. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

(umat manusia), kemudian Tuhan meminta mereka menjadi saksi (dan bersabda), ‘Bukankah Aku ini Tuhan-mu sekalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya, benar, kami semua bersaksi.’ Maka janganlah kamu kelak di Hari Kemudian berkata, ‘Sungguh kami semua lupa akan perjanjian ini,’” (Q 7:172). Perjanjian yang dilukiskan terjadi secara primordial antara Tuhan dan manusia itu menegaskan bahwa kemampuan manusia mengenal adanya Tuhan Yang Mahaesa merupakan bakat alaminya sendiri, yaitu tertanam dalam fitrahnya. Dan inilah pangkal kerinduan manusia kepada kebaikan, kesucian, dan kebenaran, yang kesemuanya itu akan membawa ketenteraman batin dan kebahagiaan hidupnya.7 Sebaliknya, manusia akan kehilangan rasa ketenteraman hati dan ketenangan jiwanya karena kejahatan (al-fahsyā’), kekejian (al-munkar), dan kepalsuan (al-bāthil), yakni perbuatan-perbuatan dosa. Sebab, perbuatan dosa itu melawan hakikat dirinya, menentang fitrahnya. Karena itu, tindakan dosa, dalam Kitab Suci, sering kali dikatakan sebagai tindakan merugikan diri sendiri (zhulm alnafs, menganiaya diri sendiri). Sebagaimana perbuatan baik akan membawa kebaikan untuk diri pelakunya sendiri, maka demikian pula sebaliknya, perbuatan jahat akan membawa kerugian kepada diri pelakunya pula.8

Fitrah Manusia Jadi, disebabkan oleh adanya fitrah, yang dalam diri manusia diwakili oleh hati nurani (nūrānī, bersifat nūr atau cahaya), setiap 7

Untuk keterangan lebih lanjut tentang hal ini, lihat Muhammad Asad, op. cit., h. 230, catatan kaki 139. 8 Banyak sekali keterangan tentang hal ini dalam al-Qur’an, antara lain Q 2:57 dan Q 41:46. Untuk mendatangkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup, semangat iman tidak boleh berbaur dengan semangat kejahatan. Karena, kejahatan (semua tindakan anti-sosial) pada hakikatnya berlawanan dengan semangat iman itu sendiri. Lihat Q 6:82. D8E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

pribadi manusia mempunyai potensi untuk benar dan baik. Maka dari itu, sikap yang benar dalam pergaulan sesama pribadi manusia dalam masyarakat haruslah didasarkan, dan didahului, oleh sikap positif, yaitu husn al-zhann (prasangka baik). Sikap negatif, yaitu sū’ al-zhann (prasangka buruk), adalah sikap pengingkaran akan fitrah manusia secara terselubung, sehingga termasuk perbuatan dosa. Lebih-lebih lagi, prasangka buruk itu tidak boleh terjadi pada sesama anggota masyarakat yang percaya kepada Tuhan, yang beriman kepada Allah, sebagaimana difirmankan: “Wahai sekalian orang beriman, janganlah suatu kelompok (di antara kamu) menghina kelompok yang lain, kalau-kalau mereka (yang dihina) itu lebih baik daripada mereka (yang menghina). Dan jangan pula suatu kelompok wanita (di antara kamu) menghina kelompok wanita yang lain, kalau-kalau mereka (yang dihina) itu lebih baik daripada mereka (yang menghina),” (Q 49:11).

Itu semua adalah karena adanya fitrah. Maka, fitrah itu menghasilkan penilaian yang positif serta pandangan yang optimistis tentang manusia. Fitrah menjadi pangkal adanya segi-segi yang positif tentang manusia dan kemanusiaan. Tetapi, segi-segi fitri itu bukanlah satu-satunya pernyataan tentang manusia dan kemanusiaan. Segi-segi yang fitri itu merupakan kenyataan asasi manusia, yaitu berkenaan dengan watak dan nalurinya yang asli dan alami untuk mengenali kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kepalsuan, kesucian dan kekejian. Namun, di samping kenyataan fitri yang serba-positif dan optimistis itu, pada manusia terdapat kenyataan lain yang tidak kurang pentingnya, suatu kenyataan negatif yang menimbulkan pandangan pesimistis tentang manusia, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. “Manusia diciptakan sebagai makhlukyang dla‘īf,” begitu difirmankan dalam Kitab Suci (Q 4:28). Titik kelemahan itu, antara lain dan terutama, seperti telah disinggung pada permulaan pembicaraan ini, ialah kecenderungD9E


F NURCHOLISH MADJID G

annya untuk berpandangan pendek, ingin cepat merasakan kenikmatan dan kesenangan hidup, mudah tergoda oleh daya tarik sementara suatu benda atau perbuatan. Yaitu titik kelemahan yang disebut dalam Kitab Suci sebagai ‘ajalah, yang makna harfiahnya ialah ketergesa-gesaan, mau serba-cepat dalam arti tidak sabaran, tidak tahan uji, tidak tabah dan keburu nafsu.9 Keengganan berkorban dan ketidaksediaan menunda kesenangan sementara untuk memperoleh kebahagiaan yang lebih besar dan panjang itu berpangkal dari kedaifan manusia dan sifat ‘ajalah tersebut. Maka dari itu, lebih jauh lagi, karena kedaifan dan ‘ajalah-nya itu, manusia terancam untuk banyak membuat kesalahan. “Semua anak cucu Adam adalah pembuat kesalahan,” begitu disabdakan oleh Nabi kita. “Al-Insān mahall al-khatha’ wa al-nisyān” (Manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan), demikian dikatakan para orang bijaksana kita. Kedaifan dan ‘ajalah manusia inilah permulaan dari semua bencana yang menimpa manusia, dan inilah pula yang harus disadari sepenuhnya oleh setiap pribadi. Yaitu kesadaran bahwa pribadi manusia mana pun, khususnya berkenaan dengan diri sendiri, selamanya mempunyai kemungkinan untuk membuat kesalahan dan kekeliruan, karena tidak seorang pun luput dari kedaifan dan ‘ajalah itu. Karena itu, setiap pribadi dituntut untuk memiliki kerendah-hatian dan tawadu’ dalam memandang diri sendiri, yaitu sikap untuk tidak mengaku sebagai paling baik dan paling benar. Tidak adanya kerendah-hatian dan tawadu’ akibat tidak adanya kesadaran akan keterbatasan diri sendiri sebagai manusia, itulah yang sering menggiring seseorang terjerembap ke dalam lembah sikap-sikap angkuh, angkara murka, adigang adigung adiguna, sapa sira sapa ingsun, yaitu sikap-sikap tiran yang mengangkat diri sendiri 9

Bandingkan dengan Q 21:37 dan Q 17:11. Dalam ayat-ayat ini dipaparkan bahwa kelemahan utama manusia ialah pandangan-pendek dan sempitnya, sehingga ia tidak memiliki ketabahan. D 10 E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

lebih dari manusia pada umumnya, yaitu sikap yang disebut dalam Kitab Suci al-Qur’an sebagai thughyān, dan yang pelakunya disebut thāghūt, sebagaimana telah disinggung di muka.10 Dalam al-Qur’an, thāghūt dilambangkan dalam diri Raja Fir’aun dari Mesir kuna, seorang raja yang zalim, yang memperbudak rakyat, dan tidak pernah membangun negaranya demi perbaikan nasib rakyatnya itu. Dialah musuh Nabi Musa, pemimpin keturunan Nabi Ya’qub (Israil), yang berjuang membebaskan mereka.11 Namun, sesungguhnya setiap bentuk sikap dan tindakan thāghūt dimulai oleh diri masing-masing manusia pada peringkat pribadi dalam hubungannya dengan pergaulan antar-pribadi manusia seharihari. Sebab, seperti telah dikemukakan, sikap thāghūt atau tiranik selalu berawal dari anggapan dan perasaan, bahwa diri sendiri adalah yang paling benar dan paling baik. Kelanjutan logis dari anggapan dan perasaan serupa itu biasanya ialah tumbuhnya rasa hak dan wewenang atau otoritas, mungkin malah noblesse oblige (kewajiban mulia) untuk “menuntun” orang lain, yang dalam kenyataannya berarti hak, wewenang, dan otoritas untuk memaksakan pendapat serta pikiran sendiri kepada orang lain.

Kebebasan Beragama, Keadilan, dan Musyawarah Seperti dijelaskan tadi, sikap tiranik demikian itu tentu saja menyalahi kemanusiaan. Lebih jauh, sikap demikian secara langsung dilarang oleh Allah swt dalam Kitab Suci-Nya. Sebenar-benar ajaran adalah ajaran agama. Tapi, agama pun dilarang untuk dipaksakan kepada orang lain. Nabi Muhammad saw selalu diingatkan bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan berita (al-balāgh) dari 10

Karena itu, dalam al-Qur’an, iman kepada Allah swt (Tuhan Yang Mahaesa) sering dikontraskan dengan iman kepada sikap tiranis (thughyān) atau tiran (thāghūt) itu sendiri. Lihat Q 16:36; Q 39:17 dan Q 2:256. 11 Tentang penilaian al-Qur’an atas Fir’aun sebagai thāghūt (tiran), lihat antara lain, Q 20:24 dan 43; Q 79:17 dan Q 89:11. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Allah, dan beliau tidak berhak, bahkan tidak bisa memaksa orang lain untuk percaya dan mengikuti beliau, betapapun benarnya beliau dan ajarannya itu. Ketika Rasulullah saw, sebagai manusia, tergoda untuk memaksakan ajarannya itu kepada orang lain, turun peringatan dari Allah swt, “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua orang di muka bumi, tanpa kecuali. Apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka menjadi beriman?,” (Q 10:99).12 Oleh karena itu, prinsip kebebasan beragama adalah sangat sentral dalam tatanan sosial dan politik manusia. Di dalam alQur’an terdapat penegasan bahwa manusia mampu menentukan dan memutuskan untuk menerima atau menolak kebenaran, dan Allah hanya akan memberi balasan sesuai dengan keputusan manusia berdasarkan kebebasannya itu (Q 76:3 dan Q 18:29). Kesadaran akan keterbatasan diri sendiri sebagai makhluk yang lemah itu, di samping kesadaran akan adanya harkat dan martabat kemanusiaan sebagai makhluk fitrah, adalah sangat diperlukan untuk mengembangkan sikap dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Yaitu, sikap kepada sesama manusia atas dasar pandangan menyeluruh dan seimbang yang memerhatikan segi-segi positif dan negatif manusia sekaligus. Manusia bukanlah makhluk kebaikan saja, seperti malaikat, tapi juga bukan makhluk kejahatan saja, seperti setan. Manusia berada di antara keduanya, dan tarikmenarik antara keduanya itulah yang membuat manusia menjadi makhluk moral, artinya makhluk yang selalu dihadapkan kepada tantangan untuk berbuat baik dan godaan untuk berbuat jahat. Maka, melihat manusia dengan kekuatan dan kelemahannya itulah dasar kemanusiaan yang adil. Perkataan Arab al-‘adl berarti “tengah”, yang dalam Kitab Suci juga dinyatakan dengan perkataanperkataan lain seperti al-wasth, dan al-qisth, yang kesemuanya itu 12

Menurut Muhammad Asad — dan sesuai dengan firman-firman lain Allah dalam al-Qur’an — firman ini menegaskan bahwa manusia bebas memilih kepercayaannya. Lihat Asad, op. cit., h. 308, catatan kaki 122. Lihat pula Q 24:54 dan Q 88:22. D 12 E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

bermakna “tengah” atau mengambil sikap tengah. Juga dihubungkan dengan perkataan al-mīzān atau al-wazn, yang artinya ialah keseimbangan atau sikap yang berimbang (lihat Q 16:76; Q 2:142; Q 4:27; Q 5:8; Q 7:29 dan Q 57:25). Allah memerintahkan kita semua untuk berbuat baik dan adil, bahkan ditegaskan-Nya bahwa berbuat adil adalah tindakan yang paling mendekati takwa (Q 16:90 dan Q 5:8). Oleh karena itu, salah satu sifat terpenting masyarakat yang beriman kepada Allah, yang percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa, ialah sikap adil dan menengahi, sehingga mampu menjadi saksi atas sekalian umat manusia dengan mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif, sebagaimana Rasulullah menjadi saksi atas kaum yang beriman itu.13 Dengan keadilan, peradaban yang kukuh bisa terwujud, sebab keadilan adalah dasar moral yang kuat bagi semua pembangunan peradaban manusia sepanjang sejarah. Sebaliknya, tiadanya keadilan akan selalu menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup bangsa dan masyarakat.14 Maka, kemanusiaan yang beradab hanya ada dalam keadilan, dan hanya kemanusiaan yang adil yang mampu mendukung peradaban. Pengertian keadilan yang menyeluruh ini, yaitu keadilan dalam maknanya sebagai sikap yang fair dan berimbang kepada sesama manusia, melahirkan hal-hal lain yang merupakan kelanjutan logisnya. Yang amat penting dalam hal ini ialah adanya pengakuan yang tulus, seperti telah diisyaratkan tadi, bahwa manusia dan pengelompokannya selalu beraneka ragam, plural atau majemuk. 13

Penyifatan al-Qur’an atas masyarakat yang beriman kepada Allah ialah Q 2:143. 14 Menarik sekali pendapat Ibn Taimiyah tentang masalah keadilan ini. Ia berpendapat, atas dasar kajiannya terhadap berbagai sumber agama, bahwa keadilan merupakan sendi dasar masyarakat (merupakan pusaran bagi keteguhan dan kehancuran masyarakat). Jika terdapat keadilan tanpa memandang siapa pemimpinnya, masyarakat itu akan kukuh; namun, jika tidak terdapat keadilan, juga tanpa memandang siapa pemimpinnya, masyarakat itu akan runtuh. Lihat Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma‘rūf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, ed. Shalahuddin al-Munaijid (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1396/1976), h. 40. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

Dengan kata lain, pandangan kemanusiaan yang adil itu melahirkan kemantapan bagi prinsip pluralisme sosial, yang dijiwai oleh sikap saling menghargai dalam hubungan antarpribadi dan kelompok anggota masyarakat itu. Persatuan tidak mungkin terwujud tanpa adanya sikap saling menghargai ini. Dan persatuan yang akan membawa kemajuan ialah persatuan yang dinamis, yaitu persatuan dalam kemajemukan, persatuan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, sekalipun prinsip kemanusiaan adalah satu, terdapat kebhinekaan dalam kesatuan itu.15 Semangat saling menghormati yang tulus dan saling menghargai yang sejati adalah pangkal bagi adanya pergaulan kemanusiaan dalam sistem sosial dan politik yang demokratis. Semangat itu dengan sendirinya menuntut toleransi, tenggang-menenggang dan keserasian hubungan sosial. Semangat itu adalah kelanjutan wajar dan perwujudan logis dari pengertian dasar bahwa setiap pribadi (terutama orang lain), karena unsur fitrahnya, selalu mempunyai kemungkinan untuk benar dalam pandangan-pandangannya. Dan setiap pribadi pula (terutama diri sendiri), karena unsur kedaifan dan ‘ajalah-nya, selalu mempunyai kemungkinan untuk salah. Maka setiap pribadi, karena potensinya untuk benar, berhak mengajukan gagasan-gagasan, dan sebaliknya, karena kemungkinannya untuk salah, berkewajiban mendengar gagasan orang lain dengan penuh penghargaan dan hikmah. Hubungan timbal-balik antara mengajukan gagasan dan mendengar gagasan itulah yang melahirkan prinsip musyawarah, baik yang dilaksanakan secara langsung antarperseorangan dalam pergaulan sehari-hari maupun secara tidak langsung melalui mekanisme dan pelembagaan yang dipilih dan ditetapkan bersama. Sungguh, menurut agama, ra’s al-hikmah al-masyūrah (pangkal kebijaksanaan 15

Al-Qur’an banyak menegaskan keesaan umat manusia dan kemanusiaan (Q 2:213). Tetapi juga terdapat kebhinnekaan dalam kemanusiaan, dan hak prerogatif Allah-lah untuk menerangkan mengapa manusia berbeda-beda. Lihat Q 5:48. Untuk keterangan lebih luas tentang ayat ini (Q 5:48), Lihat Muhammad Asad, op. cit., h. 153-154, catatan kaki 66, 67, dan 68. D 14 E


F MENYONGSONG TAHAP LEPAS LANDAS PEMBANGUNAN G

ialah musyawarah). Bahkan Rasulullah pun, da lam urusan kemasyarakatan, diperintahkan oleh Allah untuk menjalankan musyawarah, dan untuk bersikap teguh melaksanakan hasil musyawarah itu dengan bertawakal kepada Allah (Q 3:159). Maka, sejalan dengan itu, masyarakat kaum beriman sendiri dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai masyarakat yang dalam segala perkaranya, membuat keputusan melalui musyawarah.16 Masyarakat pimpinan Nabi, demikian pula masyarakat pimpinan empat khalifah yang bijaksana, adalah masyarakat yang ditegakkan di atas dasar prinsip musyawarah. Dalam tinjauan ajaran yang lebih mendalam, musyawarah tidak hanya merupakan wujud rasa kemanusiaan, karena didasari oleh sikap penghargaan kepada sesama manusia, tetapi juga merupakan wujud rasa ketuhanan atau takwa, karena rasa ketuhananlah yang menjadi pangkal kerendah-hatian, yaitu karena keinsafan bahwa di atas setiap pribadi, betapapun hebatnya pribadi itu, ada Dia Yang Mahatinggi, yaitu Allah swt sehingga tidak dibenarkan adanya klaim supremasi dan superioritas mutlak pribadi manusia (Q 12:76). Berdasarkan hal-hal itu semua, maka setiap anggota masyarakat perlu memiliki komitmen sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Mahaesa: yaitu iman, dan berusaha dengan sungguh-sungguh mengejawantahkan komitmennya itu dalam tindakan dan kegiatan yang etis dan bermoral, mengikuti kemanusiaan yang adil dan beradab. Tetapi, karena keterbatasan manusia dalam memahami persoalan hidupnya sendiri dan masyarakatnya, diperlukan adanya saling urun-rembuk atau musyawarah dalam suatu sistem yang memungkinkan urun-rembuk itu sendiri, yaitu sistem yang memberi ruang untuk terjadinya tukar-pikiran dan saling menyampaikan pesan tentang yang baik dan benar (al-haqq). Kesemuanya itu ialah guna mewujudkan tujuan hidup bersama, 16

Q 42:38. Diberinya nama al-SyĹŤrÄ untuk surat ke-42 ini menunjukkan betapa pentingnya prinsip itu (prinsip musyawarah). Jelaslah, musyawarah merupakan sendi benar masyarakat berdasarkan iman kepada Allah, sebagaimana diterangkan oleh para ahli Islam. D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang harus diperjuangkan dengan penuh ketabahan, ketekunan, dan kerja keras, yaitu kesabaran (al-shabr dalam makna yang seluasluasnya).17 Terlebih, untuk mewujudkan masyarakat adil yang “tidak ada penindasan oleh manusia atas manusia”, dan yang bersemangat kerakyatan, diperlukan kebesaran tekad dan keteguhan jiwa yang luar biasa. Perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, yaitu taraf hidup mereka yang terbelenggu oleh kemiskinan, secara khusus disebut dalam Kitab Suci sebagai jalan pendakian yang sulit (al-‘aqabah) untuk mencapai puncak, namun itulah yang membawa kepada kemuliaan sejati (Q 90:11-16). Maka, untuk mewujudkan tujuan kita bernegara, yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itulah yang kini merupakan tantangan kita bersama. Insya Allah, dengan hidayah dan inayahNya, dan dengan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad saw kita, bangsa Indonesia, akan berhasil mewujudkan cita-cita bersama, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, suatu negara yang penuh kebajikan dengan rida serta ampunan Allah swt, “Baldat-un thayyibat-un wa Rabb-un ghafūr,” (Q 34:15), [ ]

17

Q 103:1-3. Penegasan tentang ketidakbolehan penindasan oleh manusia atas manusia, terdapat dalam Q 2:279, sehubungan dengan larangan riba yang saat itu merupakan suatu praktik pengisapan oleh manusia atas manusia. D 16 E


F AKAR ISLAM G

AKAR ISLAM Beberapa Segi Budaya Indonesia dan Kemungkinan Pengembangannya bagi Masa Depan Bangsa Oleh Nurcholish Madjid

Suatu Latar Belakang (Islam Klasik) Sebagai suatu latar belakang yang jauh untuk percobaan membahas masalah seperti judul tulisan ini, di sini ingin diajukan kutipan panjang dari Robert N. Bellah mengenai Islam klasik:1 Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa di bawah (Nabi) Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Ketika struktur yang telah terbentuk di bawah Nabi dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan prinsip penyusunan suatu imperium dunia, hasilnya ialah sesuatu yang untuk masa dan tempatnya sangat modern. la modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan, dan partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat jelata sebagai anggota masyarakat. Ia modern dalam keterbukaan kedudukan kepemimpinannya untuk dinilai kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalistis dan dilambangkan dalam 1

Robert N. Bellah, “Islamic Traditions and Problems of Modernization�, dalam Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief (New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976), h. 150-151. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

usaha melembagakan kepemimpinan tertinggi yang tidak bersifat turun-temurun.2 Meskipun pada saat-saat paling dini, banyak hambatan tertentu timbul menghalangi masyarakat tersebut dari sepenuhnya melaksanakan prinsip-prinsip tertentu, masyarakat itu telah melaksanakannya sedemikian cukup dekatnya untuk menampilkan suatu model bagi susunan masyarakat nasional modern yang lebih baik daripada yang bisa dibayangkan. Usaha orang-orang Muslim modern untuk melukiskan masyarakat dini itu, sebagai contoh sesungguhnya nasionalisme partisipatif dan egaliter, sama sekali bukanlah suatu pemalsuan ideologis yang tidak historis. Dari satu segi, kegagalan masyarakat dini itu, dan kembalinya mereka ke prinsip-prinsip organisasi sosial pra-Islam,3 merupakan bukti tambahan untuk kemodernan eksperimen dini itu. Eksperimen itu terlalu modern untuk bisa berhasil. Belum ada prasarana sosial yang diperlukan untuk mendukungnya.

Islam di Indonesia Menurut Robert N. Bellah, masyarakat Muslim klasik itu “modern” (terbuka, demokratis, dan partisipatif ), dan bahwa keadaan itu berubah total setelah tampilnya dinasti Bani Umayyah. Oleh karena 2

Dengan ukuran-ukuran universalistis, dimaksudkan lawan ukuranukuran partikularistis dan deskriptif seperti kekerabatan dan keturunan. Sistem kekhalifahan pertama terjadi atas suatu prinsip pemilihan umum yang pada dasarnya terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat. 3 Yang dimaksud oleh Bellah dengap ungkapannya, “relapse into pre-Islamic principles of social organization” ialah munculnya rezim Bani Umayyah (dengan ibukota Damaskus) yang mengakhiri sistem sosial “para khalifah yang bijaksana” (al-khulafā’ al-rāsyidūn, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), dan Bani Umayyah menghidupkan kembali sistem sosial Arab pra-Islam yang bersifat kesukuan (tribal) sedikit digabung dengan sistem Yunani-Romawi (Bizantium). Karena itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa dengan munculnya Dinasti Bani Umayyah, sistem kekhalifahan (al-khilāfah) yang terbuka dan demokratis telah diganti dengan sistem kerajaan (al-mulk) yang tertutup dan otoriter. D2E


F AKAR ISLAM G

itu, kesenjangan yang ada sekarang antara ide dan realitas dalam masyarakat-masyarakat Islam harus ditelusuri sebagai kelanjutan apa yang dilihat oleh Bellah sebagai “kegagalan” di masa-masa awal itu sendiri, karena belum adanya prasarana untuk menopang prinsip-prinsip yang disebutnya sebagai “modern” itu. Begitulah keadaan Islam sejagat dan keadaan Islam di tanah air. Terlebihlebih lagi, keadaan Islam di tanah air disebabkan oleh berbagai hal: realitas masyarakat (Islam) dengan ide dalam ajaran (Islam) terasa semakin besar kesenjangannya. Dari berbagai hal itu, yang pertama dan utama ialah kenyataan, menurut skema penglihatan Bellah bahwa Islam datang ke Indonesia jauh setelah di tempat asalnya telah mengalami “kegagalan” (munculnya rezim Bani Umayyah). Melihat Islam di Indonesia dalam skema Bellah adalah perlu, begitu pula melihatnya dari segi kenyataan bahwa Islam datang ke Indonesia setelah melewati proses akulturasi dengan warisan budaya Persia atau, lebih luas lagi, Iran (“orang-orang Arya”).4 Lepas 4

Pandangan ini diajukan tanpa berarti tidak menyadari adanya berbagai kontroversi sekitar kapan, dari mana, dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Tapi pengaruh unsur-unsur budaya Persia dalam Islam di Indonesia dapat dilihat, antara lain, dalam bidang bahasa. Telah diketahui bahwa bahasa Indonesia banyak sekali mengandung kata-kata pinjaman dari bahasa Persia. Lebih dari itu, hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dipinjam dari dan melalui bahasa Persia. Ini bisa dibuktikan dari kasus tā’ marbūthah (huruf “t”, yang kalau berhenti, berubah bacaannya menjadi seperti “h”, dan kalau disambung dengan huruf hidup tetap berbunyi “t” (tā’ maftūhah). Hampir semua kata Arab dalam bahasa kita dengan akhiran tā’ marbūthah dibaca (dalam waqaf ) sebagai “t”, seperti adat, berkat, dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, surat, tobat, warkat, dan zakat. Dalam bahasa Arab (aslinya), kata-kata itu (dalam waqaf ) akan terbaca, berturut- turut, ‘ādah, barkah, dawah, hājah, jamā‘ah, kalīmah, musyārakah, nīyah, rahmah, shīfah, tawbah, waraqah, dan zakāh. Baru sesudah itu menyusul pinjaman langsung dari bahasa Arab, dengan ciri-ciri akhiran tā’ marbūthah dibaca sebagai “h” pada waqaf, seperti jerapah (zirāfah), gairah (ghīrah), makalah (maqālah), mahkamah (mahkamah), muamalah (mu‘āmalah), usrah (usrah), zarrah (dzarrah), dan seterusnya, di samping adanya beberapa pinjaman campuran antara Arab dan Persia, seperti ibadah (tapi juga ibadat), musyawarah (tapi juga permusyawaratan), hikmah (tapi juga hikmat), dan lain-Lain. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

dari segi-segi dalam bidang sistem sosial-politik yang oleh Bellah diidentifikasi sebagai “modern” tadi, sebagian besar dari apa yang sekarang banyak diacu sebagai “Peradaban Islam’’” dengan sering kali ditunjuk sebagai bukti kebesaran Islam pada zaman keemasannya, seperti tampak dalam gaya arsitektur bangunan, kesenian, sastra, ilmu pengetahuan, dan lain-lain — adalah suatu kombinasi berbagai unsur peradaban yang berintikan warisan-warisan budaya IranoSemitis. Tetapi, justru unsur-unsur Arya, khususnya di bidang sistem sosial-politik yang, dari sudut penglihatan Bellah, akan harus dikecam sebagai ikut membawa “polusi” ke dalam sistem prinsipprinsip Islam klasik yang “modern” tersebut. Sebab, Aryanisme itu telah ikut mengukuhkan sistem masyarakat Islam yang hierarkis warisan Bani Umayyah, sebagaimana hal itu bisa dilihat pada sistem masyarakat Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Jadi, sistem yang bertingkat-tingkat pada masyarakat Islam Indonesia yang tidak egaliter sepenuhnya, seperti pada masyarakat Islam klasik, sebagian adalah akibat faktor-faktor historis tersebut: bahwa Islam datang ke Indonesia dengan membawa banyak unsur budaya Arya dengan stratifikasi sosialnya yang terkenal itu.5 Seba5

Ini tidaklah berarti suatu pandangan bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia (Iran), meskipun ada tanda-tanda yang bisa mengarah kepada adanya dukungan untuk pandangan serupa itu. Tetapi ada beberapa indikasi, bahwa Islam datang ke Indonesia dari negeri-negeri yang terpengaruh oleh budaya Persia seperti, menurut sebagian sarjana, Gujarat di India. India pernah menyaksikan kekuasaan Kesultanan Moghul. Dan kesultanan itu, seperti halnya semua kesultanan, atau sistem kekuasaan Islam dari Persia ke timur (ditambah Turki Utsmani di utara), menggunakan bahasa Persia atau bahasa yang amat terpengaruh oleh bahasa Persia, seperti bahasa Urdu, Turki, dan Bengali. Meskipun berada dalam lingkungan pengaruh budaya Persia (Iran), Islam di negeri-negeri di luar Iran sendiri itu kebanyakan beraliran Sunni, seperti Indonesia. Bahkan tanah Persia (Iran) sendiri pun mula-mula berpaham Sunni sampai dengan tahun 1399 ketika Sultan Khwaja Ali, penguasa dan sekaligus pemimpin gerakan kesufian di Ardabil, berpindah dari paham Sunni ke paham Syi’i moderat. Pada 1501, “dinasti” Ardabil di bawah Syah Ismail berhasil mendirikan Dinasti Safawi. Tindakan selanjutnya ialah ia menjadikan paham Syi’i sebagai “agama negara”, serta memaksakannya kepada rakyat Iran. Kesultanan Safawi terjepit di antara musuh-musuhnya di timur (Kesultanan D4E


F AKAR ISLAM G

gian lagi, tentu saja, adalah akibat interaksi ajaran Islam dengan budaya setempat yang diketahui telah terlebih dahulu amat jauh mengalami Aryanisasi melalui agama-agama India (Hindu dan Budha). Dalam gabungannya dengan apa yang dikenal dengan “penetration pacifique” sebagai metode penyiarannya di Indonesia, Islam di sini banyak menenggang unsur-unsur budaya lokal. Meskipun dari segi ini Islam di Indonesia tidaklah unik,6 beberapa bentuk unsur luar yang sempat masuk ke dalam tubuh praktikpraktik Islam itu sedemikian jauh senjangnya dari norma-norma ajaran Islam, sehingga kelak menjadi sasaran program-program ad hoc gerakan pembaruan seperti dilakukan oleh kaum Paderi, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Banyak pembahasan tentang Islam di Indonesia yang menunjuk kepada kenyataan bahwa agama itu dibawa kemari oleh para sufi. Ini pun menambah bahan keterangan mengapa Islam di sini banyak berkompromi dengan budaya lokal. Sufisme (tasawuf ) dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual agama Islam (dibandingkan dengan fiqih yang berpandangan lebih praktis, dan kalam yang cenderung defensif ). Dalam masa-masa kemunduran politik dan militer Islam, kaum sufi berjasa menjaga eksistensi, bahkan elan agama Islam, untuk kemudian menyebarkannya ke tempat-tempat lain tanpa penaklukan militer. Seperti halnya dengan orang-orang Afrika Barat, banyak orang India (Hindu) berpindah ke agama Islam Moghul, India) dan barat (Kesultanan Utsmaniah di Turki) yang keduaduanya Sunni. Sejarah mencatat adanya permusuhan permanen antara ketiga kesultanan itu, dan merekalah yang pertama dalam sejarah umat manusia yang menggunakan mesiu untuk perang. Maka disebut, dalam bahasa Inggris, gun powder kingdoms. 6 Sebagaimana sebetumnya telah terjadi pada Islam di Persia, Islam di India pun, misalnya, banyak mengakomodasi unsur-unsur budaya lokal. Berkelanjutannya Hinduisme dalam Islam di India dapat dibuktikan secara pasti dengan melihat betapa orang-orang Hindu dan Muslim banyak menghormati tempat-tempat suci (keramat) yang sama, dan betapa orang-orang Muslim, seperti orang-orang Hindu, sangat tidak suka seorang janda (wanita) kawin lagi. (Lihat, Encyclopaedia Britannica, s.v. “Islam”). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

melalui ajaran-ajaran kaum sufi. Mereka yang akhir ini mendapati bahwa, misalnya, ajaran Hindu tentang advaita (ketidakduaan, nonduality) tidak jauh berbeda dengan ajaran-ajaran sufi tentang Ketuhanan Yang Mahaesa (tauhid), khususnya pengertian tauhid menurut interpretasi wahdat al-wujūd. Perbedaannya hanyalah dalam peristilahan.7 Pengaruh sufisme di Indonesia sudah sering menjadi bahan pembicaraan ilmiah. Namun, masih ada sesuatu yang harus ditegaskan dalam masalah ini, yaitu bahwa pada analisis terakhir, apa yang disebut “kejawen” pun dapat dilihat sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisisme Jawa. Pengaruh al-Ghazali, yang pikiran-pikirannya menjagat itu, juga amat terasa dalam kalangan “kejawen”,8 di samping pengaruhnya yang sangat besar di kalangan kaum santri. Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsurunsur budaya lokal membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-tempat lain, sering dianggap sebagai “pinggiran”. Beberapa kenyataan lahiriah Indonesia mendukung mengapa Islam di sini bersifat “pinggiran”. Selain secara geografis Indonesia memang negeri Muslim yang paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah, Indonesia adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Mungkin karena proses pengislamannya yang relatif baru, ditambah lagi hambatan intensifikasi pengislaman dengan datangnya kaum penjajah Barat, bangsa Indonesia adalah salah satu dari sedikit sekali masyarakat Muslim yang tidak menggunakan huruf Arab untuk bahasa nasionalnya.9 Karena keadaannya 7

Encyclopaedia Britannica, s. v. “Sufism”. Ini bisa dilihat buktinya dari banyaknya konsep kesufian dalam literatur kejawen, seperti konsep tarekat, makrifat, dan hakikat. 9 Bangsa Muslim penting lain yang menggunakan huruf Latin untuk menuliskan bahasa nasionalnya ialah bangsa Turki modern lewat revolusi Kemalis — setelah sebelumnya menggunakan huruf Arab (untuk bahasa Turki Utsmani) — dengan kerugian intelektuaL yang tidak sedikit, dan bangsa Bangladesh yang memiliki huruf mereka sendiri, huruf Bengali. Hampir semua bangsa Muslim menggunakan huruf Arab, meskipun tidak berarti 8

D6E


F AKAR ISLAM G

yang mengesankan sebagai bersifat “pinggiran” itu, Islam di Indonesia sering dipandang “tidak” atau sekurangnya “belum” bersifat Islam secara sebenarnya, dengan akibat diabaikannya unsur Islam dalam memahami budaya Indonesia. Kebanyakan kajian tentang Indonesia oleh para ahli dari Barat, khususnya Amerika, cenderung menganggap tidak begitu penting unsur keislaman dalam budaya Indonesia. Hal ini tentu saja menyesatkan, seperti sempat dilihat oleh Hodgson, seorang sejarawan sekaligus Islamolog Amerika terkenal, pada Clifford Geertz. Kajian terpenting tentang budaya Indonesia, dengan pandangan yang serius mengenai peranan Islam, tentu saja ialah yang dilakukan oleh Clifford Geertz dengan bukunya yang terkenal, Religion of Java. Di satu sisi Geertz dipuji oleh Marshall Hodgson karena berhasil mengumpulkan data antropologis tentang masyarakat Jawa. Tetapi di sisi lain, Geertz dikecamnya karena telah membuat kesimpulan yang sangat menyesatkan. Tentang Geertz, Hodgson mengatakan, “Dia telah mengidentifikasi suatu deretan panjang gejala, yang hampir semuanya umum ditemukan pada Islam, malah kadang-kadang didapati dalam al-Qur’an sendiri, sebagai bukan Islam; karena itu, tafsirannya tentang masa lalu Islam dan tentang beberapa reaksi anti-Islam akhir-akhir ini sangat menyesatkan.” Hodgson menunjuk tiga kesalahan pokok Geertz dalam pendekatannya kepada Islam di Jawa: Geertz menanggung bias yang bersumber kepada kaum Islam modernis, pengaruh kaum kolonialis untuk meminimalkan hubungan rakyat jajahan mereka dengan berbahasa Arab seperti bahasa-bahasa Persia dan Urdu. Tapi dalam hal ini, bangsa Indonesia bukan hanya minoritas di kalangan bangsa-bangsa Muslim, melainkan juga minoritas di kalangan bangsa-bangsa Asia yang hampir semuanya memiliki dan menggunakan huruf nasional mereka sendiri. Huruf Arab pernah digunakan oleh orang-orang Jawa, yang kemudian menular kepada yang lain, untuk menuliskan bahasa lokal mereka. Huruf Arab, dengan beberapa modifikasi untuk bahasa lokal itu, dinamakan huruf Jawi (pego). Huruf itu di Indonesia sampai sekarang masih bertahan di pesantren-pesantren, dan di Malaysia bahkan menduduki tempat yang sama penting dengan huruf Latin, jika tidak lebih penting. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

dunia Islam di luar yang serba-mengkhawatirkan, dan akhirnya, teknik penelitian antropologisnya yang melihat analisis fungsional suatu budaya dalam keadaan lintas bagian yang sedang berjalan tanpa pertimbangan yang serius kepada dimensi historisnya. Hodgson menyimpulkan, “Bagi yang mengerti Islam, datanya yang komprehensif itu — tidak peduli maksud Geertz sendiri — menunjukkan betapa sedikitnya yang masih bertahan, dari Hindu masa lalu itu, bahkan di pedalaman Jawa, dan menimbulkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam sedemikian sempurnanya.”10

Akar Islam Beberapa Segi Budaya Indonesia Jika seorang Hodgson menganggap “kemenangan” Islam di Jawa khususnya, dan Nusantara umumnya, begitu “sempurna”, tentu agama itu juga telah memengaruhi budaya Indonesia di segala segi secara menyeluruh dan mengesankan. Di luar lingkaran spiritualisme dan kesufian, serta berbagai bidang yang lain, Islam terutama amat kuat memengaruhi budaya Indonesia di bidang kemasyarakatan dan kenegaraan. Jika kita batasi hanya pada perumusan nilai-nilai Pancasila, unsur-unsur Islam itu akan segera tampak dalam konsepkonsep tentang adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, dan wakil. Lebih dari itu, dapat disebutkan bahwa rumusan sila keempat Pancasila itu sangat mirip dengan ungkapan dalam bahasa Arab yang sering dijadikan dalil dan pegangan oleh para ulama, ra’s al-hikmah a1-masyūrah (pangkal kebijaksanaan ialah musyawarah). Dari contoh yang diambil dari rumusan dasar negara itu, dan dari berbagai kata pinjaman dari bahasa Arab lainnya, baik langsung maupun lewat bahasa ketiga, dapat diketahui bahwa unsur-unsur Islam terpenting dalam budaya Indonesia ialah di bidang konsepkonsep sosial dan politik. Anthony H. Johns mengemukakan 10

Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid 2, h. 551, catatan kaki 2. D8E


F AKAR ISLAM G

sesuatu tentang Islam di Asia Tenggara, yang dapat dijadikan sebagai pangkal untuk menerangkan kenyataan ini: Suatu dimensi Islam yang harus selalu ditekankan ialah keanggotaan dalam suatu komunitas, suatu komunitas yang di situ tertib hukum merupakan hal penting yang menonjol... Dan sangat boleh jadi, bahwa salah satu basis Islamisasi di Asia Te nggara sejak sedini abad ke-13 ialah stabilitas dan ketenangan dunia usaha yang didukung oleh hukum perdagangan Islam antara para anggota komunitas dagang Muslim dan mitra perdagagan mereka. Begitulah memang keadaan dunia Islam secara keseluruhannya.11

Pengaruh Islam dalam budaya Indonesia ini bisa dibandingkan dengan pengaruh Islam terhadap budaya Barat. Seperti juga terhadap budaya Indonesia, pengaruh Islam terhadap budaya Barat juga bisa dilihat, antara lain, dari beberapa kata pinjaman Arab, seperti dalam bahasa Inggris: admiral, alchemy, alcohol, alcove, alfalfa, algebra, algorithm, alkali, azimuth, azure, calibre, carafe, carat, carawy, cipher, coffee, cotton, elixir, jar, lute, macrame, magazine, mohair, monsoon, muslin, nadir, saffron, sherbet, sofa, tariff, zenith, dan zero. Jadi, berbeda dengan pengaruh Islam pada budaya Indonesia yang amat terasa terutama di bidang-bidang kemasyarakatan, hukum, dan politik, pengaruh Islam pada budaya Barat terutama terasa di bidang-bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan produk-produk canggih, objek dan kenyamanan dalam hidup berperadaban (“... science and technology and sophisticated products, objects and comforts of civilized life”).12 Kenyataan itu sekaligus memberi petunjuk tentang “daya tarik” Islam sehingga menjadi agama utama di kawasan Nusantara ini. Berkaitan dengan ini, ingin dikutipkan lagi pendapat Bill Dalton, 11

Anthony H. Johns, “Islam in the Malay World,” dalam RaphaeL Israeli dan Anthony H. Johns, eds., Islam in Asia (Jerusalem: The Magnes Press, 1984), v. II (Southeast and East Asia), h. 117. 12 Reader’s Digest, Success with Words (Pleasan vitle, N.Y.: Reader’s Digest Association, Inc. 1983), s.v. “Arabic Words”. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

seorang antropolog penulis buku kocak-serius Indonesia Handbook (sebagai buku pegangan turisme murah di Indonesia).13 Apakah daya tarik Islam itu? ... Daya tariknya yang pertama dan utama bersifat psikologis. Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan itu, ketika datang pertama kali ke kepulauan ini merupakan konsep revolusioner yang sangat kuat, yang membebaskan orang-orang kebanyakan dari belenggu feodal Hindunya. Orang kebanyakan itu hidup di suatu negeri yang rajanya adalah seorang penguasa mutlak, yang dapat merampas tanahnya, bahkan istrinya, kapan saja ia mau. Islam mengajarkan bahwa semua orang di mata Allah adalah sama-sama dibuat dari tanah, bahwa tak seorang pun dibenarkan untuk diistimewakan sebagai lebih unggul. Dalam Islam tidak ada sakramen ataupun acara-acara inisiasi yang misterius, juga tidak ada kelas pendeta. Islam memiliki kesederhanaan yang hebat dengan hubungannya yang langsung dan pribadi antara manusia dan Tuhan.

Untuk memperoleh sentuhan lebih lanjut dari segi Islam ini, ada baiknya di sini dikemukakan suatu kutipan lagi: Sejak dari asal mulanya Islam, melalui ajaran prinsip-prinsip moral dan berlakunya hukum dalam kenyataan, pembaruan masyarakat merupakan bagian dari inti ajaran Islam. Sungguh, Islam dapat dilukiskan sebagai gerakan pembaruan sosio-ekonomi yang didukung oleh ide keagamaan dan etis tertentu yang sangat kuat berkenaan dengan Tuhan, manusia, dan alam raya. Di Madinah, begitu keadaan mengizinkan, Nabi membentuk komunitasnegara dengan sebuah konstitusi dan, sesuai dengan tuntutan keadaan, perundang-undangan yang diperlukan pun dibuat untuk komunitas negara itu, baik dalam bentuk ordonansi dari al-Qur’an 13

Bill Dalton, Indonesia Handbook (Chico, California: Moon Publications, 1982), h. 6. D 10 E


F AKAR ISLAM G

maupun perintah-perintah Nabi, yang biasanya tidak dibuat tanpa musyawarah dengan anggota-anggota senior komunitas .... Faktor paling fundamental dan dinamis dari etika sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme: semua anggota keimanan itu, tidak peduli warna kulit, ras, dan status sosial atau ekonominya, adalah partisipan yang sama dalam komunitas.14

Selain tercermin pada berbagai peristilahan yang antara lain, mendapatkan jalan masuk ke dalam rumusan Pancasila, egalitarianisme, sebagai aspek yang paling dinamis dari ajaran sosialpolitik Islam itu, juga tercermin dalam pilihan bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa nasional. Jika benar keterangan Sutan Takdir Alisjahbana beberapa waktu yang lalu, bahwa yang mengusulkan dijadikannya bahasa Melayu dan bukan, misalnya bahasa Jawa sebagai bahasa nasional, adalah pemuda-pemuda Jawa, hal itu adalah petunjuk bahwa pemuda-pemuda Jawa saat itu telah menyadari bahwa bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat tidak akan cocok untuk suatu masyarakat Indonesia yang mereka cita-citakan, yaitu suatu masyarakat yang modern. Kesadaran itu timbul, lepas dari kenyataan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang paling kaya di Nusantara dari segi muatan budayanya. Dan muatan budaya bahasa Jawa yang kaya dan luas serta mendalam itu, seperti dengan jelas tercermin dalam “kejawen”, adalah terutama di bidang spiritualisme (atau, katakan, “kebatinan”). Dan spiritualisme Jawa itu pun, seperti telah dikemukakan, banyak terpengaruh oleh sufisme, bentuk lain pengaruh penting Islam dalam budaya Indonesia.

Kemungkinan Pengembangan untuk Masa Depan Perhatian sengaja dipusatkan ke akar Islam untuk pandangan-pandangan sosial-politik, khususnya egalitarianisme, karena di bidang 14

Encyclopaedia Britannica, s.v. “Islam”. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

inilah Islam dapat memberi kontribusi yang paling penting bagi pembangunan bangsa di masa depan, khususnya pembangunan demokrasi. Sebab, sekalipun akar Islam untuk segi-segi budaya lain, seperti spiritualisme, tetap amat penting, seperti dikatakan oleh Ernest Gellner, spiritualisme dalam bentuknya yang hierarkis seperti terdapat dalam, misalnya, ajaran-ajaran atau praktik-praktik kesufian tertentu, selalu terlihat dari keseluruhan Islam sebagai berada di tepian, tidak sentral. Kesufian sendiri melahirkan tradisi intelektual dan keagamaan yang kaya, yang pada intinya masih bisa dijejaki segi persambungannya yang otentik dengan Tradisi Agung Nabi sendiri. Namun tidak dapat diingkari bahwa dalam pengembaraan intelektual dan pertumbuhan pelembagaannya, sebagian sufisme akhirnya berujung pada pembagian manusia secara bertingkat-tingkat, tidak lagi egaliter sepenuhnya. Sementara itu, pada inti Islam, sebagaimana telah dikemukakan, semangat egalitarianisme adalah tetap. Dan egalitarianisme inilah, bersama dengan semangat keilmuan, yang membentuk bagian dari Islam yang paling sesuai dengan semangat zaman modem. Kata Gellner, “Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan ‘murni’ (dari Islam) itu, bersifat egaliter dan keilmuan, sementara hierarki dan ekstase termasuk bentuk-bentuk pinggiran yang terus mengembang dan akhirnya diingkari, sangat membantunya (Islam) untuk beradaptasi kepada dunia modem.”15 Kegairahan keagamaan yang meliputi banyak kalangan dewasa ini, khususnya keagamaan Islam, dapat menjadi pangkal pengembangan dan pengukuhan akar-akar Islam bagi konsepkonsep tentang masyarakat yang terbuka, adil, dan demokratis di Indonesia. Tapi, kegairahan saja tentu tidak cukup. Lebih penting ialah adanya kemauan dan kesempatan untuk memperluas dan mempertinggi tingkat pemahaman akan ajaran-ajaran Islam. Hal ini tentu bukanlah perkara mudah, mengingat — sebagaimana 15

Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge, Inggris: Cambridge University Press,1981), h. 5. D 12 E


F AKAR ISLAM G

dikatakan di muka — keadaan Indonesia sebagai bangsa Muslim “pinggiran” dan amat sedikit mengenal lebih mendalam budaya Islam di Timur Tengah. Lebih tidak mudah lagi ialah mengembangkan cakrawala keagamaan yang lebih luas, yang dahulu, seperti tersingkap dari paparan Bellah sebelumnya, pernah menjadi pola umum cara pandang orang-orang Muslim klasik (salaf). Faktor-faktor psikologispolitis, akibat munculnya zaman yang didominasi oleh bangsabangsa bukan Muslim sekarang ini, disertai pengalaman masa jajahan yang pahit, telah banyak mendorong sementara kelompok Muslim, termasuk di negeri ini, kepada sikap dan pandangan yang eksklusivistis. Walaupun demikian, gejala eksklusivisme yang sering kali disertai sikap-sikap fundamentalistis atau bahkan radikalistis itu, masih mungkin dipandang dari sisi positifnya. Sebenarnya gejala itu dapat merupakan kelanjutan denyut nadi egalitarianisme Islam, yang dalam pengertiannya yang luas akan dengan sendirinya menyangkut rasa keadilan, keberadaan, kerakyatan dan persamaan, prinsip musyawarah (demokrasi partisipatif ), hikmat (wisdom), dan rasa perwakilan (representativeness). Dalam setiap masyarakat selalu diperlukan adanya kelompok yang dengan teguh dan tegar memiliki komitmen kepada nilai-nilai itu dan memperjuangkannya. Egalitarianisme itu seperti bisa dipahami dari salah satu kutipan sebelumnya, dengan kuat sekali menyangkut pula rasa dan kesadaran hukum, dan kesadaran bahwa tak seorang pun dibenarkan berada di atas hukum. Juga tampak dari salah satu kutipan sebelumnya, egalitarianisme itu, beserta rasa dan kesadaran hukumnya, diwujudkan oleh Nabi dalam rintisannya untuk membentuk komunitas-negara yang berkonstitusi. Konstitusi Madinah dari zaman Nabi itu, sama halnya dengan semua konstitusi, adalah hasil pengikatan diri (‘aqd, “kontrak”) antar-anggota masyarakat, dan meliputi semua anggota masyarakat tanpa memandang latar

D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

belakang primordialnya.16 Karena itu, setiap konstitusi mengikat semua warga masyarakat, dan harus ditaati serta dipatuhi dengan konsekuen, sesuai dengan perintah agama untuk menaati setiap perjanjian dan kesepakatan bersama. [ ]

16

Dokumen yang dikenal dengan “Konstitusi Madinah” itu, antara lain, memuat ketentuan tentang orang-orang Yahudi, yaitu kelompok bukan-Muslim yang menjadi anggota komunitas-negara Madinah: Wa anna al-Yahūd yunfiqūna ma‘a al-Mu’minīn mādāmū muhārabinā, wa anna al-Yahūda Banī ‘Awf ummat ma‘a al-Mu’minīn, li al-Yahūda dīnuhum wa li al-muslimīna dīnuhum... (Kaum Yahudi menanggung beban biaya bersama kaum beriman [Muslim] selama mereka menghadapi peperangan, dan bahwa kaum Yahudi Bani Auf adalah satu umat bersama kaum beriman. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslim agama mereka ...”). Lihat, Amin Sa’id, Nasy’at al-Da‘wah al-Islāmīyah (Kairo: al-Halabi, t.th.), h. 28, cf., Montgomery Watt, Muhammad at Madina (Oxford: Clarendon Press, 1977), h. 223. D 14 E


F ISLAM DAN MODERNITAS G

ISLAM DAN MODERNITAS Relevansinya dengan Kenyataan Sosial Umat Islam Indonesia Dewasa Ini Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Keadaan umat Islam Indonesia saat ini, sudah tentu erat kaitannya dengan masa lampaunya yang panjang. Sebagai agama yang muncul dari Hijaz di Jazirah Arab, Islam — sampai kepulauan Nusantara — dapat dilihat sebagai fungsi kegiatan ekonomi dan kebudayaan orang-orang Arab yang agaknya telah sering datang ke kawasan ini jauh sebelum Nabi Muhammad saw. Telah menjadi catatan para ahli bahwa kawasan Nusantara adalah salah satu dari sedikit daerah yang diislamkan tanpa didahului penaklukan militer. Metode pengislaman atas daerah ini ialah perembesan damai (penetration pacifique). Kita tahu bahwa metode ini menimbulkan berbagai akibat positif dan negatif. Selain itu, Islam datang ke Indonesia, dalam periodenya yang paling menentukan, dari daerah-daerah lingkungan budaya (Islam) Persia (dapat dilihat antara lain pada kata pinjaman Indonesia dari kata-kata Arab, tapi dengan tā’ marbūthah yang dibaca sebagai tā’ maftūhah: hikmat, rahmat, zakat, salat, dan lain-lain.) Agaknya proses peminjaman tersebut berlangsung pada masa-masa kemunduran kreativitas intelektual bangsa-bangsa Muslim berbahasa Arab sendiri. Karena itu, proses perembesan damai itu menghasilkan suatu Islam yang “lunak” dengan unsur-unsur esoteris kesufian yang menonjol. Dengan kata D1E


F NURCHOLISH MADJID G

lain, pada Islam di Indonesia, unsur esoteris kesufian lebih kuat daripada unsur eksoterisnya yang berpangkal pada ajaran-ajaran Islam berkenaan dengan hukum atau syariat. Ironisnya, keadaan tersebut mulai berubah secara amat berarti berkat adanya mesin uap yang menggerakkan kapal-kapal laut yang, antara lain, sangat mempermudah transportasi haji ke Tanah Suci.

“Daya Tarik” Islam pada Masa Lalu Meskipun melalui perembesan damai, tidaklah berarti Islam di Indonesia terbebas dari suasana bergejolak. Suasana itu, terlebih lagi, tampak pada berbagai peristiwa konfrontasi antara Islam dan kolonialisme. Terlepas dari berbagai kemungkinan penyebab konfrontasi itu (misalnya, masalah perdagangan, rasa harga diri pribadi, dan konflik lokal yang mengundang campur tangan pihak luar). Islam di Indonesia memiliki pola heroik tersendiri dalam sejarah pertumbuhannya. Jika kita percaya kepada sejarawan Slamet Mulyana, runtuhnya Majapahit dan bangkitnya kesultanan-kesultanan Islam di pesisir Jawa adalah hasil suatu “persekongkolan” yang tidak terlalu patriotik bahkan, menurutnya, berbau “pengkhianatan”. Mungkin harus dikatakan bahwa Islam di Indonesia, dalam kelembutan metode perembesan damainya itu, masih tetap menunjukkan ciri sosial-budayanya yang dapat disebut radikal, yakni dalam hal sifat egaliter dan semangat keilmuan yang sekaligus merupakan daya tarik agama ini.1 Namun, sesungguhnya tidak semua orang Islam menyadari semangat agamanya. Meski demikian, yang barangkali lebih penting daripada mendukung atau menyetujui ialah melihat permasalahan yang kini dihadapi umat Islam Indonesia berkenaan dengan “daya 1

Lihat kutipan dari Bill Dalton, Indonesia Handbook (Chico, CA: Moon Publications, 1982), h. 6, pada makalah sebelum ini, “Akar Islam: Beberapa Segi Budaya Indonesia dan Kemungkinan Pengembangannya bagi Masa Depan Bangsa”, di halaman 48 buku ini. D2E


F ISLAM DAN MODERNITAS G

tarik” Islam pada masa lalu. Dapat dikatakan bahwa berbagai “ketegangan” yang banyak menandai Islam di Indonesia merupakan fungsi dari usaha mewujudkan daya tarik Islam klasik itu.

Perspektif Pendidikan Dari sekian banyak kemungkinan keadaan umat Islam Indonesia dewasa ini, suatu perspektif yang kiranya amat sentral ialah perspektif pendidikan. Wujud tingkat pendidikan (modern) yang sekarang terdapat pada umat Islam Indonesia, dan lebih menjadi ciri pokok situasinya sekarang dibandingkan masa lalunya, dapat disebut sebagai salah satu tujuan kemerdekaan yang telah sekian lama diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Kemerdekaan telah memberi umat Islam Indonesia kesempatan pendidikan yang sama dengan golongan lain, termasuk sama dengan golongan lain, termasuk sama dengan golongan yang di zaman kolonial mendapatkan perlakuan lebih baik, jika bukan istimewa (sehingga mereka memiliki tradisi intelektual yang lebih mapan sampai saatsaat terakhir ini). Sekolah-sekolah modern zaman kolonial harus kita lihat dari sudut pandang umat Islam umumnya, sebagai sistem diskriminatif dan tak adil. Karena itu, sistem tersebut menghasilkan orang-orang terpelajar hanya dari kalangan tertentu yang memenuhi kriteria zaman kolonial dan juga dalam pola tertentu (sayang, pola tertentu ini, seperti pola yang menghasilkan priyayiisme, banyak bertahan sampai sekarang). Berkat kemerdekaan, pendidikan menjadi relatif terbuka untuk semua orang, dan umat Islam relatif paling banyak memperoleh faedah. Disebabkan posisi sosiologisnya di zaman kolonial, umat Islam juga relatif paling cepat dan “radikal” dalam mengalami transformasi melalui jenjang pendidikan, termasuk transformasi dalam bentuk mobilitas sosial. Pendidikan memberi umat Islam kemampuan teknis-ilmiah yang lebih tinggi untuk mengungkapkan dirinya, khususnya dalam mengungkapkan aspirasi dan wawasan. Lebih jauh, kemampuan D3E


F NURCHOLISH MADJID G

itu juga menghasilkan suatu akibat sampingan yang barangkali justru paling penting, yaitu kemantapan pada diri sendiri dan kecenderungan lebih besar untuk berpikir positif, malah mungkin “inklusivistik” (Islam sebagai rahmat untuk semua). Dengan modal itu, maka umat Islam Indonesia diharapkan akan mengalami peningkatan kecanggihan wawasan dan pandangan hidupnya, bukan dalam arti mengubah esensinya, melainkan dalam arti mengubah metodenya yang — sepanjang mengenai efektivitas komunikasi dan penyampaian wawasan — sering lebih penting diperhatikan daripada esensinya. Pada 1950-an, sebagai titik-tolak (kasar), umat Islam mulai mendapatkan manfaat dari sistem pendidikan Indonesia merdeka. Karena itu, dekade sekarang sampai tahun 2000 akan menampilkan gejala-gejala yang menjadi petunjuk tentang adanya kemampuan teknis ilmiah umat Islam yang semakin canggih itu. Hal itu berarti bahwa umat Islam akan mendapatkan kesempatan lebih baik, dan efek kebaikan tersebut akan dirasakan semua orang, bukan hanya oleh golongan sendiri. Kekhususan terjadi, antara lain, karena orientasi masa lalu umat Islam Indonesia yang terlalu berat ke bidang politik. Kini ada harapan bahwa orientasi politik akan semakin diimbangi oleh orientasi ke bidang-bidang lain. Hal ini secara umum menghasilkan suatu pendekatan baru: pendekatan kultural (seperti dipelopori Muhammadiyah dan menyusul, NU). Dengan meningkatnya kecanggihan ilmiah itu, maka nilai-nilai positif keislaman, bahkan yang “radikal dan revolusioner” sekalipun (kata Dalton tadi), dapat mengalami transformasi baru untuk mengubah masyarakat Indonesia, melalui kaum Muslimnya, menjadi masyarakat modern, sebagai usaha mewujudkan nilai-nilai falsafah negara: Pancasila.

Pendekatan Politis Pendekatan politis masa lalu mungkin harus dipandang wajar sesuai dengan tahap perkembangan yang ada, yaitu tahap awal perbenD4E


F ISLAM DAN MODERNITAS G

turan Islam dengan modernitas, bahkan perbenturan Islam dengan kolonialisme (kolonialisme merupakan akibat historis modernitas pada orang Eropa Barat Laut). Berkaitan dengan ini, Marshall G.S. Hodgson mengatakan:2 Sebenarnya, perhatian terlalu cepat para pemodern bersifat politis. Jika sesuatu yang khas Muslim dimaksudkan sebagai daya pendorong pertahanan dan perubahan sosial, Islam tentu berorientasi politis dan sosial. Mereka yang syariat-minded-lah yang memedulikan sejarah dan tatanan sosial seperti itu. Memang, mereka yang paling hadis minded-lah yang paling tegar mengkritik status quo — seperti para pembaru, semisal kaum Hanbaliah.Terlebih lagi, sisi Islam yang tampak paling konsisten dengan masyarakat modern — yaitu yang paling mencerminkan kosmopolitanisme merkantil, individualistis, dan pragmatis, bertentangan dengan norma-norma aristokratis tatanan masyarakat agraris pramodern — telah dibawa ulama syar’i. Sebaliknya, kaum sufi, yang menekankan dimensi batiniah keimanan, yang lebih memerhatikan hubungan antarpribadi, telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam lembagalembaga sosial pada masa-masa pramodern, dan sekarang cenderung, secara politis, bersifat konservatif.

Jadi, Hodgson melihat potensi Islam, khususnya seperti diwakili oleh syariatnya, untuk membawa kaum Muslim ke zaman modern. Inilah yang membawa umat Islam ke titik-berat orientasi dan pendekatan politis sebagai fungsinya menghadapi dunia yang dikuasai oleh budaya lain. Pandangan lain yang juga bernada optimistis tentang kemampuan Islam untuk membawa kaum Muslim zaman modern, diutarakan oleh Ernest Gellner.3 2

Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974) jilid 3, h. 387. 3 Lihat kutipan dari Ernest Gellner tersebut pada makalah sebelum ini, “Akar Islam: Beberapa Segi Budaya Indonesia dan Kemungkinan Pengembangannya bagi Masa Depan Bangsa”, di halaman 51 buku ini. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Pendekatan Menyeluruh terhadap Islam Sebagaimana disebut Bellah, agaknya potensi ajaran Islam untuk zaman modern tidak hanya terletak pada syariatnya, tetapi juga pada watak dasar — untuk Islam itu sendiri. Bellah, seperti Dalton, melihat bahwa kekuatan atau kelebih-utamaan pada Islam ialah nilai-nilai demokratisnya yang, menurutnya, “terlalu modern” untuk tempat dan zamannya. Untuk menopang argumentasinya, selanjutnya Bellah mengatakan:4 Mari kita lihat elemen-elemen struktural Islam awal yang relevan dengan argumen kita. Pertama ialah suatu konsepsi tentang satu Tuhan yang transenden, yang berada di luar jagat alam dan kaitannya dengan (alam) itu sebagai pencipta dan penentu. Kedua ialah seruan ke kedirian, dan keputusan dari satu Tuhan semacam itu melalui ucapan Nabi-Nya kepada setiap manusia. Ketiga ialah devaluasi radikal — orang secara absah boleh mengatakannya sebagai sekularisasi — dari semua struktur sosial yang ada terhadap hubungan sentral Tuhan-manusia ini. Terlebih-lebih, hal ini berarti tergusurnya pertalian keluarga, yang merupakan tempat utama dari hal-hal yang suci di Jazirah Arab pra-Islam, dari makna sentralnya. Akhirnya ada sebuah konsep baru tentang tatanan politis yang didasarkan pada partisipasi semua yang menerima wahyu Tuhan, dan dengan demikian menjadikan mereka sebagai suatu komunitas (umat) baru.

Karena itu, pendekatan menyeluruh terhadap Islam, khususnya segi etikanya, amat diperlukan dan mendesak.

4

Robert N. Bellah, Beyond Belief (New York: Harper and Row, 1970), h. 150-151. D6E


F ISLAM DAN MODERNITAS G

Kesimpulan Berbagai problema umat Islam Indonesia, dan dalam hal ini umat Islam di mana saja, ialah kesenjangan yang cukup parah antara ajaran dan kenyataan. Dahulu Bung Karno menyeru umat Islam untuk “menggali api Islam”, karena agaknya dia melihat bahwa kaum Muslim saat itu, mungkin sampai sekarang, hanya mewarisi “abu” dan “arang” yang mati dan statis dari warisan kultural mereka. Kiranya, kutipan-kutipan panjang tersebut banyak menopang kepercayaan kaum Muslim tentang Islam, khususnya kaum Muslim dari kalangan “modernis” dan kaum Muslimin yang menghayati secara mendalam “api” Islam. Tetapi, barangkali yang lebih penting lagi ialah bahwa perspektif semacam itu dapat dijadikan sebagai titik-tolak untuk melihat problema umat Islam di Indonesia dewasa ini berkenaan dengan sumbangan yang dapat mereka berikan kepada penumbuhan dinamis nilai keindonesiaan dengan bahan-bahan yang ada dalam ajaran agama mereka sendiri. Dan yang amat diperlukan oleh umat Islam, melalui para sarjananya, ialah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran Islam yang mapan (sebagai hasil interaksi sosial dalam sejarah), dan mengukurnya kembali, dengan yardstrick, sumber suci Islam sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tapi, barangkali hal itu akan berarti tuntutan untuk melakukan mujāhadah, dengan memikirkan kembali makna Islam, umat, syariat, dan lain-lain. [ ]

D7E


F PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA G

PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid

Sungguh tidak mudah berbicara tentang Islam di Indonesia, sebab agama termasuk masalah peka. Kosa-kosa politik Indonesia telah diperkaya dengan singkatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang melukiskan kepekaan politik di Indonesia. Sekalipun demikian masih boleh dikatakan bahwa masih ada ruang bagi pembahasan tentang masalah-masalah keagamaan, sejauh tidak mengganggu ketenangan stabilitas politik — sesuatu yang didambakan sedemikian rupa oleh mereka yang memandang perlunya pembangunan — yaitu pembahasan yang tidak memihak dan ilmiah. Pada 1970-an, Indonesia melewati suatu keadaan yang penting — yang belum banyak dibahas — dalam sejarahnya sebagai bangsa merdeka. Yaitu dasa warsa di mana Indonesia menyaksikan, untuk pertama kalinya, munculnya sejumlah besar lulusan universitas. Yang relevan dengan pembicaraan kita ialah kenyataan bahwa sebagian besar lulusan berlatar belakang kultur Islam. Tentu saja, mengatakan begini membawa beberapa masalah. Jika, sebagaimana sering dinyatakan oleh pemimpin-pemimpin Islam, mayoritas rakyat Indonesia memeluk Islam, maka mengatakan bahwa sebagian besar lulusan universitas itu Muslim adalah berlebihan. Namun, kenyataannya ialah bahwa hal itu ada benarnya juga, sebab para pengamat melihat adanya perbedaan antara Muslim “sejati” dan Muslim “nominal”. Dengan demikian, mengatakan bahwa D1E


F NURCHOLISH MADJID G

sebagian besar lulusan itu adalah Muslim berarti mengatakan bahwa mereka adalah Muslim “sejati”, apa pun kiranya makna istilah “sejati” tersebut.1

Dampak Pendidikan Kolonial Penggunaan istilah “intelektual”, celakanya, menimbulkan masalah. Di sini istilah itu digunakan, secara agak bebas, untuk menunjuk ke kelas berpendidikan “modern” (Barat), tanpa bermaksud mengatakan bahwa mereka yang terdidik dalam sistem “tradisional” (Islam) bukanlah intelektual. Ada banyak implikasi dari munculnya intelektual “modern” Muslim. Arti gejala ini bisa lebih dinilai jika kita proyeksikan pada sejarah panjang Islam Indonesia di bawah pemerintahan kolonial (Vercenigde Oost-Indische Compagnie, atau Perusahaan India Timur). Sejarah kolonial bermula dengan 1

Hal ini, tentu saja, merujuk kepada identifikasi Muslim Indonesia sebagai “Santri” dan “Abangan” yang lazim dilakukan oleh ahli antropologi yang mengikuti contoh Clifford Geertz dalam bukunya yang terkenal, Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, Edisi Phoenix, 1976). Memang, pandangan Geertz tentang “Muslim sejati” (Santri) tidak semuanya bebas dari kritik. Mengenai keberatan terhadap penafsiran Geertz atas datanya, lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid 2, h. 551 catatan kaki 2. Di situ Hodgson mengatakan bahwa “Geertz mengidentifikasi Islam hanya dengan yang dibenarkan oleh mazhab modernis, dan menisbatkan segala yang lain pada latar belakang asli atau Hindu Budha, yang secara tidak beralasan mencap banyak kehidupan keagamaan Muslim di Jawa sebagai ‘Hindu’. Ia mencirikan serangkaian panjang gejala, yang pada hakikatnya universal bagi Islam dan kadangkala terdapat bahkan dalam al-Qur’an itu sendiri, sebagai tidak Islami; dan karena itu, penafsirannya atas masa lalu Islami dan beberapa reaksi yang anti-Islam sangat menyesatkan... Bagi orang yang mengetahui Islam, data lengkapnya — terlepas dari niatnya — menunjukkan betapa sangat kecil sisa masa lalu Hindu, bahkan di Jawa pedalaman, dan menimbulkan pertanyaan, kenapa kemenangan Islam demikian sempurna”. Namun, tampaknya identifikasi itu masih juga ada manfaatnya — meski terbatas — dan, dengan demikian, diterapkan di sini. D2E


F PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA G

berkuasanya VOC yang hampir tidak memperhatikan masalah pendidikan, dan sedikit kesempatan pendidikan yang diberikannya terbuka hanya bagi orang-orang Kristen Eropa maupun pribumi. “Bukti pertama diperhatikannya pendidikan untuk orang-orang Muslim terdapat dalam suatu intruksi Gubernur Jenderal Deandels pada 1808”, namun, “Tidak ada bukti tentang dilaksanakannya instruksi itu... Undang-undang Pemerintah Hindia Belanda 1808 menandai suatu perubahan resmi sikap”. Namun, rencana-rencana yang didasarkan pada Undang-undang itu “tidak pernah terwujud, sejauh menyangkut pendidikan pribumi”.2 Perubahan nyata baru terjadi pada zaman “Kebijaksanaan Etis” pada 1901. Inilah kebijaksanaan kolonial yang “bersumber terutama dari segi manusiawi, yang menyatakan bahwa Belanda berutang budi pada Indonesia atas keuntungan-keuntungan masa lalu yang telah diperolehnya dari Indonesia”. Kebijaksanaan Etis itu, pada hakikatnya, merupakan “suatu program kesejahteraan yang berupaya memacu dan mengarahkan kemajuan ekonomi, politik, dan sosial”. Yang berkaitan dengan pembicaraan kita ialah perhatian besar yang diberikan kepada pendidikan gaya Barat, dan hal itu menyebabkan semakin banyak orang Indonesia memasuki sekolah umum. Namun, dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, jumlah itu masih kecil sekali. Bahkan, yang lebih kecil ialah jumlah pelajar dari kalangan Muslim santri. Hal ini sebagian disebabkan oleh sistem diskriminatif pendidikan, dan sebagian disebabkan oleh politik non-koperatif para ulama terhadap pemerintah kolonial.3 2

Amry Vandenbosch, The Dutch East Indies (Berkeley: University of California Press, 1942), h. 198-199. 3 Robert Van Niel, dalam Ruth Mc Vey, ed., Indonesia (New Haven: Southeast Asia Studies, Yale University, 1963), h. 291. Yang lebih memperburuk situasi, sistem pendidikan kolonial sangat diskriminatif terhadap kaum Muslim (santri). Ia di organisasi dengan konsep stratifikasi sosial Belanda atas pendudukan Indonesia. Di puncak piramid adalah orang-orang Eropa, disusul oleh kaum ningrat pribumi (priyayi), dan kemudian oleh “orang-orang Timur asing” yang terdiri terutama atas orang Cina. Pada dasar piramid adalah rakyat D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Dengan demikian, akibat puncak pendidikan kolonial ialah melebarnya jurang antara rakyat yang berorientasi Islam dan elit tradisional, priyayi, yang kebanyakan terdiri atas orang-orang Indonesia berpendidikan Barat. “Interposisi elit tradisional dan Cina cenderung menyamarkan peranan Belanda sebagai pengisap tenaga pribumi”. Inilah sebabnya, sejak permulaannya, “gerakan nasionalis di Indonesia bercorak anti-kolonial, anti-Cina, keislaman, dan sosialis”.4 Islam segera menjadi senjata ideologis dari berbagai gerakan melawan para penjajah “kafir”, dan gerakan keislaman untuk membantu dan memajukan kepentingan para santri — sebagaimana yang terjadi pada SDI (Sarikat Dagang Islam), 1905, jelata, terutama terdiri atas orang Muslim. Karenanya, sekolah-sekolah dasar dilembagakan secara hierarkis, yang di puncaknya adalah sekolah-sekolah khusus untuk orang-orang Eropa (ELS — Eropesche Lagere School — European Elementary School), disusul oleh sekolah-sekolah kaum ningrat tradisional (HIS — Holland’s Inlandse School) — dan kemudian disusul oleh HCS (Holland’s Chinese School). Semua sekolah itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, dan lulusannya diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi seperti Mulo (setingkat SMP) yang dilanjutkan ke AMS (setingkat SMA). Di puncak sistem berada lembaga-lembaga studi lebih tinggi yang sangat berorientasi kerja. Yang terkenal di antaranya ialah sekolah teknik di Bandung (THS), sekolah kedokteran di Jakarta (STOVIA-GHS), sekolah hukum di Jakarta (RHS), dan sekolah kedokteran di Surabaya (NIAS). Pada tingkat terendah sistem itu berada sekolah-sekolah desa, yang terbagi menjadi Sekolah Dasar (tiga tahun), dan Sekolah Menengah Pertama (lima tahun). Orang kebanyakan dan, karena itu, kebanyakan Muslim santri, memasuki sekolah-sekolah pribumi ini. Tidak seperti lulusan sekolah-sekolah Belanda tersebut di atas, lulusan sekolah-sekolah pribumi ini tidak bisa melanjutkan ke tingkat pendidikan lebih tinggi. Mereka dipandang sudah bisa mencukupi kebutuhan diri sendiri di wilayah-wilayah pedesaan dan dinas-dinas non-pemerintah lainnya. (Lihat Edwin R. Embree, et. al., Island India Goes to School (Chicago: The University of Chicago Press, 1934, h. 41). Selanjutnya, menjelang akhir pemerintahan kolonial, Belanda, karena khawatir akan potensi “proletariat intelektual”, berupaya untuk tidak mendidik lebih dari yang bisa dilakukan. (Lihat Van Niel, op. cit., h. 291-292). 4 John W. Henderson, et. al., Area Handbook for Indonesia (Washington D.C.: American University, Foreign Area Studies, 1970), h. 44. D4E


F PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA G

sebagai gerakan massa pertama yang besar dan diorganisasi secara politik — dengan mudah ditafsirkan sebagai nasionalisme yang kuat. Pertentangan antara nasionalisme keislaman dan keningratan tradisional ditegaskan oleh penentangan kuat terhadap gerakan itu yang dilancarkan oleh para pejabat pemerintah dari kalangan orang-orang ningrat Indonesia. Kaum priyayi merasa bahwa gerakan nasionalis Islam menyerang privelese mereka. Penentangan itu dilakukan untuk melestarikan diri.5 Perhatian yang kian besar dari pemerintah terhadap meningkatnya fundamentalisme Islam, dan tindakan intensif dari pihak berwenang Indonesia untuk menghentikan ekspresi Islam yang secara radikal, mengkritik pemerintah, telah muncul pada tahuntahun belakangan ini. Isu-isu ini, tidaklah terlalu dramatis untuk dikatakan, kiranya bersifat sentral bagi kebangkitan politik Islam di Indonesia.

Pendidikan Modern Santri Indonesia: Menuju Islam Fundamentalis Kembali kepada yang telah dikemukakan di atas, tahun-tahun ini, bermula dari dasa warsa yang lalu, telah menjadi momen di mana Muslim Santri Indonesia memiliki sejumlah besar intelektual berpendidikan modern. Akibat dari gejala ini ialah kian fasihnya kaum Muslim mengungkapkan aspirasi-aspirasi mereka. Sebagai efek sampingnya, pendidikan telah memperbesar kepercayaan diri. Pertentangan tersembunyi antara mereka yang berorientasi Islam dan birokrasi yang didominasi kaum priyayi kini muncul di permukaan dalam bentuk oposisi politik terhadap pemerintah. Keterlibatan, yang sudah lama didambakan, para politisi yang berorientasi Islam dalam kancah politik — suatu keinginan yang 5

George Mc Turman Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1970), h. 67-68. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

senantiasa ditepis oleh elite penguasa — kini mendapati ekspresi pencapaiannya dalam suatu ideologi politik yang bahkan lebih berilham-Islam. Hal ini, bagi sebagian pengamat, adalah fungsi “fundamentalisme Islam”.6 Meski mengandung pengertian negatif, “fundamentalisme Islam” kiranya memiliki fungsi positif dalam keseluruhan proses sistem sosial. Dengan menggunakan karya Naqsyabandiyah selama masa-masa Moghul di India sebagai perbandingan, John Obert Voll berkata bahwa: ... Pola fundamentalis bertindak sebagai mekanisme pengaturan korektif. Dalam konteks perubahan dan adaptasi, fundamentalis berupaya menjaga agar pesan dasar tetap sepenuhnya berpengaruh atas umat. Jika pengaturan kondisi-kondisi lokal dan penggunaan gagasan-gagasan dan teknik-teknik baru mengancam unsur-unsur khas dan asli Islam, maka mulai terbentuklah tekanan-tekanan dari para fundamentalis. Dalam satu hal, misi fundamentalisme Islam ialah menjaga agar pengaturan perubahan tetap berada di dalam jelajah pilihan-pilihan yang jelas-jelas Islami.7

Namun, fundamentalisme merupakan salah satu dari dua sisi sebuah koin. Di satu pihak, fundamentalisme tersuntik negativisme. Inti ideologi fundamentalis adalah anti-Westernisme. Hal ini ironis, meski dapat diterangkan, sebab para pendukung fundamentalisme anti-Westernisme adalah orang-orang berpendidikan Barat. Di pihak lain, menurut Fazlur Rahman, pengetahuan fundamentalis Islam belakangan tentang Islam adalah dangkal. Ia mengatakan bahwa fundamentalisme, “pada dasarnya, merupakan fungsi orang bukan ahli, kebanyakan adalah para profesional — pengacara, 6

Istilah “Fundamentalisme Islam” di sini digunakan hanya secara tentatif. Untuk arti tepat istilah itu, lihat Karm Akhtar dan Ahmad Sakr, Islamic Fundamentalism (Cedar Rapids, Iowa: Igram Press Co., 1982). 7 John Obert Voll, Islam, Continuity, and Change in the Modern World (Boulder, Colorado: Westview Press, 1982), h. 31. D6E


F PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA G

dokter, insinyur”.8 Fazlur Rahman melihat gejala ini sebagai bisa membahayakan, sebab dapat menimbulkan pemiskinan intelektual atas Islam modern. Ia menyatakan bahwa kaum Muslim harus lebih menghargai warisan intelektual tradisional mereka. Sisi lain koin, segi lebih positif dari munculnya gejala intelektual yang berorientasi ke Islam, ialah meningkatnya kemampuan teknikal Islam. Islam Indonesia tidak perlu lagi merasa malu bila diejek sebagai “mayoritas angka, namun minoritas teknikal”, — sebagaimana halnya dengan jangka waktu lama sebelum dasa warsa-dasa warsa ini — Islam Indonesia kini telah mempunyai kian banyaknya teknokrat. Para Muslim santri berpendidikan tinggi ini aktif dalam semua segi kehidupan nasional, termasuk pemerintahan. Memang, dalam kenyataannya, kebanyakan dari mereka, mengingat Indonesia merupakan sebuah negara sedang membangun, bekerja dalam birokrasi pemerintah.

Keterlibatan Santri dalam Birokrasi Keterlibatan mereka dalam pemerintahan dan birokrasi tidak berarti bahwa mereka mencampakkan semua aspirasi politik yang lama mereka perjuangkan. Malah, sebagian dari mereka mulai melihat jalan-jalan baru untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi mereka, dan sebagian dari mereka mendapatkan keuntungan dengan “bekerja dari dalam”. Pada permulaan keterlibatan mereka dalam birokrasi dan perusahaan lain pemerintah, dampak kehadiran mereka kecil, dan terasa hanya pada tingkat perseorangan. Tahun-tahun ini, setelah sekitar dua dasa warsa terlibat dan berpartisipasi aktif, dampaknya mulai terasa pada tingkat sistemis sebagai hasil kerja suatu 8

Fazlur Rahman, “Roots of Islamic Neo Fundamentalism”, dalam Philip H. Stoddard, et. al., Change and the Muslim World (Syracuse, N.Y.: Syracuse University Press, 1981), h. 34. Lihat pula Fazlur Rahman, “Islam: Legacy and Contemporary Challenge”, dalm Cyriac K Pullapilly, Islam in the Contemporary World (Notre Dame, Indiana: Cross Roads Books, 1980), h. 415. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

sistem. Semangat para teknokrat yang berorientasi ke Islam — yang kebetulan sebagian besar memiliki latar belakang pengalaman politik yang sama melalui organisasi-organisasi kemahasiswaan — yang kebanyakan berasal dari mulai bekerja sebagai kekuatan pengikat di kalangan mereka. Sejauh menyangkut Islam, dampak sistemis peranan berkembang intelektual-intelektual (santri) ialah proses menaik dari Islamisasi lebih lanjut di negeri ini yang kini tampak sesuai dengan momentum nyatanya. Tidak diragukan bahwa “bekerja dari dalamâ€? dapat menjadi sumber kekecutan hati (disillusionment). Keterpesonaan rakyat terhadap pemerintah sudah bukan hal yang asing lagi. Namun, tidak seperti badan usaha swasta yang menghadapi keengganan para pelanggan, hampir semua pemerintah tampak tidak mampu mengoreksi diri. Aparat-aparat birokrasi yang ditempatkan oleh para pemerintah tentu terdorong untuk memelihara status quo dan menahan (sandbag) upaya-upaya pembaruan apa pun. Dan kekuasaan membuat undang-undang (legislature), tampak jelas dari penampilannya, lebih peka terhadap tekanan-tekanan keras dari kelompok-kelompok tertentu ketimbang terhadap kepedulian lebih umum dari masyarakat banyak. Dalam keadaan-keadaan itu, tidaklah mengherankan bila rakyat kian melihat ke cara-cara baru dan tidak konvensional untuk memperbarui pemerintah. Dengan adanya korupsi yang menjadi-jadi, apa yang dapat dan harus dilakukan oleh rakyat, yang menghendaki suatu pemerintah yang bersih, untuk memperbaiki situasi itu? Suatu jawaban yang memuaskan harus memiliki tiga hal: suatu pengertian yang baik tentang masalah-masalah dasar pemerintah, analisis tentang caracara utama mengatasi masalah itu, dan pemfokusan pada cara yang paling memberi harapan. Kita semua mendengar dan membaca tentang kisah-kisah menakutkan mengenai kemubaziran, korupsi, dan ketidakeďŹ sienan pemerintah-pemerintah di negara-negara berkembang. Namun, kasus Indonesia dapat dengan tepat dikatakan sebagai bersifat khusus. Hal ini sebagian karena kompleksitas luar biasa bangsa D8E


F PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA G

ini. Dengan wilayah sekitar dua juta kilometer persegi, terdiri atas 13.667 pulau dengan berbagai ukuran, bentuk dan kepadatan populasi, dan dengan penduduk sekitar 150 juta orang, Indonesia adalah (1) negara kepulauan terbesar, (2) unit politik kesepuluh terbesar di dunia, dan (3) negara kelima terpadat penduduknya. Bahasa Indonesia sangat membantu menjaga keutuhan Republik ini. Namun, dengan adanya aneka ragam kelompok etnis dan orientasi kultur lokal, Indonesia selalu menghadapi masalah-masalah nasional yang sangat kompleks. Dengan demikian, sejauh menyangkut gagasan untuk memiliki suatu pemerintah yang bersih, korupsi menjadi-jadi tampaknya bukanlah masalah pemerintah sendiri, tetapi benturan bersinambungan antar kepentingan-kepentingan khusus dari begitu banyak kelompok sosial, politik, kultural, dan keagamaan, mengingat kepentingan-kepentingan itu menembus setiap program pemerintah, militer dan sipil, dan setiap tingkat pemerintah pusat maupun lokal. Jadi jelaslah, tidak ada pendekatan-pendekatan sederhana untuk memperbarui administrasi dan menciptakan suatu pemerintah yang bersih. Tentu, bukanlah masalah mendukung atau menentang pemerintah, sebab sejumlah cukup besar campur tangan pemerintah diperlukan bagi negara sedemikian kompleks seperti Indonesia. Yang dibutuhkan, agaknya, mengidentiďŹ kasi perubahan-perubahan sosial sedemikian rupa, sehingga dapat memenuhi harapan rakyat dengan pengorbanan-pengorbanan yang wajar. Salah satu jalan yang baik ialah mengakumulasi pengalaman-pengalaman teknikal dan mengumpulkan informasi melalui aktivitas-aktivitas kerisetan. Tentu hal ini bukanlah suatu pilihan muluk-muluk, bukan pula suatu upaya yang cepat menghasilkan. Namun, dengan mempertimbangkan dimensi waktu investasi apa pun — yang selalu melibatkan prinsip penundaan pemuasan — kerja keras tampaknya perlu. Sebagai ganti mengambil jalan mudah untuk menggalang solidaritas emosional (yang sifatnya selalu memiliki orientasi negatif ), sebagian intelektual Muslim (santri) yang baru muncul tampaknya lebih tertarik pada aktivitas pemecahan masalah. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Cara lain yang mungkin dilakukan untuk menciptakan suatu pemerintahan yang bersih ialah memperkuat orientasi-orientasi etika yang berdasarkan agama. Sudah tepatlah bila dikatakan bahwa Indonesia — karena kenyataan bahwa Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia — diharapkan memanfaatkan sumber ajaran Islam untuk orientasi-orientasi etikanya. Sebagian nilai Islam malah sudah terdapat dalam ideologi nasional, khususnya Pancasila. Namun, kenyataan yang ada ialah bahwa Indonesia adalah negara Muslim yang paling sedikit terislamkan di dunia. Pernyataan yang agak kontradiktif ini tidak seluruhnya tanpa dasar. Jika penggunaan abjad tertentu dapat dijadikan isyarat maka dapat dikatakan bahwa Muslim Indonesia tidak tahu cara menulis bahasa nasional mereka dalam abjad Arab sebagaimana halnya dengan semua bangsa Islam, kecuali Turki (dikarenakan Kemalisme berlebihan) dan Bangladesh (yang memiliki abjad sendiri). Orang-orang Indonesia menggunakan hanya abjad Romawi.

Cara Baru Berpolitik: Sebuah Tuntutan Dengan demikian proses Islamisasi lebih lanjut negeri ini, sebagaimana tersebut di atas, sangat relevan dengan pembicaraan kita. Namun demikian, bukanlah tidak dapat dielakkan bahwa, bahkan bagi suatu negara Muslim seperti Indonesia, proses lanjut Islamisasi damai diterima dengan hangat. Dalam satu hal, agak disayangkan bahwa orientasi keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap pemerintah. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab Islam Indonesia, sebagaimana dikemukakan di atas, memainkan suatu peranan konsisten sebagai ideologi (rallying ideology) terhadap kolonialisme. Peranan itu menghasilkan kemerdekaan nasional. Karena kaum Muslim mengemukakan gagasan-gagasan politik yang tidak semuanya sebangun dan serupa dengan tuntutan praktis Republik ini, maka tumbuhlah prasangka antara politik yang berorientasi Islam dan pemerintah yang berorientasi nasional. D 10 E


F PERANAN ISLAM DALAM PROSES POLITIK DI INDONESIA G

Dalam meredakan prasangka yang timbul antara pemerintah dan rakyat yang berorientasi keislaman, penting kiranya bila Islam di Indonesia didefinisikan secara lebih inklusivistis. Dengan demikian, simbol-simbol Islam harus terbuka dan mampu dimengerti (shared) semua Muslim, di dalam maupun di luar pemerintah. Ini bukanlah suatu dalih untuk melakukan kompromi dan meninggalkan idealisme tinggi Islam. Tapi, masalahnya ialah bahwa harus ada suatu metode baru dakwah, yang menekankan hikmah (kebijaksanaan) dan maw‘izhah hasanah (seruan yang baik), sesuai dengan petunjuk al-Qur’an (Q 16:125), agar semua orang “mampu mendengar firman Allah,” (Q 9:6). Suatu upaya untuk mengakhiri citra eksklusivistis politik yang berorientasi Islam, menuntut sikap konsisten untuk mau mengorbankan hasil-hasil politis jangka pendek. Karena itu, upaya semacam itu harus memfokus pada proses demokratisasi sebagai mekanisme utama untuk mencapai suatu pemerintah yang bersih, terbuka, dan adil. Pada tingkat nasional, metode paling langsung adalah pembentukan suatu koalisi politik yang lebih luas — antara orang-orang yang saling punya perhatian kepada demokrasi — yang menuntut keterbukaan sikap. Tentu saja keterbukaan sikap bukanlah segala-galanya. Persoalan kuncinya ialah bagaimana menciptakan kesalinghormatan di kalangan elite bangsa, dan di kalangan seluruh rakyat, sebab demokrasi adalah mustahil tanpa hal itu. Melihat kembali pada masa lalu sejarah, gagasan semacam itu bukanlah sama sekali tidak realistis. Modernisasi Islam Indonesia, khususnya sebagaimana dikemukakan oleh Haji Agus Salim, pada dasarnya bercorak inklusivistis. Tidaklah berlebihan bila dinyatakan bahwa awal demokrasi Indonesia — meski berumur pendek — sebagian besarnya adalah kontribusi politisi yang berorientasi Islam dan sekaligus berpendidikan Barat asuhan Salim. Sebagai seorang Bapak intelektualisme Islam Indonesia, “Haji Agus Salim adalah seorang Muslim dengan simpati sosialis, seorang dengan prinsip tinggi yang tidak sudi mengorbankan keyakinan-keyakinannya D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

untuk kelayakan (expediency)â€?.9 Dia termasuk orang yang bertanggung jawab terhadap penanaman semangat demokratis dan sikap terbuka di hati kaum muda Muslim, yang kemudian tampil menganjurkan pikiran liberal dan sosialis Barat, dan mendukung kemajuan, stabilitas, dan toleransi.10 Dalam analisis terakhir, suatu cara baru berpikir tentang politiklah yang dituntut dari setiap intelektual Muslim Indonesia. Karena sumber bangsa terbatas, maka pemerintah tidak dapat berupaya memenuhi tuntutan setiap kelompok. Terlebih, sumber-sumber itu lebih daripada sekadar bersifat ďŹ nansial atau ekonomi. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam perkembangan bangsa selama empat dasa warsa ini, apa yang dapat dilakukan oleh politik dan pemerintah bersifat terbatas. Satu hal yang kita tahu pasti bahwa apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah atau militer ialah memelihara kesatuan dan keutuhan Republik. Tetapi, perkembangan nasional dalam arti terluas memerlukan lebih dari sekadar kesatuan dan keutuhan bangsa. Ia memerlukan sumber-sumber manusiawi dengan kemampuan organisasional dan manajerial, di sektor privat dan umum, yang selalu saja kurang. Karena masyarakat telah memberi pemerintah banyak tanggung jawab penting, dari menciptakan dan memelihara keamanan nasional sampai menciptakan suatu sistem keadilan, maka penting kiranya bila pemerintah melakukan dengan baik tugas-tugas yang diupayakan untuk dilaksanakannya itu. Tampilnya intelektual-intelektual Muslim (santri) dan orangorang berpendidikan lainnya akan sangat membantu pemerintah yang bermaksud baik semacam itu. [™]

9

Greta O. Wilson, Regents, Reformers, and Revolutionaries (Hawaii: The University Press of Hawaii, 1978), h. 62. 10 Herbert Feith dan Lance Castle, Indonesia Political Thinking 1945-1965 (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1970), h. 203. D 12 E


F KEPEMIMPINAN DALAM PEMODERNAN INDONESIA G

KEPEMIMPINAN DALAM PEMODERNAN INDONESIA DAN IMPLIKASI-IMPLIKASI SOSIAL KEAGAMAAN PEMBANGUNAN EKONOMI Oleh Nurcholish Madjid

Indonesia merupakan suatu negeri dengan aneka pola budaya. Pandangan relativistis dan kecenderungan sinkretis yang kuat dari penduduknya, khususnya orang-orang Jawa, menjadikan budaya Indonesia paduan dari unsur-unsur budaya yang ada — animisme, Hinduisme, Budhisme, Islam, Kristen, sampai modernisme atau Westernisme. Karena itu, sulit sekali bagi pemimpin bangsa Indonesia menggariskan suatu kebijaksanaan kultural tertentu berdasarkan suatu pola kultural tertentu yang sesuai dengan dan dapat diterima oleh seluruh rakyat. Memang, Indonesia merupakan suatu negara Muslim, yaitu sebuah negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim atau mengaku sebagai Muslim. Namun, metode penyebarannya (penetrasi damai) telah menyebabkan Islam tidak dianut secara mendalam dan hanya nominal di banyak wilayah negeri ini. Hal ini dikukuhkan oleh kenyataan bahwa Islam yang sadar diri, yang biasanya diwujudkan oleh kelompok-kelompok politik Islam, hanya terdapat pada hampir separuh penduduk yang, selama masamasa penjajahan, tersisihkan hampir dalam setiap segi kehidupan, khususnya pendidikan. Nasionalisme Indonesia yang mencoba mendapatkan dari keadaan-keadaan yang ada, atau menciptakan, sesuatu yang D1E


F NURCHOLISH MADJID G

baru yang sesuai dan dapat diterima oleh semua kelompok, sejauh ini tampaknya tak berhasil. Kultur nasional sejati bangsa ini memungkinkan seluruh orang Indonesia berkembang hanya melalui nation building, yang memakan waktu lama dan memerlukan keseriusan dan, pelatihan atas generasi baru yang memiliki pandangan yang sepenuhnya berbeda. Namun, agar bisa diterima, maka keseluruhan ďŹ lsafat haruslah keindonesiaan, sejenis versi terselubung dan tak sejati suatu ideologi yang diterima di mana-mana, meski kita tidak pernah ragu mengadopsi, dari yang lain, teknik-teknik yang bermanfaat atau sesuai. Inilah juga gejala umum sikap Indonesia terhadap kultur asing.

Latar Belakang Kebijaksanaan Pembangunan Atas dasar latar belakang budaya inilah Pancasila dirumuskan pada permulaan revolusi. Dimaksudkan sebagai sumber nilai, pijakan bersama dan dasar bagi Republik ini, Pancasila sejauh ini, tampak memuaskan dan kini, secara praktis, merupakan ideologi tunggal bangsa. Merupakan suatu pengalaman pahit bagi bangsa ini ketika Pancasila, dalam proses sejarahnya, menyimpang dari fungsi sejatinya sebagai suatu dasar berpijak dan nilai bersama ke semata-mata alat untuk manipulasi-manipulasi politik di tangan politisi-politisi tak bertanggung jawab. Hal ini khususnya terjadi pada rezim terakhir Orde Lama yang mengubah Pancasila menjadi semacam agama politik, yang hanya berperan sebagai penggerak rakyat agar mengabdi kepada ambisi politik para pemimpin. Sebagaimana Herbert Feith membagi pemimpin-pemimpin Indonesia menjadi dua tipe — penggalang solidaritas dan administrator — begitu pula Orde Lama, ia termasuk tipe penggalang solidaritas yang hanya memperhatikan bidang politik dan melecehkan bidang ekonomi. Meski terdapat kondisi-kondisi yang tampak tidak menguntungkan, toh bangsa Indonesia beruntung karena berhasil mengatasi fase D2E


F KEPEMIMPINAN DALAM PEMODERNAN INDONESIA G

pertama dan tersulit dalam nation building. Perkembangpesatan bahasa nasional, bahasa Indonesia, merupakan hal pertama yang perlu digarisbawahi, yang tanpanya Indonesia akan terpecah-pecah oleh begitu banyak kelompok etnis dan bahasa yang berbeda. Dan, yang kedua, tentu saja adalah Pancasila. Bendera, lagu kebangsaan, semboyan, dan simbol-simbol lainnya patut disebutkan; sebab, tidak seperti pada bangsa-bangsa tertentu lainnya, hal-hal ini sudah menjadi kenyataan yang mapan. Satu hal yang sangat pahit untuk disadari ialah bahwa Indonesia, secara potensial, merupakan bangsa “ketiga terkaya di dunia”, namun tingkat kehidupannya masih termasuk yang terendah. Berdasarkan latar belakang inilah, pemerintah Orde Baru melancarkan kebijaksanaan pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan atau modernisasi itu ialah upaya sepenuhnya untuk menciptakan suatu sistem sosial yang membantu inovasi bersinambungan tanpa merusak keseluruhan masyarakat, membangun struktur-struktur politik berdasarkan berbagai pendekatan guna menjamin fleksibilitas, dan memberi rakyat kecakapan teknikal agar tetap seirama dengan derap kemajuan teknologi dunia. Rakyat memandang hal ini sebagai kebijaksanaan paling serius dari bangsa ini untuk mewujudkan tujuan kemerdekan. Dan hal paling utama ialah pembangunan ekonomi, yang dimaksudkan untuk menciptakan sarana pewujud cita-cita bangsa. Namun, tidak selalu mudah bagi masyarakat untuk menyadari bahwa suatu bangsa baru dan sedang membangun harus melalui suatu masa yang panjang dengan tahap-tahap perencanaan, pembangunan dan penataan kembali masyarakat untuk mencapai suatu garis start (starting line). Negara muda yang baru merdeka haruslah melalui suatu fase tak terhindarkan yang penuh dengan kesulitan. Pada awalnya, ia tidak memiliki infrastruktur yang dimiliki oleh negara-negara maju untuk masa sangat panjang. Maka “memacu modernisasi dalam masa dua puluh tahun” jadi slogan para pemimpin politik. Presiden Soeharto, dalam pidatonya pada 16 Agustus 1971, menekankan bahwa landasan bagi D3E


F NURCHOLISH MADJID G

masyarakat adil dan makmur tidak akan benar-benar terumuskan sampai dua puluh lima tahun mendatang, yaitu setelah kerja keras bersinambungan membangun segala bidang. Dikatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bersikap merupakan halangan paling besar bagi pembangunan. Karena itu, salah satu tugas tersulit dalam politik modernisasi ialah mengajak masyarakat agar menghadapi kenyataan-kenyataan tidak populer. Mereka demikian tak sabar, mereka menginginkan buah-buah kemerdekaan sekarang. Namun, di lain pihak, mereka juga demikian khawatir akan efek modernisasi yang kiranya akan mengorbankan kepentingan mereka, baik material maupun non-material. Sekarang, pemerintah telah yakin untuk lebih baik bergerak ke arah kemajuan ekonomi dengan berlandaskan garis-garis yang luwes, bukannya doktriner. Karena, salah satu dari begitu banyak kesimpulan yang telah dicapai bangsa kita dalam seperempat abad kemerdekaan ialah bahwa slogan-slogan kosong bisa memberikan kepuasan emosional, namun hanya menimbulkan kemiskinan dan kebodohan. Siapa pun yang mempelajari pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato para pemimpin kiwari Indonesia akan mengetahui bahwa mereka selalu menekankan agar kita melepaskan diri dari orientasi ideologi berlebihan dan menggantinya dengan pendekatan pragmatis terhadap masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini. Setelah suatu politisasi yang makan waktu panjang oleh Orde Lama atas segala segi kehidupan, pada permulaannya masalah perubahan mental ini tampaknya tidak teratasi. Pembarun politik juga selalu ditekankan. Dan sekarang hal itu menjadi salah satu program politik terpenting Golkar selama pemilu. Kampanye pembaruan politik tampaknya dipilih sekadar karena ketiadaan sesuatu yang segar untuk dikatakan. Namun, tidak demikian halnya. Kompartementalisasi politik perlu dicegah, sebab hal ini bisa merongrong stabilitas politik yang sangat diperlukan demi tetap berlangsungnya program besar modernisasi, sekaligus untuk mendidik masyarakat menghadapi masalah nyata keseharian mereka, dan untuk mencegah mereka bersembunyi di balik slogan-slogan. D4E


F KEPEMIMPINAN DALAM PEMODERNAN INDONESIA G

Modernisasi dan Permasalahan Keagamaan Dengan demikian, bermulalah upaya modernisasi dan pembangunan ekonomi. Dari segi politik, diperlukan suatu pemerintah yang kuat dan stabil, sekaligus terbuka dan tanggap. Perpecahan keagamaan, akibat fanatisme sempit, sering dilukiskan sebagai bahaya sosial paling besar dan eksplosif bagi Indonesia yang merdeka. Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan penilaian ini, sebab fakta-fakta sejarah tidak mengukuhkannya. Ada keluhan dari sebagian kelompok Muslim bahwa masyarakat keagamaan tertentu, dalam hal ini Kristen dan Katolik, memperoleh hak-hak istimewa atau kekuasaan tak semestinya di negara ini. Pernyataan semacam itu tidak lagi absah di Indonesia yang merdeka ini. Kalaupun absah, maka hal itu semata-mata dikarenakan oleh adanya warisan kolonial. Namun, kaum Muslim tidak beruntung selama masa penjajahan, bukan saja karena pemerintah Belanda sengaja menjauhkan mereka dari mendekati fasilitas pendidikan — yang merupakan alasan utama — tetapi juga karena pemimpinpemimpin mereka lebih menyukai isolasionisme. Namun, adalah mengherankan bila kini kita melihat keadaan tidak adil ini masih berlangsung di Indonesia yang merdeka, khususnya di zaman modern ini. Sebab, sekarang hal itu terus-menerus sedang dikikis oleh kemunculan partisipan-partisipan dan intelektual-intelektual Muslim yang memang diharapkan. Namun, jangan sampai ada ilusi tentang kenyataan bahwa, bahkan dewasa ini di Indonesia, orientasi dan emosi keagamaan kerap menampilkan kekacauan yang mengganggu, suatu arus bawah ketidakpuasan dan suatu bahaya potensial. Soal ini harus menjadi perhatian setiap pemimpin yang bertanggung jawab. Dalam proses modernisasi, masalah yang berasal dari agama ini bisa saja terasa lagi, kadang-kadang dengan intensitas yang lebih tinggi. Hal ini karena — sebagaimana diterangkan oleh RA Scalapino — modernisasi, dalam tahap awalnya, berarti pembaratan. Segala yang baru, dalam hal ini, juga bersifat Barat. Kaum D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Muslim memiliki perasan khusus tentang hal ini, sebagian dikarenakan alasan-alasan keagamaan (Westernisme mengisyaratkan kekristenan), dan sebagian dikarenakan pengalaman panjang dan pahit mereka dengan Barat yang kolonialis. Terlebih, dikarenakan kekurangan pengalaman administratif dan perlengkapan pendidikan modern, kaum Muslim menjadi enggan ikut serta dalam modernisasi sepenuhnya, sehingga bersikap lembam dalam segala bentuk perubahan sosial radikal, dan memiliki kecenderungan kuat untuk berlindung di balik doktrin keagamaan, dalam arti sempit. Dalam konteks politik, fanatisme keagamaan tidak digunakan semata-mata untuk pelestarian dan identiďŹ kasi diri, namun kadang-kadang juga sebagai imbauan yang menarik. Inilah titik yang di sini toleransi harus benar-benar dikembangkan. Kepemimpinan politik yang bijaksana dan bertanggung jawab harus ditampilkan oleh pemerintah. Meski harus ada disiplin dalam masyarakat, yang di dalamnya semua orang tidak sepenuhnya bebas mengikuti kecenderungan-kecenderungan mereka, tindakan apa pun untuk mempertahankannya yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, tidak akan lama bertahan. Hendaknya jangan sampai ada kesalahpahaman berkenaan dengan mainan ini. Ajaran keagamaan semacam itulah yang merupakan sumber perintang masyarakat ke arah pembangunan. Konservatisme, dikarenakan orientasi tradisionalistisnya, memainkan peranan yang lebih besar dalam menciptakan halangan-halangan bagi pembangunan. Dan terlebih, saya percaya, adalah kejahilan masyarakat. Betapapun, patut diingat di sini, bahwa implikasi keagamaan pembangunan keekonomian hanya merupakan sebagian dari konteks yang lebih besar: implikasi sosial. “Sosialâ€? di sini — sebagaimana diterangkan oleh Eugene Staley — berarti semua aspek hubungan antarmanusia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa modernisasi berarti pengubahan hubungan manusia dalam masyarakat. Hal itu merupakan suatu keharusan bagi perubahan-perubahan sosial mendalam sebagai bagian dari modernisasi ekonomi. Namun D6E


F KEPEMIMPINAN DALAM PEMODERNAN INDONESIA G

masalah demokratisnya ialah bagaimana mendapatkan sarana untuk merangsang dan mengarahkan perubahan-perubahan itu tanpa mengorbankan martabat manusia — hal yang menjadikan pembangunan menjadi sesuatu yang baik.

Tolok Ukur Pembangunan yang Berhasil Karena itu, salah satu hal yang jelas ialah bahwa pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah kita tidak selamanya dapat disodorkan dalam kerangka ekonomi saja. Menurut Eugene Staley, tolok ukur pembangunan yang berhasil di negara-negara yang sedang membangun, seperti Indonesia, ialah: 1. Tingkat produksi dan pendapatan yang lebih tinggi dan merata. 2. Kemajuan dalam pemerintahan sendiri yang demokratis, mantap, dan sekaligus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kehendak-kehendak rakyat. 3. Pertumbuhan hubungan sosial demokratis, termasuk kebebasan yang meluas, kesempatan-kesempatan untuk pengembangan diri, dan penghormatan kepada kepribadian individu. 4. Tidak mudah terkena komunisme dan totaliterianisme lainnya, karena alasan-alasan tersebut di atas. Dengan penilaian dasar ini sebagai latar belakang, maka para pemimpin pemerintah kiwari mulai membahas sisi manusiawi pembangunan. Pendekatan terhadap masalah-masalah pembangunan semata-mata dari sudut pandang ekonomi tampaknya terlalu tidak memedulikan efeknya atas masyarakat, aspirasi-aspirasi, rasa dan nilai-nilai mereka. Dan, kian diperhatikannya aspek manusiawi dan sosial pembangunan bersumber pada norma dasar yang telah digariskan sebagai tujuan bangsa: menciptakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. [™]

D7E


F CITA-CITA KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM G

CITA-CITA KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM1 Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Semantara barangkali kita tidak bisa berbicara tentang suatu sistem ekonomi dalam Islam yang sebanding, dari segi penjabaran intelektualnya, dengan berbagai sistem ekonomi yang ada, namun jelas mustahil bahwa Islam, dalam hal ini al-Qur’an, tidak membicarakan sesuatu berkenaan dengan ekonomi, mengingat pentingnya persoalan itu bagi kehidupan manusia. Justru, suatu cita-cita di bidang ekonomi adalah salah satu yang amat jelas dalam Kitab Suci. Cita-cita itu, menurut ungkapan jargon modern, boleh disebut sebagai suatu cita-cita tentang Keadilan Sosial.

1

Panitia seminar, yakni pengurus KAHMI Jaya, menginginkan adanya suatu pembahasan tentang koperasi dari sudat pandang Islam. Keinginan itu, saya rasa, absah, mengingat bahwa bangsa Indonesia, yaitu komponen manusia yang diharapkan menjalankan ekonomi koperasi itu, sebagian besar adalah pemeluk Islam. Jelas sekali bahwa suatu aspek pemahaman akan agama Islam dapat mempunyai dampak, baik positif maupun negatif, terhadap sikap kaum Muslimin kepada koperasi. Dan karena luasnya jangkauan ajaran Islam yang potensial bisa dihubungkan dengan kegiatan koperasi, maka yang bisa kita bicarakan di sini hanyalah suatu aspek tertentu saja dari ajaran itu. Yang dilakukan di sini hanyalah percobaan menyajikan pokok-pokok permasalahan sebagai bahan diskusi. Suatu tinjauan “teologis� tidak bisa tidak akan hanya bersifat global dan normatif. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Adanya cita-cita itu dapat kita rasakan denyut nadinya yang kuat dalam tema-tema yang menandai surat-surat atau ayat-ayat yang semuanya termasuk yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah. Keprihatinan Nabi mengenai masyarakat Makkah, sebagai terpahami dari tema-tema tersebut, ialah politeismenya dan kezaliman (ketidakadilan) sistem ekonominya. Politeisme dipandang sebagai dosa yang tak terampuni (Q 4:48 dan 116), karena ia merupakan kejahatan terbesar manusia kepada dirinya sendiri (Q 31:13).

Keadilan Sosial dalam Islam Tingkah laku ekonomi yang tidak menunjang, apalagi yang menghalangi, terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras, bahkan agaknya tidak ada kutukan Kitab Suci yang lebih keras daripada kutukan kepada pelaku ekonomi yang tidak adil. Selain dapat dirasakan dalam, antara lain, ekspresi surat al-TakÄ tsur dan al-Humazah suatu kutukan kepada sikap ekonomi yang tidak produktif dan egois dengan jelas sekali dinyatakan dalam surat al-Tawbah/9: 34-35: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menggunakan di jalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih. Yaitu suatu ketika harta (emas dan perak) itu dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan kepada mereka): ‘Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan diri kamu sendiri (di dunia), maka sekarang rasakanlah (akibat) harta yang dulu kamu tumpuk itu.’â€?

D2E


F CITA-CITA KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM G

Firman itu dikutip karena ia, dengan secara dramatis, melukiskan tema anti ketidakadilan ekonomi yang ada dalam Islam. Semangat ini sebetulnya berjalan sejajar dan konsisten dengan semangat yang lebih umum, yaitu keadilan berdasarkan persamaan manusia (egalitarianisme). Bahkan dalam agama-agama monoteis, egalitarianisme itu, dibanding dengan agama-agama lain, bersifat radikal. Dampak semangat itu tidak hanya terasa dalam bidang yang menjadi konsekuensi langsungnya, yaitu ekonomi, tapi juga di bidang budaya, umumnya, dan seni, khususnya. Islam, demikian pula agama Yahudi dan Kristen Klasik, tapi juga Zoroastrianisme (Majusi, khususnya Mazdaisme), dikenal dengan sikapnya yang anti gambar (ikonoklasme), terutama anti gambar representasional yang bersifat simbolis dan emblematis, apalagi yang magis (yaitu setiap gambar yang mengungkapkan suatu mitologi kepada alam). Salah satu ide dasar sikap itu ialah bahwa magisme menghalangi manusia dari mencapai keadilan berdasarkan persamaan dan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terawasi (terkontrol). Kita mengetahui bahwa penyelesaian yang diberikan oleh peradaban Islam kepada semangat ikonoklastis ialah pengembangan seni kaligraďŹ dan arabesk. KaligraďŹ mengekspresikan paham ketuhanan yang abstrak (dalam arti, Tuhan yang tidak bisa dilukiskan), dengan menekankan pernyataan diri Tuhan melalui wahyu. Maka, kaligraďŹ , kebanyakan, dicurahkan untuk mengekspresikan kekuatan wahyu itu. Sedangkan arabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam, dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan, daundaunan, dan poligon-poligon. Tapi ada titik rawan (crucial) di sini. Yaitu, bahwa seni abstrak justru berkembang dalam kalangan penduduk kota (urban), karena lingkungan hidup mereka yang lebih bebas dari mitos alam (tidak seperti para petani). Suatu pandangan sosiologis bahwa Islam adalah gejala kota, tidaklah terlalu meleset, yang juga bisa dilihat dari sudut gaya seninya. Namun seni, tentu saja, hanyalah salah satu ekspresi dari keseluruhan semangat Islam. Dan semangat itu D3E


F NURCHOLISH MADJID G

juga diekspresikan dalam bidang lain. Di bidang ekonomi, ekspresi Islam sebagai gejala kota ialah merkantilisme, semangat dagang. Ini kemudian ditunjang oleh posisi geografis negeri-negeri Timur Tengah dan kondisinya. (Dan Makkah adalah “miniatur” posisi dan kondisi itu, yang di zaman Nabi merupakan sebuah kota dagang yang amat makmur).

Zakat dan Derma: Usaha Pemarataan Kekayaan Justru merkantilisme Islam itu ditopang oleh pahamnya tentang persamaan manusia juga, sebab, dalam salah satu penjabarannya, egalitarianisme menampilkan diri dalam bentuk tekanan kepada persamaan kesempatan, selain persamaan hak dan kewajiban. Dan persamaan kesempatan itu, pada urutannya, dapat menimbulkan ketidaksamaan hasil, disebabkan bervariasinya kemampuan manusia, baik kemampuan fisik maupun mental. Variasi kemampuan itu tidak bisa tidak mengakibatkan variasi dalam perolehan usaha, yaitu tinggi-rendah dalam tingkat ekonomi dan kemakmuran yang diakui oleh Kitab Suci sendiri (lihat, antara lain, Q 16:71). Itulah sebabnya, Islam agaknya tidak bisa mendukung cita-cita persamaan ekonomi komunis seperti yang terungkap dalam slogan “sama rata sama rasa”. Mungkin Islam bisa mendukung slogan “Dan setiap orang diminta sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang diberikan sesuai dengan kebutuhannya”, jika hal itu berarti bahwa setiap orang harus bekerja secara optimal menurut kemampuannya, dan untuk setiap orang anggota masyarakat harus ada peraturan sosial-ekonomis yang bisa menjamin bahwa ia akan hidup dengan semua kebutuhan dasarnya terpenuhi. Dalam hukum fiqih, cita-cita ini dijabarkan menjadi ketentuan tentang halal dan haram dalam perolehan ekonomi (tidak boleh ada penindasan oleh manusia atas manusia — Q 2:279; dan tidak boleh ada pembenaran pada “struktur atas”, khususnya sistem pemerintahan dan perundangan, terhadap praktik-praktik penindasan — Q 2:188). KemuD4E


F CITA-CITA KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM G

dian dilembagakan ketentuan kewajiban zakat, yang harus ditambah dengan anjuran kuat sekali untuk berderma. Penggunaan harta secara demikian selalu dilukiskan sebagai penggunaan “di jalan Tuhan”, karena memang mendukung cita-cita Kenabian seperti terdapat dalam Kitab Suci. Karena zakat dan derma itu hanya sah bila harta kita halal, maka zakat dan derma itu boleh dikatakan sebagai finishing touch usaha pemerataan. [ ]

D5E


F PROSPEK SOSIALISME-RELIGIUS DI INDONESIA G

PROSPEK SOSIALISME-RELIGIUS DI INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Sosialisme religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialismereligius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. H.O.S. Cokroaminoto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah buku pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai “Islam Kiri”, atau “Islam Sosialis”. Tetapi, istilah “Sosialisme Religius” bukanlah monopoli golongan atau tokoh khususnya Islam saja. Bung Karno sendiri tidak sekali-dua kali memberi penegasan bahwa masyarakat yang dicita-citakannya adalah suatu masyarakat sosialis-religius. Sebab, untuk bangsa Indonesia, dasar Pancasila merupakan faktor pemberi warna dan corak utama kepada setiap gagasan politik atau sosial D1E


F NURCHOLISH MADJID G

yang tumbuh di atas buminya. Dan ide sosialisme religius itu memperoleh artikulasinya yang penuh melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah Ruslan Abdul Gani. Di luar negeri, ide sosialisme-religius juga bukan suatu barang aneh. Hampir semua negeri Islam, terutama yang biasa digolongkan sebagai radikal seperti Aljazair, Lybia, Mesir, Syiria, Irak, dan lainlain, menganut sistem sosialisme Arab, kadang-kadang juga dinamakan sosialisme Islam. Dan Pakistan, yang memang memiliki Islam sebagai raison d’etre-nya, menjadikan sosialisme Islam sebagai suatu pilihan sistem kemasyarakatannya, sekalipun istilah itu memperoleh penonjolan hanya pada masa kuasanya Ali Bhuto. Adalah suatu hal yang cukup menarik bahwa di dunia Barat pun tumbuh subur pikiran sosialis-religius. Misalnya, di Jerman Barat terdapat partai Uni Sosial Kristen (CSU), kawan berkoalisi Uni Demokrat Kristen (CDU), yang punya cita-cita melaksanakan masyarakat berkeadilan sosial dengan dijiwai ajaran-ajaran Kristen, khususnya Katolik. Bahkan partai SPD (Sosial Demokrat Jerman) yang “sekular” itu pun telah “merevisi” Marxismenya sehingga tidak lagi bersifat doktriner dan kaku, dengan jalan memasukkan unsur keagamaan ke dalam sistem ideologinya. Kita ketahui, berkat revisionisme Willy Eichler ini, SPD mampu memperluas basis massanya sehingga berhasil memenangkan beberapa kali pemilu di Jerman dan mejadikannya pemegang pemerintahan (bersama dengan Partai Demokrat Bebas—FDP). Segi menarik dari apa yang terdapat di Barat itu ialah selamanya sosialisme, dengan sendirinya, dianggap alternatif terhadap kapitalisme, khususnya kapitalisme modern. Padahal, suatu tesis oleh Weber, yang sampai saat kini belum sepenuhnya terbantah, mengatakan bahwa dorongan pertama tumbuhnya kapitalisme modern itu adalah etika Kristen Protestan, khususnya mazhab Calvin. Kenyataan itu menunjukkan bahwa tampaknya pikiranpikiran yang ada di balik istilah-istilah tersebut, baik sosialisme maupun religiusitas, adalah cukup fluid atau “cair”, sehingga mudah D2E


F PROSPEK SOSIALISME-RELIGIUS DI INDONESIA G

memperoleh bentuk sesuai dengan keinginan si manusia pelaku pikiran-pikiran itu sendiri. Bertitik tolak dari latar belakang pengetahuan sekadarnya itu, kita hendak mencoba berbicara dan mendiskusikan prospek sosialisme religius di Indonesia.

Prospek Sosialisme Pertanyaan: mengapa sosialisme, dalam konteks Indonesia, mungkin tidak perlu lagi diajukan? Sebab sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan sosial itulah, jika ditilik dari susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara. Dalam konteks dunia (mondial, global), pertanyaan di atas juga dirasa semakin tidak terlalu penting. Sebab, meskipun menggunakan istilah-istilah yang berbeda-beda, umat manusia tampaknya menunjukkan kecenderungan yang bertambah kuat untuk menemukan jalan keluar, atau alternatif, terhadap jalan buntu kapitalisme yang kini, sebagai sistem kemasyarakatan, sedang mendominasi dunia. Jika tak secara langsung menggunakan istilah sosialisme, kecenderungan itu dapat ditemukan pada semakin gencarnya kampanye penyelenggaraan kesejahteraan sosial (social welfare). Dan akhir-akhir ini pemikiran yang semakin serius memperoleh pernyataannya dalam ide-ide “zero growth movement� dan tekanan pada segi-segi nilai kehidupan (quality of life), sebagaimana diartikulasikan oleh “Club of Rome�, misalnya. Malahan, seakan terdengar sebagai suatu keanehan, negerinegeri Barat yang lazimnya dianggap sebagai bastion kapitalisme (Eropa Barat), saat ini justru memperlihatkan gejala semakin tegas memilih politik dan pemerintahan yang lebih sosialistis. Pemerintahan oleh SPD + FDP di Jerman Barat, oleh para Partai Buruh di Negeri Belanda, oleh partai-partai Sosial Demokrat di negeriD3E


F NURCHOLISH MADJID G

negeri Skandinavia, dan lain-lain, merupakan bukti nyata untuk gejala tersebut. Dan jika pemerataan pendapatan, jaminan sosial serta kesempatan kerja merupakan indikasi-indikasi mencolok bagi adanya sosialisme, maka negeri-negeri Barat itu justru berada dalam kedudukan lebih maju daripada kebanyakan negara (berkembang) yang mengaku menganut paham sosialisme atau prinsip keadilan sosial. Jika toh negeri-negeri Barat itu sampai saat ini masih harus disebut negeri-negeri kapitalis, hal itu karena adanya dikotomi Timur-Barat (Amerika/Eropa Barat-Uni Sovyet/Eropa Timur/ RRC), selain karena sifat-sifat dasar yang melekat erat pada sistem masyarakat mereka, seperti individualisme, laissezfaire, dan lainlain. Juga karena pola hubungan yang mereka bentuk antarmereka dan negara-negara berkembang, (ingat dialog Utara-Selatan, misalnya). Walaupun demikian, di luar negeri-negeri komunis, beberapa negeri Eropa itu, khususnya negeri-negeri Skandinavia, toh tetap merupakan contoh yang amat baik bagi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan sosial secara demokratis dan damai.

Mengapa Religius? Barangkali yang lebih serius ialah persoalan: mengapa religius? Mungkin saja hal itu semata-mata karena pertimbangan pragmatis. Misalnya, karena bangsa Indonesia adalah bangsa religius (seperti sering diklisekan orang), atau karena pengalaman traumatis kita tentang PKI (mungkin juga PSI), kemudian kita hendak memagari dan memberi batas pada arus yang bisa menyimpangkan kita dari garis kesepakatan nasional (sebutlah: Orde Baru, Pancasila, dan lain-lain). Tetapi, digunakannya predikat religius dapat dicari dasar pembenarannya yang lebih prinsipal. Misalnya, karena religius akan memberi dimensi yang lebih mendalam kepada cita-cita sosialisme. Bung Karno selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah “hogereoptrekking� dari “Declaration of Independence�-nya Thomas D4E


F PROSPEK SOSIALISME-RELIGIUS DI INDONESIA G

Jefferson dan “Manifesto Komunis”-nya Marx dan Engels. Terhadap yang pertama, Pancasila mempunyai kelebihan sosialisme, dan terhadap yang kedua, ketuhanan Yang Mahaesa. Dimensi lebih mendalam dari sosialisme religius ialah dikukuhkannya dasar moral cita-cita tersebut menjadi tidak hanya karena dorongan hendak berkehidupan yang lebih bahagia di dunia saja, tetapi juga dalam kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Sosialisme menjadi tidak hanya merupakan komitmen kemanusiaan, tetapi juga ketuhanan. Bung Hatta, dalam menerangkan bentuk kesalinghubungan antarsila dalam Pancasila, senantiasa menegaskan bahwa sila ketuhanan merupakan sila yang menyinari sila-sila lainnya, merupakan dasar moral yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kenegaraan dan kemasyarakatan kita. Karena dasar moral yang kuat itu, sosialisme kita diharapkan tidak mudah terjerumus ke dalam lembah metode kerja “tujuan menghalalkan cara” sebagaimana diderita oleh gerakan-gerakan sosialis atau komunis radikal. Bagaimanapun, mungkin sulit diingkari bahwa gerakan komunis dan sosialis yang ada di dunia, semenjak abad yang lalu, khususnya yang memperoleh kejelasan filsafat dan rumusan oleh Marx, kemudian Lenin, Mao, dan lainlain, merupakan gerakan kemanusiaan yang paling serius, sungguhsungguh, dan spektakuler yang pernah dialami oleh sejarah umat manusia. Tidak pernah sebelumnya sejarah menyaksikan sekelompok orang sedemikian sungguh-sungguh dan ambisius dalam perjuangan melaksanakan cita-cita kemanusiaan dan keadilan seperti golongangolongan komunis dan sosialis, serta tingkat sofistikasi, baik segi ajaran maupun metode dan pengorganisasian yang demikian tingginya. Tetapi, sungguh suatu ironi, umat manusia dan sejarah juga rasanya belum pernah menyaksikan tindakan perkosaan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan spektakuler yang dilakukan oleh orang-orang komunis, khususnya kaum Bolsyewis di Rusia di bawah pimpinan Stalin. Segi ironis yang dimaksud ialah, bahwa pelaksanaan suatu cita-cita kemanusiaan yang paling tulus D5E


F NURCHOLISH MADJID G

dan spektakuler telah terjadi dengan menggunakan metode anti kemanusian yang paling rapi dan spektakuler pula. Keadaan yang mencolok, paradoksal, malah kontradiktif, itulah yang menyebabkan Albert Camus, seorang filsuf sosialiskomunis muda asal Perancis/Aljazair yang amat fanatik, akhirnya, mengalami situasi tak mengerti, kemudian putus asa. Camus-lah yang kemudian mengajarkan, sebagai hasil penyimpulannya dari ironi-ironi yang dialami atau disaksikan, bahwa hidup ini adalah “absurd”, tak bisa dimengerti, malah tak berguna: hidup dan mati sama saja, dan tak ada faedahnya memikirkan persoalan-persoalan hidup ini. Baginya, sia-sia memikirkan masa lampau, dan muspra pula merenungkan masa depan. Yang penting ialah kini dan di sini. (All that was is no more, and all that will be is not yet indeed, the cull justifies the means!). Mengapa gerakan kemanusiaan komunis-sosialis sampai terperosok ke dalam “killingground”-nya metode yang meniadakan seluruh ciri dan watak kemanusiaan filsafat ajaran mereka itu? Kiranya mudah ditemukan sebabnya, yaitu, karena mereka menganut filsafat hidup dan pandangan dunia (kosmologi) yang mengingkari adanya alam bukan-materi (alam gaib), lebih-lebih mengingkari adanya Tuhan. Menurut Huston Smith, pengingkaran adanya alam gaib, khususnya Tuhan, adalah permulaan meluncurnya seseorang atau masyarakat ke amoralisme atau immoralisme. Sebab, kembali kepada Bung Hatta, hanya kepercayaan kepada Tuhan sajalah yang akan memberi kedalaman rasa tanggung jawab dan moralitas kepada tindak-tanduk manusia di dunia ini. Dengan adanya kepercayaan itu, seorang manusia bertindak tidak sematamata karena perhitungan hasil dan akibatnya di dunia ini saja, tetapi, lebih penting lagi, di alam kehidupan yang lebih kekal kelak. Dasar tanggung jawab yang mendalam itu akan merupakan jaminan yang jauh lebih baik bagi kesejatian pelaksanaan suatu cita-cita, khususnya cita-cita kemanusiaan seperti sosialisme atau masyarakat berkeadilan sosial. D6E


F PROSPEK SOSIALISME-RELIGIUS DI INDONESIA G

Keharusan Sosialisme di Indonesia Maka dari itu, tidak dapat dihindari adanya keharusan bagi pelaksanaan sosialisme di Indonesia untuk mencari sumber-sumber motivasi dan dasar-dasar justifikasi yang ada dalam agama, dan menjadikan kegiatan pelaksanaannya sebagai suatu investasi untuk akhirat. Sumber-sumber itu didapatkan dalam konsep-konsep agama mengenai alam (world outlook, weltanschauung, kosmologi), mengenai manusia (human outlook), dan mengenai benda-benda ekonomi. Sebagai suatu ancer-ancer (tentative) dikemukakan prinsip-prinsip dalam agama Islam (agama bagian terbesar rakyat Indonesia) yang secara langsung ada kaitannya dengan jiwa dan semangat sosialisme: 1. Seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhanlah pemilik mutlak segala yang ada. 2. Benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (kekayaan sebagai amanat). 3. Penerima amanat harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan “kemauan” Sang Pemberi Amanat (Tuhan), yaitu hendaknya “diinfakkan” menurut “jalan Allah”. 4. Kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanat Allah itu (yaitu, mengumpulkan kekayaan) haruslah didapatkan dengan cara yang bersih dan jujur (halal). 5. Harta yang halal itu setiap tahun dibersihkan dengan zakat. 6. Penerima amanat harta tidak berhak menggunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum (tidak kikir dan juga tidak boros, melainkan berada di antara keduanya). 7. Orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta orangorang kaya. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

8. Dalam keadaan tertentu, kaum miskin berhak “merebut” hak mereka itu dari orang-orang kaya, jika pihak kedua ingkar. 9. Kejahatan tertinggi terhadap kemanusiaan ialah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberi fungsi sosial. 10. Cara memperoleh kekayaan yang paling jahat ialah “riba” atau “exploitation de l’homme par l’homme”. 11. Manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum menyosialisasikan harta yang dicintainya. 12. Dan lain-lain. Sudah tentu prinsip-prinsip tersebut tidak selamanya memperoleh pelaksanaan secara harfiah, dan memang tidak harus demikian. Tetapi jelas, prinsip-prinsip tersebut terhujam dalam sekali pada agama Islam, termuat dengan tegas dalam al-Qur’an. Dan dapat dipastikan bahwa agama-agama yang lain juga memuat semangat yang sama.

Sejarah dan Pengalaman Dimensi waktu dari amalan dan kegiatan manusia mengharuskan kita melihat dan mempelajari perjalanan sejarah dan pengalaman orang lain. Maka tidak mungkin bagi kita, rakyat Indonesia, melaksanakan cita-cita keadilan sosial secara isolatif, terlepas dari konteks global dan universalnya. Telah disebut-sebut, komunisme merupakan gerakan mewujudkan keadilan sosial yang memperoleh kritik prinsipal dari sejarah, melalui para pemikir dan ahli filsafat. Demikian pula sosialisme di Barat yang tidak mampu secara fundamental menghilangkan ciri-ciri kapitalistis masyarakat di sana. Kini timbul banyak gerakan di dunia, lokal, nasional, dan internasional, yang hendak mencoba menawarkan pikiran-pikiran yang lebih baik bagi pelaksanaan cita-cita kamanusiaan itu. Untuk sekadar contoh, di sini akan dikemukakan pokok-pokok D8E


F PROSPEK SOSIALISME-RELIGIUS DI INDONESIA G

pikiran yang relatif paling mutakhir tentang masyarakat ideal yang dikehendaki. Contoh ini ialah sebagaimana termuat dalam buku Moving Toward a New Society, oleh Susanne Gowan dan kawan-kawan dari organisasi Movement for a New Society (MTNS), Philadelphia, USA. Bagi mereka, ciri-ciri masyarakat sehat ialah: 1. Physical Security. 2. Equality. 3. Non-exploitation. 4. Work. 5. Democracy. 6. Wholeness. 7. Community. 8. Freedom. 9. Conflict. 10. Ecological Harmony. 11. World Community. Walaupun sesungguhnya setiap gerakan sosialis mempunyai dimensi mondial atau universal, namun yang telah terjadi dalam kenyataan ialah usaha mewujudkan sosialisme itu dalam satu negara (socialism in one country — Lenin). Bahkan dalam dunia komunis itu — yang notabene adalah yang paling international minded — sekarang justru menggejala dengan hebat tumbuhnya politik komunis nasional, seperti Yugoslavia (pelopornya) dan Vietnam. Mengenai Vietnam ini, ada pula yang menggolongkannya sebagai bentuk komunisme maju atau “advanced communism/ socialism”. Oleh karena itu, selalu ada kemungkinan bagi bangsa Indonesia untuk menemukan dan menempuh jalan sendiri ke arah terwujudnya keadilan sosial yang berciri khas Indonesia, sehingga karena itu paling cocok dan efektif untuk konteks Indonesia. Memikirkan dan menemukan segi-segi praktis pelaksanaan suatu gagasan atau ide sering tidak segampang memahami prinsipprinsip ide tersebut. Sebab, hal itu tidak saja menyangkut persoalan D9E


F NURCHOLISH MADJID G

komitmen dan tekad, tetapi juga mengait segi ketelitian, keahlian dan ketekunan. Inilah tantangan kita semua! [™]

D 10 E


F KEPRIHATINAN G

KEPRIHATINAN Suatu Jalan Menuju Keadilan Sosial Oleh Nurcholish Madjid

Tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat, kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita itu pada kehidupan bernegara kita. Ia merupakan sumber tujuan sebenarnya Republik yang merdeka ini, dan merupakan sumber semangat bagi mereka yang hendak berdarma kepada rakyat. Sebagai cita-cita resmi yang terkandung dalam konstitusi, maka yang pertama kali berkewajiban mengembangkannya ialah mereka yang memperoleh kepercayaan rakyat untuk mengemudikan kapal Republik, yaitu Pemerintah beserta semua unsurnya. Maka wajar dan patutlah bila kita berharap, karena Kepala Negara sering mengingatkan kita, rakyat Indonesia, akan nilai mulia itu. Umpamanya, dapat kita sebutkan bahwa Kepala Negara terakhir kali mengemukakan hal itu pada kesempatan memperingati Nuzulul Qur’an, dan juga pada pidato menyambut Hari Raya Lebaran.

Value Judgement Penggunaan Kekayaan Setelah kita semua menyakini keadilan sosial sebagai nilai dan citacita, maka tinggallah memikirkan bagaimana melaksanakannya. Dan karena cita-cita itu tidak merupakan monopoli kita sendiri, bangsa Indonesia, melainkan akhir-akhir ini juga merupakan bahan pembahasan yang terhormat di kalangan bangsa-bangsa di D1E


F NURCHOLISH MADJID G

dunia, maka banyaklah sekarang buku dan karangan dibuat orang yang mencoba menjelaskan cara-cara mewujudkan keadilan sosial itu. Tetapi, George Bernarnd Shaw menasihatkan agar kita tidak membaca sebaris pun buku-buku dan karangan-karangan itu, sebelum kita mendiskusikan dengan kawan-kawan terdekat kita sendiri. Kemudian mengambil kesimpulan sebaik mungkin tentang bagaimana seharusnya kekayaan nasional dibagi di antara seluruh rakyat di dalam suatu negara beradab dan terhormat. Hal demikian itu terjadi, karena setiap pikiran tentang pelaksanaan cita-cita itu tidak lebih daripada pikiran. Dan pikiranpikiran orang-orang lain belum tentu lebih baik daripada pikiranpikiran kita sendiri, dan begitu pula sebaliknya. Berapakah kita harus memperoleh bagian dari harta kekayaan yang ada ini, dan berapa pula yang harus diperoleh oleh tetangga kita? Bagaimana jawaban Anda sendiri? Karena menjawab pertanyaan tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, maka kita harus terlebih dahulu membersihkan benak kita dari gambaran yang tertanam sejak masa kanak-kanak, bahwa lembaga-lembaga di mana kita hidup sekarang ini, termasuk cara-cara yang sah dalam membagikan pendapat dan mengizinkan seseorang memiliki harta, adalah sesuatu yang memang sudah semestinya terjadi secara alamiah sebagaimana halnya udara di sekeliling kita. Hal itu tidaklah demikian, karena pola-pola yang melembaga itu kita dapati di mana-mana — kemudian kita anggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya bahwa hal-hal itu memang telah ada dan harus ada untuk selama-lamanya — timbul dengan sendirinya. Hal ini merupakan suatu kekeliruan yang berbahaya. Lembagalembaga itu sepenuhnya dapat diubah. Dan memang, mereka berada dalam proses perubahan terus-menerus sepanjang masa. Banyak sekali dari pola-pola itu yang akan tidak diikuti atau ditaati oleh “orang-orang baik� sekalipun, jika tidak ada polisi yang dapat segera dihubungi, dan ancaman hukuman penjara yang selalu terbayang. D2E


F KEPRIHATINAN G

Salah satu hal yang dapat kita pikirkan perubahannya ialah polapola dan value judgement tentang bagaimana kita menggunakan kekayaan kita. Yah, sekalipun, dan justru, kekayaan itu adalah milik sah kita sendiri, kemudian sebagai contoh sederhana kita memiliki kekayaan sebesar seribu rupiah (di sini harus dianggap bahwa mempunyai seribu rupiah sudah termasuk kaya), maka menurut rasa keadilan sosial, kekayaan sebesar itu dapatkah kita pergunakan untuk belanja kita sendiri dan keluarga kita, seluruhnya atau kurang dari seribu rupiah? Atau bagaimana jika suatu cara lain dapat diperoleh? Di atas telah disebutkan tentang value judgement. Memang, suatu pola penggunaan harta menyangkut tata nilai seseorang. Hal itu tidak selalu berhubungan dengan persoalan benar-salah, tetapi terutama menyangkut rasa tata hormat dan tidak terhormat, bahagia dan tidak bahagia. Umpamanya, jika kita berpandangan bahwa kehormatan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan yang tampak dan dapat dilihat orang lain (lebih-lebih jika mampu menerbitkan rasa iri hati pada mereka), maka sudah tentu pola penggunaan harta yang kita anut ialah pola penggunaan harta yang maksimal. Bahkan mungkin kita akan berusaha menunjukkan kekayaan lebih dari kemampuan kita sendiri, sehingga pengeluaran mejadi lebih besar daripada pemasukan, sekalipun menurut ukuran masyarakat, sebetulnya kita termasuk kaya dan mampu. Pola penggunanan harta yang amat konsumtif itu, oleh para ahli, disebut (dalam istilah asing) demonstration effect. Mereka mensinyalir bahwa hal itu merupakan halangan terbesar dalam usaha mewujudkan masyarakat “adil dan mamkmur”. Dan memang, kita tidak sulit untuk mengetahui ketidakbenaran pola itu, sebab tidak sesuai dengan “hati nurani” kita sendiri. Sayangnya, dalam masyarakat terdapat kecenderungan yang mendorong semakin kuatnya pola demonstration effect itu, khususnya bagi mereka yang untuk pertama kalinya menikmati apa artinya merdeka yang berupa keleluasaan dan fasilitas-fasilitas. Dan juga anak muda memahami sinyalemen D3E


F NURCHOLISH MADJID G

para ahli itu, karena demonstration eect akan mendorong seseorang untuk memperkaya diri sendiri dengan merugikan orang lain. Tetapi, tidaklah berarti bahwa hal sebaliknya sama sekali adalah baik. Sebab kepelitan, dalam bentuknya yang ekstrem, tidak kurang berbahayanya bagi cita-cita masyarakat adil dan makmur. Jika kita pelit pada diri sendiri, tentunya kita akan lebih pelit lagi kepada orang-orang lain khususnya kepada pihak yang paling memerlukan perhatian dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, yaitu kaum tak mampu. Dan usaha-usaha di bidang sosial, jika semua orang kaya menganut pola ini, akan tidak berjalan, seperti panti-panti asuhan, rumah-rumah perawatan orang sakit, wisma penyantunan orangorang cacat, dan lain-lain. Dengan demikian, kekayaan yang ada di tangan orang-orang penganut demonstration eect akan kehilangan fungsi sosialnya, karena habis untuk menuruti nafsu pamernya sendiri. Begitu pula, harta itu pun akan kehilangan fungsi sosialnya di tangan orang-orang pelit, karena harta itu disimpannya rapat-rapat untuk memuaskan nafsu menghitung-hitung harta dan menumpuknumpuknya, seakan-akan ia akan hidup kekal dengan hartanya itu.

Pola Tengah Penggunaan Kekayaan Jika demikian, bentuk pertengahan harus ditumbuhkan. Meski agak bersifat klise, tetapi hal ini sungguh akan kita katakan. Harus kita ingat bahwa arti semula kata adil (Arab: ‘adl) itu sendiri ialah sesuatu yang sedang, seimbang, atau wajar. Begitu pula, arti kata just (bahasa Inggris) ialah wajar, dan dengan demikian, arti justice (keadilan) ialah kewajaran. Pola tengah pengguanaan kekayaan ini harus sedemikian, sehingga kekayaan memenuhi kewajaran: suatu keadaan yang dapat diterima oleh semua orang dengan penuh kerelaan dan kelegaan. Pola tersebut ialah pola prihatin. Dalam kepribadian dan keprihatinan terdapat unsur dan semangat solidaritas sosial: suatu sikap yang selalu memperhitungkan dan memperhatikan D4E


F KEPRIHATINAN G

keadaan dan kepentingan orang banyak; tidak egois atau berpusat pada diri sendiri. Dengan keprihatinan, harta kita sendiri kita gunakan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar, tak lebih dan tak kurang, menyisihkan sebagian untuk mendorong produktivitas masyarakat (umpamanya, dengan sistem tabungan), dan mengeluarkan sebagian lagi untuk kepentingan langsung sosial. Dengan menekan penampakan mencolok kekayaan, satu lagi hal didapat: mengurangi sumber ketegangan-ketegangan sosial yang amat berbahaya. Tentang pola prihatin ekonomi ini, agama memberi petunjuk: Sebetulnya ada petunjuk keagamaan untuk pola ekonomi yang tertera dalam surat al-FurqÄ n/25: 67, ialah: “Dan mereka (orangorang beriman), jika menggunakan harta mereka, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan, berada di antara keduanya.â€? Wajarlah bila kita, bangsa Indonesia, menempuh cara hidup prihatin dan disertai solidaritas sosial sebagai salah satu jalan menuju Keadilan Sosial. Beberapa negara telah menempuh jalan itu. [™]

D5E


F PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN G

PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN Oleh Nurcholish Madjid

Berbicara tentang agama memerlukan suatu sikap ekstra hatihati. Sebab, sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat bersifat individual. Apa yang dipahami dan — apalagi — dihayati sebagai agama oleh seseorang amat banyak bergantung pada keseluruhan latar belakang dan kepribadiannya. Hal itu membuat senantiasa terhadap perbedaan tekanan penghayatan dari satu orang ke orang lain dan membuat agama menjadi bagian yang amat mendalam dari kepribadian atau privacy seseorang. Maka dari itu, agama senantiasa bersangkutan dengan kepekaan emosional. Sekalipun begitu, masih terdapat kemungkinan untuk membicarakan agama sebagai sesuatu yang umum dan obyektif. Dalam daerah pembicaraan itu diharapkan dapat dikemukakan hal umum yang menjadi titik kesepakatan para penganut agama, betapapun hal itu tetap merupakan sesuatu yang sulit.

Definisi Agama Tetapi, kita tidak dapat menghindari untuk terlebih dahulu mengenal definisi agama. Disebabkan pemahaman dan penghayatan yang individual tersebut, maka terdapat pula bermacam-macam definisi. Profesor Wallace mengatakan bahwa agama ialah “suatu D1E


F NURCHOLISH MADJID G

kepercayaan tentang makna terakhir alam raya”. E.S.P. Haynes berpendapat bahwa agama ialah “suatu teori tentang hubungan manusia dengan alam raya”. Bagi John Morley, agama adalah “perasaan kita tentang kekuatan-kekuatan tertinggi yang menguasai nasib umat manusia”. Dan James Martineau mendefinisikannya sebagai “kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang Jiwa dan Kemauan Ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada hubungan-hubungan moral dengan umat manusia”. Sedangkan seorang ahli filsafat terkenal, Professor Mc Taggart berkata: “Agama adalah sudah jelas merupakan suatu keadaan kejiwaan … ia dapat digambarkan secara paling baik sebagai perasaan yang terletak di atas adanya keyakinan kepada keserasian antara diri kita sendiri dan alam raya secara keseluruhan”.

Rasa Kesucian: Realitas Keagamaan yang Esensial Definisi itu, jika diteruskan, dapat berkepanjangan. Tetapi, beberapa buah itu saja sudah menunjukkan keanekaragaman cara pendekatan para ahli kepada apa yang dimaksudkan dengan agama. Dan definisi-definisi itu, demikian juga kecenderungan definisi yang lain, berhasil memperjelas makna agama hanya dari satu atau beberapa segi. Tetapi, barangkali Julian Huxley benar, ketika mengatakan bahwa realitas keagamaan yang esensial, yaitu yang berupa pengalaman khusus yang berusaha menyatakan dirinya dalam simbol-simbol dan mencari pernyataan intelektualnya dalam ilmu kalam atau teologia, ialah rasa kesucian. Dan rasa kesucian ini, sebagaimana rasa lapar, nafsu marah, dan keasyikan cinta, adalah sesuatu yang tak mungkin diterangkan. Ia ada menurut apa adanya, dan hanya dapat dikomunikasikan dengan kata kepada orang lain yang memiliki pengalaman yang sama. (Dalam agama Islam, umpamanya, Tuhan senantiasa dinyatakan sebagai Yang Mahasuci, dan memahasucikan Tuhan atau ber-tasbīh, merupakan salah satu zikir yang sangat diutamakan, didukung oleh sebuah hadits: “Dua D2E


F PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN G

kalimat yang ringan di lidah, tetapi berat pada timbangan: Mahasuci Tuhan lagi Mahaagung, Mahasuci Tuhan lagi Mahaterpujiâ€?). Rasa kesucian itu dapat dipertukarkan (interchangable), atau, setidaktidaknya, amat erat hubungannya dengan rasa kebaikan, kebenaran, keadilan, kemuliaan, dan seterusnya yang serba sublime atau tinggi. Adanya rasa kesucian yang serba-mencakup itu pada jiwa manusia, secara alamiah atau ďŹ triah, telah membuat manusia menjadi apa yang disebut hanÄŤf dalam agama (Islam). Jadi, secara singkat, agama adalah pernyataan keluar sifat hanÄŤf manusia yang telah tertanam dalam alam jiwanya. Maka, beragama adalah amat natural, dan merupakan kebutuhan manusia secara esensial.

Peranan Agama Jika titik-tolak tersebut benar, maka, pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara agama dan peranannya dalam kehidupan modern ataupun primitif. Sebab, ia tidak lain adalah pemenuhan kecenderungan alamiahnya sendiri, yaitu kebutuhan akan ekspresi rasa kesucian tadi. Tetapi mungkin bagi masyarakat modern, memang, timbul masalah-masalah berkenaan dengan agama ini. Rasa kesucian lebih merupakan sesuatu yang terletak dalam daerah kehidupan mental, spiritual, atau ruhani, daripada lainnya. Dan pendekatan yang vulgar kepada arti modernitas, di mana penonjolan segi-segi kehidupan material merupakan gejala yang amat umum, akan senantiasa merongrong atau memperlemah keinsyafan akan kehidupan ruhani. Itu pada satu ujung ekstremitas. Pada ujung lainnya ialah pendekatan yang kurang cermat terhadap esensi agama dalam situasinya yang dihadapkan kepada gelombang pasang kehidupan kebendaan. Dalam pendekatan itu sering terjadi kecenderungan untuk mencoba merendahkan arti kehidupan material, atau kecenderungan yang lebih menggoda lagi; karena itu yang lebih umum dilakukan orang ialah mencampuradukkan segi kehidupan ruhani dan segi kehidupan material. Hal pertama D3E


F NURCHOLISH MADJID G

terwujud dalam sikap-sikap mengingkari kehidupan duniawi, memilih menempuh hidup ‘uzlah dan menyelami kehidupan mistik semata-mata. Sedang hal kedua ialah munculnya sikap yang menuntut adanya pembenaran langsung segi-segi kehidupan material dalam ukuran-ukuran formal agama. (Bagi seorang penganut agama, memang, semua kehidupannya harus mendapatkan pembenaran dari agamanya, tetapi tidak mesti dan senantiasa secara langsung, dan kebanyakan adalah secara tidak langsung. Sebab, seperti dikatakan oleh Prof. Whitehead, agama itu, dari segi sifat doktrinalnya, dapatlah digambarkan sebagai suatu sistem tentang kebenaran-kebenaran umum yang mempunyai daya untuk mengubah budi pekerti, jika kebenaran-kebenaran umum tersebut dipegang secara ikhlas dan dihayati secara sungguh-sungguh).

Agama dan Kehidupan Modern Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi medernitas yang mengalami — atau malah menderita — ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang, menurut Ashadi Siregar, hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan — suatu pernyataan yang bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah obyektivitas. Dengan sendirinya obyektivisme itu akan sering berbenturan dengan subyektivisme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu dan teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya, sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi yang antagonistis dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut tadi. D4E


F PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN G

Sebuah magnit tak mungkin ada tanpa kedua unsurnya yang antagonistis — berupa kutub-kutub utara dan selatannya. Demikian pula kehidupan yang wajar, ia memerlukan keseimbangan antara aspek profan dan aspek sakral. Maka, tidak heran pada masyarakat modern — dalam konotasi tersebut tadi — masalah mencari dan menemukan makna hidup yang ultimate, jadi berarti sakral, menjadi semakin serius dan akut. Indikasi-indikasi ke arah itu dapat disebutkan dua macam yang datangnya dari dua jurusan yang berlawanan: negatif dan positif. Yang negatif berupa gejala bahwa penyakit jiwa lebih banyak pada masyarakat modern daripada masyarakat yang lebih sederhana (untuk Indonesia: lebih banyak di kota-kota besar daripada di desa-desa). Yang positif berupa gejala semakin tertariknya orang-orang modern kepada pemikiran-pemikiran spekulatif (di Amerika lebih banyak orang membaca Alkitab sekarang ini daripada dulu, meskipun pengunjung gereja menurun). Tetapi yang lebih relevan dengan kita, bangsa Indonesia, mungkin bukan dalam konotasi tersebut di atas. Bangsa Indonesia sekarang sedang membangun. Dalam pembangunan itu yang diusahakan ialah peningkatan kemampuan ekonomi. Hal ini dinyatakan dalam banyak sekali ukuran atau norma, antara lain yang terpenting ialah kenaikan GNP. Sekarang ini GNP per kapita kita ialah 80 Dollar Amerika. Sampai dengan tingkat GNP per kapita berapakah kita akan menganggap kehidupan ekonomi sudah makmur? Sedangkan di hadapan kita terdapat contoh-contoh GNP per kapita yang jauh lebih tinggi, umpamanya, Amerika Serikat dengan 4000 Dollarnya. Mengejar dan mencapai tingkat kemakmuran menurut ukuran Amerika adalah tidak mungkin. Pertama, karena selain jaraknya sudah terlampau jauh, juga rate of growth kita jauh di bawah rate of growth Amerika. Kedua, dan ini lebih penting, kekayaan alam yang ada tidak mungkin menunjang tingkat kehidupan ala Amerika untuk keseluruhan manusia. Jadi dalam perspektif global, sekalipun Indonesia termasuk negara maju dengan masyarakat modern, namun ia menghadapi persoalan modern. Dalam hubungannya dengan agama ialah, D5E


F NURCHOLISH MADJID G

apakah ia masih mampu berperan dalam memberikan alternatif cara hidup yang tidak terlampau terikat pada ukuran-ukuran materiil. Alternatif itu harus mampu dikemukakan di depan (before hand), artinya tidak setelah kita terlanjur hancur karena kegagalan dalam usaha mencapai kemakmuran materiil ala Amerika. Hal itu berarti, dengan perkataan lain, apakah agama sanggup menjadi sumber inspirasi dan konsep bagi suatu pola pembangunan yang dapat dijadikan alternatif bagi yang ada sekarang? (Seperti banyak kritik dilontarkan bahwa pola pembangunan sekarang terlalu berorientasi kepada usaha kenaikan GNP, meskipun masih dapat dibela sebagai sesuatu yang tak mungkin dielakkan mengingat urgensi nasional kita).

Kesimpulan Tetapi, barangkali cukup safe untuk mengatakan bahwa agama, betapapun, akan dibutuhkan manusia, dan dengan demikian ia tetap berperan. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Julian Huxley: “Manusia selalu concerned tentang nasibnya — artinya, tentang kedudukan dan peranannya di alam raya, bagaimana ia memenuhi peranan tersebut. Semua masyarakat manusia mengembangkan jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini — alat-alat untuk mengarahkan ide-ide dan emosi-emosinya serta untuk membina sikap-sikap batin, pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konsepsi mereka tentang nasib mereka. Semua alat sosial yang berkenaan dengan nasib itu, saya kira, dapatlah secara sepenuhnya dimasukkan ke bawah judul agama”. Masa depan tetap terbuka. Apa yang hendak diajukan? Jika agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi perseorangan, tapi juga untuk masyarakat, maka ia dituntut untuk memiliki tiga hal. Ia harus merupakan suatu way of life yang dapat dirasakan secara mendalam oleh pribadi — apa yang hendak dilakukan oleh seseorang dalam kesendiriannya — kata D6E


F PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN G

Whitehead, sebagai suatu way of life bersama yang didasarkan pada pendekatan spiritual dan emosional tertentu, kepercayaankepercayaan tertentu, pedoman-pedoman tertentu dalam bidang nilai, dan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi nasib manusia. Dan sebagaimana sekarang ini pun telah ada masyarakat-masyarakat agama atau jamaah-jamaah, maka demikian pula, agama di masa mendatang memerlukan organisasi sendiri sebagai rangkanya. Dan akhirnya — dan inilah yang sering hilang di masa lalu akibat pertentangan antara dasar-dasar pemikiran religius dan ilmiah — masyarakat agama dan kehidupan individual orang-orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral, dan perasaan. Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat (social change). [™]

D7E


F MASYARAKAT INDUSTRI DAN PROSES DEHUMANISASI G

MASYARAKAT INDUSTRI DAN PROSES DEHUMANISASI Oleh Nurcholish Madjid

Sudah tentu kita menyadari bahwa Indonesia bukan atau belum merupakan negara industri. Indonesia adalah negara pertanian, lagi pula masih amat miskin. Tetapi hal itu tidak menghalangi kita untuk membicarakan beberapa hal yang menyangkut masyarakat yang telah mengalami industrialisasi. Sebab, mengatakan bahwa kita tidak berkepentingan terhadap persoalan-persoalan yang ditimbulkan mengimplikasikan bahwa kita tidak akan terkena oleh akibat-akibatnya yang buruk, dan hal tersebut kurang realistis. Dunia sudah sedemikian dipersempit dan diperkecil oleh kemajuankemajuan teknologi, sehingga tidak satu bangsa pun dapat secara sempurna menghindari keterkenaan (exposure) pengaruh-pengaruh yang datang dari bangsa lain. Untuk Indonesia hal itu ditambah lagi dengan politik pintu terbuka yang dianut pemerintah Orde Baru. Lagi pula pembangunan yang dilaksanakan dengan giat sekarang ini tentu akan berujung pada terbentuknya masyarakat industrial Indonesia.

Nilai-nilai Masyarakat Industrial Perlu kita ketahui terlebih dahulu nilai-nilai yang dominan di dalam masyarakat industiral, sebab dehumanisasi adalah suatu proses yang menyangkut masalah nilai-nilai. Masyarakat industrial D1E


F NURCHOLISH MADJID G

menuntut dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Untuk menjadi industrial, suatu masyarakat harus disiapkan untuk menerima nilai-nilai yang bakal menunjang proses industrialisasi itu. Tetapi lebih penting lagi ialah bahwa setiap industrialisasi, dikehendaki ataupun tidak, pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal suatu masyarakat nonindustrial. Keharusan-keharusan itu, betapapun buruknya, menjelma menjadi tata nilai resmi. Pelanggaran atas nilai-nilai itu akan mengakibatkan sanksi-sanksi yang langsung dirasakan oleh pelakunya menurut ukuran-ukuran masyarakat industrial itu sendiri. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang mendasari masyarakat industrial: (1) (2) (3) (4)

Kesenangan yang tertunda. Perencanaan kerja atau tindakan masa datang. Tunduk kepada aturan-aturan birokratis. Kepastian, pengawasan yang banyak kepada detil, sedikit kepada pengarahan. (5) Rutin, dapat diramalkan. (6) Sikap instrumental kepada kerja. (7) kerja keras yang produktif di nilai sebagai kebaikan. Masyarakat industri, berbeda dengan masyarakat-masyarakat nonindustrial, menunda upah dan kesenangan para pekerja sampai saat yang telah disetujui bersama, seperti awal bulan sebagai hari-hari menerima gaji, hari Minggu sebagai hari bebas kerja, sistem cuti dan lain-lain. Norma-norma itu, kalaupun ada pada masyarakat non-industrial, adalah jauh lebih berfungsi pada masyarakat industrial. Begitu pula tentang perencanaan. Hal itu tentu lebih merupakan keharusan pada masyarakat industri daripada lainya. Maka dengan sendirinya adanya sistem pembukuan, perkantoran, dan apa saja yang bersangkutan dengan administrasi dan birokrasi adalah lebih diperlukan pada masyarakat industrial daripada masyarakat D2E


F MASYARAKAT INDUSTRI DAN PROSES DEHUMANISASI G

pertanian umpamanya. Keharusan seseorang untuk tunduk kepada sistem birokrasi dan mekanismenya itu menghilangkan otonominya, dan membuatnya tidak berdaya mengadakan pilihan lain atau, dengan perkataan lain, ia terpaksa bersikap fatalistis! Segala sesuatu telah diatur dengan pasti. Kepastian itu terjelma dalam pengawasan segi-segi mendetil, yang melahirkan subnilai bahwa seseorang berharga atau berguna adalah setingkat dengan bidang keahlianya. Maka skill menjadi mutlak penting, dan bukan hanya “kebijaksanaan” atau “kearifan”saja, yang justru hampir-hampir tanpa faedah bagi masyarakat industrial untuk industrinya. Selanjutanya tentu saja hal itu melahirkan rutinisasi, semuanya berjalan menurut aturan-aturan yang pasti, dapat diketahui permulaanya dan dapat diramalkan ujungnya. Birokrasi itu mencakup sistem rasionalitas ekonomi, pembagian kerja yang canggih dan perangai-perangai resmi yang saling terjalin secara sempurna. Nilai-nilai itu berfungsi untuk menjaga cara kerja yang konsisten dan rajin serta mewujudkan tujuan-tujuan produksi jangka panjang. Dengan begitu terciptalah apa yang disebut “mesin masyarakat” atau “masyarakat mesin”, yang di dalamnya kerja keras dan produktif menjadi sumber penghargaan atas seseorang.

Akibat-Akibat Kemakmuran Hampir dapat dikatakan bahwa industrialisasi membawa kepada kemakmuran. Atau, dengan sedikit kekecualian, kemakmuran dapat dicapai melalui industrialisasi. Keterangan lebih lanjut sudah tentu akan merupakan wewenang para ahli ekonomi. Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif, termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat itu, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah pusat kebahagiaannya. Dan ia akan ditemukan hanya dalam keadaan seseorang dapat dengan bebas mengembangkan dirinya. Menurut Goethe, “manusia D3E


F NURCHOLISH MADJID G

membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan — dengan segala potensinya — sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan suatu cara yang terbatas, disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya. Salah satu di antara pembatasan-pembatasan itu, yang terpenting karena yang terkuat, ialah kemiskinan. Maka dari segi ini, karena industrialisasi membawa kemakmuran, maka ia juga berarti peningkatan kemanusiaan, jadi membawa humanisasi. Agaknya itulah sebabnya maka Lenin, dalam satu slogannya, mengatakan bahwa sosialisme adalah elektriďŹ kasi menyeluruh. Dan sosialisme adalah suatu cita-cita mewujudkan kemanusiaan secara lebih sadar. Tetapi agaknya memang tidak ada sesuatu hasil yang bisa dicapai tanpa harga atau pengorbanan. Kemakmuran yang dibawa oleh industrialisasi umpamanya, ternyata meminta korban-korban yang tidak kecil. Dalam tahapnya yang berkelanjutan, pengorbanan yang dituntut itu justru adalah kemanusiaan itu sendiri. Sekarang ini, setelah sempat menyaksikan pengalaman-pengalaman negara industri maju, para peninjau dapat mengatakan bahwa pembatasannya Goethe dalam pengembangan kemanusiaan itu adalah justru datang dari industrialisasi yang membawa kemakmuran material tersebut. Dalam bagian terdahulu telah dikatakan bahwa salah satu nilai formal masyarakat industrial ialah birokrasi, yang di dalamnya tersimpul nilai-nilai lain seperti kerutinan, ke pas tian, dan instrumentalisme. Mekanisme itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan, jadi fatal. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya merupakan suatu fungsi dari suatu keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri, atau sendirian, akan tidak mempunyai arti apa-apa. Ia digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin ia lakukan; dengan perkataan lain, nilai instrumentalistisnya. Sedangkan kemanusiaannya yang intrinsik sering tidak dijadikan hitungan. Di sinilah mulai timbul masalah D4E


F MASYARAKAT INDUSTRI DAN PROSES DEHUMANISASI G

makna hidup. “Hidup ini untuk apa?� adalah pertanyaan yang tidak menenteramkan, justru bagi mereka yang makmur secara material di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi tadi. Kita harus ingat bahwa selama kekuatan-kekuatan produktif belum berkembang — selama masyarakat masih dalam kemiskinan — keharusan untuk bekerja dan mempertahankan hidup itu saja sudah cukup memberi makna hidup bagi seseorang. Memang menemukan makna hidup adalah suatu keharusan kemanusiaan. Tetapi jika penemuan itu hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan hidup itu sendiri saja adalah tidak sempurna, kalau malah bukan penipuan psikologis. Maka, meskipun kemiskinan membuat orang tidak perlu mempertanyakan apa makna hidup ini karena ia menemukannya dalam berjuang untuk hidup itu sendiri, hal itu bukanlah suatu keadaan yang humanistis. Kemiskinan tetap non-humanistis.

Nilai-nilai Bawah Tanah Nilai-nilai resmi yang diterangkan pada angka-angka di atas adalah nilai-nilai di atas tanah. Nilai-nilai itu diakui sah oleh masyarakat, dan setiap orang diharuskan untuk bertindak dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya. Tetapi nilai-nilai itu mengakibatkan dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah penderitaan, sekalipun bersifat immaterial. Maka dalam masyarakat selalu ada kecenderungan laten untuk membebaskan diri dari nilai-nilai tersebut. Penyaluran keluar kecenderungan itu secara resmi ialah melalui hari-hari libur, cuti atau waktu senggang (leisure time). Karena itu Bertrand Russel menganggap bahwa waktu senggang merupakan bagian mutlak dari kemanusiaan. Menurut dia, kreativitas budaya dimungkinkan adanya waktu senggang orang-orang kaya. Dan kreativitas budaya itu tidak semuanya bersifat material. Contohnya adalah sastra dan musik. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial, yang resmi selama waktu kerja dan yang tidak resmi selama waktu senggang. Dapat pula dikatakan nilai resmi adalah norma-norma dalam publik life dan nilai-nilai bawah tanah adalah norma dalam private life. Namun keduanya itu, sebagaimana dinyatakan secara amat sederhana oleh Matza dan Sykes, sekalipun berbeda namun tidak terpisah. Nilai-nilai formal adalah bentuk pengorbanan seseorang melalui kerja yang akan memberinya kelengkapan material yang kemudian akan ia gunakan dalam waktu-waktu senggang dengan nilai-nilainya yang tersendiri itu. Ringkasnya, orang taat kepada nilai-nilai formal untuk dapat menikmati nilai-nilai bawah tanah (subterranean values). Justru nilai-nilai bawah tanah itulah yang menjadi tujuan dan tempat seseorang menemukan dirinya kembali (mengalami humanisasi), sedangkan nilai-nilai formal itu bersifat instrumental belaka. Namun, karena keharusan-keharusan masyarakat industrial itu maka seseorang dibenarkan menikmati nilai-nilai bawah tanah hanya kalau ia telah memenuhi kewajibannya menaati nilai-nilai formal di waktu kerja. Maka etos produktivitas memberikan pembenaran bagi dilaksanakannya nilai-nilai waktu senggang. Jadi sebetulnya nilai-nilai waktu senggang yang sekarang (dalam masyarakat industrial) menjadi di bawah tanah itulah yang semestinya dinikmati oleh manusia karena kemanusiaannya. Perubahan nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja itu secara sederhana diringkaskan oleh Herbert Marcuse sebagai berikut : Dari (nilai waktu senggang) Kepuasan yang segera didapat Kenikmatan Kesenangan (joy) dan main Sikap reseptif Tidak ada tekanan

ke (nilai waktu kerja) kepuasan tertunda pengekangan kenikmatan garapan atau kerja sikap produktif keamanan, ketertiban

D6E


F MASYARAKAT INDUSTRI DAN PROSES DEHUMANISASI G

Jadi proses pemasyarakatan, termasuk yang dialami oleh setiap orang dari masa anak-anak sampai dewasa, menyangkut perpindahan dari prinsip kesenangan kepada prinsip kenyataan, dari dunia kebebasan dan kenikmatan kepada dunia yang diliputi keharusan-keharusan. Setiap orang yang telah mengecap surga permainan di masa kanak-kanak menyimpan dalam hati kecilnya suatu utopia tentang dunia di mana keharusan-keharusan ekonomi tidak menjadi beban dan di mana dia dapat menyatakan keinginankeinginannya secara bebas. Itulah dasar psikologis nilai-nilai waktu senggang atau bawah tanah. Karena aspirasi-aspirasi itu melekat pada manusia sebagai manusia, maka sering ia tidak merasa puas dengan penyaluranpenyaluran formal yang disahkan seperti hari libur tersebut. Maka muncullah perseorangan atau kelompok yang ingin mengabaikan norma-norma formal tadi secara total. Karena aspirasi-aspirasinya tidak dapat dinyatakan dalam aturan kultural yang resmi dan dapat diterima masyarakat maka orang itu membentuk masyarakatnya sendiri, yaitu masyarakat bohemian. Dari sudut inilah maka kita dapat memahami mengapa pernyataan-pernyataan luar atau manifestasi bohemianisme itu justru kuat di negara-negara yang maju industrinya, seperti misalnya hipisisme, pemadatan (narkotika), ekstremisme dalam ideologi politik dan lain-lain.

Penyelesaian? Apakah ada suatu penyelesaian bagi keadaan itu atau tidak adalah merupakan pertanyaan besar abad sekarang. Karena seriusnya masalah ini maka sudah tentu banyak ahli pikir yang mencurahkan perhatiannya atas masalah ini. Salah seorang di antaranya ialah yang telah disebut-sebut di muka, Herbert Marcuse, pemikir paham Kiri Baru di Amerika. Ia mengatakan bahwa kemanusiaan berintikan kebebasan. Maka hilangnya kebebasan, betapapun hal itu dapat dicarikan pembenaran, adalah menghilangkan kemanusiaan, terD7E


F NURCHOLISH MADJID G

masuk pula industrialisasi. Memang masyarakat industri modern menciptakan kemungkinan untuk mengembangkan waktu senggang yang akan memberi kebebasan untuk menyatakan nilai-nilai bawah tanah. Tetapi pengembangan itu akan juga mengancam kepentingan-kepentingan yang ada. Sebab semakin besar kemungkinan seseorang membebaskan diri dari hambatanhambatan yang diakibatkan oleh kemiskinan atau kekurangan, semakin masyarakat industri merasakan keharusan untuk memelihara dan mempertajam hambatan-hambatan itu, kecuali jika susunan dominasi yang telah berdiri itu dihancurkan. Yang perlu, kata Marcuse, ialah bahwa produktivitas harus dikekang untuk memberikan dasar material bagi pelaksanaan nilai-nilai bawah tanah. [™]

D8E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Pembahasan mengenai religiusitas suatu masyarakat mungkin akan tidak mencapai titik memuaskan, sebelum pengenalan yang mendekati kepastian mengenai apa yang dimaksudkan dengan religi atau agama. Menurut common sense yang dibentuk oleh budaya kita, sebagaimana tercermin dalam penggunaan dan percakapan sehari-hari, pengertian tentang agama itu seperti sudah tidak mengandung permasalahan. Tetapi kenyatannya, para ahli, dalam hal ini khususnya ahli-ahli sosiologi, berselisih pendapat tentang definisi agama. Agaknya, disebabkan peliknya persoalan definisi agama itu, Max Weber memilih untuk tidak membuatnya pada permulaan pembahasannya mengenai sosiologi agama. Ia mengatakan bahwa definisi hanya dapat dibuat pada akhir pembahasan.1 Tetapi, pendekatan Weber mengundang kritik. Yaitu, bagaimana mungkin ia membahas tentang hal-hal yang menyangkut agama, jika suatu pengertian tentang kenyataan yang dinamakan agama itu tidak ada sama sekali? Menganalisis sesuatu adalah suatu pekerjaan yang

1

Max Weber, The Sociology of Religion, terjemahan Ephreim Fischoff (Boston, Toronto, 1963), h. 1. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

mustahil, jika tidak didahului oleh adanya beberapa kriteria untuk mengenali sesuatu tersebut. Tetapi, haruslah dikatakan dengan jujur bahwa Weber, sekalipun menghindari penentuan batasan mengenai agama, memiliki dengan jelas kriteria tentang apa yang membentuk lingkungan penelitiannya mengenai agama. Baginya hal itu berkenaan dengan apa yang, oleh Talcott Parsons, dikatakan sebagai the grounds of meaning atau pandangan-pandangan dasar, yang di sekitarnya suatu kelompok atau masyarakat manusia “mengorganisasi” kehidupan mereka — orientasi-orientasi dasar mereka terhadap kehidupan kemanusiaan dan kemasyarakatan, konsepsi-konsepsi tentang waktu, makna mati; sebenarnya ialah konsepsi-konsepsi kosmologis dasar dalam hubungannya dengan eksistensi manusia.2 Tetapi, konsep the grounds of meaning, sebagai problem area pembahasan mengenai agama, tidaklah tanpa persoalan. Persoalan itu justru timbul dari Weber sendiri ketika menyatakan, dalam analisisnya, bahwa dasar makna hidup, yang dianggapnya sebagai karakteristik masyarakat modern, tidak bersifat religius.3

Definisi Agama: Inklusif dan Eksklusif Sesungguhnya terdapat dua aliran di kalangan ahli-ahli ilmu kemasyarakatan mengenai kriteria atau definisi agama ini. Pertama ialah yang lebih bersifat inklusif, yaitu suatu definisi yang dikemukakan oleh para penganut konsepsi tentang sistem sosial yang menekankan perlunya individu-individu dalam masyarakat dikontrol oleh kesetiaan menyeluruh kepada seperangkat sentral kepercayaan dan nilai.4 Contoh definisi inklusif ini ialah yang dianut Weber tersebut di atas, yang tekanannya diberikan kepada 2

Roland Robertson, The Sociological Interpretation of Religion (New York: 1972), h. 35. 3 Ibid. 4 Ibid., h. 37. D2E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

daerah the grounds of meaning. Contoh kedua ialah yang dibuat oleh Emile Durkheim, yang memberi tekanan kepada persoalan kesucian, kekudusan atau ketabuan. Ia mendefinisikan agama sebagai “suatu sistem yang dipadukan mengenai kepercayaankepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci, yaitu, hal-hal terpisah dan terlarang — kepercayaankepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan semua pengikutnya ke dalam satu komunitas moral tunggal yang disebut Umat”.5 Contoh lainnya ialah yang dianut oleh Parsons dan Bellah, dua orang yang termasuk sosiolog mutakhir terkemuka di Amerika, yang memberi batasan kepada pengertian tentang agama sebagai “tingkat” yang paling tinggi dan paling umum dari budaya manusia. Argumentasinya ialah bahwa, dalam setiap sistem tindakan manusia, individu-individu dikontrol oleh norma-norma interaksi yang telah ditentukan oleh sistem sosial, dan sistem sosial dikontrol oleh sisitem budaya yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan simbol-simbol. Sistem budaya menjalankan fungsi menyediakan pedoman-pedoman umum untuk tindakan manusia; pada tingkat paling umum dari sistem budaya itu sendiri terletak the grounds of meaning, dan ini secara tipikal diidentifikasikan sebagai daerah kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai keagamaan.6 Suatu definisi agama yang inklusif lainnya ialah yang dikemukakan oleh Luckmann. Ia merumuskan agama sebagai kemampuan organisme manusia untuk mengangkat alam biologisnya melalui pembentukan alam-alam makna yang obyektif, memiliki daya ikat moral dan serba-meliputi.7 Aliran kedua tentang definisi agama ialah yang lebih bersifat eksklusif, yaitu definisi yang menekankan pengertian agama sebagai konfigurasi representasi-representasi keagamaan yang membentuk suatu alam kesucian, yaitu agama dalam bentuk khusus 5

Ibid. Ibid., h. 40. 7 Ibid., h. 41. 6

D3E


F NURCHOLISH MADJID G

sosial-historis dan sosial-kulturalnya. Definisi ini sejalan dengan konotasi kultural biasa mengenai agama, tetapi tidak berarti cukup memadai hanya dengan menggunakan istilah agama secara longgar sebagaimana dalam percakapan sehari-hari. Harus ada pengetatan pengertiannya sampai tingkat tertentu untuk memberi bentuk analitisnya. Dalam ketentuan-ketentuan ini, definisi agama meliputi dua persoalan: budaya dan tindakan. Budaya keagamaan ialah perangkat tertentu kepercayaan dan simbol (dan nilai yang langsung diambil darinya) yang menyangkut pembedaan antara kenyataan empiris dan kenyataan supra-empiris, transendental; persoalan-persoalan empiris, dalam hal maknanya, diletakkan di bawah persoalan-persoalan non-empiris. Tindakan keagamaan didefinisikan sebagai semata-mata: tindakan yang dibentuk oleh pengakuan adanya perbedaan antara yang empiris dan yang supraempiris.8 Keberatan terhadap definisi inklusif disebabkan oleh kesukarannya untuk dipakai menganalisis mana gejala yang betul-betul bersifat keagamaan dan mana pula yang bukan. Jadi kesulitannya ialah untuk pembahasannya mengenai maju-mundurnya suatu sikap keagamaan, baik perseorangan maupun masyarakat. Misalnya, menurut definisi inklusif, gejala umum dalam masyarakat modern, seperti penghargaan kepada keberhasilan duniawi (usaha ekonomi, ilmu pengetahuan, karir, dan seterusnya), pasti termasuk the grounds of meaning, atau ultimate concern atau sacredness. Tetapi, justru orientasi hidup serupa itu sering disebut sebagai a-religius. Demikian pula nilai-nilai kemasyarakatan seperti demokrasi, fasisme, komunisme, humanisme, bahkan psikoanalitisme dan lain-lain. Ideologi-ideologi itu, menurut definisi inklusif, (seharusnya) termasuk agama, lebih-lebih komunisme yang dengan tegas melepaskan diri dari agama-agama yang dikenal. Tetapi, common sense umum mengatakan bahwa komunisme justru musuh utama agama8

Ibid., h. 47. D4E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

agama, dan tindakan komunistis (yang mengikuti ideologi dan teori komunisme) adalah tindakan-tindakan a-religius. Karena itu, paling jauh komunisme hanya dapat dikatakan sebagai functional equivalent terhadap agama (karena, komunisme benar-benar telah berfungsi seperti agama), atau pengganti keagamaan (surrogate religiosity). Meskipun kekaburan-kekaburan serupa itu ditiadakan oleh Weber dalam analisisnya tentang masyarakat modern (lihat di atas), dan oleh Parsons dan Bellah dengan konsepsinya mengenai agama sipil (civil religion), tetapi peniadaan-peniadaan terjadi dengan sedikit banyak mengganggu konsistensi deďŹ nisi. Karena itu, deďŹ nisi tersebut bisa menjadi tidak begitu integral lagi. Karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan hanya mengikuti definisi aliran kedua, yaitu yang eksklusif, terkait dalam konteks sosial historis dan sosial kultural agama. Dalam hal Indonesia, keagamaan dan tidak keagamaan, menurut deďŹ nisi eksklusif ini, menjadi terkait erat dengan keislaman, kekristenan (Protestan ataupun Katolik), kehinduan dan kebudhaan, menurut konteks sosial masing-masing, demikian pula konteks sejarahnya. Tanpa memperhitungkan konteks-konteks itu, kita akan tidak mampu mengenali kenyataan-kenyataan halus yang membedakan jenis dan tingkat religiusitas, tidak saja dari suatu kelompok agama dengan kelompok agama yang lain, tetapi terlebih-lebih dalam lingkungan satu agama: antara satu kelompok sosial keagamaan dan kelompok sosial keagamaan lainnya, dan antara satu kelompok sosial keagamaan dari satu masa sejarah tertentu dan kelompok sosial keagamaan itu sendiri dari satu masa sejarah yang lain. Pengertian empiris dan supra-empiris dalam agama sangat mendekati pengertian empiris dan non-empiris (teoretis) dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, sifat penting yang, dalam hal ini, membedakan agama dari ilmu pengetahuan ialah adanya konsepsi kegaiban atau alam gaib pada istilah non-empiris. Karena itu, istilah supra-empiris adalah lebih tepat. Religiusitas seseorang ialah tingkah lakunya yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada kegaiban atau alam gaib, D5E


F NURCHOLISH MADJID G

yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris. Ia melakukan sesuatu yang empiris sebagaimana layaknya. Tetapi ia meletakkan harga dan makna tindakan empirisnya itu di bawah yang supra-empiris. Menurut pengertian ini, seorang komunis tidak mungkin memiliki religiusitas. Disebabkan oleh ďŹ lsafatnya, seorang komunis tidak mengenal perbedaan antara yang empiris dan supra-empiris dalam pengertian alam nyata dan alam gaib. Non-empirisme pada ďŹ lsafat komunis hanya mencapai tingkat pengertian seperti dikehendaki oleh ilmu pengetahuan, yaitu teoretis. Sebagaimana halnya dengan kaum komunis, kaum sekularis (penganut paham dan ďŹ lsafat sekularisme, suatu susunan kepercayaan dan nilai yang independen) juga tidak mungkin menjadi seorang religius. Tetapi, religiusitas seseorang boleh jadi terwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk yang berbeda itu menjadi dimensi-dimensi religiusitas. Pertama, seseorang boleh jadi menempuh religiusitas dalam bentuk penerimaan ajaran-ajaran agama bersangkutan, tanpa merasa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi para penganut agama tersebut. Boleh jadi pula ia bergabung dan menjadi anggota setia suatu kelompok keagamaan, tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati, malah mungkin tidak peduli dengan ajaranajaran agama kelompok tersebut. Kedua, dari segi tujuan, mungkin religiusitas yang dimilikinya itu, baik berupa penganut ajaran-ajaran maupun penggabungan diri ke dalam kelompok keagamaan, adalah semata-mata karena kegunaan intrinsik religiusitas tersebut. Dan boleh jadi pula, bukan karena kegunaan atau manfaat intrinsik itu, melainkan kegunaan atau manfaat yang justru terletak di luar religiusitas tersebut, yaitu tujuan-tujuan ekstrinsik. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, meskipun untuk keperluan analisis tidak bisa dihindari sepenuhnya penyederhanaan-penyederhanaan, terdapat empat dimensi religiusitas: budaya intrinsik dan budaya ekstrinsik, serta sosial intrinsik dan sosial ekstrinsik. Sekarang, kita tiba pada pembahasan hubungan antara religiusitas individu dan religiusitas masyarakat. Meskipun religiusitas D6E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

individu dalam suatu masyarakat akan mempunyai pengaruh pada religiusitas masyarakat itu, namun tidaklah benar bahwa religiusitas masyarakat dapat diukur dengan “menjumlah� religiusitas anggotaanggotanya. Contoh paling mudah ialah masyarakat Rusia di Uni Soviet sekarang ini. Dalam menilai religiusitas masyarakat, kita harus memperhatikan karakteristik-karakteristik struktural dan umum sistem itu secara keseluruhan — yaitu tingkat diferensiasi dan otonomi sektor-sektor keagamaan dalam hubungannya dengan sektor-sektor sosial lainnya, lokasi strategis atau tidak strategis para pemimpin agama, hubungan antar-berbagai kelompok keagamaan dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor sosialkultural, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan lokasi dan hubungan-hubungan antar-berbagai kelompok.9

Industrialisasi Industrialisasi diberi deďŹ nisi sebagai proses perkembangan teknologi oleh penggunaan ilmu pengetahuan terapan, ditandai dengan ekspansi produksi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas bagi barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi yang meningkat.10 Jika proses telah berjalan cukup jauh, mekanisasi dapat meliputi pula tidak hanya industri itu sendiri, tetapi juga pertanian; demikian pula produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian kerja tampak pada skala yang luas; sarana komunikasi dan transportasi mencapai perkembangan yang maksimal; tenaga listrik, melalui pro-

9

Ibid., h. 57. Henry Fratt Fairchild et. al., Dictionary of sociology and Related Sciences (Totowa, New Jersey: 1970), h. 155. 10

D7E


F NURCHOLISH MADJID G

yek-proyek pembangkitan tenaga yang besar, semakin menggantikan bentuk-bentuk lama tenaga penggerak. Menyertai perubahan di bidang ekonomi, terjadi pula bentuk perubahan yang kompleks dalam kelompok sosial dan proses sosial. Tipikal pada tahap pertama proses industrialisasi, berdampingan dengan urbanisasi, ialah peningkatan mobilitas penduduk. Juga terdapat perubahan yang penting dalam adat kebiasaan dan moral masyarakat, yang mempengaruhi semua bentuk penggolongan primer dan skunder, di mana penggolongan skunder memainkan peranan yang semakin besar. Sangat menonjol adalah pengaruhpengaruh terhadap status pekerjaan dan keahlian-keahlian penduduk kerja, terhadap kehidupan keluarga dan kedudukan wanita, dan terdapat tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan dalam konsumsi barang-barang. Konflik antarkelas, ras, dan kelompok sosial lainnya juga dilihat sebagai akibat penyerta yang tipikal, demikian pula sifat yang semakin kompleks dari proses akomodasi. Meskipun saat sekarang industrialisasi juga digunakan sebagai gambaran tentang perkembangna organisasi ekonomi sosialis, tetapi, menurut sejarahnya, istilah itu digunakan bagi perkembangan ekonomi kapitalis, dengan ciri-ciri selain tersebut di atas, yaitu polapola pemilikan dan pengawasan oleh kepentingan industrial, dan kelak juga finansial.11 Tegasnya, industrialisasi menyangkut proses perubahan sosial. Yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial pra-industrial (agraris, misalnya) ke sistem sosial industrial. Kadangkadang juga disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Atau, dalam peristilahan yang akhirakhir ini banyak digunakan, perubahan dari keadaan “negara kurang maju” (Less Developed Country — LDC) ke keadaan masyarakat “negara yang lebih maju” (More Developed Country — MDC). Dari sekian banyak teori tentang perubahan sosial, mengambil salah satunya akan banyak menolong jalan pembahasan kita. 11

Ibid. D8E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

Tonnies mengkontraskan hubungan-hubungan “natural dan organis” keluarga, desa, dan kota kecil (gemeinschaft) dengan kondisi yang “artifisial” dan “terisolasi” dari kehidupan kota dan masyarakat industri (gesellschaft), di mana hubungan-hubungan asli dan natural manusia satu sama lainnya telah dikesampingkan, dan setiap orang berjuang untuk keuntungannya sendiri dalam suatu semangat kompetisi. Menguraikan lebih jauh dikotomi Tonnies itu, Parsons mengembangkan suatu teori yang terkenal dengan pattern variables. Mengikuti teori Parsons itu, perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industrial dan modern juga berarti perubahan dari: a. Affectivity ke affective neutrality, yaitu perubahan dari sikap bertindak karena hendak mendapatkan kesenangan segera ke sikap bertindak dengan kesediaan menunda atau meninggalkan kesenangan jangka pendek itu karena hendak mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Pengaruh langsung perubahan ini, bagi proses industrialisasi, ialah terbentuknya modal yang diperlukan, karena adanya kebiasaan menabung dan investasi, akibat ditinggalkannya penggunaan pendapatan untuk maksud-maksud konsumtif. Affective neutrality juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial yang bersifat contractual, impersonal, dan calculating. Kebutuhan yang berlanjut kesenangan dan kepuasan segera (immediate satisfactions) terpenuhi terutama melalui lembaga-lembaga tradisional, khususnya famili. b. Dari partikularisme ke universalisme. Industrialisasi cenderung mengikis keeksklusivan partikularistis seperti keeksklusivan rasial, warna kulit, keturunan. Partikularisme semacam itu tidak efisien dan membawa ke penyia-nyiaan tenaga. Sungguh, masyarakatmasyarakat yang paling tinggi tingkat industrialisasinya, baik kapitalis maupun komunis, adalah masyarakat-masyarakat di mana pola-pola universalistis tampak menonjol dan karier terbuka untuk bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

c. Dari ascription ke achievement. Demikian pula halnya achievement, dan bukannya ascription, ia cenderung menjadi dasar rekrutmen dalam suatu masyarakat yang terindustrialisasikan sepenuhnya. Contoh ascription yang sangat umum ialah nepotisme, yaitu rekrutmen berdasarkan hubungan kekeluargaan atau darah. Nepotisme tidak sejalan dengan cara dan sikap hidup masyarakat industrial dan modern. Dengan perkataan lain, perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan karena prestise ke sistem penghargaan karena prestasi. d. Dari diffuseness ke specificity. Yang dimaksud ialah perubahan dari hubungan-hubungan sosial yang beruang lingkup luas dan serba-meliputi, ke hubungan-hubungan di mana seorang aktor atau pelaku tindakan membatasi perhatiannya mengenai orang lain pada hal-hal yang bersifat khusus dan tidak mengizinkan masuk pertimbangan-pertimbangan lain. Contoh hubungan diffuse ialah antara ayah dan anak, sedangkan contoh hubungan spesifik (specificity) ialah antara guru dan murid di sekolah umum/modern. Seorang ayah akan berperan sebagai ayah terhadap anaknya dalam segala situasi, sedangkan seorang guru berperan sebagai guru terhadap muridnya hanya pada situasi di sekolah atau kelas, atau situasi yang menyangkut kegiatan pengajaran dan pendidikan.12

Hubungan Dinamis Bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan industrialisasi atau modernisasi merupakan suatu persoalan rumit yang banyak menimbulkan kontroversi, khususnya di kalangan ilmuan sosial. Suatu ungkapan yang hampir menjadi semacam stereotip dalam per12

Guy Wocher, Talcott Parsons and American Sociology (New York: 1975), h. 38-39. D 10 E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

cakapan sehari-hari menggambarkan seolah-olah agama merupakan hambatan terhadap proses modernisasi dan industrialisasi. Meskipun dalam beberapa kasus yang bersifat ad hoc, mungkin pernyataan itu benar — misalnya, adanya agama yang menentang program keluarga berencana baik falsafi maupun teknis, suatu program yang, menurut para ahli, mutlak diperlukan oleh negara-negara berkembang dalam proses industrialisasinya — tetapi, generalisasi bahwa agama merupakan rintangan bagi pembangunan ekonomi sampai saat ini belum memperoleh dukungan ilmiah yang tangguh. Sebaliknya, pendapat bahwa agama atau keagamaan tertentu merupakan dorongan bagi terjadinya proses modernisasi adalah suatu tesis yang bernada terlampau optimis jika dikemukakan secara umum. Sesungguhnya penelitian mengenai hubungan dinamis antara agama dan proses modernisasi telah cukup lama menjadi perhatian para ahli, dengan kadar kedalaman yang berbeda-beda. Yang paling terkenal ialah tesis Max Weber tentang adanya hubungan etika Protestan, khususnya Calvinisme, dengan semangat kapitalisme modern. Baginya kapitalisme adalah imbangan sosial bagi teologi Calvinis. Ide pokok yang hendak dikukuhkan oleh Weber dalam teorinya ialah yang dinyatakan dalam ungkapan karakteristik “panggilan” (calling). Bagi Luther, sebagaimana bagi kebanyakan ahli teologi abad pertengahan, calling biasanya berarti keadaan hidup atau kehidupan di mana seseorang telah diletakkan oleh Tuhan (takdir), yang adalah suatu dosa untuk melawannya. Bagi seorang pengikut Calvin, dikemukakan oleh Weber, calling bukanlah kondisi di mana seseorang dilahirkan, melainkan suatu kegiatan usaha yang sibuk dan pasti yang dipilih sendiri oleh orang bersangkutan, dan yang diperjuangkan dengan perasaan tanggung jawab keagamaan. Kehidupan usaha atau bisnis, karena dibaptiskan dalam air teologi Calvinis yang beku, mengalami perubahan dari keadaan semula yang dianggap sebagai sesuatu yang merusak jiwa atau ruhani menjadi sesuatu yang justru mengandung kesucian. Pekerjaan bukanlah semata-mata alat ekonomi: pekerjaan adalah suatu tujuan ruhani. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Ketamakan, jika toh berbahaya terhadap ruhani, adalah suatu ancaman yang tidak begitu berat dibandingkan dengan kemalasan. Jauh dari pandangan bahwa kemiskinan adalah kebajikan, seorang Calvinis merasa wajib berusaha memperoleh pekerjaan yang lebih menguntungkan. Jauh dari pandangan bahwa antara kegiatan mencari uang dan kehidupan seorang agamawan terdapat permusuhan yang tak terhindarkan. Kedua pola kehidupan itu justru dianggap sebagai sekutu-sekutu yang alamiah, sebab kebaikan-kebaikan yang ada pada seorang yang “terpilih” itu — yaitu sifat rajin, hemat, sabar, dan bijaksana — adalah paspor yang paling dapat diandalkan untuk menuju kemakmuran komersial. Jadi, mengejar kekayaan, yang dahulunya dianggap musuh agama, sekarang disambut sebagai sekutu keagamaan. Kebiasaankebiasaan dan lembaga-lembaga yang mengekspresikan filsafat tersebut bertahan hidup lama sesudah kepercayaan atau kredo yang menjadi induknya itu menghilang atau pindah dari Eropa ke tempat-tempat lain yang lebih cocok. Weber mengatakan, pada bagian kesimpulan teorinya, bahwa jika kapitalisme lahir sebagai idealisme praktis dari kaum borjuis yang bercita-cita untuk masa depan, ia berakhir sebagai pesta pora materialisme.13 Penelaahan lain mengenai hubungan agama dengan proses industrialisasi dan modernisasi ialah yang dilakukan oleh sosiolog Robert N. Bellah. Dalam bukunya yang berasal dari tesis Ph.D.-nya, Bellah mengemukakan adanya hubungan dinamis antara agama Tokugawa dan kebangkitan ekonomi Jepang modern. Baginya, etika ekonomi Jepang modern bersumber dari etika kelas samurai yang merupakan tulang punggung pembaruan Meiji (1868-1911), dan etika samurai itu sendiri berakar dalam ajaran-ajaran Tokugawa. Disebutkan oleh Bellah, sebagai suatu contoh etika Jepang itu, kutipan tentang aturan-aturan rumah tangga samurai Iwasaki,

13

Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, terjemahan Talcott Parsons (New York: 1958), h. 2-3 (pengantar oleh R.H. Tawney). D 12 E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

pendiri Mitsubishi, yang merupakan adaptasi paling menarik dari etika samurai kepada situasi industrialis modern: 1. Janganlah disibukkan oleh persoalan-persoalan kecil, melainkan pusatkan perhatian kepada manajemen usaha-usaha besar. 2. Sekali engkau memulai suatu usaha, yakinlah bahwa engkau akan berhasil. 3. Jangan melibatkan diri ke dalam usaha-usaha spekulatif. 4. Jalankan semua usaha dengan jiwa kepentingan nasional. 5. Jangan sekali-kali melupakan jiwa murni pelayanan umum dan makoto. 6. Bekerja keraslah dan hiduplah sederhana, dan penuh perhatian kepada orang-orang lain. 7. Gunakan personil yang tepat. 8. Perlakukan karyawan-karyawanmu dengan baik. 9. Bersikaplah keras dan tegas dalam memulai suatu usaha, tetapi hati-hati dan cermatlah dalam kelanjutan usaha itu.14 Bentuk hubungan antara religiusitas Islam dan proses industrialisasi serta perkembangan ekonomi pada umumnya, telah menjadi sasaran penelitian Bacock. Diilhami oleh analisis Weber, Bacock mempelajari peranan orang-orang Muslim mazhab Syi’ah Isma’iliyah di Tanzania. Di Afrika Timur, penduduk emigran asal Asia, khususnya Indo-Pakistan, memainkan peranan yang amat penting dalam pembangunan ekonomi, memelopori perdagangan dan industri kerajinan dan mendominasi dunia keuangan dan profesi. Dan di antara mereka itu dua kelompok giat bersaing dalam memperoleh kepemimpinan, yaitu orang-orang Muslim Syi’ah Isma’iliyah Khoja dan orang-orang Hindu Patidars. Suatu faktor penting dalam keberhasilan kaum Isma’iliyah ialah peranan dan kepribadian Aga Khan III, Sir Sultan Muhammad Syah, 1877-1960. Dalam rangkaian ajaran pemimpin keagamaan 14

Robert N. Bellah, Tokugawa Religion (New York: 1969), h. 186-187. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang dipercayai sebagai imam yang ditunjuk oleh Tuhan itu, terdapat dorongan-dorongan kepada para anggotanya untuk memodernisasi tingkah laku dan praktik-praktik mereka. Dalam masalah kesejahteraan sosial, misalnya, ia menentang perkawinan kanakkanak dan menganjurkan penggunaan metode-metode baru untuk perawatan anak; ia mendorong kaum Isma’iliyah untuk berdikari dalam kesehatan dan pendidikan; ia memobilisasi hadiah-hadiah melimpah untuk dirinya itu bagi pengadaan dana-dana investasi dalam kegiatan usaha ekonomi kaum bisnis Isma’iliyah. Pada umumnya, kaum Isma’iliyah di Afrika Timur tampak memainkan peranan inisiatif dan kepeloporan yang sama dalam pembangunan ekonomi seperti kaum Puritan di Eropa, dan mereka melakukan dengan cara dan jalan hidup yang sama pula — kerja keras, hemat, dan sederhana, dapat dipercaya atau amanah, serta secara konsisten dengan cerdik menanamkan kembali keuntungankeuntungan dalam usaha perkembangan ekonomi yang dapat diharapkan memberi keuntungan lebih lanjut. Bagi seseorang yang berdiam di Afrika Timur, perbandingan antara etika Islam mazhab Isma’iliyah dan etika Protestan menyimpulkan adanya persamaan yang besar. Perbedaannya berada dalam ajaran mengenai takdir Tuhan: Calvinisme akan menghimpit seorang pengikutnya bahwa ia adalah salah seorang yang terpilih oleh Tuhan dan harus membuktikannya melalui kerja keras dalam pekerjaan sehari-hari; tetapi, Islam tidak melakukan hal itu. Islam jauh lebih relaxed, dan mengajarkan bahwa, dengan membayar zakat, budi pekerti dan sembahyang, seorang Muslim akan dapat mencapai surga. Tidak seperti kaum Calvinis puritan, orang Islam, termasuk kaum Isma’iliyah, dapat menikmati penggunaan dan konsumsi kekayaannya dalam kehidupan sekarang, dalam batas-batas kepantasan.15 Di Indonesia, bentuk hubungan agama Islam — agama bagian terbesar penduduk — dengan kegiatan ekonomi dan perkembangan15

J.E. Goldthoorpe, The Sociology of the Third World (New York: 1975), h. 234-235. D 14 E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

nya, akhir-akhir ini mulai tampak memperoleh perhatian. Yang mulai banyak terdengar ialah penilaian optimis dan positif kepada pesantren-pesantren — lembaga pendidikan agama tradisional — sebagai tempat pendidikan dan persemaian tenaga-tenaga wiraswasta asli atau pribumi (indigenous) yang memainkan peranan sebagai pelopor dan penggerak usaha dagang ekonomi mandiri di kalangan penduduk. Meskipun penilaian itu masih agak permulaan dan harus dihadapkan kepada faktor-faktor lain dalam kaitannya dengan lokasi para santri dalam struktur masyarakat Indonesia, khususnya zaman kolonial, hal itu tampak mulai mendapat dukungan. Clifford Geertz, misalnya, meskipun hanya tentang orang-orang Islam “modernis” (Muhammadiyah, Masyumi), di kota penelitiannya, Pare, melihat adanya persamaan etika Islam itu dengan etika Protestan. Di Pare, selain Cina, kepeloporan di bidang usaha perdagangan berada pada kaum santri, khususnya dari kalangan “modernis” tersebut di atas.16 Tetapi, dukungan suatu kelompok keagamaan terhadap perkembangan ekonomi tidak senantiasa hanya didorong oleh etika keagamaan yang bersangkutan. Bentuk-bentuk hubungan tertentu, baik sosial, politis maupun geografis, sering mempunyai peranan yang lebih menentukan daripada agama. Contoh tentang hal ini ialah orang-orang Hindu Petidars tersebut di atas. Hinduisme sering dipukul rata sebagai suatu agama dengan etika yang kurang mendukung perkembangan ekonomi, disebabkan sifatnya yang menolak dunia dan sistem kastanya. Tetapi, pada kaum Petidars di Afrika Timur tampak peranan amat penting dalam perkembangan ekonomi setempat. Mungkinkah faktor kedudukan mereka yang minoritas, dan dalam politik tidak mendapat kemudahan untuk memperoleh posisi berarti, serta tempat mereka yang secara geografis jauh dari dari negeri leluhur (hingga terjadi kerenggangan ikataniakatn keagamaan), merupakan faktor yang lebih menetukan? Contoh lain ialah Cina perantauan, khususnya di Asia Tenggara, yang 16

Lihat Clifford Geertz, Peddlers and Princes. D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

umumnya merupakan pemegang peranan utama kegiatan ekonomi di negara-negara bersangkutan. Di negeri lain, mereka adalah wiraswasta-wiraswasta yang gigih dan ulet, meskipun, dari segi ajaran etika resmi mereka (ajaran Kong Hu Cu) dan tradisi di negeri asal mereka, tidak terdapat faktor-faktor yang dapat disejajarkan dengan etika Protestan. Faktor-faktor non etis religius ini mungkin saja berlaku pula pada kelompok-kelompok lain agama, bahkan pada kaum Calvinis di Eropa Barat yang disebut sebagai pelopor kapitalisme modern itu. Sebab, sebagaimana halnya orang-orang Hindu di Afrika Timur dan orang-orang Cina di Asia Tenggara pada umumnya, orang-orang Protestan pengikut Calvin itu, pada saat-saat yang lalu, berkedudukan sebagai golongan minoritas yang mengalami hambatan di bidang sosial dan politik. Mungkin saja, satu-satumya cara mendapatkan kenaikan status sosial ialah menjadi kaya dan makmur.17

Prospek Religiusitas dalam Masyarakat Industrial Untuk kelengkapan pembahasan, mungkin ada baiknya kita melanjutkannya dengan sejenak melihat prospek religiusitas dalam suatu masyarakat industrial. Juga terdapat common sense, yang dicerminkan oleh percakapan sehari-hari, bahwa industrialisasi dan modernisasi merupakan ancaman terhadap religiusitas. Meskipun penilaian itu sering disertai contoh-contoh kasus yang tidak sedikit, tidaklah berarti mengandung kebenaran yang bersifat menyeluruh. Memang benar bahwa bentuk-bentuk perubahan sosial yang menyertai proses industrialisasi mempengaruhi secara negatif kehidupan keagamaan. Misalnya, telah dikatakan pada bagian permulaan tulisan ini bahwa, dalam masyarakat industrial, peranan pengelompokan sekunder semakin menggeser pengelompokan primer. Termasuk pengelompokan sekunder ialah unit dan organi17

J.E. Goldthorpe, op. cit., h. 236-237. D 16 E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

sasi kerja atau produksi. Sedangkan kelompok primer ialah keluarga, suku, agama, dan seterusnya. Sifat kelompok sekunder adalah gesellschaft, sedangkan yang primer adalah gemeinschaft. (Selanjutnya lihat kembali pattern variables tersebut di atas). Dengan perkataan lain, formalitas, zaklijkheid dan rasionalitas semakin menggeser keakraban, kekeluargaan, dan afektivitas. Dan karena berbagai sebab, peranan orangtua, khususnya ayah, sebagai agen sosialis anak, akan semakin berkurang, digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang lain, misalnya sekolah dan pergaulan. Hal ini tentu mempunyai pengaruh dalam bentuk pengendoran pola-pola religiusitas tertentu. Tetapi, pergeseran religiusitas dalam masyarakat industrial terutama disebabkan oleh semakin dominannya peranan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, baik sosial maupun lainnya, adalah bentuk kesadaran seseorang tentang lingkungannya, baik yang jauh maupun yang dekat, serta pengetahuan atau penguasaannya atas masalah-masalah yang ada. Hal itu berarti sekurang-kurangnya semakin sempitnya daerah kegaiban atau misteri. Padahal, sebagaimana telah diterangkan, tindakan keagamaan dilakukan karena pengakuan adanya kenyataan supra-empiris atau gaib dan misteri. Berkaitan dengan konsep kegaiban atau misteri itu ialah perasaan tidak berdaya manusia menghadapi kenyataan-kenyataan yang diperkirakan tidak akan mampu dimengerti. Pada masyarakat yang didominasi oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan, suatu terra incognita menyuguhkan tantangan untuk diselidiki dan dibongkar rahasianya. Tetapi, pada masyarakat lain, ketidakberdayaan manusia menghadapi alam, melahirkan konsep dan tindakan yang bersifat religius magistis. Memuja suatu obyek alam yang dianggap memiliki rahasia dan keagungan dapat dilihat sebagai lompatan jauh seorang manusia dalam usahanya menundukkan obyek tersebut untuk kepentingan dirinya. Sedangkan jalan yang wajar (bukan loncatan jauh) ialah meneliti, menyelidiki, dan mempelajari obyek tersebut. Jadi, proses industrialisasi akan membawa serta akibat menurunnya religio-magisme yang, untuk sebagian masyarakat, merupaD 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

kan religiusitas itu sendiri. Maka, bagi mereka ini, industrialisasi memerosotkan religiusitas. Akan tetapi, bagi masyarakat lain, industrialisasi dan modernisasi mungkin justru menopang dan meningkatkan religiusitas. Kembali ke empat dimensi religiusitas tersebut di muka, religiusitas yang paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya intrinsik, atau cultural consumatory. Yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak mengharapkan kegunaan di luar imannya sendiri. Dimensi religiusitas inilah yang agaknya akan semakin diperkuat oleh adanya pola-pola hubungan masyarakat industrial. Karena hal-hal yang bernilai instrumental telah dengan melimpah disediakan oleh struktur dan pola masyarakat industrial itu, maka agama menjadi semakin murni, dalam arti bahwa keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai instrumental. (Contoh sederhana ialah, karena “instrumen” untuk memberantas hama tanaman dalam suatu masyarakat industrial telah disediakan oleh ilmu dan teknologi — misalnya dalam bentuk insektisida — maka orang akan semakin berkurang mendekati Tuhan — misalnya dalam bentuk doa — dengan tujuan agar tanamannya di sawah tidak terkena hama; ia mungkin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural instrumental ke cultural consumatory, di mana ia melihat ibadat sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sumber kebahagiaan). Jadi, religiusitas yang tidak terancam oleh proses industrialisasi dan modernisasi, malahan memperoleh topangan dan pengukuhan, ialah yang bebas dari magisme, yaitu naturalisasi tindakan-tindakan manuisa (physiomorphism of man). Tetapi, syarat lainnya ialah religiusitas itu harus bersandar kepada konsep wujud supra-empiris yang tidak akan bergeser menjadi empiris. Dengan perkataan lain, sumber kepercayaan dan nilai keagamaannya harus dapat dijamin tidak akan dapat dimengerti manusia dan diketahui rahasia-rahasianya. D 18 E


F MASYARAKAT RELIGIUS DAN DINAMIKA INDUSTRIALISASI G

Apakah ada kenyataan serupa itu? Seorang penganut ďŹ lsafat materialisme (komunisme) akan mengatakan tidak ada. Sebab, dengan kecerdasannya, manusia, menurut ďŹ lsafat itu, selalu mempunyai potensi untuk memahami dan membuka kenyataan apa saja dalam alam raya ini. Suatu obyek yang dahulu dianggap agung dan penuh misteri atau kegaiban sehingga patut dipuja, misalnya matahari, kini sudah semakin dipahami manusia dan terbuka rahasia-rahasianya. Matahari telah berhenti sebagai kenyataan supraempiris, dan hanya menjadi obyek empiris biasa, sehingga tidak pantas lagi manusia menyembahnya. Maka, bagi seseorang yang religiusitasnya berkaitan dengan konsep kegaiban matahari, proses industrialisasi dan modernisasi benar-benar telah menghapuskan sama sekali religiusitas itu. Tetapi, teori komunis masih harus ditunggu bukti kebenarannya sampai dengan lengkapnya pengalaman manusia dan pengetahuannya yang meliputi segala wujud di jagat raya ini. Tetapi, di sinilah letak paradoksnya: justru suatu kenyataan disebut supra-empiris karena ia tidak mungkin dibuktikan ada-tidaknya melalui prosedur dan norma empiris. Manifestasi tunggal adanya kenyataan supra-empiris itu hanya dirasakan oleh mereka yang meyakini dan menerima dengan sungguh-sungguh ajaran tentang adanya kenyataan itu. Hal ini membawa kita ke ungkapan sederhana, namun mungkin sekali mengandung kebenaran yang bersifar prinsipal, bahwa ada atau tidak adanya religiusitas, baik di masyarakat industrial maupun lainnya, tergantung kepada kegiatan penanaman iman oleh masyarakat bersangkutan, yaitu pendidikan keagamaan pada umumnya. [™]

D 19 E


F KEDUDUKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT INDUSTRIAL G

KEDUDUKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT INDUSTRIAL Oleh Nurcholish Madjid

Manusia yang Terbebaskan dan yang Terasingkan Pertama-tama kita bicarakan pengertian tentang manusia (konsep antropologis). Khususnya yang bersangkutan dengan cita-cita tentang manusia. Bagaimanakah gambaran tentang seorang manusia ideal, dan bagaimana pula gambaran tentang seorang manusia yang tidak dikehendaki? Gambaran tentang seorang manusia yang diidam-idamkan ialah — sebut saja — seorang manusia yang terbebaskan (the liberated man). Mungkin akan dikatakan bahwa seorang manusia yang bebas ialah dia yang pemurah dan tak berkeinginan-keinginan; dia adalah juga seorang yang kreatif, yang mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya dalam suatu tindakan penciptaan tanpa paksaan, baik dalam pekerjaan berupa kerajinan tangan, kegiatan intelektual maupun seni, atau dalam hubungan-hubungan dan persahabatannya dengan orang lain. Seorang manusia yang bebas mampu secara sepenuhnya merasakan kesendiriannya dan kemasyarakatannya dalam waktu yang sama. Dia adalah seorang pribadi tanpa berhala-berhala, dogma-dogma, prasangka-prasangka, ataupun pikiran-pikiran a priori. Dia bersikap toleran, disemangati oleh rasa yang mendalam akan keadilan dan persamaan, dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia individual dan manusia universal sekaligus. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Sedangkan gambaran tentang manusia yang tidak dikehendaki, tentu saja kebalikan dari yang tersebut itu semua. Kita sebut saja — sesuai dengan istilah yang sekarang umum dipakai — manusia terasingkan (the alienated man). Kemungkinan alienasi terdapat jika seseorang baik secara aktif maupun pasif mencari hubungan dengan alam dan dunia obyektif di sekelilingnya sebagai tujuan hidup dalam rangka mengenal dirinya sendiri. Para ahli antropologi budaya modern menerangkan betapa proses imperatif pengenalan diri sendiri secara bersinambungan itu berakar dalam sifat alamiah manusia. Seorang yang mengalami alienasi tidak sanggup berpikir dan berbuat sendiri; dia senantiasa merujuk kepada tujuan-tujuan hidupnya dari dunia obyektif ini: kekayaan, kesenangan, simbolsimbol prestise ataupun sesuatu yang tidak terlampaui materiil tetapi dijadikan sesuatu yang mutlak. Hidupnya dihabiskan dalam berkeinginan, berpengharapan, berputus asa, memuja dan merendahkan atau menghina. Seorang yang mengalami keterasingan selalu tegang, “siap tempur� dan kasar, tidak sanggup hidup, baik dalam suatu dialog dengan orang-orang lain ataupun dalam suatu kedamaian terhadap diri sendiri.

Pengaruh Antropologis Industrialisasi Uraian di atas mungkin tidak perlu seluruhnya diambil secara serius, karena menggambarkan keadaan-keadaan yang ekstrem. Tetapi hal itu diperlukan untuk menyamakan referensi tentang masalah kemanusiaan (antropologis) sebelum memasuki sesuatu yang lebih praktis. Tidak dapat diingkari bahwa perkembangan teknologi telah menciptakan kemungkinan bagi perbaikan dalam tingkat hidup sejumlah besar manusia, mengangkat dari penderitaan fisik, membebaskan dari kerja berat dan memperpanjang umur. Seseorang yang lapar, kedinginan, atau sakit tidak dapat memiliki dirinya sendiri. Dari segi ini maka teknologi merupakan pembebas. D2E


F KEDUDUKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT INDUSTRIAL G

Dan teknologi itu merupakan tulang punggung masyarakat industrial. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa teknologi membangkitkan kecerdasan, dan merangsang inisiatif dan kreativitas. Itu adalah pendapat ekonom-ekonom Prancis, Georges Fourestie dan Lou Armand. Para ekonom itu bahkan berpendapat bahwa kaum pekerja, setelah mengalami perkembangan terus-menerus dari sektor pertanian ke sektor industri dengan teknologinya yang maju (dinamakan sektor-sektor primer dan sekunder), akan selanjutnya berkembang ke sektor ketiga (tertier) berupa pelayanan-pelayanan (services) yang bersifat pribadi. Sebagai contoh, otomatisasi (automation) akan memerlukan hanya sedikit pekerja dan teknisi, tetapi permintaan akan perias rambut, pencuci pakaian dan pelicinannya, pelukis, tukang reparasi, dokter gigi, dokter umum, guru, pegawai-pegawai bank, asuransi dan sebagainya akan bertambah. Karena permintaan akan barang-barang konsumsi tidak dapat tumbuh tanpa batas maka suatu titik kejenuhan akan segera tercapai, dan manusia akan menuntut lebih banyak “kebutuhan� di luar bahan makanan dan alat-alat rumah tangga, berupa hasil-hasil karya seni. Berkat sifat kerja dalam sektot tertier dan berkat penyebaran universal kebudayaan, manusia akan mampu sepenuhnya berkembang sebagai individu yang bebas. Apalagi industri beserta teknologinya akan meyumbang bagi perwujudan hubungan-hubungan sosial yang lebih bersahabat menuju kepada keadilan dan persamaan sosial. Setidak-tidaknya itulah yang diharpkan menjadi masa depan industri dan teknologi. Jika semuanya itu benar maka industrialisasi akan memengaruhi manusia dalam suatu nilai yang positif. Nehru mengatakan bahwa sistem kasta (faktor dehumanisasi terkuat di India) mustahil bertahan dalam kereta api atau pada ban berjalan di suatu pabrik. Dan Lenin mengatakan bahwa sosialisme (humanisme) akan terwujud melalui perlistrikan serta industri pada umumnya. Tetapi kita hanya harus menengok ke sekeliling kita (dalam arti global atau dunia) untuk mendapatkan bahwa zaman emas itu D3E


F NURCHOLISH MADJID G

rasanya justru semakin jauh. Apakah sebenarnya yang diberikan oleh peradaban industri dan teknologi kepada umat manusia pada abad ke-20 ini? Kota-kota yang berkembang dengan udara yang dikotori, usaha-usaha bisnis yang luas serta pembagian-pembagian pemerintahan yang tak kenal pribadi (impersonal), pers, radio, dan televisi yang mengeksploitasi sentimen-sentimen manusia yang paling rendah dan kebutuhan-kebutuhan publik yang paling kasar, dan jumlah amat besar dana yang dipergunakan untuk membiayai peperangan yang mengerikan; di mana-mana terdapat penderita penyakit mental yang menyedihkan dan bertambah-tambah, serta terdapat kecenderungan umum mundurnya demokrasi berhadapan dengan totalitarianisme dan kediktatoran. Wajah yang menakutkan dan mengancam inilah yang disajikan oleh dunia industri, teknologi, dan ilmu pengetahuan kita akhir-akhir ini. Maka kita berhak untuk bertnya, mengapa justru industrialisasi yang mampu membebaskan manusia dan mendobrak temboktembok penghalang di dunia ini, juga menimbulkan keadaan sebaliknya, yaitu alienasi manusia?

Peranan Agama Alienasi ditimbulkan oleh masyarakat industrial dikarenakan sifat dasar masyarakat itu sendiri. Secara ringkas dapat diterangkan sebagai berikut: motivasi terkuat sistem kerja dalam masyarakat industrial ialah peningkatan produksi dan keuntungan setinggitingginya (proďŹ t making). Hal itu menuntut adanya eďŹ siensi sejauh mungkin. EďŹ siensi itu didapatkan dengan menggunakan sistem kerja yang birokratis (Weber: cara pembukuan adalah faktor terpenting masyarakat industri), di mana hubungan menjadi zaklijk dan fungsional, jadi tak kenal pribadi atau impersonal. Dalam proses selanjutnya depersonalization itu adalah juga berarti dehumanization, yaitu alienasi seseorang dari diri dan kemanusiaannya sendiri. D4E


F KEDUDUKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT INDUSTRIAL G

Sekarang apakah yang diperlukan oleh masyarakat industrial yang melahirkan alienasi itu? Yang jelas, “mengembalikan jalannya jarum jam” adalah sesuatu yang tak mungkin. Industrialisasi merupakan proses sejarah. Bukan karena suatu determinasi sosial dan historis, tetapi agaknya itulah yang menjadi ketetapan hati semua bangsa di dunia. Tapi manusia memerlukan sesuatu yang sekurang-kurangnya mempunyai efek pengerem kecenderungan dan sifat dasar masyarakat industrial tadi. Manusia memerlukan sesuatu yang dapat secara pasti memberikan jawab atas pertanyaan: apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini? Mungkin sesuatu itu ialah agama. Harus disebutkan “mungkin”, karena memang keraguan segera timbul jika melihat kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Skeptisisme itu sepenuhnya beralasan, karena memang senantiasa ada jurang — lebar ataupun sempit — antara ajaran dan kenyatan. Maka yang dimaksudkan dengan agama di sini ialah dalam bentuknya yang mendalam dan universal (keagamaan an sich), bukan yang ada secara sosiologis. Dengan menyadari kesulitan yang amat besar untuk menegaskan tentang apa yang dimaksudkan dengan “agama murni”, namun kiranya beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan pangkal tolak penelaahan dan perenungan lebih lanjut: 1. Kebutuhan atau kepercayaan kepada Tuhan dengan segala atributnya. 2. Hubungan yang “personal” dan intim dengan Tuhan. 3. Doktrin tentang fungsi sosial harta kekayaan: tujuan hidup bukanlah pada terkumpulnya kekayaan itu tetapi pada cara penggunaannya untuk sesama manusia. 4. Pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak dapat didekati secara empiris atau induktif, melainkan dengan cara deduktif atau “percaya”. 5. Kepercayaan akan adanya kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Penutup Dengan asumsi bahwa kita semua telah mengetahui tentang doktrin atau ajaran-ajaran agama, sekalipun pokok-pokoknya saja, maka uraian ini lebih menekankan kepada arti penting (signiďŹ cance) ajaran-ajaran itu di dalam masyarakat, khususnya masyarakat industrial, dengan terlebih dahulu mencari pengertian tentang sifatsifat dan akibat-akibat masyarakat industrial itu yang mengandung nilai kemanusiaan, positif maupun negatif. [™]

D6E


F TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN G

TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN Oleh Nurcholish Madjid

Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita dan lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang, termasuk para pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan maknanya. Kesulitan itu terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi — ciriciri utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan jaringan masyarakat serta lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dengan akibat timbulnya rasa tidak menentu serta kejutankejutan, dan memisahkan manusia semakin jauh dari kepastian moral dan etis tradisional mereka. Inilah tantangan yang dihadapi agma-agama. Untuk sampai pada segi operasional agama dalam tindakan nyata manusia, yang menjadi tekanan dalam pembicaraan ini, kita harus mempertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan manusia, yang meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan kekeluargaan dan kepribadian. Dalam konteks-konteks inilah seseorang mendefinisikan dirinya dalam hubungannnya dengan orang lain, lalu menerima atau menolak nilai kewenangan, dan menentukan pilihan akan apa yang hendak dilakukan atau tidak, untuk memberi makna kepada hidup ini.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Tanggung Jawab Pribadi Perubahan mendalam yang dihadapi umat manusia dalam memasuki abad ke-21 ini, dari satu segi, merupakan kelanjutan seluruh proses modernisasi dunia. Proses itu, yang langsung berkaitan dengan konteks dramatis kehidupan manusia di atas, melipatkan pandangan perseorangan yang relatif otonom, dengan kemampuan besar untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi baru dan inovasi. Pribadi seperti itu mempunyai tingkat kesadaran diri yang relatif tinggi, dan menuntut struktur kekeluargaan, di mana kebebasan dan harkat pribadinya akan diakui, dan di mana ia dapat menemukan keterkaitan dengan orang lain, tidak dalam rangka kewenangan dan ketaatan semata, melainkan dalam rangka perkawanan dan partisipasi yang hangat. Pribadi serupa itu juga menuntut suatu masyarakat di mana ia merasa bisa berpartisipasi penuh, yang tujuan-tujuan masyarakat itu dapat mendukungnya, dan dapat menyumbang untuk mencapainya. Dan akhirnya, pribadi itu memerlukan suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang terbuka untuk masa depan, yang memberi penilaian positif kepada usaha memperbaiki kondisi hidup di dunia ini, dan yang bisa menolong menerangkan apa makna setiap gejolak dan gangguan dalam proses sejarah manusia. Melihat berbagai bentuk kehidupan keagamaan yang kita kenal sekarang, barangkali dibenarkan membuat generalisasi, bahwa semua agama mengajarkan tanggung jawab. Agama Islam, misalnya, mengajarkan dengan kuat sekali tanggung jawab pribadi di hadapan Pengadilan Tuhan di Hari Kemudian. Selanjutnya, tanggung jawab pribadi itu membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus, dan tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan menggunakan istilah keagamaan Islam yang lebih khusus, iman yang pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang memasyarakat. Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan D2E


F TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN G

kognitif; kebenaran harus mewujudkan diri dalam tindakan. Dari sini, memancar berbagai implikasi keagamaan dan kemasyarakatan yang harus diperankan oleh agama dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan mereka di abad modern ini. Berbarengan dengan tekanan agama pada tanggung jawab pribadi di hadapan Allah ialah penegasannya akan persamaan manusia, tanpa memandang ras, warna, maupun jenis. Dihubungkan dengan tekanan bahwa Tuhan-lah yang mutlak, sedangkan segala sesuatu selain-Nya, termasuk manusia dan hal-hal kemanusiaan, adalah relatif, maka paham persamaan manusia itu menghendaki tidak terjadinya sikap-sikap otoriter seseorang dalam kehidupan sosial. Tidak seorang pun dibenarkan memutlakkan diri dan “penemuan”-nya akan suatu kebenaran, seolah-olah berlaku sekali untuk selamanya — karena, hal itu akan berakhir dengan tindakan menyaingi Tuhan. Sebaliknya, masalah-masalah antarmanusia harus diselesaikan bersama, melalui proses take and give, mendengar dan mengemukakan pendapat, yaitu proses musyawarah. Konsultasi, dan bukannya pendiktean, adalah yang secara orisinal diajarkan oleh agama-agama, disebabkan oleh adanya prinsip ketuhanan yang ada pada agama-agama itu. Paham persamaan manusia itu tidak cukup mengejawantah dalam bidang sosial politik saja, tapi harus berlanjut ke bidang sosial ekonomi. Sebagaimana manusia mempunyai hak dan kewajiban yang, pada prinsipnya, sama dalam bidang sosial politik, mereka juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama di bidang sosial ekonomi. Agama Islam, misalnya, menunjukkan bahwa dalam masa-masa paling awal pertumbuhannya dalam periode Makkah kehidupan Nabi — sebagaimana tercermin dalam surat-surat pendek al-Qur’an — tekanan yang diberikan ialah kepada masalah monoteisme dan keadilan sosial. Nabi Muhammad sangat prihatin oleh adanya ketimpangan ekonomis di antara para warga kota Makkah dan sebagainya. Dan karena ada keterkaitan antara soal keadilan sosial dan paham persamaan manusia berdasarkan paham kemahaesaan Tuhan, maka seruan al-Qur’an kepada umat manusia D3E


F NURCHOLISH MADJID G

ialah hendaknya mereka menerima keesaan Tuhan itu dan keesaan manusia sejagad. Usaha mengatasi ketimpangan dalam kehidupan manusia bermasyarakat itu merupakan tanggung jawab manusia. Usaha itu menjadi inti dari program kemanusiaan “membangun kembali dunia” (ishlāh al-ardl, world reform), yang harus dilakukan manusia “atas nama Tuhan” dengan penuh rasa tanggung jawab kepada-Nya, karena sesungguhnyalah manusia ini bertindak di bumi sebagai wali pengganti (khalīfah) Tuhan. Maka, baik dan buruk dunia ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia, dan manusia harus dengan penuh kesungguhan memperhitungkan tindakan-tindakan yang dipilihnya di hadapan Tuhan.

Kerja Sama Kemanusiaan Disebabkan tanggung jawab itu, yang harus ia lakukan dengan senantiasa berpijak pada prinsip persamaan, manusia diseru untuk senantiasa menggalang kerja sama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Untuk itu, manusia didorong agar senantiasa mencari titik-titik persamaan sebanyak mungkin antara berbagai komunitasnya. Dan sepanjang mengenai Islam, titik persamaan yang terpenting ialah kesadaran ketuhanan dan rasa tanggung jawab di hadapan Tuhan. Sesungguhnya, persoalan umat manusia, termasuk persoalan yang dihadapi pada zaman modern ini, bisa direduksi menjadi semata-mata persoalan tanggung jawab manusia kepada Tuhan: sampai di mana mereka melaksanakan atau tidak melaksanakan tanggung jawab itu, dan sampai di mana pelaksanaan itu menyiapkan manusia menghadapi hari esok. Kerja sama kemanusiaan, pada gilirannya, dan sebagaimana telah disinggung di muka, menghendaki kebebasan suatu kelompok dari klaim akan kebenaran mutlak. Setiap komunitas senantiasa mempunyai potensi untuk memiliki suatu jenis kebenaran, karena “tidak satu pun komunitas mausia telah lewat dalam sejarah, D4E


F TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN G

kecuali pasti pernah datang kepadanya pengajar kebenaran”. Jadi, tidak ada hak istimewa yang eksklusif dari suatu komunitas untuk memiliki secara sendirian kebenaran itu. Tuhan adalah tunggal, kebenaran pun tunggal, dan kemanusiaan juga tunggal adanya. Itu semua secara tak terhindarkan mengharuskan adanya kerja sama antarmanusia “atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan atas dasar dosa dan rasa permusuhan”. Dan itulah inti pandangan hidup yang terbuka bagi masa depan, salah satu yang diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan abad modern. Tidak seluruh persoalan hidup manusia bisa dipahami manusia. Seperti halnya dengan seluruh jagat raya, peri hidup manusia adalah pagelaran ilmu, kodrat, dan iradat Tuhan. Sekarang, ilmu Tuhan itu tak mungkin terjangkau manusia, kecuali sedikit yang dikehendaki Tuhan sendiri. Bahkan, seandainya seluruh lautan menjadi tinta, untuk menuliskan ilmu Tuhan, lautan itu akan habis sebelum ilmu Tuhan habis, malah sekalipun masih ditambah dengan lautan seluas itu lagi. Itulah kemutlakan Tuahn. Maka Tuhan, yang Diri-Nya tak mungkin terjangkau manusia itu, adalah sebuah mysterium, tremendum, dan fascinosum — suatu misteri yang menimbulkan rasa kehebatan dan keingintahuan yang tak habis-habisnya. Tapi justru karena kemutlakan-Nya, maka Tuahn tidak mungkin diketahui, sebab, “diketahui” adalah “dikuasai”. Namun, Tuhan dapat didekati (taqarrub) melaui ibadat yang tulus kepada-Nya, dan kegiatan kemanusiaan, serta diinsyafi secara mendalam akan kehadiran-Nya (taqwā), yang kesadaran ketuhanan itu sendiri pun, pada urutannya, menuntut konsekuensi kemanusiaan. Sementara itu, meskipun manusia tidak mungkin mengetahui Diri dan Hakikat Tuhan, namun manusia diperintahkan, dan bisa menindakkan, untuk bergiat memahami alam, sebatas yang mungkin. Justru adanya kemampuan berilmu itulah yang menjadi dasar penunjukan manusia menjadi wali pengganti Tuhan di bumi. Karena itu, manusia harus aktif berilmu dan beramal, dalam rangka tugas kekhalifahan itu. Eskatologi Islam, misalnya, D5E


F NURCHOLISH MADJID G

mengajarkan bahwa masa depan manusia tetap terbuka, sampai akhirnya manusia bisa mengetahui “tanda-tanda” Tuhan di seluruh cakrawala (makro kosmos) dan dalam diri manusia sendiri (mikro kosmos), yang pengetahuan akan tanda-tanda itu akan mengantar manusia ke pengakuan yang tulus akan kebenaran Tuhan. Hal ini berarti bahwa pengetahuan manusia akan hidupnya sendiri dan lingkungannya akan terus berkembang. Daerah misteri akan semakin menciut, meskipun tak mungkin habis. (Sebab, habisnya misteri akan sama artinya dengan terketahuinya dan terkuasainya Tuhan). Dan dalam proses yang di dalamnya terus berlangsung penyingkapan rahasia-rahasia itu, yang hal itu berjalan sejajar dengan proses pengembangan ilmu, setiap penafsiran akan alam dan wujud, seperti yang diberikan oleh paham-paham dan agamaagama, yang benar-benar tidak sesuai dengan ilmu tersebut, akan dengan sendirinya tersingkir. Suatu nuktah dalam ajaran agama yang benar-benar tidak bisa didukung oleh ilmu, akan tidak mampu bertahan. Ini didemonstrasikan oleh melenyapnya berbagai paham dan ajaran, yang setelah berhadapan dengan ilmu itu merosot nilainya menjadi sekadar mitologi, dongeng, superstisi, takhayul, klenik, dan seterusnya. Jadi, sebagaimana ilmu dan teknologi — yang menjadi inti kemodernan — harus bersedia dihadapkan kepada ujian pertimbangan moral dan etis, karena harus bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Agama pun, jika ia ingin bertahan, dalam batas-batas tertentu, harus bersedia dihadapkan kepada pengujian oleh ilmu pengetahuan. Agama adalah supra-rasional. Namun, sesuatu yang supra-rasional tidak berarti dibenarkan “bertentangan” dengan rasio, tapi ia hanya berada pada tingkat yang lebih tinggi. (Analog dengan itu ialah bahwa rasio adalah supra-indera, tetapi yang rasional tidak berarti bertentangan dengan yang inderawi, hanya lebih tinggi tingkatnya). Agama selalu menjadi sumber sistem nilai, dan sistem nilai memberi dimensi moral sebagai landasan pembangunan peradaban. Maka, jika suatu agama tidak membangun peadaban, tidak bisa bertahan — karena bertabrakan dengan ilmu, misalnya — sistem nilainya D6E


F TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN G

pun akan ikut ambruk, kemudian pada urutannya peradabannya pun ambruk pula. Jika ini terjadi, maka itulah pengalaman sejarah manusia yang paling pahit, sebagaimana dapat kita telaah dari berbagai kejadian masa lampau. Ini pun akan menjadi tantangan serius abad modern bagi agama. Dapatkah suatu agama, agama mana pun, bertahan sebagai mysterium, tremendum, dan fascinosum, sehingga tak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas? Jika dapat, maka agama itu akan tetap bertahan, betapa pun perubahan dunia ini, dan ia akan selalu menjadi sumber dinamis manusia mencari pemecahan persoalan hidup nyata mereka. [™]

D7E


F NENERAPA SEGI AJARAN DALAM AL-QUR’AN G

BEBERAPA SEGI AJARAN DALAM AL-QUR’AN DAN PEMECAHAN PERSOALAN UMAT MANUSIA DEWASA INI Oleh Nurcholish Madjid

Persoalan Umat Manusia Dewasa Ini Barangkali sudah menjadi kesepakatan umum bahwa umat manusia saat sekarang sedang menghadapi persoalan yang harus dipecahkan. Sudah jelas bahwa kapitalisme Barat, yang kini sedang “memonopoli” merk kemodernan, tidak disepakati oleh semua orang sebagai jalan yang terbaik. Karena itu, timbul berbagai gejala yang merupakan percobaan memberi alternatif, terpenting di antaranya ialah gejala komunisme. Tetapi, akhir-akhir ini juga mulai tampak gejala spiritualisme yang meluangkan kemungkinan bagi semakin diterimanya agama-agama Timur, khususnya agama Hindu dan Budha di dunia Barat. Tidak terbantah lagi bahwa apa yang telah dicapai oleh peradaban modern (Barat) merupakan suatu prestasi manusia yang luar biasa dan tanpa tandingan sebelumnya. Tetapi, semakin diakui oleh setiap orang, termasuk di antaranya ialah sebagian pemilik peradaban itu sendiri, bahwa hasil itu terlalu terbatas pada kehidupan lahiriah. Untuk pertama kalinya, manusia benar-benar mengalami situasi di mana mereka mulai khawatir dan takut kepada hasil kerja tangannya sendiri: ilmu pegetahuan dan teknologi. Sebab, sekalipun kedua unsur pokok peradaban modern ini harus diakui telah banyak sekali memperbaiki nasib sebagian besar umat D1E


F NURCHOLISH MADJID G

manusia, tetapi harus diakui pula bahwa dalam dirinya terkandung unsur-unsur destruktif, misalnya hilangnya kedamaian hidup yang bersifat menyeluruh dan asasi. Peradaban modern Barat adalah pincang karena tekanannya yang berlebihan kepada kekinian dan kedisinian atau duniawi, dan kurang sekali memperhatikan hal-hal yang bersifat lebih mendalam dan langgeng. Hal ini merupakan alasan bagi terjadinya berbagai ketegangan, sebab setiap orang atau kelompok memperebutkan kekayaan materiil yang ternyata terbatas itu. Komunisme ditawarkan, dan dicoba, sebagai alternatif atau jalan keluar dari persoalan kapitalisme itu. Dengan tekanan kepada segi keadilan sosial dan ekonomi, komunisme mencoba hendak menemukan kembali untuk kedamaian hidup dalam peradaban materil. Tetapi, komunisme berjalan lebih jauh lagi dalam proses meninggalkan kehidupan ruhani, bahkan melakukannya dengan kesadaran penuh dan “profesional�. Kini, dunia tampak seperti hendak meninjau kembali penilaiannya kepada komunisme, khususnya dunia intelektual, dengan kecenderungan yang semakin positif. Agaknya mereka ini mulai belajar mengakui bahwa komunisme memang sungguh merupakan alternatif yang lebih baik daripada kapitalisme Barat, tetapi masih enggan untuk membayar harga sistem yang totaliter itu, yaitu dengan kemerdekaan pribadi. Dan tampaknya mereka tetap menghindar untuk mempertanyakan, apakah benar seseorang atau masyarakat dapat merasakan hidup dalam kedamaian, sekalipun adil segi sosial ekonominya, jika tidak percaya kepada Tuhan. Memang, pemilik sesungguhnya peradaban modern Barat bukanlah golongan terbesar umat manusia (terbatas hanya pada masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara saja). Tetapi, pengaruh yang mereka sebarkan mewarnai kehidupan umat manusia di seluruh pelosok bumi, tak terkecuali masyarakat negara-negara berkembang yang di situ praktis semua negara Muslim termasuk. Kenyataan ini membenarkan penyederhanaan bahwa persoalan umat manusia dewasa ini ialah persoalan kapitalisme yang pincang D2E


F NENERAPA SEGI AJARAN DALAM AL-QUR’AN G

dan tak adil, juga persoalan komunisme atau sosialisme sebagai alternatif yang tak sempurna.

Doktrin “Kejatuhan” Manusia Dalam Kitab Suci al-Qur’an terdapat ajaran yang agaknya merupakan asal-muasal ketidakdamaian hidup manusia dan kerincuhannya. Ajaran atau doktrin itu ialah yang berada di sekitar “kejatuhan” (Arab: hubūth, Inggris: fall). Yaitu kejatuhan Adam dan Hawa dari surga ke dunia atau bumi karena melanggar larangan Tuhan memakan buah pohon “khuldi”. Doktrin itu selengkapnya termuat di berbagai tempat dalam al-Qur’an. “Tuhan berfirman: ‘Turunlah kamu (Adam dan Hawa), sebagian darimu akan menjadi musuh sebagian yang lain, dan bagimu di bumi tempat tinggal dan kesenangan sementara’. Tuhan bersabda seterusnya: ‘Di bumi itu kamu hidup, di situ pula kamu mati, dan dari situ kamu akan dikeluarkan,’” (Q 7:25-26). 1

Dari situ kita dapat menarik pelajaran bahwa Adam dan Hawa, yaitu dua manusia yang menjadi ayah dan ibu umat manusia, karena melanggar larangan Tuhan, menerima hukuman diusir dari surga, dan mendapat kutukan bahwa kehidupan mereka di bumi akan merupakan sesuatu yang tak damai, penuh permusuhan. Manusia kehilangan hidup damainya yang abadi di dalam alam surgawi, digantikan dengan kehidupan duniawi yang bersifat sementara. Inilah sesungguhnya sifat kehidupan di bumi ini: rincuh dan singkat. Keterangan lebih khusus juga dapat ditemui di dalam Kitab Suci di berbagai tempat. Kelengkapan doktrin itu selanjutnya mengatakan, sebagaimana terbaca, misalnya di dalam surat Thāhā yang terjemahannya berikut ini: 1

Doktrin yang sama juga terdapat di dalam Q 2:37 dan Q 20:124. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

“Tuhan berfirman: ‘Turunlah kamu semua dari sini (surga), sebagian kamu menjadi musuh sebagian lainnya. Maka, jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku itu, ia tidak akan sesat dan tidak akan sengsara. Dan barangsipa berpaling dari ajaran-Ku, maka sesungguhnya baginya ialah kehidupan yang sesak (“rupeg”), dan Kami akan membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan buta’. Orang itu akan berkata: ‘Tuhanku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku melihat?’ (Tuhan) berfirman (menjawab): ‘Begitulah, telah datang kepadamu ajaran-Ku, kemudian kamu melupakannya; maka demikianlah hari ini kau terlupakan.’ Begitulah Kami membalas orang yang berlebihan dan tidak percaya kepada ajaran Tuhannya. Dan sungguh, siksa di hari kemudian itu lebih hebat dan lebih pedih,” (Q 20:124-128).

Doktrin yang semakna juga terdapat di tempat-tempat lain, khususnya di dalam surat al-Baqarah/2:37-40. Doktrin ini mengatakan bahwa kutukan Tuhan kepada manusia berupa kesengsaraan hidup di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dicabut oleh-Nya. Dengan kasih-Nya, Allah menunjukkan kepada manusia jalan mengatasi kerupegan hidupnya, yaitu dengan mengikuti petunjuk yang diberikan-Nya kepada umat manusia melalui utusan-utusan atau Rasul-rasul-Nya, yaitu ajaran-ajaran agama. Kehidupan sengsara hanya dialami oleh mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran Tuhan.

Negeri Perdamaian Hakikat kehidupan dunia ialah bahwa ia sangat menarik dan menggiurkan, tetapi sangat bersifat sementara dan jangka pendek (‘ājilah). Maka, bagi mereka yang memusatkan perhatiannya hanya kepada kehidupan duniawi akan mendapatkan kekecewaan dan kepedihan hidup. Sedangkan Allah menyeru manusia untuk D4E


F NENERAPA SEGI AJARAN DALAM AL-QUR’AN G

memasuki negeri perdamaian atau dār al-salām. Hal ini dengan jelas dapat dipahami dari firman: “Sesungguhnya perumpamaan hidup duniawi hanyalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, kemudian berpadu dengan tumbuhan bumi yang menjadi makanan manusia dan binatang; sehingga tatkala bumi mulai berhias diri dan tampak indah menarik, dan penghuninya menyangka bahwa mereka mempunyai kekuasaan atas bumi itu, tiba-tiba datang perintah Kami di malam atau siang hari, kemudian Kami jadikan bumi itu gundul seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu apa pun hari kemarinnya. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat Kami untuk kaum yang berpikir. Dan Allah menyeru kepada Negeri Perdamaian, serta menunjukkan siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” (Q 10:25-26).

Bahwa kehidupan yang penuh kedamaian merupakan sesuatu yang dijanjikan oleh Allah kepada umat manusia melalui ajaranNya, dapat ditarik dari ayat-ayat tersebut, juga dapat disimpulkan dari ayat-ayat lainnya: “Inilah jalan Tuhanmu yang lurus. Sungguh, Kami telah menerangkan ajaran itu untuk kaum yang berpikir (ingat). Bagi mereka ialah Negeri Perdamaian (dār al-salām) di sisi Tuhan mereka, dan Dia menjadi pelindung mereka karena apa yang mereka pernah kerjakan,” (Q 6:126-127).

Dengan jelas sekali jalan lurus yang mengantarkan manusia ke Negeri Perdamaian itu dikaitkan dengan kerasulan, risālah atau mission Nabi Muhammad yang menerima wahyu al-Qur’an itu dalam surat al-Syūrā/42:52-53: “Demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu ruh (jiwa) dari perintah Kami. Engkau tidak mengetahui sebelumnya apa itu Kitab Suci, tidak pula apa itu iman. Tetapi, Kami telah menjadikannya D5E


F NURCHOLISH MADJID G

cahaya yang dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar menunjukkan ke arah jalan yang lurus. Yaitu jalan Allah yang menguasai segala sesuatu di langit dan di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah juga segala perkara itu menuju”.

Jadi, kehidupan yang penuh kedamaian itu akan dialami oleh manusia, jika ia mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagaimana termuat dalam al-Qur’an, yang berisi ruh atau jiwa perintah Tuhan (rūh-an min amr-inā). Jiwa perintah atau ajaran itu hendaknya menyatu begitu rupa dengan diri dan jiwa manusia, sehingga menjadi cahaya (nūr) yang menghayati, menghangati, dan menafasi seluruh hidupnya. Semangat demikian, yaitu semangat yang timbul karena resapan mendalam akan rasa ketuhanan Yang Mahaesa (tawhīd), akan melahirkan kehidupan penuh moral atau akhlak. Dengan semangat itu seluruh kegiatan hidup manusia memiliki nilai sebagai kebaktian atau ibadat; sebab, kegiatan itu dilakukan dalam satu-kesatuan semangat yang menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya asal dan tujuan hidup (bism-i ’l-Lāh — li ’l-Lāh). Kehidupan yang tak mengenal rasa takut atau khawatir, karena penghayatan yang tulus dan mendalam akan rasa ketuhanan Yang Mahaesa itu, dengan gamblang, dilukiskan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya, mereka yang berkata: ‘Tuhan kami ialah Allah, Tuahn Yang Mahaesa’, kemudian mereka itu teguh dan mantap, para malaikat akan turun kepada mereka dan berkata: ‘Janganlah kamu merasa takut atau khawatir, dan bergembiralah dengan adanya surga yang dijanjikan untuk kamu. Kami (para malaikat) adalah teman-teman kamu dalam hidup dunia dan di akhirat. Dan di sana bagimu apa yang diinginkan oleh jiwamu, dan di sana bagimu apa yang kamu kehendaki. Itulah sebagai ganjaran dari Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang,” (Q 41:31-33). D6E


F NENERAPA SEGI AJARAN DALAM AL-QUR’AN G

Demikian pula firman-Nya: “Sesungguhnya, mereka yang berkata: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian teguh dan mantap, maka tidak ada rasa takut menimpa mereka dan tidak pula mereka gelisah. Mereka itulah penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang pernah mereka lakukan” (Q 46:13-14).

Kesungguhan peresapan rasa ketuhanan dan penghayatan akan kemahahadiran-Nya dalam setiap saat dan tempat, yang melahirkan ketinggian budi pekerti, itu akan dengan sendirinya terpancar dalam kesungguhan hati dalam ikut serta menegakkan keadilan di antara sesama manusia. Komitmen kepada perjuangan kemanusiaan itu merupakan kelanjutan sejati dan dorongan wajar dari rasa ketuhanannya atau takwanya. Takwa mendasari rasa kemanusiaan, dan kemanusiaan itu merupakan manifestasinya yang sejati: “Tahukah engkau siapa yang mendustakan agama? Yaitu dia yang tidak memperhatikan anak yatim dan tidak pula tegas membela orang miskin. Karena itu, celakalah orang-orang yang sembahyang, yang lupa akan sembahyang mereka itu sendiri, dan yang pamrih serta enggan berderma,” (Q 107:1-7).

Perpaduan dan kesejajaran antara ketuhanan, yang melahirkan budi pekerti luhur, dan kemanusiaan yang menjadi manifestasi budi itu, secara implisit, dapat dipahami dari perpaduan dan kesejajaran antara iman dan amal, shalat dan zakat, serta dinyatakan secara simbolis dalam shalat itu, yang diberi batasan sebagai ibadat yang dibuka dengan takbīr (membuka komunikasi dengan Allah, dimensi vertikal dari hidup) dan disudahi dengan salām dan taslīm (meneguhkan tekad dan komitmen untuk menegakkan perdamaian sesama hidup di kanan-kiri, khususnya sesama manusia, dimensi horizontal hidup yang benar). D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Tuhan, yang merupakan tumpuan segala harapan dan pencarian pedoman hidup (al-Lāh-u ’l-Shamad-u), memiliki sifat-sifat mulia (al-asmā’ al-husnā) yang harus kita resapi dalam membentuk rasa ketuhanan kita. Di antara sifat-sifat itu, yang paling banyak disebut ialah al-Rahmān (Mahakasih). Sungguh, dikatakan bahwa sifat Kasih itu “mendominasi” segala sesuatu (Q 7:156). Maka, semangat kasih merupakan unsur utama moral ketuhanan (takhallaq-ū bi-akhlāq-i ’l-Lāh) yang dipesankan oleh al-Qur’an dalam surat al-Balad untuk ditegakkan di antara sesama umat manusia. (Surat al-Balad ini, secara keseluruhan, dapat dijadikan pegangan tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang bahagia, penuh kedamaian, dan kesentosaan). Dalam surat alBalad itu pesan menegakkan cinta kasih sesama manusia, yaitu semangat kemanusiaan pada umumnya, dikaitkan dengan pesan menegakkan kesabaran. Kesabaran ini, sebagaimana dapat dipahami dari surat al-‘Ashr (waktu), adalah dimensi waktu dari perjuangan menegakkan perdamaian dan keadilan, atau menciptakan hidup bahagia. Kesabaran dituntut, karena perjuangan yang benar itu memiliki nilai strategis dan bersifat jangka panjang. Seorang yang “percaya” (mu’min) tentu akan memiliki orientasi dan sikap hidup yang bersifat strategis atau memandang jauh ke depan. Sebaliknya, orang yang tidak percaya (kāfir) hanya memiliki sikap hidup yang bersifat jangka pendek: mudah tertipu oleh kenikmatan hidup segera yang sementara, dan lalai dari hidup masa depan yang lebih abadi, khususnya hidup sesudah mati. [ ]

D8E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Tulisan ini dimaksudkan sekadar ikut memberikan sumbangan kecil dalam rangka menjelaskan makna “modernisasi”, yang akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat. Lebih-lebih lagi, disebabkan adanya tulisan-tulisan dan percakapan-percakapan yang menimbulkan kesan seolah-olah di kalangan masyarakat ada suatu golongan yang hendak menghalangi modernisasi. Malahan terkesan pula, benar tidaknya terserah kepada sumber-sumber tulisan dan percakapan tersebut — seakan-akan golongan yang akan menghalangi modernisasi itu umat Islam, termasuk para mahasiswa Islam. Padahal dengan ukuran tertentu, mahasiswa merupakan lapisan yang lebih terpelajar (baca: rasional) daripada masyarakat. Sehingga kedudukan mahasiswa yang juga sering disebut sebagai “the nation’s best human material” itu, justru sebagai “modernizing agent”. Termasuk di kalangan umat Islam itu ialah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sudah barang tentu diharapkan, bahwa masalah yang menyangkut kata “modernisasi” menjadi semakin jelas dan gamblang, sehingga masing-masing yang bersangkutan mengetahui tempatnya. Kemudian, setelah itu dapat dibina saling pengertian yang dinamis dan konstruktif.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Modernisasi: Tinjauan Islami Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan eďŹ siensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan, tidak lain adalah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan (ilmiah), berarti ia bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Oleh karena itu ia tidak melawan hukum alam, malahan menggunakan hukum alam itu sendiri, maka ia memperoleh daya guna yang tinggi. Jadi, sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Sebagai contoh: sebuah mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas yang maksimal, menurut penemuan ilmiah yang terbaru, dan karena itu, persesuaiannya dengan hukum alam paling mendekati kesempurnaan. Bagi seorang Muslim, yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life, semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci al-Qur’an. Akan tetapi, tidaklah pada tempatnya di sini memaparkan kesemuanya, meskipun untuk memperoleh pemahaman yang sempurna, sebenarnya sangat diperlukan. Maka sebagai penganut way of life Islam (dalam rangka beragama “Islamâ€?), dengan sendirinya juga menganut cara berpikir Islami. Demikianlah, dalam menetapkan penilaian tentang modernis, juga berorientasi kepada nilai-nilai besar Islam. Singkatnya penulis berpendapat, begitu pula orang-orang yang sebangsa dengan penulis, bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban yang D2E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah ajaran Tuhan Yang Mahaesa. Dan modernisasi yang dimaksudkan di sini ialah menurut pengertian di atas. Dasar sikap itu ialah sebagai berikut: a. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haqq (benar), bukan bÄ thil (palsu) (Q 16:3; Q 38:27). b. Dia mengaturnya dengan peraturan Ilahi (sunatullah) yang menguasai dan pasti (Q 7:54; Q 25: 2). c. Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis (Q 21:7; Q 67:3). d. Manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (Q 10:101). e. Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaan, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir atau berasional yang akan mengerti dan kemudian akan memanfaatkan karunia itu (Q 45:13). f. Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (Q 2:170; Q 43:2225). Dengan demikian, kiranya menjadi mantaplah keyakinan kita, bahwa modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut ďŹ trah atau sunnatullah (hukum Ilahi) yang haqq (sebab, alam adalah haqq). Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern, manusia harus D3E


F NURCHOLISH MADJID G

mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Tuhan). Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia — karena keterbatasan kemampuannya — tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga berarti progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan karena itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekalipun bersikap modern (to be modern) itu suatu keharusan yang mutlak, namun kemodernan (modernity) itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang sekarang ini dikatakan modern, dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, pencipta seluruh alam (Rabb al-‘ālamīn). Jadi, modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. Itulah sebabnya Allah berfirman: “Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada manusia ayat-ayat (hukumhukum) Kami, baik di seluruh cakrawala maupun dalam diri mereka sendiri, sehingga menjadi terang bagi mereka bahwa dia (al-Qur’an) itu benar adanya. Tidak cukupkah Tuhanmu itu menjadi saksi atas segala sesuatu?,” (Q 41:52). D4E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

Jadi, tujuan akhir (ultimate truth), yaitu Tuhan itu sendiri, atau boleh juga disebut Kebenaran Ilahi. Hal itu berarti bahwa tidak ada seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, maka setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain. Dengan demikian, terjadilah proses kemajuan terus-menerus dari kehidupan manusia, sesuai dengan fithrah (kejadian asal yang suci) manusia itu sendiri, dan sejalan dengan wataknya yang hanīf (mencari dan merindukan kebenaran). Seharusnya seorang Muslim adalah seorang yang paling mendalam kesadarannya akan kemanusiaannya yang relatif. Dan memang demikian keadaannya. Seorang Muslim adalah seseorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah makhluk yang dla‘īf (lemah, tidak berdaya) di hadapan Tuhan. Keinsyafan itu terpateri dalam jiwa seorang Muslim, oleh karena Tuhan mewajibkannya untuk menundukkan kepala dan bersujud kepada-Nya, al-Haqq al-muthlaq, lima kali sehari, sekurang-kurangnya. Oleh karena itu, seharusnya pula seorang Muslim adalah seorang yang paling tidak bersedia untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga menjadi reaksioner, menentang segala perubahan nilai-nilai (kemanusiaan). Dengan perkataan lain, seorang Muslim semestinya menjadi seorang yang selalu bersedia menerima kebenaran-kebenaran baru dari orang lain, dengan penuh rasa tawadu’ (tawadldlu’, andap-asor) kepada Tuhan. Apalagi Nabi Muhammad sendiri menegaskan, bahwa setiap kebenaran adalah barang hilangnya seorang Muslim. Maka barang siapa menemuinya, di mana saja dan kapan saja, hendaknya dia memungutnya, dan bahwa kebenaran itu harus dicari di mana saja adanya, “sekalipun harus ke negeri Cina”. Jadi, seorang Muslim adalah seorang yang senantiasa modern, maju, progresif, terus-menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi D5E


F NURCHOLISH MADJID G

diri dan masyarakatnya. Dan inilah yang disebut ihsān (harfiah: memperbaiki), salah satu dari dua perintah Tuhan dalam firmanNya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu akan keadilan dan ihsān,” (Q 16:90). Demikianlah modernitas (kemodernan, sikap modern), yang tampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung, tapi pada hakikatnya mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Jadi agaknya mengejutkan, bahwa modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sudah barang tentu, kesemuanya itu adalah setelah dilandasi dengan keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Demikianlah sifat modernitas, dan demikian pula sifat ilmu pengetahuan yang menjadi unsur mutlaknya. Ilmu pengetahuan, selain memberikan kegunaan-kegunaan praktis, juga dikejar, karena kekuatannya untuk mengantarkan manusia ke keinsyafan yang lebih mendalam tentang alam raya ini. Keinsyafan mendalam ialah keinsyafan bertuhan, yaitu rasa takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Keinsyafan itu, dengan baik sekali, diungkapkan oleh Einstein dengan kata-katanya: Emosi paling indah dan paling mendalam yang dapat kita alami ialah rasa mistis. Ia merupakan kekuatan semua ilmu pengetahuan yang benar. Seseorang, yang baginya emosi itu terasa asing, yang tidak lagi dapat mengagumi dan bergembira dalam suatu kedahsyatan, adalah lebih baik mati saja. Untuk mengetahui bahwa apa yang tidak tertembus oleh kita benarbenar ada, yang menyatakan dirinya sebagai kebijaksanaan tertinggi dan keindahan paling cemerlang yang kemampuan terbatas kita (bodoh) ini dapat memahaminya hanya dalam bentuknya yang paling primitif — pengetahuan ini, perasaan ini berada dalam inti sari keagamaan yang benar. Agaknya Einstein, seorang ahli fisika terbesar abad ini, dan karena itu merupakan bapak ilmu pengetahuan modern sekarang ini, sekalipun tidak merasa perlu memasuki suatu kelompok agama secara formal, disebabkan kurang serasinya agama-agama formal D6E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

yang diketahuinya dengan jalan pikirannya, menjadi seorang ilmuwan (rasional) yang sangat religius. Bagi seorang Muslim yang menyadari akan keadaan Islam sebagai ajaran yang benar-benar self-consistent secara rasional, ditinjau dari nilai-nilai fundamentalnya (ushūliyah, bukan furū‘iyah), semenjak dari dasar konsepsi teologisnya sampai masalah-masalah way of life-nya, tentu perkataan Einstein itu bukan suatu hal yang baru. Sebab hal itu telah diterangkan dalam al-Qur’an (Q 2:190-191). Sampai di sini telah dengan panjang lebar dipaparkan pendirian dan penilaian terhadap modernisasi, berdasarkan Islam. Sebab, seperti telah dikemukakan dari semula, sebagai seorang Muslim, dan karena itu — sebagaimana halnya kaum Muslimin seluruhnya — meyakini kebenaran Islam keseluruhannya, sebagai total way of life. Itu dapat dipastikan, bahwa ada pihak-pihak yang berkeberatan terhadap sikap itu. Umpamanya, dapat dikatakan bahwa pandangan itu terlalu Islam-sentris, atau agama-sentris. Jadi kurang praktis, kurang pragmatis, atau kurang programatis. Kami termasuk orang yang meyakini kebenaran hak untuk berbeda (the right to dissent), guna mendorong kompetisi menuju kebaikan (fastabiq-ū ’l-khayrāt). Lagi-lagi pendirian ini juga didasarkan atas ajaran Tuhan Yang Mahaesa (Q 5:48). Tetapi hendaknya hak untuk berbeda itu tidak hanya dikenakan dalam masalah-masalah programatis saja, dengan alasan apa pun. Hak untuk berbeda terutama sekali ialah dalam masalah-masalah dasar, yaitu keyakinan. Hak untuk berbeda tidak hanya dalam segi-segi operatif (ini hanya ada di kalangan orang-orang yang sudah sama keyakinannya), tetapi lebih-lebih lagi dalam segi-segi normatif. Inilah sebabnya, Islam mengenal ajaran la kum dīn-ukum wa liya dīn (bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku atau keyakinanku), dan lā ikrāh-a fī ’l-dīn (tidak ada paksaan dalam hal agama atau keyakinan). Suatu keyakinan (agama, ideologi, dan lain sebagainya) sepenuhnya diperlukan oleh seseorang atau masyarakat atau bangsa tidak mungkin mempunyai peradaban yang luhur. Menteri keseD7E


F NURCHOLISH MADJID G

hatan, pendidikan, dan kesejahteraan Amerika Serikat, John W. Gardner, mengatakan bahwa di balik tiap-tiap peradaban besar, dan di balik semua kekuatan persenjataan yang lengkap, dan kemakmuran adalah sesuatu yang sangat kuat, tetapi juga tidak substansial, yaitu: sekumpulan gagasan, sikap dan keyakinan — dan kemantapan bahwa gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan itu dapat hidup terus. Tidak ada suatu bangsa yang dapat mencapai kebesaran, kecuali jika bangsa itu meyakini sesuatu hal, dan kecuali jika sesuatu yang diyakini itu mempunyai dimensi-dimensi moral untuk menopang suatu peradaban besar. Kalau cahaya keyakinan sudah pudar, maka semua kemampuan produktif, semua kecakapan dan semua kekuatan bangsa, akan menjadi musnah, dan masa kegelapan akan terjadi. Di Guatemala dan Meksiko Selatan, umpamanya, seseorang dapat menyaksikan orang-orang Indian yang, tidak meragukan lagi, merupakan keturunan langsung mereka yang dahulu menciptakan peradaban Maya. Sekarang ini mereka adalah orang-orang yang sederhana, tidak mempunyai perhatian tentang diri mereka sendiri, ataupun tentang dunia luar, dan memang tidak banyak mengetahui. Suatu cahaya telah hilang. Sesungguhnya keadaan lingkungan (geograďŹ ) dan sumber-sumber alam tidak mengalami perubahan apa-apa; demikian juga, bentuk genetis bangsa itu tetap sama. Mereka pernah menjadi bangsa yang besar. Sekarang ini mereka malahan tidak ingat lagi kebesaran nenek moyang mereka. Apakah yang terjadi? Saya kira, dalam hal orang-orang Maya ini, gagasan-gagasan (keyakinan-keyakinan) yang berkuasa adalah terlalu primitif untuk dapat menopang suatu peradaban besar dalam jangka waktu yang lama. Sekarang, keyakinan kita ialah Islam. Sebagaimana diterangkan di muka, tentu ada pihak-pihak yang berkeberatan atas hal ini. Akan tetapi, tidak seorang pun berhak menghalanginya. Sebab, sikap itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar kita, sebagai suatu manifestasi kebebasan beragama (dan bukan kebebasan untuk tidak beragama). Malahan, hal itu merupakan pelaksanaan dasar negara Pancasila. Sikap mengembalikan segala permasalahan kepada ajaran D8E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

Tuhan Yang Mahaesa adalah sikap yang konsekuen kepada nilainilai Pancasila. Kalau tidak demikian, maka akan dikemanakan sila pertama Pancasila itu? Benar sekali pendapat Pak Hatta, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta, yang di dalamnya, untuk pertama kalinya secara resmi, nilai-nilai yang kelak disebut Pancasila itu dirumuskan, bahwa sila Ketuhanan Yang Mahaesa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia ini. Dan benarlah perumpamaan yang diberikan oleh Buya Prof. Dr. Hamka, tentang Pancasila sebagai suatu bilangan 10.000 (sepuluh ribu), di mana angka 1 (satu) merupakan perumpamaan sila pertama (Ketuhanan Yang Mahaesa), dan empat angka nol berikutnya merupakan perumpamaan empat sila selanjutnya. Sekarang hilangkan angka 1 (satu) itu, maka yang akan terjadi ialah deretan empat angka nol semata. Dan betapapun panjangnya deretan angka nol itu, nilainya akan tetap nol juga. Demikianlah Buya Hamka. Pendeknya, Ketuhanan Yang Mahaesa itulah secara mutlak memberi arti bagi Pancasila dan sila apa pun dalam kehidupan manusia. Sebab, seperti dikatakan oleh Gardner di atas, Ketuhanan Yang Mahaesa itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia. Dan Ketuhanan Yang Mahaesa, atau tauhid, itulah yang menjadi sentral dan intisari agama-agama yang dibawa oleh para Nabi, semenjak Nabi pertama sampai Nabi terakhir (Muhammad saw). Demikianlah dikatakan dalam Q 21:25. Jika tidak demikian sikap kita, maka kita menjadi sekular. Sekularisme ialah suatu paham yang dimulai dengan formula: “Berikan kepada kaisar apa yang menjadi kepunyaan kaisar (urusan duniawi) dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi kepunyaan Tuhan (urusan ukhrawi)�. Dengan perkataan lain, sekularisme adalah suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi. Masalahmasalah duniawi harus diurusi dengan cara-cara lain, yang tidak D9E


F NURCHOLISH MADJID G

datang dari Tuhan. Jadi, sekularisme adalah paham tidak bertuhan dalam kehidupan duniawi manusia. Maka seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, akan mengalami kepribadian yang pecah (splite personality). Di satu pihak mungkin dia tetap memercayai adanya Tuhan, malahan menganut suatu agama, di lain pihak tidak mengakui kedaulatan Tuhan dalam masalah-masalah kehidupan duniawinya, melainkan hanya mengakui adanya kedaulatan penuh manusia. Tegasnya, dalam masalah duniawi, seorang sekular pada hakekatnya tidak lagi bertuhan, jadi ia adalah ateis. Maka jika agama, khususnya Islam menaruh keberatan prinsipil terhadap komunisme, terutama karena ateisnya itu. Sebab, ateisme menjurus ke imperarialisme. Karena, sebagaimana dalam teori dan praktik, orang yang memulai sesuatu dengan mengingkari adanya keutamaan Zat Yang Mahatinggi (Tuhan), maka akhirnya ia akan mengingkari nilai-nilai. Kaum komunis (di Soviet ataupun Cina, umpamanya) dapat saja membangun peradaban yang tinggi dan mengagumkan, seperti telah terjadi kenyataan sekarang ini. Tetapi dapat dipastikan, bahwa peradaban itu akan runtuh binasa karena lapuknya landasan moral yang menopangnya, cepat ataupun lambat. Nasibnya akan sama dengan peradaban Maya dari bangsa Indian, seperti yang dipaparkan di muka. Akan tetapi, hal itu tidaklah khusus bagi kaum komunis saja, melainkan bagi setiap kelompok manusia yang menganut sikap sekular, tidak bertuhan dalam kehidupan duniawinya, malahan bagi siapa saja yang mengingkari nilai moral yang bersumber kepada Ketuhanan Yang Mahaesa, sekalipun mungkin secara formal dia menganut dan mengamalkan agama. Pengertian terakhir itu, umpamanya, terbukti dalam sejarah umat Islam pada abad ke-13. Karena kaum Muslimin tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran agamanya (Islam), peradaban mereka hancur-lebur di bawah telapak kaki tentara kaďŹ r bangsa Mongol yang datang menyerbu dari sebelah Timur. Kaum sekular yang kurang konsekuen (tidak sepenuhnya menjadi ateis), karena keadaan kepribadiannya yang pecah itu, akan D 10 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

mengajak kita untuk menganut paham bahwa kehidupan keagamaan adalah kehidupan perseorangan (prive), yaitu bahwa kehidupan keagamaan hanya berfungsi untuk menghubungkan diri seseorang manusia dengan Tuhannya (ibadat dalam pengertian sempit), sedangkan untuk masalah-masalah duniawi mereka mengajak kita untuk memecahkan dan menyelesaikannya dengan cara-cara dan atas landasan-landasan yang lain. Bagi agama lain selain Islam, mungkin hal itu dapat saja terjadi. Tetapi bagi Islam, pemisahan masalah akhirat dari masalah duniawi, masalah perseorangan dari masalah sosial, adalah suatu hal yang tidak mungkin. Dengan meminjam istilah yang datang dari pihak kaum sekular sendiri, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Untuk orang bukan Islam, atau orang Islam nominal (statistik), pengertian itu pasti sukar sekali diterima. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh ulama-ulama Islam, Islam adalah sekaligus akidah (kepercayaan), syariat (ajaran hidup), dan nizhām (sistem). Sebagaimana dikatakan oleh V.N. Dean, Islam adalah integrasi-mutlak agama, sistem politik, cara hidup, dan interpretasi sejarah.1 Harry J. Benda mengatakan, dalam bukunya, The Crescent and the Rising Sun: “Pemisahan agama dan politik dalam Islam, setidaktidaknya dikatakan tidak realistis”. Selanjutnya dia mengatakan: “Pemisahan agama dan politik, dengan perkataan lain, adalah sekadar merupakan gejala-sementara Islam yang sedang mengalami kemunduran. Dalam masa kebangkitan Islam, pemisahan agama dan politik tidak dapat bertahan lagi, baik di negara-negara Islam yang merdeka maupun di daerah-daerah Islam yang diperintah oleh orang-orang bukan Islam”. Pendeknya, siapa saja mempelajari Islam dengan cukup mendalam, akan mendapatkan bahwa Islam tidak mengenal masalah duniawi yang terpisah dari masalah ukhrawi. Setiap kegiatan seorang Muslim, dari yang besar, seperti yang menyangkut masalah kenegaraan, sampai yang sekecil-kecilnya, seperti langkah-kaki 1

V.N. Dean, The Nature of the non-Western World D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

keluar-masuk rumah, tidak pernah terlepas dari pengawasan Tuhan dengan ajaran-Nya, yaitu Islam. Jadi, kaum sekularisme menolak pemakaian prinsip ketuhanan sebagai dasar untuk menyelesaikan masalah-masalah duniawi manusia. Hal ini bertentangan dengan kesemestaan Islam. Sekarang timbul pertanyaan: Atas dasar apakah kaum sekularisme menyelesaikan masalah-masalah duniawi mereka? Sungguh, jawaban atas pertanyaan itu sangat kompleks. Di sinilah kita bertemu dengan suatu prinsip dasar sekularisme: kepercayaan yang mutlak akan kemampuan manusia untuk menyelesaikan masalah kehidupan duniawinya. Kemampuan manusia yang diandalkan itu ialah rasionya. Kaum sekularis menuntut, dalam menyelesaikan masalahmasalah kehidupan ini hendaknya manusia mengarahkan segala kemampuan rasionya, dan hanya rasionya saja. Karena itu, kaum sekularis mengakui kemutlakan rasio sebagai alat untuk menemukan kebenaran terakhir (ultimate truth). Islam memerintahkan rasionalitas, tetapi tidak rasionalisme. Islam menuntut agar setiap orang itu rasional, tetapi tidak rasionalis. Sekarang marilah kita telaah perbedaan antara keduanyan itu.

Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme) Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis. Maka, seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenaran-kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia. maka menurut Islam sekalipun rasio dapat menemukan kebenaranD 12 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui Nabi-nabi. Keterbatasan kemampuan rasio, dan keharusan manusia untuk menerima sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio dalam rangka mencari kebenaran, kiranya memerlukan sedikit pembahasan yang lebih luas. Ditinjau dari segi ajaran Islam, maka Allah, dalam alQur’an, berfirman: “Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio) melainkan sedikit saja,” (Q 17:85). Dan menurut imu pengetahuan modern, baiklah kita kemukakan di sini pengakuan Einstein yang mengatakan: “Kesadaran bahwa seluruh pengetahuan kita tentang alam raya hanyalah semata-mata residu daripada kesan-kesan yang diselubungi oleh akal pikiran kita yang tidak sempurna, membuat mencari kenyataan itu (kebenaran) tampaknya tidak bisa diharapkan.”2 Agaknya, karena kesadaran akan keterbatasan akal pikiran inilah, Einstein memasuki alam keinsyafan keagamaan yang mendalam. Sebenarnya setiap manusia, untuk hidupnya yang bahagia, harus melalui empat tahap berturut-turut. Pertama, ialah tahap naluriah, dengannya seorang manusia yang baru lahir ke dunia, hidup. Kedua, ialah tahap panca indera atau indera umumnya, yang akan menyempurnakan bekerjanya naluri, malahan memang bekerja atas dasar bekerjanya naluri pula. Tetapi, indera pun belum cukup, sebab indera masih terlalu banyak membuat kesalahan. Maka dilengakapilah dengan tahap ketiga, yaitu akal pikiran, yang memberikan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh indera, dan bekerja atas dasar bekerjanya indera pula. Dan sekarang, akal pikiran atau rasio ini pun mempunyai kemampuan yang terbatas, seperti diakui oleh Einstein, seorang ilmuwan (rasional) terbesar abad sekarang. Padahal, demi kebahagiaan sejati manusia, 2

Linncoln Bernett, The Universe and Dr. Einstein. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

harus sampai kepada kebenaran terakhir. Oleh karena itu, Tuhan pun memberikan pengajaran kepada manusia tentang kebenaran terakhir (ultimate truth) itu melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang dipilih di antara manusia. Pengajaran Tuhan itu dinamakan wahyu (revelation). Wahyu pengabisan Tuhan ialah al-Qur’an, Kitab Suci agama Islam. Maka Islam mengklaim dirinya sebagai kebenaran terakhir itu, sebagaiman tercantum dalam al-Qur’an. Keempat tahap jalan hidup manusia itu adalah seperti jenjang anak tangga: naluri, indera, rasio, dan wahyu (agama). Sekalipun menunjukkan urutan yang semakin tinggi nilainya, namun tidak boleh ada yang bertentangan dengan akal (rasio), sekalipun lebih tinggi daripada rasio. Modernisasi, yang berarti rasionalisasi, pusat pembicaraan kita ini, tentunya dikenakan dalam aspek kehidupan kita seluas mungkin. Pada permulaan pembahasan telah dikemukakan bidang berpikir dan tata kerjanya. Bidangnya bersifat konkret-material, seperti sistem pertanian, perhubungan, proses produksi di pabrikpabrik dan lain-lain; dan yang bersifat tidak material adalah seperti perbaikan sosial ekonomi dan politik. Maka di sinilah kita bertemu lagi dengan masalah yang cukup rumit. Dalam masalah-masalah yang bersifat konkret lagi material, manusia mungkin dapat mengadakan penelaahan, kemudian menarik hukum-hukum umumnya (membuat generalisasi), dengan sikap yang obyektif. Misal, dalam hal pelistrikan. Dalam hal listrik ini, manusia dapat bersikap seobyektif mungkin dalam penelaahan, penyelidikan, dan akhirnya penyimpulan hukum-hukumnya, sehingga memungkinkan ditemukannya teori (ilmu) yang benar tentang listrik. Dan begitulah kenyataannya, manusia, di mana saja ia berada, di Amerika ataupun di Rusia, di Afrika ataupun di Asia, menganut hukum-hukum dan teori-teori yang sama tentang benda tersebut (listrik), dan karenanya, menyelesaikan masalahmasalah yang menyangkut benda itu dengan cara dan teknik yang sama pula. D 14 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

Tetapi bagaimanakah sikap manusia yang menyangkut dirinya sendiri: yaitu dalam masalah-masalah pergaulan sesama manusia (sosial, malahan juga tentang kehidupan dirinya sendiri [individual])? Dalam hal ini, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari subyektivitasnya dan anggapan-anggapan yang telah dipunyai dan memenuhi pikirannya. Ketika manusia mengadakan pengamatan terhadap masalah-masalah kemanusiaan, menyelidiki hukum-hukum yang menguasai hubungan sesama manusia, dia tidak lagi sanggup bertindak seobyektif mungkin. Hal itu mengakibatkan hukumhukum yang disimpulkan oleh manusia tentang manusia sendiri, yang mengenai masalah-masalah kehidupannya sebagai makhluk sosial, tidak bisa lepas dan bersih dari anggapan-anggapan yang telah dipunyai sebelumnya. Akibatnya, ilmu yang ditariknya menjadi tidak benar, bersifat subyektif. Inilah yang menyebabkan berbeda-bedanya paham manusia tentang sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik, yang mengatur perikehidupan manusia sebagai makhluk sosial, dari tempat ke tempat. Pada masa sekarang ini saja, semua orang sudah tahu pertentangan diamental antarkelompok manusia yang menganut sistem komunisme-totaliterisme. Manakah dari keduanya itu yang benar? Islam memberi jawaban yang tegas, bahwa tidak satu pun dari kedua sistem itu yang benar. Sebab, jika dalam hal benda-benda material saja rasio manusia tidak sanggup menemukan kenyataan (realitas) terakhir yang merupakan ultimate truth, sebagaimana diakui Einstein, maka apalagi tentang hal yang bukan material, seperti masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Apalagi, dalam hal yang kedua ini, manusia tidak sanggup bersikap obyektif. Oleh karena itu, sekali lagi, manusia memerlukan pengajaran dari Tuhan, Pencipta manusia, Pengatur atau Pemberi Hukum (The Law Giver) bagi kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun komunal, sebagaimana Tuhan itu pula adalah Pencipta seluruh alam, Pengatur atau Pemberi hukum kepadanya (Rabb al-â€˜Ä lamÄŤn). Jadi, manusia harus kembali kepada ajaran Tuhan, terutama dalam usahanya untuk menemukan dan mencari masalah-masalah normatif yang bersifat D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

asasi. Sedangkan dalam masalah-masalah operatif, manusia masih diberikan kelonggaran seluas-luasnya untuk menemukan sendiri, dengan mengerahkan segenap kemampuan akal pikirannya. Dengan perkataan lain, secara singkat, dalam kegiatannya yang meliputi bidang apa pun dari kehidupannya, manusia harus mencari dasarnya di dalam prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa. Kembali ke sekularisme. Masih ada sesuatu yang harus diterangkan sedikit. Oleh karena kaum sekularis tidak mau menjadikan agama (baca: ajaran Tuhan Yang Mahaesa) sebagai sumber norma-norma asasi dalam kehidupan duniawinya, maka sesuai dengan ketentuan bahwa manusia harus mempunyai sekumpulan leyakinan untuk menopang peradaban yang hendak diciptakannya, kaum sekularis pun kemudian menciptakan pula sekumpulan gagasan, sikap, dan kepercayaan, yang nantinya menjelma menjadi suatu kesatuan keyakinan yang menyerupai agama. Mengingat bahwa kaum sekularis pada pokoknya menyandarkan diri kepada kemampuan diri-manusia sebagai sumber bagi penemuan nilai-nilai yang mutlak diperlukan dalam membina kehidupan, maka perkataan yang paling meliputi dan umum dipakai untuk menamakan sekumpulan gagasan, sikap, dan kepercayaan itu ialah perkataan humanisme. Dalam hubungannya dengan masalah ini, Julian Huxley, seorang humanis terkenal, tegas-tegas mengatakan, bahwa humanisme adalah sebuah agama baru. Karena dia memercayai akan adanya evolusi kemanusiaan dalam menemukan nilai-nilai kebenaran (sampai kebenaran terakhir), maka ia menamakannya humanisme evolusioner (evolutionary humanism). Tentang humanisme ini, dia menulis sebuah buku dengan judul Religion without Revelation (Agama tanpa Wahyu). Dan dalam bukunya, Evolution in Action, dia mengatakan sebagai berikut: Saya terpaksa menggunakan perkataan agama. Sebab, kenyataan bahwa semua ini membentuk sesuatu dalam hakikat agama, barangkali orang dapat menamakannya humanisme evolusioner. Perkataan “agama�, sering dipakai secara terbatas, dengan arti keD 16 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

percayaan kepada dewa-dewa; tetapi saya tidak memakainya dalam pengertian ini — dengan sendirinya saya tidak ingin melihat seorang manusia diangkat menjadi dewa, sebagaimana terjadi dengan beberapa orang di masa silam, dan masih terjadi sampai hari ini. Saya menggunakannya dalam pengertian yang lebih luas, untuk menunjukkan suatu hubungan menyeluruh antara seseorang dengan nasibnya, dan sesuatu yang menyangkut perasaannya tentang apa yang suci. Dalam pengertian yang luas ini, humanisme evolusioner, bagi saya, tampaknya dapat dijadikan benih suatu agama baru, yang tidak usah menyingkirkan agama-agama yang ada dengan menggantikan agama-agama itu. Sekarang tinggallah mencari jalan, bagaimana agar supaya benih ini dapat berkembang — untuk mengerjakan kerangka intelektualnya, bagaimana caranya supaya gagasan-gagasan itu dapat memberikan inspirasi, dan untuk meyakinkan penyebarannya yang luas.3

Jadi jelas, bahwa humanisme adalah sebuah agama baru hasil ciptaan manusia. Tidak seperti agama- agama lain, ia tidak berbicara tentang Tuhan. Tetapi, seperti agama-agama lain, ia membicarakan sesuatu yang sangat prinsipal, yaitu penentuan nasib manusia, dan penertian tentang sesuatu yang bersifat suci. Dan mereka percaya bahwa humanisme berlaku di mana saja dan kapan saja: universal, malahan abadi. Sebenarnya, tokoh-tokoh humanisme meliputi suatu strata sempit masyarakat Barat, yang terdiri kaum cerdik pandai (intelektual). Dan kesemuanya berlomba-lomba menulis buku yang bersangkutan dengan agama baru itu. Untuk menyebutkan sebagian saja, kami kemukakan di sini sebagaimana yang diterangkan oleh A.J. Bahm: Charles Francis Potter menulis buku, Humanism ia a New Religion, Roy Wood Sellar menulis buku Religion Coming of Age, Durant Drake menulis buku, The Law Morality, Corliss Lamont dengan bukunya, Humanism as a Philosophy, dan lain-lain. 3

Julian Huxley, Evolution in Action. D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

Oleh karena sekularisme merupakan keharusan bagi humanisme, maka Horrace menulis buku, Secularism ia the Will of God. Dan pragmatisme pun merupakan unsur penting way of life, menurut humanisme. Maka di sini pun perlu disebutkan buku William James, Pragmatism, A New Name for Some Old Ways of Thinking. Pada tahun 1933, kaum humanis mengeluarkan sebuah manifesto yang dinamakan “A Humanist Manifesto”, dikeluarkan di Chicago, dan ditandatangani oleh tiga puluh empat penandatangan. Mukadimah manifesto itu menyebutkan: “Agama selalu merupakan jalan untuk melaksanakan nilai-nilai tertinggi kehidupan”. Tetapi, ada suatu bahaya yang besar untuk mengidentikkan perkataan agama dengan doktrin-doktrin dan metode-metode yang telah kehilangan artinya dan kehilangan kekuatan untuk dapat menyelesaikan masalah kehidupan manusia di abad kedua puluh, dan seterusnya. Kaum humanis juga lupa membentuk sebuah organisasi internasionalnya. Maka dibentuklah di Amsterdam pada tahun 1952 “The Internasional Humanist and Ethical Union”, dan telah mengadakan kongresnya yang ketiga pada tahun 1962 di Oslo. Organisasi internasional itu meliputi organisasi-organisasi nasional kaum humanis di hampir seluruh negara di dunia, dan juga perseorangan-perseorangan. Mereka juga menerbitkan majalah International Humanism. Perumusan dasar (basic postulate) kepercayaan, atau “iman”, humanisme ialah “the universe is self-existing” (alam raya ada dengan sendirinya), seperti juga pendapat kaum materialis. Selanjutnya, seperti telah banyak disinggung di muka, nilai-nilai kehidupan tidak perlu dicari dari sesuatu yang bersifat adialami (Tuhan), melainkan dari dalam diri manusia sendiri. Maka di manakah perbedaannya dengan ateisme? Akhirnya, ditinjau dari perkembangan sejarahnya, humanisme tidak lain ialah usaha manusia-manusia Barat untuk menemukan nilai-nilai hidup baru, setelah agama-agama yang dikenal di sana tidak dapat mempertahankan diri lagi di hadapan perkembangan D 18 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

ilmu pengetahuan dan kecerdasan otak manusia. Dan sekarang ini, humanisme, seperti dikatakan oleh Archio J. Bahm, merupakan agama yang umum bagi peradaban Barat (Westernisme).

Westernisme, Liberalisme, dan Komunisme Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Mahaesa. Akan tetapi, kita juga akan sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan itu ialah suatu keseluruhan paham yang membentuk suatu total way of life, di mana faktor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya, sebagaimana telah diterangkan di atas. Maka sangat kekanak-kanakan jika perkataan westernisasi itu hanya menimbulkan kesan tentang ďŹ lm-ďŹ lm cabul, lagu-lagu yang jingkrak-jingkrak, pakaian-pakaian atau mode-mode yang ingin sebanyak mungkin memperlihatkan bagian tubuh si pemakai, dan seterusnya, di mana hal-hal di atas itu merupakan gejala-gejala kemerosotan moral Barat. Kesemuanya itu memang termasuk yang kita tolak. Akan tetapi kita ingin mengemukakan, bahwa justru sumber kesemuanya itulah yang secara prinsipal kita tentang habishabisan. Dan ateisme adalah puncak sekularisme. Sekularisme itulah sumber segala imoralitas. Dan sudah pasti, kita tidak menolak ilmu pengetahuan yang benar, dan juga teknologi, sekalipun berasal dari Barat, bahkan sekalipun berasal dari komunis. Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi sama sekali tidak dapat dikatakan dimonopoli oleh Barat, apalagi disebut sebagai westernisme. Malahan dalam hal ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencarinya di mana saja, “meskipun ke negeri Cinaâ€?. D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

Malahan sudah menjadi pengakuan yang umum sekali sekarang ini, bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu pengetahuan kaum Muslimin di zaman-zaman keemasannya. Supremasi Islam di muka bumi, dua kali lebih panjang lamanya daripada supremasi Barat sekarang ini. Dan umat Islam, di mana saja, diliputi oleh optimisme yang meluap-luap bahwa supremasi itu akan kembali ke tangannya cepat atau lambat. Bukankah Tuhan telah berfirman: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama kebenaran untuk menegakkannya mengatasi seluruh agama yang lain, dan cukuplah Tuhan sebagai saksi,” (Q 48:28).

Cabang-cabang sekularisme antara lain, ialah liberalisme. Bila diukur dengan ajaran Tuhan Yang Mahaesa, liberalisme adalah suatu ajaran sesat yang harus ditentang. Mengenai ajaran liberalisme tentang kemerdekaan individu, tentu patut dihargai. Tetapi bahwa kemerdekaan itu tak terbatas, adalah suatu hal yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat. Tuhan mengajarkan kemerdekaan individu, tetapi mengajarkan bahwa kemerdekaan tiap-tiap individu dibatasi oleh kemerdekaan individu lainnya (hurriyat al-mar’i mahdūdat-un bi-hurriyat siwāh). Oleh karena itu, ada perintah Ilahi tentang amar makruf nahi munkar, serta ada larangan bagi seorang anggota masyarakat untuk bermasabodoh terhadap kejahatan yang dilakukan orang lain, baik yang terangterangan maupun yang tersembunyi, karena akibat buruk kejahatan itu akan menimpa juga orang yang baik- baik (Q 8:25). Jadi, di antara kemerdekaan individu dan tanggung jawab sosial terdapat jalinan yang erat, kesalingbergantungan. Kebahagiaan manusia tidak hanya terletak pada tanggung jawab pribadinya (amal baik dan buruk, kelak, di akhirat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, mutlak secara individual), tetapi juga terletak pada adanya pengakuan akan hak orang lain untuk berbuat sesuatu amal bagi dirinya, dan bersama-sama dengan anggota masyarakat lain, di atas D 20 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

dasar persamaan hak, bergotong-royong membangun masyarakat yang bahagia dan bertakwa (ta‘āwanū ‘alā al-birr wa al-taqwā). Liberalisme mengakibatkan individualisme, dan individualisme mengakibatkan kapitalisme. Maka dalam kapitalisme inilah kita dapati prinsip kemerdekaan dinodai sedemikian rupa, sehingga tinggal sebagai semboyan belaka. Orang-orang kapitalis berbicara tentang “kemerdekaan ekonomi”: kebebasan setiap orang untuk mengumpulkan harta kekayaan dan menggunakannya sebagai modal, tanpa menentukan norma moral bagaimana harta kekayaan itu diperoleh. Bagi mereka tidak ada harta yang halal maupun yang haram. Akibatnya ialah terjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, suatu kepincangan sosial yang sangat destruktif. Maka bagi kita, kemerdekaan tidak boleh lepas dari persamaan. Dan pelaksanaan persamaan itu harus dengan pengorbanan sebagian kemerdekaan seseorang. Komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekuen. Dalam komunismelah seseorang menjadi ateis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan ajarannya pada prinsip persamaan di antara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi-mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya. Diktator proletar, pada hakikatnya, ialah diktator para pemimpin-pemimpin dan penguasapenguasa. Karena kapitalisme dan komunisme itu tidak benar, maka kita sekarang menyaksikan pergeseran-pergeseran di dalam keduanya. Sebab, manusia tidak mungkin bisa bertahan sepenuhnya dalam suatu prinsip dan dalam ajaran yang kebenarannya tidak mutlak. Sekarang ini kita melihat, bahwa negara-negara kapitalis makin menunjukkan gejala-gejala sosialistis. Sebaliknya, negara-negara D 21 E


F NURCHOLISH MADJID G

komunis, dari hari ke hari, semakin menjadi liberalistis. Di manakah mereka kelak akan bertemu? Masih sukar untuk meramalkannya. Tetapi yang dapat dipersiapkan ialah bahwa suatu negara yang kapitalis, seperti Amerika Serikat, dalam waktu yang cukup lama tidak mungkin sepenuhnya meninggalkan kapitalisme dan menjadi komunis, dan sebaliknya, negara-negara komunis juga tidak mungkin, dalam waktu yang lama pula, menjadi negaranegara kapitalis. Dan sebenarnya, tidak-benarnya kapitalisme dan komunisme berakar pada tidak-benarnya sekularisme yang menjadi pangkal tolaknya.

Snouckisme: Pengalaman Berharga bagi Bangsa Indonesia Seorang Muslim, sebagi golongan manusia yang menerima kebenaran Ilahi, berkewajiban menyeru umat manusia untuk kembali kepada Tuhan, Pencipta mereka, dengan melaksanakan ajaranajaran-Nya. Dan itulah jalan yang lurus. Tidak kurang pentingnya untuk diterangkan ialah sebabsebab mengapa kita dari sekarang menyatakan penentangan kita terhadap westernisasi itu. Mengapa kita mempunyai kekhawatiran itu? Apakah memang ada usaha-usaha ke arah penyelewengan modernisasi menjadi westernisasi? Sikap kita ini semata-mata didasarkan pada pengalaman-pengalaman di masa silam. Segera setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Partai Komunis Indonesia menunjukkan peranan yang semakin menentukan dalam pembentukan corak politik Indonesia, dan banyak dilontarkan kekhawatiran bahwa Demokrasi Terpimpinnya Soekarno akan diselewengkan menjadi pengabdian kepada kepentingan PKI dan aspirasi-aspirasinya. Pada waktu itu, pernyataan kekhawatiran itu selalu disambut dengan tuduhan hendak menentang kepemimpinan Bung Karno, Kontra Revolusi, dan seterusnya. Akan tetapi, kenyatan menunjukkan bahwa kekhawatiran D 22 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

itu akhirnya benar-benar terjadi, dengan peristiwa Lubang Buaya sebagai klimaksnya. Memang gagasan-gagasan selalu dapat dibuat dengan perumusan-perumusan yang baik dan menarik rakyat. Tetapi di balik gagasan yang bagus itu terdapat sesuatu yang lebih menentukan, yaitu pelaksanaannya. Kita sudah terlalu sering mendengar bahwa “the man behind the gun” lebih penting dan menentukan daripada “the gun” itu sendiri. Ketika menerangkan tentang demokrasi yang berarti pemerintahan oleh rakyat, dan karena itu harus menghasilkan suatu pemerintahan yang respresentatif, John Strachey mengatakan bahwa diperlukannya pemerintahan yang representatif itu ialah karena rakyat memerlukan kebebasan untuk hire and fire pemerintahan tersebut, sesuai dengan kepentingannya. Pemerintah dapat saja diserahkan kepada kelompok ahli tanpa dukungan rakyat, sebagaimana banyak menjadi tuntutan sementara golongan. Tetapi pengalaman umat manusia di sepanjang sejarah menunjukkan, bahwa suatu pemerintahan oleh seseorang atau golongan akan beralih menjadi pemerintahan menurut kepentingan orang atau golongan tersebut. Apa yang dikatakan oleh tokoh demokrat Inggris itu dibenarkan oleh persaksian kita di zaman kekuasaan Soekarno. Siapakah yang menyangkal kebakan kembali kepada UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrat Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional? Kesemuanya itu adalah nilai-nilai yang tinggi. Malahan, siapa pula yang hendak mengingkari nilai masing-masing sila dari Pancasila, yang dengan sekuat tenaga hendak diklaim oleh Soekarno sebagai hasil penggaliannya? Tidak seorang pun dapat melakukan klaim tersebut. Malahan, di antara sekian banyak mass appeal Orde Baru sekarang ini ialah UUD 45 dan Pancasila, meskipun harus ditambah dengan “melaksanakan secara murni dan konsekuen”. Tetapi semua orang sepakat bahwa Sukarno dulu menggunakan slogan itu semuanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan golongannya. D 23 E


F NURCHOLISH MADJID G

Tanpa mengandalkan sikap a priori bahwa sekarang ini akan menjadi pula keadaan seperti permulaan Orde Lama, rakyat harus bersedia payung sebelum hujan, karena rakyat tidak bersedia kehilangan tongkat untuk kedua kalinya. Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa isu-isu pokok sekarang ini, selama rakyat tidak terikutsertakan, akan diselewengkan menjadi sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi rakyat, mutlak harus dinyatakan. Sebab, seperti diakui oleh Pak Harto sendiri bahwa situasi tanah air sekarang ini — termasuk juga situasi pemerintahannya — adalah tidak wajar, karena masih berada dalam masa transisi. Salah satu ketidakwajaran itu ialah bahwa pemerintahan sekarang ini belum merupakan pemerintahan yang representatif. Dan yang kita maksudkan dengan pemerintahan di sini tidak hanya dalam bentuk formal saja, tetapi juga bentuk-bentuk informalnya yang cukup efektif pula; jadi, baik yang merupakan the visible government maupun yang merupakan the invisible government. Pendeknya, semua orang yang memegang peranan dalam menentukan politik negara ini, terutama kelompok yang menamakan dirinya sebagai “golongan intelektual”, sebab bukan rahasia lagi bahwa merekalah kini sumber-sumber konsepsi. Nah, siapakah “golongan intelektual” itu. Hal ini memaksa kita untuk kembali sejenak ke sejarah masa lampau bangsa kita. Kita harus menoleh ke masa silam, untuk dapat menjadi lebih bijaksana di masa mendatang. Bukankah Tuhan berfirman: “Sungguh, dalam sejarah orang-orang yang telah lalu itu, ada pelajaran bagi mereka yang rasional?,” (Q 12:111). Untuk memulai pembahasan, orang-orang dari golongan “intelektual” ini kita sebut dengan peminjam istilah Gerald S. Maryanov dalam bukunya, Politics in Indonesia: An Interpretation, yaitu orang-orang intelek yang terbaratkan. Oleh karena itu mereka mempunyai seperangkat gagasan, sikap, dan keyakinan yang berkiblat ke kebudayaan Barat. Hal itu tidaklah aneh kalau dilihat dari latar belakang pendidikan di mana mereka berasal. Dari segi pendidikan, mereka D 24 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

adalah sisa-sisa strata sempit bangsa Indonesia yang tumbuh dalam alam pendidikan Belanda. Dan dari segi lingkungan sosial, mereka berasal dari sejumlah kecil bangsa Indonesia yang keluargakeluarganya terlibat dalam pemerintahan kolonial Belanda. Kedua faktor itu — faktor pendidikan Belanda dan faktor kedudukan sebagai kelas elite di zaman kolonial — adalah dua faktor yang saling menyokong dan menguatkan. Seseorang tidak mungkin bisa memasuki sekolah-sekolah Belanda, kalau ia bukan berasal dari keluarga-keluarga “terhormat”, dan tidak mungkin bisa menikmati kedudukannya sebagai kelas atas, kalau tidak berpendidikan cukup, menurut ukuran Belanda. Hal ini kita kemukakan tanpa sedikit pun mengurangi pengakuan bahwa di antara golongan yang termasuk “the westernized intellectuals” itu ada juga yang cukup patriotis dan besar sumbangannya bagi kemerdekaan tanah air. Tetapi sebagai keseluruhan, kelompok mereka adalah seperti yang kita paparkan di atas. Seperti diketahui, Pemerintah Kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada pribumi Hindia Belanda, dan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi. Hal-hal itu dilakukan dalam rangka “politik sopan” (ethical policy) -nya. Hal ini memaksa kita untuk kembali ke sejarah yang agak lebih jauh lagi. Dalam menjalankan “politik sopan” inilah pandangan-pandangan seorang ahli Islam (Islamologi) terkenal, Snouck Hurgronje, sangat berpengaruh. Ketika menasehati Pemerintah Kolonial Belanda, untuk menghadapi umat Islam Indonesia, Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya bahwa Pemerintah Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama, dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik, dan Pemerintahan Kolonial sekaligus harus merangkul golongan-golongan dalam masyarkat Indonesia yang agak tipis keislamannya: yaitu kaum elite tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat di luar Jawa, dan kaum priyayi di Jawa. Kesemuanya itu ditempuh semata-mata untuk memperkukuh kolonialisme Belanda di bumi Indonesia. D 25 E


F NURCHOLISH MADJID G

Tetapi, hal itu semua hanyalah permulaan politik Belanda lebih lanjut: yaitu sepenuhnya menghancurkan Islam, dan oleh Dr. Harry J. Benda: “... selama bangsa Indonesia, terutama pemimpinpemimpinnya, masih tetap merupakan orang-orang Muslim, maka hubungan kolonial selamanya tidak akan dapat memberikan jalan bagi adanya ikatan yang abadi antara Indonesia dan Negeri Belanda”.4 Lebih dari itu — dan inilah intisari filsafat kolonialismenya Snouck Hurgronje — Indonesia harus dimodernisasikan, dijadikan modern. Dan seperti juga dikatakan oleh Snouck, “Oleh Indonesia modern itu, menurut batasannya, tidak mungkin merupakan Indonesia Islam, dan tidak pula merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat (maksudnya: nasional, penulis), maka ia harus merupakan Indonesia yang dibaratkan”. Untuk mencapai itu semua, “Peradaban Belanda harus dapat menggeser peradaban priyayi tradisional, dan lebih-lebih lagi, peradaban santri”. Demikianlah dikatakan oleh Harry J. Benda. Selanjutnya, dia menerangkan bahwa penghancuran Islam di Indonesia, pembebasan pengikut-pengikutnya dari apa yang oleh Snouck Hurgronje disebut “the narrow confines of Islamic system” (suatu lingkungan yang sempit dari sistem Islam), harus dilakukan dengan mengikutsertakan orang-orang Indonesia dalam kebudayaan Belanda. Maka wajar, jika Snouck Hurgronje memusatkan perhatiannya kepada kaum bangsawan Jawa, dan kepada kaum elite priyayi umumnya, sebagi lapisan masyarakat yang pertama dan paling mudah untuk dimasukkan ke dalam orbit westernisasi. Tingkat lebih tinggi kaum aristokrat, dan pendekatannya kepada pengaruh-pengaruh Barat yang dibawa oleh adanya hubungan dengan kepegawaian (administrasi) menurut cara Eropa, dan lebih penting lagi, sifatnya yang agak jauh dari Islam, membuatnya sebagai pihak yang secara wajar menerima dan memanfaatkan rencana assimilasionis-nya Snouck. Kaum ningrat Indonesia, menurut 4

Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, h. 25. D 26 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

Snouck, kehilangan tambatan politik dan kebudayaan mereka, akibat penjajahan Belanda. Dia menegaskan: “Orang-orang Belanda mempunyai kewajiban moral untuk mengajar kaum ningrat, dan menjadikan mereka sebagai rekanan dalam kehidupan sosial dan budaya kita sendiri”. Kerekanan tersebut akan mengakhiri jurang pemisah antara pihak penguasa (penjajah) dan yang dikuasai (yang dijajah). Dengan tidak lagi terpisah oleh kesetiaan kepada agama, keduanya akan bersatu dalam persamaan kebudayaan dan kesetiaan politik. Sekalipun pada awalnya golongan interest ini hanya meliputi kaum elite Jawa, toh masyarakat Indonesia berakar dalam adat akan ternyata cukup dapat menyesuaikan diri untuk mengikuti jalan yang ditempuh oleh pemimpin-pemimpin tradisional mereka. Agar pengikutsertaan itu menjadi kenyataan, maka pendidikan Barat harus dibuat dapat dinikmati oleh seluas mungkin orang-orang Indonesia. Dalam analisisnya yang terakhir, Snouck Hurgronje mengatakan: “Pendidikan Barat adalah cara yang paling dapat dipercaya untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia”. Tetapi, pendidikan hanyalah langkah pertama politik Belanda. Pendidikan harus diikuti dengan “... memberikan banyak saham, dalam menangani masalah-masalah jajahan, baik yang bersifat politik maupun administratif, keada orang-orang Indonesia yang mendapatkan pendidikan Barat itu”. Pendidikan Belanda tersebut adalah pendidikan kolonial, semata-mata untuk mengabdi kepada kepentingan Pemerintah Kolonial. Jadi, pendidikan itu sama sekali tidak demokratis. Di situlah Belanda mengadakan westernisasi yang — seperti telah banyak diterangkan di muka — dimaksudkan untuk mengganti peradaban Islam Indonesia dan adat. Oleh sebab itu, pendidikan Belanda itu penuh dengan sinisme kepada Islam dan kepada Indonesia. Tidak seorang anak didik Belanda pun diberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya secara keislaman atau keindonesiaan. Sinisme kepada Islam, terutama, merupakan suatu sikap yang itensif ditanamkan. Akibatnya ialah D 27 E


F NURCHOLISH MADJID G

para anak didik tumbuh menjadi manusia-manusia yang kehilangan harga dirinya sebagai orang Islam dan sebagai bangsa Indonesia, kemudian sebagai kompensasinya, berusaha keras membelandakan diri. Meminjam istilah Dr. Rasjidi, mereka terkena penyakit “... kecongkakan karena keunggulan kultural�. Dan yang dimaksudkan dengan kultur di sini ialah kultur Belanda khususnya dan Barat (Westernisme) umumnya. Harus diakui bahwa dengan pendidikanitu Belanda telah mengintrodusir ilmu pengetahuan kepada bangsa Indonesia. Akan tetapi, di samping segi-segi positif, segi negatif, seperti diterangkan di muka, jauh lebih terasa. Oleh karena itu, tumbuhlah suatu lapisan kecil bangsa Indonesia yang cukup terpelajar (intelek), tetapi tidak mempunyai kepribadian, kecuali kepribadian imitasi yang diambil dari Barat. Mereka kemudian terasing dari rakyat, dan membentuk masyarakat sendiri, dengan way of life-nya sendiri pula. Sekarang, bagaimana nasib umat Islam? Malahan, bagaimana nasib rakyat pada umumnya yang tidak termasuk kaum elite tradisional? Seperti diterangkan di atas, politik kolonial yang digariskan oleh Snouck itu adalah pertama-tama untuk menghancurkan Islam yang merupakan simbol antikolonialisme, dan merupakan rallying appeal untuk menentang setiap kezaliman. Oleh karena itu mudah dipahami, bahwa umat Islam, sebagai obyek politik, menjadi golongan yang paling dirugikan. Kaum koloninl mangasingkan mereka, dan sebaliknya mereka, karena kebenciannya kepada Belanda dan segala sesuatu yang berbau Belanda, menempuh jalan nonkooperasi dan non-asosiasi. Umat Islam meneruskan pendidikan tradisional mereka sendiri, dan mengembangkannya dalam suatu persaingan yang hebat dengan pendidikan Belanda. Sebaliknya, kaum Asosiasionis (orang-orang yang ikut serta dalam administrsi dan pemerintahan kolonial), yaitu kaum intelek dan kaum priyayi, mulai membenci, malahan memusuhi segala sesuatu yang berasal dan berbau Islam. Umat Islam dan pemimpin-pemimpinnya, yaitu kaum alim-ulama, menjadi sasaran kaum “intelek� dan kaum D 28 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

priyayi, sebagai hasil terpenting pendidikan kolonial yang mereka peroleh, untuk dijadikan bahan ejekan dan sinisme. Akan tetapi dengan demikian, justru semangat patriotisme dan antikolonialisme menjadi semakin berkobar di kalangan rakyat di bawah pimpinan kaum ulama, yang kelak menjadi bibit gerakangerakan politik revolusioner Islam, malahan menjadi bibit seluruh gerakan patriotik bangsa Indonesia. Apalagi setelah ada beberapa orang dari mereka yang berpendidikan di sekolah-sekolah Belanda itu. Sebagai kekecualian dari keadaan umumnya, dan karena berhasil mempertahankan kepribadian Islamnya, mereka ikut serta dengan rakyat dalam perjuangan patriotik melawan Belanda, bahkan memimpinnya. Mereka itu, untuk menyebutkan beberapa orang saja, ialah H.O.S. Cokroaminoto, H.A. Salim, K.H.M. Mansyur, Dr. Sukiman, Moh. Natsir, dan lain-lain. Karena derasnya arus pendidikan kolonial yang membahayakan kepribadian nasional itu, maka timbullah kekhawatiran di kalangan pemimpin-pemimpin rakyat yang mempunyai rasa tanggung jawab besar kepada nasib bangsa di masa depan. Maka tampillah mereka itu dengan konsepsi-konsepsi mereka tentang pendidikan nasional, antara lain Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya. Para ahli pendidikan Islam pun tampil pula, sehingga tumbuhlah di sana-sini sekolah-sekolah atau madrasah Islam dengan gaya modern (rasional, eďŹ sien), seperti yang terdapat di banyak tempat di Sumatra Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sekarang bangsa Indonesia sudah merdeka, malahan sudah hampir seperempat abad. Sudahkah pendidikan di Indonesia, yang kebanyakan diwarisi dari zaman kolonial, digantikan dengan pendidikan nasional? Kiranya masalah ini adalah masalah pengisian kemerdekaan, yang tampaknya lebih sulit melaksanakannya, daripada merebut dan memperoleh kemerdekaan itu sendiri. Dan di sinilah kita menghadapi rintangan-rintangan yang beraneka ragam. Sebagai sekadar contoh, dalam rangka nasionalisasi pendidikan, kita kembali betapa perjuangan menggantikan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia di perguruan-perguruan tinggi, yang diD 29 E


F NURCHOLISH MADJID G

pelopori oleh Muh. Yamin dulu, menghadapi tantangan-tantangan dari pihak kaum terpelajar waktu itu, dengan alasan bahwa bahasa Indoesia tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Maka kalau masalah penggantian bahasa saja sudah ditentang sedemikian, apalagi masalah yang lebih penting dan mendasar dari itu, yaitu masalah jiwa pendidikan itu sendiri. Umpamanya, dalam rangka mengikis sisa-sisa aspirasi kolonial dalam pendidikan, rakyat menuntut agar di semua sekolah diajarkan agama sebagai ajaran wajib. Meskipun tidak lancarnya pengajaran dan pendidikan agama itu, di satu pihak, karena ketidakmampuan umat Islam itu sendiri (akibat tidak adanya pendidikan yang cukup, sebagai hasil politik Belanda), tetapi yang tidak kurang pula pentingnya ialah halangan dan rintangan yang berupa individu-individu yang kebetulan masih mempunyai peranan dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Sebab sampai sekarang pun, banyak individu yang memegang peranan dalam pendidikan itu masih terus merupakan pelanjutpelanjut jiwa dan semangat Snouckisme, baik secara sadar maupun tidak sadar. Agaknya seperempat abad belum cukup lama bagi terjadinya suatu perubahan mendasar dan menyeluruh, tidak saja di bidang pendidikan, tetapi juga di seluruh sektor kehidupan bernegara kita. Pengindonesiaan kehidupan bernegara itu, seperti dikatakan oleh Gerald S. Maryanov dalam bukunya, Politics Indonesia: An Interpretation, masih baru berarti penggantian petugas-petugas Belanda dengan orang-orang Indonesia. Keadaan ini kiranya tidaklah begitu aneh, mengingat golongan yang berperan dalam Indonesia merdeka ini pun, kebanyakan, seperti sudah disinggung di atas, bagian terbesar hidup mereka dialaminya dalam pemerintah Hindia Belanda. Karena latar belakang pendidikan dan sosial mereka itu, maka Maryanov mengatakan: Dasar untuk mengembangkan kritik-kritik terhadap cara pemerintah itu adalah sedikit, dan tidak ada rencana yang tegas untuk menggantikannya. Bentuk Hindia Belanda tidak dapat disingkirkan begitu saja, mengingat belum ada D 30 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

gantinya, dan tidak ada waktu untuk mendapatkan pengalaman, sekalipun seandainya hal tersebut dikehendaki. Jadi jelas, sekalipun pelaksanaan “Snouckisme� tidak menghasilkan seluruh apa yamg digambarkan oleh penciptanya, tetapi segi-segi yang berhasil tetap dirasakan sampai masa-masa Indonesia merdeka ini, yang terutama diteruskan dan diwarisi oleh suatu lapisan sempit masyarakat Indonesia yang merupakan kelas atas (elite), ditinjau dari segi politik, dan terutama ditinjau dari segi intelaktualitas atau pendidikan. Sekali lagi, masa seperempat abad rupa-rupanya belum cukup lama untuk terjadinya suatu perubahan basar yang meliputi seluruh segi kehidupan kita, terutama yang bersifat idiil-fundamental.

Nilai-Nilai Keislaman: Harta Berharga Bangsa Indonesia Dalam keadaan inilah rakyat Indonesia didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian nasional (national identity), sebagai langkah yang pertama-tama harus diambil dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sebab, bukanlah Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka, yaitu yang berupa set of ideas, attitudes and convictions (sekumpulan pikiran, sikap dan keyakinan)? Maka di sinilah letak pentingnya penekanan agar kita menjaga orientasi nasional kita. Sebab dengan sendirinya kepribadian nasional itu harus dicari bibitbibit dan sumber-sumbernya dalam milikan murni nasional. Di antara milikan nasional itu, secara obyektif, yang paling menonjol ialah keislaman. Keislaman inilah yang telah mampu menjadikan dirinya sebagai simbol kebangkitan bangsa dalam menentang penjajah, semenjak ekspedisi Patih Unus dari Kerajaan Demak untuk mengusir penjajahan Portugis dari Malaka, sampai lahirnya partai dan gerakan politik dengan organisasi massa yang modern yang pertama kali di Indonesia, yaitu partai Syarikat D 31 E


F NURCHOLISH MADJID G

Islam Indonesia (PSII), di bawah pimpinan Pak Cokro dan Pak H.A. Salim, yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi seluruh gerakan nasional patriotik dan revolusioner di Indonesia menjelang kemerdekaan tahun 1945. Dari segi inilah kita harus menilai mutlaknya gerakan-gerakan Islam dalam Indonesia merdeka ini, semenjak dari Partai Politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam yang ada sekarang ini, yaitu NU, PSII, Partai Muslimin, dan Perti. Di samping itu, juga organisasi-organisasi massa Islam, baik yang bergerak dibidang pendidikan, kesejahteraan sosial, dan lain-lain, maupun dibidang kemahasiswaan dan kepelajaran. Organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepelajaran Islam berfungsi sebagai pelengkap pendidikan di sekolah atau fakultas/ akademi, untuk lebih memenuhi aspirasi rakyat, serta sebagai penutup jurang pemisah antara intelektualitas hasil pendidikan apa yang sering disebut “sekolah umum�, dan pembinaan kepribadian (personality build-up) yang umumnya diperoleh dalam apa yang disebut “pendidikan agama�. Yang paling tidak berfungsi untuk mengembalikan self respect mereka sebagai putra-putra umat Islam yang hidup dalam zaman merdeka adalah hasil perjuangan nenek-moyang mereka selama berabad-abad. Dan juga ditanamkan kewajiban moral untuk mengikis habis sisa-sisa Snouckisme yang meracuni kehidupan bangsa Indonesia. Organisasi-organisasi ini bertugas menghilangkan dualisme keislaman dan keterpelajaran (intelektualitas), sehingga terbentuklah kelak sarjana-sarjana Muslim, di mana Islam dan intelektualitas berpadu. Kalau keislaman sering drujuk, hal itu bukanlah dimaksudkan hendak mementingkan Islam saja, melainkan keyakinan bahwa kembali kepada Ketuhanan Yang Mahaesa merupakan konsistensi mutlak pendasaran segala permasalahan kepada Pancasila. Sudah ditegaskan, bahwa kami, bersama dengan banyak orang di Indonesia ini, berpendapat bahwa Ketuhanan Yang Mahaesa merupakan sila primer dan sumber Pancasila. Sedangkan konkretisasi kembali D 32 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

kepada Tuhan Yang Maha Esa ialah kembali kepada ajaran-ajaranNya, dalam hal ini ialah agama Allah. Dan lagi, keislaman merupakan milik nasional kita paling banyak berpengaruh. Oleh karena itu, penonjolan keislaman hanyalah merupakan penonjolan milik nasional yang paling penting. Barangkali inilah yang disebut ideology-oriented. Agaknya memang demikianlah keadaannya. Dan kita akan mempertahankan kebebasan kita untuk berideologi, sebab hal ini termasuk kebebasan menganut keyakinan, asalkan masih konsisten dengan dasar negara. Karena, hidup tanpa keyakinan adalah tidak mungkin. Mereka yang kini mengajak meninggalkan ideologi, dan berupaya menggantinya dengan program, pun menganut suatu keyakinan. Keyakinan mereka ialah sekularisme, atau humanisme, atau pragmatisme. Sebab, kesemuanya itu konsisten. Bukankah William James Pragmatism, A New Name for Some Old Ways of thinking? Bukankah Horacce Kallan menulis Secularism is the will of God? Bukankah Charles Francis Petter menulis Humanism, A New Religion? dan seterusnya, yang sudah disebutkan di bagian lain. Maka mengajak bekerja semata-mata secara programatis dan meninggalkan ideologi, pada hakikatnya, mengajak menukar ideologi masing-masing orang atau golongan dengan ideologi-ideologi baru tersebut. Jadi, pada hakikatnya, mereka juga ideology-oriented. Kita bukannya menolak orientasi program, tetapi program itu harus didasarkan kepada ideologi yang menjadi keyakinan masing-masing. Kita tidak menolak pragmatisme, tetapi pekerjaan-pekerjaan harus dilakukan dengan cara pragmatisme tanpa meninggalkan normanorma. Sebab jika tidak demikian, kita akan terjerumus ke dalam jurang “tujuan menyucikan cara�, atau tidak ada lagi pertimbangan halal-haramnya cara, asalkan tujuannya tercapai. Sungguh, setiap orang harus menyatakan kekagumannya atas kecermelangan konsepsi Snouck Hurgronje dalam upaya mengurangi dan, akhirnya, menghancurkan pengaruh Islam di Indonesia, serta atas kesungguhan Pemerintah Kolonial Belanda untuk melaksanakannya, sehingga berhasil dengan baik. SampaiD 33 E


F NURCHOLISH MADJID G

sampai setelah Belanda pergi hampir genap seperempat abad pun, peninggalan idiilnya masih juga menancap kukuh kuat di dalam masyarakat tertentu: penerus dan pewaris kaum elite tradisional zaman kolonial. Sampai sekarang, masih saja kepala umat Islam dibenturkan ke tembok-tembok tebal dan dinding-dinding penyakit-penyakit Islamo-phobia. Karena takutnya kepada Islam inilah, Sukarno dulu sangat menunjang ideologi yang menjadi lawannya, yaitu ideologi Marxisme-Leninisme (Komunisme), sehingga umat Islam Indonesia, paling tidak sebagian pemimpinnya, menjadi sasaran cap kontra-revolusi dan anti-Pancasila. Dan sekarang ini, di zaman Orde Baru, kaum Islami-phobia dari jurusan lain, tetapi juga merupakan ahli-waris langsung Snouckisme, masih menunjukkan kegigihan mereka untuk menghalangi perkembangan Islam yang sedang tumbuh itu. Apalagi ternyata mereka itu pun, sedikit-banyak, juga menjadi pengikut ajaran Karl Marx. Meskipun barangkali tanpa ajaran Lenin. Karena umat Islam membawa keyakinan (ideologi), yaitu Islam, maka diusahakan agar ideologi-oriented ditinggalkan dan diganti dengan program-oriented. Hal itu adalah dalam rangka perombakan struktur politik, katanya, dan juga dalam rangka modernisasi. Sebab, ketidakberesan sekarang ini disebabkan oleh struktur politik yang masih ala Nasakom. Padahal, siapa pun yang berani terhadap dirinya sendiri, untuk bersikap jujur, tentu mengakui bahwa ketidakberesan kehidupan politik sekarang ini disebabkan oleh peranan berlebihlebihan golongan yang tidak mendapatkan dukungan luas rakyat (minoritas), dan dihalang-halangi golongan mayoritas untuk ikut berperan secara menentukan, atau kalaupun ada, peranan mereka tidak seimbang dengan kenyataan mereka sebagai mayoritas. Dan minoritas-mayoritas sekarang ini didasarkan pada pembagian ideologi, bukan program. Atau apakah karena keadaan-keadaan itu, maka timbul isu agar kita meninggalkan ideologi dan menggantinya dengan program-program semata? Sehingga kalau hal itu terjadi, maka golongan minoritas yang notabene sampai hari ini masih merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang paling baik pendidikannya itu, D 34 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

dapat memimpin dalam rangka mempertahankan kedudukan dan hak-hak istemewa mereka sekarang ini? Bukankah senjata kita untuk menghancurkan Soekarno dan Orde Lama dulu ialah demokrasi? Bukankah demokrasi itu, sebagaimana dikatakan oleh John Stracey, ialah suatu resprentative government? Dan bukankah pemerintah yang representatif ialah pemerintahan oleh mayoritas (government by majority), walaupun bukan oleh seluruh rakyat? Kemudian dikatakan bahwa sekarang ini adalah masa transisi. Baiklah, dan kita pun setuju dan bersyukur bahwa hal itu diakui sendiri oleh Jenderal Soeharto ketika memberikan penerangan bahwa tidak sedikit pun maksud untuk memperpanjang masa transisi itu. Tetapi sungguh kita mengkhawatirkan bahwa golongan-golongan tertentu yang sekarang ini sedang baik sekali kedudukannya, padahal tidak memperoleh dukungan rakyat, akan mempergunakan kesempatan masa transisi ini untuk memenangkan strategi mereka, persis seperti PKI dulu berbuat terhadap pemerintahan Soekarno. Maka yang kita khawatirkan ialah bahwa segala sesuatu yang kita anggap sebagai norma-norma Orde Baru, kelak akan diselewengkan untuk mengabdi kepada Orde Lama dengan PKI-nya. Dan kita sepenuhnya merasa berhak menyatakan kekhawatiran yang amat sangat ini, karena kekhawatiran itu adalah kewaspadaan. Sebab kita tidak mau kehilangan tongkat untuk kesekian kalinya. Dan kekhawatiran itu akan selamanya tetap ada, sebelum adanya jaminan bahwa apa yang dikhawatirkan itu benar-benar tidak akan terjadi. Jaminan itu ialah adanya pemerintahan yang representatif, yaitu pemerintahan yang didukung oleh rakyat yang terorganisasikan. Sebab, seperti juga dikatakan oleh John Stracey: “Pemerintah oleh seseorang yang lain, pada ujungnya, selalu akan berubah menjadi pemerintahan menurut kepentingan orang lain itu. Kalau kita membiarkan usaha pemerintahan oleh satu orang, atau lebih sering lagi oleh suatu kelompok orang tertentu, maka dia atau mereka itu akan selalu mengeksploitasi kita. Biar bagaimanapun sulitnya memperoleh pengaturan yang efektif, yang dengannya rakyat dapat memerintah dirinya sendiri, sekalipun secara tidak D 35 E


F NURCHOLISH MADJID G

langsung, hal itu pada akhirnya akan terbukti merupakan satu-satunya pengaturan politik yang dapat ditenggang”. Kekhawatiran itu sangat baralasan, berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, dan karena melihat secara konkret isu-isu yang pernah terlontar ke masyarakat, yang sumbernya dapat diketahui dengan pasti.

Penutup Akhirnya, marilah kita tetap tabah dan waspada dalam perjuangan yang berat ini. Sekalipun sepenuhnya kita beriman kepada datangnya pertolongan Allah, walī al-Mu’minīn, namun Allah juga mewajibkan kita untuk berikhtiar sekuat tenaga agar pertolongan itu diturunkan. Segala kekurangan yang kita derita sampai sekarang ini, yang tidak lain merupakan warisan penjajahan (colonial legacy), kita perbaiki dan tutup sedikit demi sedikit, untuk kemudian kita hilangkan sama sekali. Maka untuk maksud ini, sebagai umat Islam, kita harus pandai belajar dari pengalaman kita sendiri dan pengalaman orang lain. “Hikmah adalah barang hilangnya orangorang Mukmin, maka barangsiapa menjumpainya, hendaknya memungutnya”, demikian sabda Nabi kita. Kekurangan itu ialah, antara lain yang terpenting dan terpokok bahwa kita memercayai dan meyakini sepenuhnya akan kemutlakan Kebenaran Ajaran Allah, yaitu Islam, tetapi kita tidak banyak sanggup memformulasikannya dalam bahasa-bahasa yang dimengerti umum, dalam ruang dan waktu sekarang ini. Akibatnya, orang lain banyak tidak mengerti dan tidak tahu apa yang kita kehendaki, sehingga jiwa Islamo-phobia akibat kolonialisme itu membuat mereka, sampai sekarang, a priori, tidak mau mengerti ajaran Tuhan Yang Mahaesa itu. Kebanyakan dari kita masih terlalu banyak berbicara tentang apa yang seharusnya (normatif, ultimate goal), tetapi tidak atau sedikit saja bicara tentang “apa yang dapat dikerjakan” (operatif ) dalam ruang dan waktu tertentu D 36 E


F MODERNISASI IALAH RASIONALISASI BUKAN WESTERNISASI G

kita. Sehingga Islam yang semestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam, malahan sering terbalik dirasakan oleh sementara golongan justru sebagai ancaman. Hal itu barangkali wajar kalau datang dari musuh-musuh Islam. Tetapi bagaimana kalau juga datang dari golongan Islam sendiri, sekalipun Islam nominal? Padahal itulah yang menjadi kenyataan sekarang ini. Adalah tragis sekali, bahwa penentang-penentang Islam justru sebagian besar dari kalangan yang mengaku Islam juga. Meskipun sebab-sebabnya sudah jelas, yaitu karena tidak adanya pengertian yang benar tentang Islam, atau boleh juga karena memang dapat dipergunakan oleh musuhmusuh Islam, sadar atau tidak. Demi perbaikan kita sendiri pula, maka kita harus berpegang teguh kepada jiwa dan semangat surat al-‘Ashr, yaitu semangat kesediaan untuk menerima kritik, biar datang dari mana saja, baik dari orang lain, dan terutama dari diri sendiri. Kita harus berani mengakui dengan jujur bahwa cara bekerja kita sampai sekarang ini masih jauh dari sempurna. Seperti disinggung di muka, kita belum banyak sanggup menggabungkan antara iman yang memberikan kepada kita pedoman-pedoman normatif, dan ilmu yang memberikan kepada kita kecakapan-kecakapan operatif. Bukankah dalam surat al-Jātsiyah Allah menegaskan bahwa Dia akan memenangkan golongan manusia — mereka yang menggabungkan iman dan ilmu — atas golongan lain? Iman memberikan kepada kita landasan ideologi yang kuat, dan ilmu pengetahuan melengkapi kita dengan kecakapan teknis yang tinggi. [ ]

D 37 E


F KWHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT G

KEHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Dorongan untuk membahas masalah ini ialah konstatasi bahwa kaum Muslimin Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force dalam perjuangannya. Sebuah dilema segera dihadapkan kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya, dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang ampuh? Tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan pembaruan dan integrasi ialah kenyataan bahwa bila suatu inisiatif pembaruan telah diambil oleh sebagian umat, maka sebagian yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah telah menunjukkan kebenaran hal itu.

Islam, Yes, Partai Islam, No? Salah satu kenyataan yang menggembirakan tentang Islam di Indonesia dewasa ini ialah perkembangannya yang pesat, terutama D1E


F NURCHOLISH MADJID G

dari segi jumlah pengikut (formal). Daerah-daerah yang dahulunya tidak mengenal agama ini, sekarang mengenalnya, malahan menjadikannya sebagai agama utama bagi penduduknya, di samping agama lainnya yang telah ada sebelumnya. Dan kalangan dari tingkat sosial yang lebih tinggi, sekarang ini, semakin menunjukkan perhatiannya kepada Islam; jika tidak mengamalkan sendiri, setidak-tidaknya demikianlah dalam sikap-sikap resmi mereka. Tetapi, sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta jawaban, yaitu, sampai di manakah perkembangan akibat daya tarik yang jujur dari ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpinnya itu, lisan maupun tulisan? Ataukah, perkembangan kuantitatif Islam itu dapat dinilai sebagai tidak lebih daripada gejala adaptasi sosial karena perkembangan politik di tanah air akhir-akhir ini, yaitu kalahnya kaum komunis yang memberikan kesan kemenangan di pihak Islam? (Dan adaptasi sosial ini juga telah terjadi di zaman Orde Lama, sebab Presiden Soekarno pada waktu itu selalu, dengan penuh kegairahan, menunjukkan interest-nya kepada Islam — juga kepada Marxisme, apa pun dugaan orang tentang motif yang ada di belakangnya). Jawaban atas pernyataan itu mungkin sekali dapat ditemukan dengan meletakkan pertanyaan berikut: sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya. (Reputasi sebagian umat Islam di bidang korupsi, umpamanya, makin lama makin menanjak). D2E


F KWHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT G

Kuantitas Versus Kualitas Satu hal yang biasanya dianggap dengan sendirinya benar ialah bahwa mutu lebih penting daripada jumlah. Tapi justru umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan yang sebaliknya: lebih mementingkan jumlah daripada mutu. Tidak dapat disangkal, bahwa persatuan lebih menjamin tercapainya tujuan-tujuan perjuangan daripada perpecahan. Tetapi, dapatkah persatuan itu terwujud secara dinamis dan menjadi kekuatan dinamis jika tidak disadari oleh ide-ide yang dinamis pula (tidak ada tindakan-tindakan revolusioner tanpa teori-teori revolusioner Lenin). Betapapun, dinamika lebih menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini meliputi jumlah besar manusia. Kelumpuhan umat Islam akhirakhir ini, antara lain, disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya, yang mengharuskan adanya gerakan pembaruan ide-ide, guna dapat menghilangkannya.

Liberalisasi Pandangan terhadap “Ajaran-ajaran Islam” Sekarang Jika kita telah sampai pada keputusan hendak melaksanakan pembaruan di kalangan umat, dari manakah kita hendak membukanya? Dalam hubungan dengan masalah ini dapatlah dikemukakan sebuah ungkapan Andre Beufre: “Our traditional lines of thought must go overboard, for it is now far more important to be able to look ahead than to have large scale of force whose effectiveness is problematical”. (Garisgaris pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh, sebab, sekarang ini, jauh lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuatan dengan ukuran besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan). Peringatan bahwa suatu kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar D3E


F NURCHOLISH MADJID G

menandaskan lebih pentingnya dinamika daripada kuantitas. Sudah tentu, yang lebih baik ialah kombinasi keduanya. Tetapi jika tidak mungkin, maka pilihan harus dijatuhkan kepada salah satu dari keduanya, dan hal itu haruslah dinamika. Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan, harus digantikan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam� yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya: Sekularisasi

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab “secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion.� Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hirarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin dalam tindakantindakan mereka sehari-hari. Akibat hal itu, sudah maklum cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis. Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi inilah, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kaca mata hirarki inilah, di kalangan kaum Muslimin, telah membuatnya tidak sanggup mengadakan D4E


F KWHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT G

respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini. Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi�. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan. Tetapi, apa yang terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan diam. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya, pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab, sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya, yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka, sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang konkret, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini. Yang dikenai proses desakralisasi itu ialah segala obyek duniawi, moral maupun material. Termasuk obyek duniawi yang bersifat D5E


F NURCHOLISH MADJID G

moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material ialah benda-benda. Maka, jika terdapat ungkapan Islam is Bolshevism plus God (Iqbal), salah satu pengertiannya ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan masalah-masalahnya adalah sama dengan kaum komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh obyek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental, yaitu Allah. Justru Islam meletakkan pandangan dunia (weltanschauung) dalam hubungannya antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran materialisme dialektika. Intellectual Freedom atau Kebebasan Berpikir

Salah satu balai pendidikan Islam yang liberal, yaitu Balai Pendidikan “Darussalam” di Gontor, Ponorogo (Jawa Timur), mencantumkan sebagai mottonya “Berpikir Bebas” setelah “Berbudi Tinggi”, “Berbadan Sehat dan Berpengetahuan Luas”. Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. Agaknya tidaklah sama sekali omong kosong bila Nabi kita menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatnya D6E


F KWHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT G

merupakan rahmat. Kebebasan berpikir ini dengan baik sekali diterangkan oleh O.W. Holmes ketika dia mengatakan: “The ultimate good desired is better reached by free trades in ideas that the best of truth is the power of thought to get it self accepted competition of the market, and that truth is the only ground upon which their wishes safety can be carried out”. (Kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide, bahwa sebaik-baik ujian bagi suatu kebenaran ialah kekuatan pikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam persaingan pasar, dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan keinginan-keinginan mereka yang dengan selamat dapat dilaksanakan). Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, kita telah kehilangan apa yang dikemukakan di muka, yaitu psychological striking force (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutantuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial. Walaupun begitu, masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan problem-problem itu sebaik-baiknya, jika disesuaikan, dipersegar, diperbarui, dan diorganisasikan (dikoordinasikan), untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Sebagai contoh, ajaran tentang “syura” atau “musyawarah” umpamanya, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat itu. Tetapi di pihak lain, ajaran prinsipal Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam tampaknya masih tabu terhadp katakata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokokpokok ide Islam tersebut. Halangan psikologis apakah yang ada D7E


F NURCHOLISH MADJID G

pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir? Karenanya, kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisiposisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, kemudian Islam di-exlude-kan darinya. Sebenarnya penting untuk diketahui, bahwa persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer, seseorang merebut posisi di medan pertempuran, dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah, kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu, sekali lagi, akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori, dan seterusnya. “Idea of Progress� dan Sikap Terbuka

Sebenarnya, jika seorang Muslim benar-benar konsisten dengan ajarannya, maka nilai idea of progress, sebagaimana nilai-nilai kebenaran lainnya, tidak perlu lagi dikemukakan, sebab sebenarnya telah ada padanya. Idea of progress bertitik-tolak dari konsepsi, atau doktrin, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam ďŹ trah dan berwatak hanÄŤf). Oleh sebab itu, salah satu manifestasi adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata-nilai duniawi manusia. Sebetulnya, sikap reaksioner dan tertutup terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah. Oleh karena itu, konsistensi idea of progress ialah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom tersebut, kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas D8E


F KWHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT G

mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut ukuran-ukuran obyektif, mengandung kebenaran. Sulit sekali untuk dimengerti, justru umat Islam sekarang lebih banyak bersifat tertutup dalam sikapnya, padahal Kitab Suci mereka menegaskan bahwa mereka “harus mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana yang paling baik”. Sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit”, merupakan salah satu tanda kesesatan. Jika memang Islam itu bukan kebudayaan, dan bukan pula peradaban, melainkan dasar darinya, maka ke manakah hendaknya dicari bahan-bahan kebudayaan dan peradaban Islam untuk membangunnya, jika tidak di seluruh muka bumi, yang berupa warisan-warisan kemanusiaan yang universal. Sejarah memberikan kesaksian kuat akan hal itu. Umat Islam keluar dari Jazirah Arab tidak mempunyai apa-apa kecuali iman teguh yang memancar dari al-Qur’an dan Sunnah (dasar), kemudian di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan, mereka menemukan warisan-warisan manusiawi, baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persia), kemudian mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari padang pasir Jazirah Arab dan menjadikannya sebagai milik sendiri. Karya mereka itulah yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sekarang sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang dibanggakan.

Perlunya Kelompok Pembaruan yang “Liberal” Di atas pentas sejarah, baik Indonesia maupun dunia, telah tampil gerakan-gerakan pembaruan. Di Indonesia, kita mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi pembaruan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Tetapi sejarah mencatat pula, dan harus kita akui dengan jujur, bahwa mereka itu sekarang D9E


F NURCHOLISH MADJID G

telah berhenti sebagai pembaru-pembaru. Mengapa? Sebab mereka, pada akhirnya, telah menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Sebaliknya, organisasi-organisasi yang oleh sejarah dicatat sebagai organisasi-organisasi kontrareformasi, seperti NU, Al-Wasliyah, PUI dan lain-lain, ternyata sekarang telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru, sekalipun sikap mereka ini karena desakan hukum sejarah yang tak terhindarkan, dan mereka mengambilnya tidak cukup serius, atau tidak secara formal menerimanya sebagai pandangan prinsipal. Akibatnya ialah keadaan stagnant yang, secara menyeluruh, menimpa umat sekarang ini: Organisasi-organisasi Islam yang, ketika didirikannya, bersikap anti-tradisi dan sektarisme, sekarang telah menjadi tradisionalis dan sektarianis sendiri, sedangkan organisasi lainnya yang semula menolak nilai-nilai baru dan sekarang menerimanya, tidak pernah terniat menjadikannya sebagai sikap hidup yang prinsipal. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kelompok pembaruan Islam baru yang liberal. Tetapi, kata-kata itu mempunyai implikasinya lebih lanjut sebagai konsekuensi logisnya, yaitu non-tradisionalisme dab non-sektarianisme. Maka di sini dituntut adanya kemampuan dan keberanian untuk setiap waktu meninjau kembali nilai kelompok (sekte). Sekali lagi, nilai-nilai itu pun tidak perlu dikemukakan lagi, seandainya umat Islam konsisten dengan ajaran-ajaran sendiri. Sebab, non-tradisionalisme tidak lain adalah kebalikan dari sikap “kami mendapatkan bapak-bapak kami berjalan di atas suatu kata, nilai, dan di atas warisan-warisan mereka itulah kami memperoleh petunjuk�, sedangkan non-sektarianisme adalah kebalikan dari sikap “setiap golongan bangga dengan apa yang ada padanya�, yang kedua-duanya dicela keras oleh Kitab Suci. Kembali ke apa yang telah disinggung di muka, sebenarnya nilai-nilai Islam adalah nilainilai yang dinamis, bukan statis. Selain dasar-dasar kepercayaan (di mana yang terpenting ialah kepercayaan kepada Allah), pokokD 10 E


F KWHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT G

pokok ibadat serta beberapa nilai kemasyarakatan yang sangat prinsipal, dan tampak tidak berubah sepanjang masa, Islam tidak memberikan perumusan-perumusan deďŹ nitif yang menyangkut kegiatan-kegiatan duniawi. Selain nilai-nilai dasar, yaitu rasa takwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadat kepada-Nya, tidak ada nilai-nilai yang tetap. Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai budaya yang harus berkembang terus sesuai dengan hukum perubahan dan perkembangan (segala sesuatu selain Allah itu rusak atau berubah). Oleh karena itu, nilai-nilai Islam ialah setiap nilai yang sejalan dengan kemanusiaan, atau ďŹ tri, atau hanÄŤf, dengan dilandasi takwa kepada Allah. Nilai-nilai akan Islami apabila ia, secara asasi tidak bertentangan dengan iman dan takwa, dan adalah baik menurut kemanusiaan, sesuai dengan perkembangannya. Sekarang, perjuangan memperbaiki nasib umat manusia, bukanlah menjadi monopoli umat Islam. Seluruh manusia, dengan mempertaruhkan rasio atau akal pikiran yang ada padanya, telah terlibat dalam upaya-upaya menemukan cara-cara yang terbaik bagi perbaikan kehidupan kolektif manusia. Pikiran-pikiran itu, pada zaman modern ini, ditemukan pernyataannya dalam istilah-istilah yang sekarang banyak terdengar, seperti demokrasi, sosialisme, kerakyatan, komunisme, dan lain-lain. Pikiran-pikiran itu, betapapun salahnya kelak, merupakan puncak-puncak pemikiran manusia tentang kehidupan dirinya sendiri dalam bermasyarakat, sebagai hasil penelaahan yang realistis dan penuh keuletan berpikir atas gejala sosial dan historis. Sekarang kita harus belajar menggunakan pikiran-pikiran yang terbaik menurut ukuran prinsip-prinsip Islam, dan mengusahakan perkembangan selanjutnya dengan realisme yang sama dan ketekunan berpikir yang sama. Inilah hakikat makna ijtihad, atau pembaruan, yang kita kehendaki. Oleh karena itu, ijtihad atau pembaruan haruslah merupakan proses terus-menerus dari pemikiran yang orisinal, berlandaskan penilaian atas gejalagejala sosial dan sejarah, yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benar-salahnya. Ijtihad merupakan suatu proses, di mana kesalahan pengertian akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Sungguh pun demikian, itu pun masih lebih ringan daripada beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya pembaruan. Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi ijtihad dan pembaruan yang berarti, jika kita tidak mempunyai organisasi-organisasi penelitian dengan dasar yang kuat, jika kita tidak mempunyai metode yang unggul untuk menganalisis situasi apa pun, dan jika kita tidak mempunyai pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di setiap bidang, baik sosial maupun alam. Rasanya kita masih jauh dari keadaan yang menyenangkan itu. Dapat disimpulkan bahwa pekerjaan pembaruan adalah pekerjaan mereka dari kalangan masyarakat yang mempunyai kemampuan yang sebesar-besarnya untuk mengerti dan berpikir. Dengan kata lain, pekerjaan kaum terpelajar. Maka tanggung jawab kaum terpelajar sungguh besar dan berat, di hadapan umat manusia dalam sejarah ini, dan di hadapan Tuhan kelak di kemudian hari (di akhirat). Untuk pekerjaan besar itu, kiranya organisasiorganisasi keilmuan yang terbesar di kalangan umat Islam, yaitu Persami, HMI, PII, dan GPI, dapat merintis, memelopori dan berbuat dalam suatu bentuk hubungan yang lebih kukuh dan terkoordinasikan, tanpa melupakan unsur-unsur “liberal� lainnya dari setiap kelompok Islam yang ada. [™]

D 12 E


F MASALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

MASALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Reaksi-reaksi spontan telah dikemukakan oleh beberapa orang. Tetapi, tentu, reaksi-reaksi itu belum terumuskan dengan baik. Namun, di kalangan masyarakat umum, reaksi itu terasa lebih luas dan sungguh-sungguh. Reaksi-reaksi itu disalurkan melalui bermacam-macam cara, semenjak dari penulisan di koran-koran sampai khutbah-khutbah Jumat dan tabligh-tabligh umum. Maka, dirasakan perlu untuk sekali lagi membuka forum diskusi yang terbuka, nuchter, dan ilmiah. Dalam forum kedua inilah, reaksi-reaksi meperoleh salurannya dengan lebih leluasa, dan dialogdialog langsung dapat diadakan. Dari forum diskusi itu, demikian pula dari penelaahan atas cara-cara reaksi yang dikemukakan di masyarakat, dapatlah ditarik kesimpulan terdapatnya titik-titik api sorotan itu, yaitu masalah istilah dan ilustrasi. Sedangkan reaksi kontra terhadap esensi ide itu sendiri, memang diberikan, namun dengan proporsi yang lebih rendah. Sasaran kritik dalam hal peristilahan ialah kata “sekularisasi�, sedangkan ilustrasi yang dianggap tidak benar ialah penyebutan dalam kertas kerja bahwa beberapa organisasi pembaru sekarang telah berhenti sebagai pembaru pemikiran, sebab telah membeku dan kehilangan dinamika. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Maka, untuk memperoleh pengertian yang lebih tepat sehingga reaksi-reaksi selanjutnya dapat diberikan secara proporsional, perlu dibuat beberapa keterangan.

Proporsi Istilah “sekular” dari Segi Bahasa Mengetahui proporsi suatu peristilahan, dengan menggunakan pendekatan dari segi bahasa, akan banyak menolong menerangkan artinya lebih lanjut. Sebab, seperti dikatakan oleh Samuelson, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, kita harus waspada terhadap “tirani kata”. Kata bisa menjerumuskan, apabila kita tidak memberikan tanggapan dengan cara yang wajar. Seperti kita ketahui, kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang. Sedangkan saeculum sendiri adalah lawan eternum yang artinya abadi, yang digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini. Agaknya sudah menjadi konsep manusia dari dulu di manamana bahwa alam ini terdiri atas dua hakikat, yaitu alam yang menjadi tempat hidup kita sekarng ini yang bersifat sementara, dan alam kelak sesudah alam sekarang yang bersifat abadi. Tentu, umat Islam mengetahui adanya paralelisme konsep itu dengan apa yang diajarkan dalam al-Qur’an, yaitu konsep tentang adanya dunia dan akhirat. Tetapi, lebih menarik lagi adalah mengetahui adanya paralelisme peristilahan yang digunakan dalam bahasa Latin dan bahasa Arab (al-Qur’an), guna menunjukkan pengertian tentang dunia ini. Dalam al-Qur’an, istilah untuk menunjukkan alam dunia ini, selain D2E


F MASALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

dipakai kata al-dunyā, sebenarnya juga sering dipakai al-ūlā. Kata al-dunyā adalah bentuk betina dari kata sifat al-adnā yang berarti yang terdekat, jadi merupakan kata ruang. Sedangkan kata al-ūlā adalah bentuk betina dari kata sifat al-awwal yang berarti yang pertama, jadi kata waktu. Sebenarnya, kata al-ūlā, yang memberikan pengertian atau konsep dunia sebagai waktu atau sejarah, itulah yang menjadi lawan langsung kata al-ākhirah, atau akhirat dalam bahasa Indonesia, yang berarti “yang kemudian atau akhir”. Dan paralelisme peristilahan itu juga terdapat dalam istilahistilah bahasa Yunani. Dalam bahasa itu digunakan kata aeon, yang berarti “masa atau zaman”, dan kata cosmos, yang berarti alam raya. Adanya pemakaian dua istilah itu pun menunjukkan adanya konsep waktu dan konsep ruang tentang dunia sekarang ini. Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich, pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan. Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia ini, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama-kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggung jawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu. Sedangkan dalam Islam, hampir setiap Muslim dapat menerangkan bahwa konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina, bukan saja tidak dikenal, melainkan bertentangan dengan ajaran sebenarnya Kitab Suci. Sebab dalam Islam, D3E


F NURCHOLISH MADJID G

alam ini adalah baik, sebagai ciptaan dari sebaik-baik Pencipta (Q 23:14). Sedemikian baiknya, sehingga tidak mengandung cacat sedikit pun di dalamnya, bahkan kalau perlu, kita pun disuruh mencoba mencari-cari kecatatannya, bila ada (Q 67:3-4). Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari darinya, yaitu lari dari realitas kehidupan duniawi ini, seperti bertapa, puasa sehari-semalam berturut-turut, dan lain-lain. Hal-hal ini diharamkan oleh Islam. Dan doa terpenting dalam Islam berisi permohonan kepada Tuhan agar diberi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, serta terjaga dari kesengsaraan di neraka.

Pengertian-pengertian tentang Sekularisasi Pengertian pertama tentang sekularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu, telah tercakup pula sikap yang obyektif dalam menelaah hukumhukum yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulanpenyimpulan yang jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan, guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan di sinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan. Maka secara pendek dan ringkas, pengertian pokok tentang sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Jika sekularisasi merupakan proses yang dinamis, maka tidaklah demikian halnya dengan sekularisme. Sekularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian. Ia membentuk ďŹ lsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini. D4E


F MASALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

Oleh karena itu, sekalipun kita mengharuskan adanya sekularisasi, tetapi dengan tegas kita menolak sekularisme. Harvey Cox menerangkan perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme itu sebagai berikut: Bagaimanapun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metaďŹ sis yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi, pada dasarnya, adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.

Sekali lagi, sekularisme adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan duniawi itu adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya agamaagama menamakannya hari kemudian, hari kebangkitan, dan lain-lain. Kita semua, yang hidup ini, adalah makhluk sekular, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam sekular, duniawi, karena belum pindah ke alam akhirat, alam baka, yaitu mati. Tetapi, bagi penganut sekularisme, mereka adalah orang-orang sekularis, artinya orang-orang yang menjadikan sekularisme sebagai sentral keyakinannya. Oleh sebab itu, sekularisme bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Sebab, Islam mengajarkan tentang adanya hari kemudian (akhirat), dan orang Islam wajib meyakininya. Gambaran tentang kaum sekularis kita dapati dalam al-Qur’an di banyak tempat. Mereka selalu digolongkan ke dalam kelompok orang kaďŹ r. Gambaran itu, antara lain, kita dapati dalam: D5E


F NURCHOLISH MADJID G

“Mereka (orang-orang kafir itu) berkata: ‘Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa’. Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja,” (Q 45:24).

Pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme itu dapat menjadi semakin jelas kalau kita bandingkan dan analogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Setiap orang Islam mengetahui, malahan sering membanggakan diri, bahwa dia harus bersikap rasional. Sebab, demikian banyak sekali diajarkan dalam al-Qur’an. Dan bila suatu saat umat Islam dalam keadaan tidak rasional, maka proses pengembaliannya ke rasionalitas menimbulkan proses rasionalisasi. Tetapi kiranya, seiap Muslim juga mengetahui bahwa dia tidak boleh menjadi rasionalis, yaitu pendukung rasionalisme. Sebab, rasionalisme adalah suatu paham yang bertentangan dengan Islam. Rasionalisme mengingkari keberadaan wahyu sebagai media untuk mengetahui kebenaran, dan hanya mengakui rasio. Di sini pun, seperti halnya perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi sebagai paham dan proses, perbedaan antara rasionalisme dan rasionalisasi adalah juga perbedaan pengertian antara paham dan proses. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanan. Sekularisasi, dalam bentuknya yang demikian, selalu menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam, jika D6E


F MASALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

pada suatu saat mereka kurang memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini. Suatu firman Tuhan, yang terdapat dalam Q 28:77, menegaskan hal itu: “Dan carilah dalam anugerah Tuhan kepada kamu itu kebahagiaan akhirat, namun janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia, dan perbuatlah kebaikan, sebagaimana Allah telah memperbuat kebaikan kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi ini. Sesungguhnya, Tuhan tidak suka kepada kaum perusak”.

Dalam firman itu, kita dapati perintah Allah agar kita berusaha memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti, yang kemudiaan disusul dengan peringatan agar kita jangan sampai melupakan nasib kita dalam kehidupan duniawi ini. Bila diresapkan, di situ terasa secara tersirat adanya semacam kekhawatiran, bahwa jika mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah akhirat, kita akan lupa masalah dunia. Kemudian disusul dengan perintah agar kita berbuat konstruktif, dan larangan berbuat destruktif. Hal ini memberikan implikasi bahwa melupakan aspek kehidupan duniawi adalah destruktif, baik untuk diri sendiri mapun untuk masyarakat, sedangkan Tuhan tidak suka kepada orang-orang yang sifatnya destruktif. [ ]

D7E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Di antara reaksi-reaksi atas kertas kerja tentang pembaruan, yang pernah saya kemukakan pada awal tahu 1970, ialah ketidaksetujuan terhadap istilah sekularisasi. Mungkin jenis reaksi ini adalah yang paling keras. Maka saya berpikir ada baiknya menerangkan sedikit lebih lengkap tentang istilah itu. Sekalipun dalam kertas kerja itu sudah saya tegaskan bahwa sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme yang merupakan sebuah paham tersendiri dengan fungsi hampir mendekati agama, tetapi beberapa kawan tetap mengajukan keberatan itu, dengan alasan bahwa sekularisasi tanpa sekularisme adalah mustahil. Sekularisasi tidak dapat lain adalah penerapan sekularisme. Hal itu analog dengan istilah “Islamisasi” yang berarti penerapan Islam. Sudah tentu, “neonisasi” (sebuah istilah buatan Indonesia sendiri) berarti penggantian bola lampu listrik biasa dengan bola lampu neon. Begitu pula, “dieselisasi” ialah penggantian motor bensin pada kendaraan dengan mesin diesel yang memakai bahan bakar solar. Tetapi, menyamakan begitu saja konotasi istilah-istilah sosial yang memang kompleks itu dengan istilah-istilah teknik adalah kurang tepat.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Sebab, misalnya saja istilah “sosialisasi” dalam perkataan Inggris, socialized medicine (pengobatan yang disosialisasikan), sudah pasti bukanlah penerapan sosialisme. Di negara-negara kapitalis, justru sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali, misalnya Inggris. Juga di Amerika, yang terkenal sebagai kampiun penentang sosialisme. Dalam pembendaharaan istilah-istilah agama (Islam), juga terdapat hal serupa. Umpamanya, “perang” yang diwajibkan atas kaum Muslimin sebagai tindakan defensif. Dalam satu ayat al-Qur’an yang mewajibkan perang, istilah yang dipakai ialah qitāl. Jadi, satu asal kata dengan perkataan qatl yang berarti pembunuhan. Apakah dalam hal ayat tersebut kita juga harus mengartikan qitāl sebagai pembunuhan, sehingga Tuhan mewajibkan kita saling-membunuh (arti harfiah perkataan qitāl)? Dalam perang, memang terjadi pembunuhan, tetapi inti perang bukanlah pembunuhan itu an sich, sehingga dapat diartikan bahwa berperang adalah melakukan kejahatan pembunuhan. Jadi, di sini terdapat apa yang disebut “kontradiksi interminus” (sesuai dengan hukum dialektika — lagi-lagi istilah asing — atau hukum kesatuan dari perbedaan): dalam perang yang diwajibkan itu, terdapat unsur pembunuhan yang diharamkan. Namun, perang tidak mungkin tanpa terjadinya pembunuhan (pada umumnya). Maka, “membunuh” dan “membunuh” itu juga mengenal tempat yang berbeda-beda, yang kemudian mengakibatkan perbedaan nilai padanya, malahan mungkin nilai itu berlawanan: yang satu haram dan yang lainnya wajib. Demikian pula dengan istilah sekularisasi. “Sekularisme” dan “sekularisasi”, dalam konteks yang berbeda atau berlawanan: dilarang dan disuruh. Yang dilarang sudah jelas, yaitu penerapan sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan kepada adanya Tuhan. Sedangkan yang diperintahkan, banyak sekali. Agama Islam pun, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran. D2E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

Negasi dan Afirmasi Untuk memahami masalah ini, marilah kita perhatikan secara lebih cermat arti yang terkandung dalam kalimat syahadat yang pertama. Kalimat itu merupakan garis pemisah antara siapa mukmin dan siapa kafir. Dalam kalimat itu terkandung dua pengertian: peniadaan (negation) dan pengukuhan (affirmation). Perkataan “tidak ada Tuhan” adalah peniadaan, dan perkataan “melainkan Allah atau Tuhan itu sendiri” adalah pengukuhan. Cobalah perhatikan, betapa Islam, yang mengajarkan tauhid, itu justru memulai dengan ajaran yang meniadakan sama sekali (istilah Arabnya: nafy-un li al-jins) suatu tuhan atau ilāh. Memperhatikan hal ini adalah penting sekali. Dan dalam syahadat itu, kemudian dengan segera disusul dengan pengecualian, bahwa tidak semua tuhan itu tidak ada, kecuali satu, yaitu Tuhan itu sendiri, atau Allah (Allah adalah Ilāh yang telah memperoleh awalan al sebagai definite article). Jadi, negasi ketuhanan dalam kalimat syahadat adalah negasi yang terbatas, tidak mutlak. Sebab, memang tidak demikian yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan ialah membebaskan manusia dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Kalau kita hendak membahas masalah tersebut secara sedikit lebih luas, dapatlah digambarkan demikian: Agama (Islam) mengatakan bahwa manusia pertama (Adam dan Hawa) diajari tentang kepercayaan yang benar. Pasti, ajaran itu mula-mula adalah sederhana, sesuai dengan kemampuan pemahaman manusia. Kemudian disempurnakan secara bertahap, dengan diutusnya Rasul-rasul yang berdatangan sesudahnya. Rasulrasul itu, selain bertugas membawa ajaran tentang kepercayaan, atau agama yang lebih lengkap, juga meluruskan kembali umat manusia yang sudah mulai menyimpang dari ajaran sebelumnya. Sampai akhirnya tiba kerasulan Nabi Muhammad. Beliau merupakan utusan terakhir Tuhan, dengan tugas final dan universal. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Perspektif Sejarah Tetapi, guna mendapatkan gambaran lebih terang tentang proses itu, kita gunakan segi historis sebagai bahan pembahasan kita. Dan masih harus kita sempitkan lagi dengan mengambil tanah air kita sendiri sebagai misal. Menurut para ahli sejarah — sebagaimana diajarkan di sekolahsekolah — bangsa Indonesia mula-mula menganut kepercayaan Animisme atau Dinamisme. Kemudian datang agama Hindu dan Budha, yang relatif lebih sempurna daripada kepercayaan asli tersebut. Tetapi, agama Hindu dan Budha sangat mentolerir Animisme tersebut, bahkan menyerapnya menjadi bagian dari dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan sisa-sisa Animisme itu masih tampak jelas dalam praktik-praktik agama Hindu dan Budha di Indonesia, sehingga, ketika Islam datang, agama baru ini menghadapi keadaan yang tidak jauh berbeda dengan keasliannya dulu di bidang kepercayaan. Sekarng Islam mengajarkan syahadat yang merupakan pangkal tolak tauhid.

Interaksi antara Animisme dan Tauhid Sekarang bagaimana gambaran interaksi antara Animisme (boleh juga plus Hinduisme) dan tauhid itu? Interaksi itu berada dalam proses demikian: Mula-mula seorang Animis, sebelum masuk ke dalam kepercayaan Islam, harus terlebih dahulu menanggalkan sama sekali kepercayaannya. Hal itu berarti bahwa ia tidak boleh lagi memercayai bahwa segala benda mempunyai ruh atau kekuatan yang perlu dibujuk dan dijinakkan melalui pemujaan. Dia harus memandang benda-benda itu menurut apa adanya, secara obyektif, tidak dilebihkan dan tidak pula dikurangkan. Besar sekali arti hal ini bagi seorang Animis. Sebab ia, pada mulanya, memandang benda-benda itu sedemikian, sehingga sikap-sikapnya terhadap benda apa pun juga merupakan D4E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

kegiatan keruhanian atau keagamaan. Materi dan spirit, atau benda dan jiwa (jism dan rōh), menjadi satu, tidak dapat dibedabedakan. Baginya tidak ada benda sebagai benda (benda obyektif ), melainkan benda tersebut merupakan wadah ruh, atau sukma, yang memerlukan pemujaan. Segala tindakan selalu berada dalam lingkungan kegiatan keagamaan. Lebih jelas lagi kalau kita lihat tindakan seorang Animis, berkenaan dengan penyakit dan pengobatannya. Suatu penyakit tidaklah dilihat apa sebenarnya penyakit itu, sebab-sebabnya, dan kemungkinan cara penyembuhannya. Penyakit, baginya, langsung dihubungkan dengan ruh, atau sukma. Penyakit adalah pengaruh ruh jahat. Oleh karena itu, pengobatan satu-satunya untuk segala penyakit ialah yang bersifat ruhani, baik untuk mengusir ruh jahat tersebut atau membujuknya supaya pergi, atau meminta pertolongan ruh lainnya yang baik. Jadi, mengobati penyakit pun merupakan praktik keagamaan. Sungguh, tidak ada satu kegiatan manusia pun yang lepas dari lingkaran keagamaan. Tingkah laku manusia selalu dirangkaikan dengan ritual atau upacara keagamaan: umpamanya, memulai bercocok tanam, membuka saluran air, mengetam, dan seterusnya. Sisa praktik itu — sebagaimana di singgung di muka — masih dapat kita saksikan sampai sekarang ini. Yang penting kita perhatikan dalam sikap Animis itu ialah bahwa, baginya, tidak ada benda sebagai benda murni. Karena itu, seorang Animis tidak mungkin mendekati benda sebagai benda. Di balik bentuk lahir benda itu, dia akan mencari arti spiritualnya: apakah benda itu mendatangkan kutukan atau membawa keberuntungan. Maka ia tidak akan mengerti benda itu menurut hakikat materialnya, apalagi menaklukkan dan menggunakannya, sebagaimana kelaziman abad sekarang ini. Jadi sebenarnya, bagi seorang Animis, semua benda dan kegiatan keseharian ditentukan oleh resep-resep keagamaan. Tidak satu bagian pun yang dibiarkan dipecahkan oleh manusia sendiri dengan kreativitas berpikirnya. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Sekarang Islam datang dengan ajaran tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu. Dengan tauhid, seorang Animis diajari untuk melihat benda-benda ini sebagaimana adanya: dia dapat mendekatinya sebagai benda obyektif, dapat memahaminya, dapat menggunakan dan menguasainya. Bagaimana dia mendekati benda itu, sangat banyak bergantung kepada keceerdasannya, tidak kepada ketekunannya melakukan upacara-upacara keagamaan. Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Semua benda yang semula dipuja, dan karenanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama, sekarang ia campakkan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan demikian, diduniawikan atau disekularisasikan. Sekarang ia mendekati benda tersebut dengan kapasitasnya sendiri selaku manusia, makhluk berpikir. Ia memikirkan benda tersebut: kejadiannya, hukum-hukumnya, dan cara menguasai atau menggunakannya. Dalam kegiatan berpikir itu, ia tidak bergantung kepada upacara-upacara keagamaan lagi: ia bebas. Dan pengetahuannya tentang benda itu pun adalah pengetahuan bebas, berdiri sendiri, di luar masalah-masalah spiritual. Sutan Takdir Alisjahbana menerangkan secara singkat masalah tersebut dalam bukunya (berbahasa Inggris) Indonesia: Social and Cultural Revolution, bahwa, “Salah satu karakteristik Islam yang dengan jelas membedakannya dari Hinduisme ialah ajaran monoteismenya yang tidak mengenal kompromi. Juga, bertentangan dengan Hinduisme dan agama-agama asli Indonesia, di mana binatang, manusia, dan kekuatan-kekuatan supernatural, tidak dibedakan secara tajam, dan dapat dicampuradukkan satu dengan lainnya, Islam memberi manusia kedudukan istimewa, mengatasi alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan, berkat pemisahan manusia dari Allah dan alam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Manusia diberi kesempatan untuk membangun dunianya sendiri, dengan dituntun oleh intelegensinya. Islam juga berbeda dengan kebudayaan Indonesia asli dan Hindu, dalam hal bahwa ia membukakan pintu D6E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

bagi pertumbuhan lembaga ilmu pengetahuan sekular (duniawi — penulis) yang bersifat otonom dari pengaruh keagamaan, dengan mengizinkan kebebasan berpikir dan mengadakan penyelidikan”. Seperti kita ketahui, Sutan Takdir adalah seorang yang mempunyai otoritas besar di bidang filsafat. Kenyataan bahwa kalimat syahadat pertama-tama mengandung peniadaan obyek pemujaan, atau tuhan, merupakan pengakuan tegas akan adanya kecenderungan manusia untuk memuja apa saja yang sebenarnya tidak perlu. Mengapa demikian? Karena manusia terlebih dahulu memerlukan rasa aman. Tetapi, ketika menghadapi kenyataan hidup ini, banyak sekali ia temukan halhal yang menimbulkan rasa tidak aman. Pada pokoknya manusia merasa tidak aman terhadap hal-hal atau benda-benda yang ia tidak kenal atau mengerti. Maka singkatnya, manusia, pada fase pertamanya, hampir tidak mengerti apa pun yang ada. Kengerian itu melahirkan tindakan sebaliknya, yaitu pemujaan. Mulailah manusia memuja apa saja yang asing baginya: gunung, hutan lebat, sungai, binatang, peristiwa, seperti terjadinya petir, lahar, banjir dan seterusnya. Bahkan, benda-benda yang terdekat dengan dirinya pun ia jadikan sasaran pemujaan. Tentu saja, hal itu berakibat semakin tidak dapat dimengertinya dunia ini. Sebab, semua tindakannya memang dimulai dengan sikap “tidak akan mengerti”. Maka, bila sejarah manusia itu berjalan, maka ia berjalan di tempat, tidak membuat kemajuan apa pun. Satu-satunya jalan ialah melepaskan manusia dari belenggu ini: ia harus melangkahi kepercayaannya sendiri bahwa dunia ini tidak dapat dimengerti oleh manusia sendiri. Dan itu berarti mengubah sama sekali tata kepercayaannya, yaitu bahwa manusia diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini. Yang tidak mungkin dimengerti hanyalah Tuhan, Pencipta dunia itu. Maka, Dia-lah yang berhak dipuja. Sedangkan selain-Nya, seisi alam raya ini, justru sebaliknya: harus dibuka rahasianya, dimengerti, dikuasai, dan digunakan. Rasulullah pun berkata: “Pikirkanlah alam raya ini, dan jangan kamu pikirkan Tuhan, Penciptanya”. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Amanat Tuhan Perlu ditegaskan di sini kesimpulan pembahasan bahwa bagi seorang Animis semua benda di dunia ini mempunyai arti religius. Lebih penting lagi, pendekatannya terhadap benda itu serba-spiritualistis, selalu dihubungkan dengan ritus atau upacara-upacara keagamaan. Sedangkan bagi seseorang yang telah menerima persaksian bahwa “tidak ada tuhan selain Tuhan sendiri�, maka pendekatannya kepada benda-benda dunia ini (seharusnya) ialah menurut apa adanya benda tersebut, baik berkenaan dengan hakikat-hakikatnya maupun hukum-hukum yang menguasainya. Pendekatan itu tidak ada hubungannya dengan masalah ritus atau ibadat. Maka, sukses seseorang dalam pendekatan kepada sesuatu yang bersifat duniawi itu, tidak tergantung kepada ketekunanya beribadat atau melakukan kegiatan-kegiatan religius, melainkan kepada sampai di mana dia mengerahkan kemampuan intelektualnya. Kecerdasan, akal pikiran ataupun intelektualitas (atau, apa pun kita menyebutnya) sebagai suatu jenis kemampuan yang secara khusus hanya dipunyai oleh makhluk manusia, menurut ajaran agama, adalah suatu “Amanat� Tuhan. Di dalam Kitab Suci dilukiskan bahwa amanat akal pikiran itu, dulunya, telah ditawarkan Tuhan kepada alam semesta: langit, bumi, dan gunung. Tetapi, kesemuanya menolak untuk menerimanya, dan merasa keberatan. Kemudian, amanat itu akhirnya diterima oleh manusia. Memang, dengan menerima amanat itu, manusia menghadapi resiko, karena ia lantas menjadi makhluk berpikir yang mungkin salah dan mungkin benar. Bila ia berpikir, dan ternyata benar, maka ia akan menerima buahnya yang berguna. Tetapi sebaliknya, jika salah, maka ia akan menerima akibatnya yang buruk (Q 33:20). Namun justru dengan adanya intelegensi, atau kecerdasan itu, manusia dapat berfungsi lebih daripada makhluk-makhluk lainnya. Bahkan dengan begitu ia mengatasi status malaikat yang hanya berupa makhluk kebaikan atau, apalagi, setan yang hanya berupa makhluk kejahatan. D8E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

Sesungguhnya, kecerdasan merupakan perlengkapan hidup manusia, yang akan menemaninya sepanjang dia berada di dunia fana ini. Para ahli menerangkan bahwa perlengkapan hidup manusia itu dimulai dengan insting, atau naluri, yang telah dipunyai semenjak ia dilahirkan, kemudian ditambah lagi dengan indera, ketika ia, sebagai manusia, telah berkembang dan merasa tidak cukup semata-mata dengan naluri. Sampai pada tingkat ini, manusia hanya sampai pada tingkatan yang sama dengan binatang. Maka, kelengkapan selanjutnya ialah kecerdasan yang lebih completed daripada indera. Dengan kecerdasan, manusia banyak sekali dapat memecahkan dan mengatasi masalah-masalah hidupnya di dunia ini. Namun masih ada sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dengan kecerdasan semata-mata, yaitu bagaimana mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan ruhani, spiritual, ataupun kehiupan sesudah mati, yaitu bidang-bidang keagamaan, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Maka wahyu, yaitu pengajaran langsung dari Tuhan kepada umat manusia melalui para rasulNya, merupakan kelengkapan terakhir bagi kehidupan manusia. Begitulah sepanjang ajaran agama, khususnya agama Islam. Maka terhadap adanya wahyu dan isinya itu, penerimaan manusia tidaklah merupakan kegiatan intelektualnya, melainkan lebih banyak merupakan masalah hidayah atau petunjuk Tuhan.

Khalifah Tuhan Satu konsep tentang manusia, menurut Islam, ialah bahwa ia merupakan makhluk tertinggi (ahsan-u taqwÄŤm), puncak ciptaan Tuhan. Karena keutamaan manusia itu, maka ia memperoleh status mulia, yaitu sebagai “khalifah Tuhan di bumiâ€?. Status itulah yang mula pertama diterangkan Tuhan tentang manusia. Khalifah berarti pengganti di belakang (successor). Jadi, manusia adalah pengganti Tuhan di bumi: artinya urusan di bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Memang, untuk mengurus dunia itu, Tuhan D9E


F NURCHOLISH MADJID G

memberikan petunjuk-petunjuk, tapi hanya dalam garis besar saja. Tuhan tidak memberikan petunjuk-petunjuk terinci, tidak pula keterangan terinci tentang dunia ini. Tetapi Tuhan memberikan suatu alat yang bakal memungkinkan manusia memahami dan mencari pemecahan atas masalah-masalahnya di dunia ini, yaitu akal pikiran atau intelegensi. Dalam surat al-Baqarah diterangkan, bahwa para malaikat mengajukan keberatan atas penunjukan manusia (Adam) sebagai “wakil� Tuhan di bumi. Alasannya, para malaikat mengetahui lebih dahulu bahwa manusia nanti bakal banyak merusak di bumi, dan bunuh-membunuh, sedangkan para malaikat itu kiranya lebih berhak menjadi khalifah, karena mereka selalu berbakti kepada Tuhan dan berbuat baik. Tetapi Tuhan mengatakan bahwa Dia mengetahui kelebihan manusia yang tidak dipunyai para malaikat. Kelebihan itu ialah rasionya, atau kecerdasannya, sehingga manusia sanggup menerima pengajaran atau pengertian, dan mengenali dunia sekelilingnya. Akhirnya, para malaikat mengakui akan kelebihan manusia (Adam), dan mereka pun tunduk kepadanya, kecuali iblis. Begitulah episode sekitar penciptaan manusia oleh Tuhan dalam Kitab Suci. Dituturkannya kembali di sini doktrin agama yang amat terkenal itu ialah untuk menegaskan bahwa karena kelebihan manusia berupa intelektualitas, akal pikiran, rasio, atau apalagi namanya itu, maka ia mendapat kehormatan sebagai khalifah Tuhan di bumi ini. Dan dengan rasio itulah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu, terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi ialah: pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini, dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, pendekatan rasional kepada sutu benda atau masalah yang telah menjadi sakral, tabu, dan lain-lain menjadi tidak mungkin. Sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan. Maka dalam hal ini, D 10 E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

untuk kembali kepada prinsip tauhid dalam kalimat syahadat, orang harus mantap untuk tidak men-tabu-kan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu. Dan karenanya, tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya itu. Artinya, dengan bertitik-tolak dari syahadat itu, manusia dapat memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada dirinya sendiri, yaitu kecerdasan.

Hari Dunia dan Hari Agama (Akhirat) Ada satu hal lagi yang perlu diterangkan, dalam hubungannya dengan sekularisasi ini: yaitu, konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hanyalah terbit dari gejala kecenderungan apologetis saja. Kecenderungan itu juga terbukti dari percobaan sementara pemikir kita, untuk menerangkan bahwa Islam adalah lebih dari sekadar agama, melainkan ia merupakan al-dīn. Jadi, ia lebih dari agama lainnya, seperti Yahudi, Kristen, Majusi dan lain-lain. Padahal, dalam Kitab Suci diterangkan bahwa Yahudi, Kristen, Majusi dan lain-lain itu, bahkan juga agama-agama yang dianut orang-orang Musyrik Arab Jahiliah, juga disebut al-dīn. Jadi hal itu jelas tidak ada bedanya. Adapun mengenai kandungan ajarannya, apakah lebih luas atau lebih sempit, adalah masalah kedua. Keterangan tentang Hari Agama dalam Kitab Suci, kita semua mengetahuinya, terdapat dalam surat al-Fātihah. Di situ disebutkan bahwa Tuhan adalah Pemilik Hari Agama. Di sini pun, penafsiran perkataan yawm-u ’l-dīn sebagai hari pembalasan, atau lainnya, adalah masalah kedua, dan hal itu tidak lebih dari pendapat penafsir saja. Dan kata-kata yawm-u ’l-dīn terdapat cukup banyak dalam Kitab Suci. Salah satunya, yang dengan cukup tegas menerangkan tentang Hari Agama itu, terdapat pada: “Tahukah kamu, apa itu Hari Agama? Sekali lagi, tahukah kamu apa itu Hari Agama? Yaitu hari ketika tidak seorang pun dapat berbuat sesuatu untuk orang D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

lain, dan segala urusan (perintah) pada waktu itu ada di tangan Tuhan semata-mata,” (Q 82:17-19). Menarik kesimpulan dari ayat itu, maka Hari Agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antarmanusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi hukum-hukum sekular, atau duniawi, dan yang berlaku ialah hukum ukhrawi. Sebaliknya, pada Hari Dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang, hukumhukum itu bukan ciptaan manusia sendiri, melainkan juga ciptaan Tuhan (sunnat-u ’l-Lāh), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut. Oleh sebab itu diterangkan bahwa manusia seharusnya memperhatikan kedua segi kehidupan itu: menjalankan ajaran keagamaan sebaik-baiknya, guna menyiapkan hidupnya di Hari Akhirat, atau Hari Agama, dan bersungguh-sungguh dalam kehidupan duniawi ini, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat, atau bergaul dengan sesama manusia. Dalam Kitab Suci, yang pertama disebut habl-un min-a ’l-Lāh (tali hubungan dari Tuhan), dan yang kedua disebut habl-un min-a ’l-nās (tali hubungan dari sesama manusia). Dengan memercayai wahyu, kita mengetahui adanya hubungan dengan Tuhan. Percaya, atau iman, ini kita peroleh karena adanya hidayah, atau petunjuk Tuhan, bukan kegiatan intelektual semata. Maka, hendaknya kita berpegang erat pada tali dari Tuhan itu. Artinya, dalam hal kehidupan keagamaan, kaum Muslimin hendaknya hanya berpedoman pada wahyu Allah, berupa Kitab Suci itu, dan tidak bercerai-berai. D 12 E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

Tetapi melalui kegiatan berpikir, kita mengetahui bentukbentuk hubungan sesama manusia, menghadapi masalah-masalah menurut apa adanya, dan di situ tidak ada masalah ritual. Mengulangi apa yang telah ditekankan pada permulaan tulisan ini, bahwa keberhasilan seseorang, dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan duniawi, tidaklah bergantung kepada ketekunannya melakukan upacara-upacara keagamaan atau ibadat, tetapi kecerdasannya, keluasan ilmunya, dan keobyektifannya. Maka, setelah beriman (menerima dan menjalankan ajaran-ajaran keagamaan dengan sebaik-baiknya), seseorang harus berpikir sungguhsungguh dalam hidup di dunia ini. Disebutkan dalam al-Qur’an, “Katakanlah (hai Muhammad): ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah menasehatkan kepada kamu sekalian tentang satu perkara saja: yaitu, hendaknya kamu mengabdi kepada Tuhan, baik bersama orang lain (kolektif ) maupun sendiri (individual), kemudian kamu berpikir”. Tentang berpikir ini, banyak sekali disinggung dalam Kitab Suci, baik yang ada hubungannya dengan hal-hal keagamaan, ataupun yang bersangkutan dengan masalah-masalah keduniaan. Salah satunya ialah (yang artinya) demikian: “Tuhan menyediakan bagi kamu sekalian segala sesuatu yang terdapat di langit dan yang terdapat di bumi; kesemuanya itu adalah dari-Nya. Sesungguhnya, dalam hal ini ada pelajaran bagi mereka yang berpikir,” (Q 45:12). Di situ ditegaskan bahwa yang akan mampu memahami dan kemudian memanfaatkan alam ini ialah mereka yang berpikir, atau bersikap rasional. Dan hal itu, pada zaman modern ini, dibuktikan dengan tak terbantahkan lagi.

Tentang al-Rahmān dan al-Rahīm Ada satu hal lagi yang dapat menjelaskan sekularisasi ini, yaitu ajaran yang terkandung dalam kalimat basmalah. Pertama ialah arti kata bism-i ’l-Lāh, yang Indonesianya ialah “atas nama Tuhan” (tapi biasanya diterjemahkan menjadi “dengan D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

nama Allah”; hal ini adalah kurang tepat). Perkataan bism-i ’lLāh itu menunjukkan nilai kegiatan manusia sebagai wakil, atau khalifah Tuhan, di bumi, sebagaimana telah diterangkan di muka. Di situ, secara implisit juga terkandung pengertian adanya ruang kebebasan bagi manusia. Kedua, ialah makna yang terkandung dalam perkataan alRahmān dan al-Rahīm. Keduanya berasal dari akar kata rahmah (kasih). Jadi, baik al-Rahmān maupun al-Rahīm ialah “Yang Mahakasih”, sebab, keduanya adalah kata sifat. Tetapi mengapa sampai disebutkan sekaligus keduanya, dan tidak cukup salah satu saja? Hal itu tentu mempunyai maksud yang lebih luas. Para ahli tafsir menerangkan, bahwa al-Rahmān menunjukkan sifat Kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahīm menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (jadi juga menurut norma-norma ukhrawi). Tentang perbedaan norma-norma duniawi dan ukhrawi, telah diterangkan di muka. Maka Tuhan, sebagai al-Rahmān, akan selalu memberikan balasan kebaikan di dunia ini bagi mereka yang menjalankan kehidupan duniawi secara tepat. Kasih Tuhan itu tidak bergantung kepada iman atau kepercayaan seseorang, melainkan kepada ilmu pengetahuannya tentang masalah sekular itu. Dan Tuhan, sebagai al-Rahīm, akan senantiasa memberikan balasan kebaikan di akhirat nanti kepada mereka yang menyiapkan kehidupan ukhrawinya secara benar, yaitu dengan mengikuti ajaran-ajaran agama Tuhan. Jadi, Kasih al-Rahīm itu bergantung kepada iman seseorang, bukannya kepada ilmu pengetahuannya. Kasih Tuhan sebagai alRahmān diberikan kepada manusia sebagai makhluk masyarakat dalam hubungannya dengan sesama manusia dalam dan alam sekitarnya, dan Kasih Tuhan sebagai al-Rahīm diberikan kepada manusia sebagai makhluk individu dalam hubungannya dengan Allah semata. Maka dari itu, jika kita menghendaki kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Sebab, amal perbuatan kita, berupa kegiatan D 14 E


F SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI G

keseharian, harus mendapatkan motivasi atau dorongan niat yang benar, sesuai dengan bunyi hati nurani (kalbu, dlamÄŤr atau fuâ€™Ä d) yang telah dipertajam, diperpeka, dan dihidupkan dengan iman dan ibadat atau kegiatan spiritual, dan diterangi oleh perhitungan ilmiah atau rasional yang tepat. Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim. Dan amat berbahaya mencampuradukkan metode pendekatan keduanya itu. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spiritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba-rasionalistis dan, demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat kita dekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat: pertalian antara sumber motivasi, atau dorongan batin (niat), dan keterangan tentang cara yang tepat untuk satu bentuk kegiatan atau amal. [™]

D 15 E


F PERSPEKTIF PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

PERSPEKTIF PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

Bangsa Indonesia sekarang dengan mantap memasuki era pembangunan. Kesadaran akan mutlaknya pembangunan muncul secara meyakinkan sejak tumbuhnya Orde Baru. Sebelumnya orientasi pembangunan belum merupakan kesadaran seluruh rakyat, tetapi hanya merupakan kebijaksanaan kabinet-kabinet tertentu. (Menurut analis H. Feith, di Indonesia terdapat dua jenis pemerintahan, atau kabinet, yang pernah memerintah, yaitu administratif [berorientasi pembangunan] dan solidarity making [berorientasi politik], yang secara kebetulan tercerminkan pada dua kepribadian dalam “dwi tunggalâ€?, Soekarno-Hatta yang agak kontras). Pada tahap sekarang, pembangunan di bidang ekonomi diprioritaskan. Kita sama-sama mengetahui bahwa prioritas ini dipilih karena desakan untuk mengatasi masalah kemelaratan umum rakyat kita. Jika pembangunan ekonomi ini mencapai sasarannya, dan eksesnya bisa ditekan seminimal mungkin (misal, kian melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin), maka kemakmuran akan berpengaruh lebih luas dan positif bagi pengembangan segi-segi kehidupan non-ekonomi. (Jika kemiskinan mendekatkan seseorang kepada kekaďŹ ran, maka seharusnya kebalikannya: kemakmuran mempertinggi mutu iman atau martabat manusia).

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Sikap-sikap Pembebasan Dengan pembangunan, masa depan bangsa kita secara sederhana dapat digambarkan sebagai masyarakat yang berubah dari pola-pola agraris ke pola-pola industrial. Bahkan secara universal, bentuk masa depan manusia ditentukan oleh penguasaan teknologi, pengembangan ekonomi, automation of production, dan campur tangan ilmu pengetahuan dalam perikehidupan sehari-hari. Hal itu pasti berpengaruh pada pandangan hidup manusia, termasuk pada doktrin-doktrin yang disodorkan oleh masyarakat keagamaan. Jadi, perubahan sosial tak mungkin bisa dihindarkan. Masalahnya ialah apakah perubahan sosial akan kita biarkan terjadi karena desakan sejarah dan tekanannya (accidental), atau kita menyongsongnya dengan persiapan-persiapan yang semestinya, kemudian ikut serta mengarahkan secara sadar (deleberated). Oleh karena yang pertama akan tak terkendalikan, dan mungkin menimbulkan kecelakaan-kecelakaan sosial (social disasters), maka yang kedua harus dipilih. Kita harus menyiapkan diri bagi perubahan itu, dan mengarahkannya. Agama Islam, bagi kita, merupakan keyakinan. Bagi bangsa Indonesia, secara empiris atau kenyataan, Islam merupakan agama bagian terbesar rakyat. Karena itu, sikap-sikap yang diterbitkan atau disangka diterbitkan oleh agama Islam, akan mempunyai pengaruh besar sekali bagi proses perubahan sosial. Bagi perubahan sosial, peranan Islam akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung pada para pengikutnya. Guna menopang, menyertai, bahkan melakukan sendiri dan mengarahkan perubahan sosial tersebut, kita harus mampu melepaskan diri dari sikap-sikap yang tidak kondusif bagi pembangunan dan modernisasi, yang dihasilkan oleh cetakan lingkungan agraris kita. Secara positif, kita harus menciptakan sikap mental baru yang “ilmiah�. Bila dikonkretkan — dengan melihat latar belakang yang ada — maka pada saat ini, perlu sekali mengadakan liberalisasi (pembebasan dari nilai tradisional yang bersifat menghambat), D2E


F PERSPEKTIF PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

sekularisasi (pembebasan masalah-masalah dan urusan-urusan duniawi dari belenggu-belenggu keagamaan yang tidak pada tempatnya), serta bentuk-bentuk sikap pembebasan (liberating attitude) lainnya (semua ini telah dibicarakan sejak beberapa waktu yang lalu, dan kiranya dapat dianggap pengetahuan yang sudah umum). Yang erat sekali hubungannya dengan masalah ini ialah keharusan kita — orang-orang Islam — untuk mengembalikan agama Islam sebagai agama perseorangan, di mana tak terdapat lembaga kependetaan dengan suatu wewenang keagamaan (lā rahbāniyat-a fī al-Islām). Perspektif kemakmuran ekonomi tersebut, dan pencabanganpencabangannya yang dekat, masih berada dalam lingkungan penggarapan ilmu pengetahuan. Tapi sesudah itu, ilmu akan tidak berdaya menjawab masalah-masalah asasi kemanusiaan. Menurut Ivan Svitak, masalah kesejahteraan manusia tidak mungkin disederhanakan begitu saja menjadi sekadar data empiris ilmu pengetahuan, sebab ia akan juga berurusan dengan masalah-masalah nilai-nilai dan pandangan tentang tujuan hidup manusia. Sebab, nilai-nilai menetapkan arah tujuan kegiatan sosial dan sekaligus merupakan sumber motivasi serta pendorong bagi aktivitas-aktivitas tersebut. Karena nilai merupakan masalah keyakinan, maka di sini dituntut adanya peranan mutlak agama. Di sini nilai-nilai keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi kemanusiaan yang aktif, menjiwai kegiatan-kegiatan praktis manusia, guna mewujudkan apa yang sering kita sebut masyarakat adil dan makmur (dunia [sekular] dan ilmiah) yang mendapatkan rida TuhanYang Mahaesa (ukhrawi atau religius dan spiritual). Sebab, esensi kemanusiaan tidak terbatas pada pertumbuhan material semata-mata, melainkan meliputi pengembangan sepenuhnya diri manusia itu, dan pembebasannya, sehingga ia akan dapat menumbuhkan cipta rasanya, mengembangkan bakat-bakat dan kecerdasan untuk menghayati kekayaan dan keindahan dunia. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Pada abad sekarang ini, manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengarahkan jalannya sejarah. Kalau mereka melakukannya dengan penuh kesadaran, mereka tidak akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri, tidak akan mengubah diri mereka menjadi masyarakat robot-robot yang mekanis (dehumanized society) dan otomat-otomat bikinan pabrik, tetapi akan berjuang bagi nilai-nilai kemanusiaan masa depan masyarakat. Kesadaran umat manusia sekarang, bahwa kemakmuran mutlak tidak boleh kehilangan segi-segi kemanusiaan, merupakan gejala terpenting yang sedang berkembang pada abad kini. Kemanusiaan tidak hanya berkepentingan pada pengembangan-pengembangan kekuatan produktif dan teknologi, tetapi juga pada makna hubungan-hubungan sosial manusia dan budi pekerti. Jika disebutkan bahwa pada tingkat ini (perspektif yang jauh) agama dapat memberikan jawabannya, maka yang dimaksudkan ialah agama yang dihayati secara spiritual dan mendalam dengan penuh kedewasaan oleh pengikut-pengikutnya. Penghayatan itu menjadi amat individual sifatnya. Maka perlu sekali dilakukan apa yang telah dipaparkan di muka: mengembalikan Islam sebagai agama individu, membebaskan para pengikutnya dari kecenderungan sektarianistis, dan melepaskan sifat-sifatnya yang seolah-olah merupakan organized religion. Konsistensinya ialah kita harus berusaha menangkap dan memenuhi fungsi-fungsi di balik formalitas-formalitas ritual, sehingga agama tidak menjadi sekadar upacara-upacara yang kehilangan artinya dan kosong, khususnya untuk suatu masyarakat yang semakin terpelajar dan kritis karena proses pembangunan dan industrialisasi. Meminjam ungkapan seorang kawan (Syu’bah Asa), maka dalam menghayati religiusitas, rasanya kita perlu menjadi mutashawwif-mutashawwif, tanpa memasuki dunia tasawuf, atau kebatinan, yang ekstrem. D4E


F PERSPEKTIF PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM G

Slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” tentu tidak mengandung masalah penolakan atau penerimaan. Tetapi segi pelaksanaannya akan berbeda. Sebab di sini menyangkut tingkat pengetahuan dan pengertian: menyeluruh atau parsial, aksentuasi yang tepat atau tidak, latar belakang pendidikan, lingkungan dan kepentingan (interest). Juga perlu diteliti apakah seruan pembaruan yang kini banyak dibicarakan dapat disimpulkan sebagai hendak melaksanakan “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”. Kita tentu menerima ajaran itu, tapi hanya sampai pada tarap sebagai jargon. Dan begitu kita ajukan problemproblemnya beserta kemungkinan-kemungkinan pemecahnnya dalam pelaksanaan, maka segera timbul reaksi setuju dan tidak setuju. Ini pun amat banyak bergantung pada faktor-faktor latar belakang tadi, termasuk pendidikan. Maka setelah iman, ilmulah yang akan meningkatkan martabat kemanuisaan kita. [ ]

D5E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Menyegarkan kembali paham keagamaan itu, sekarang ini, dirasa penting sekali oleh yang menginsaďŹ nya. Terutama di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Sebab, yang ada sekarang ialah pahampaham yang, sedikit banyak, mengalami kepincangan. Paham yang pincang itu di hadapan kritik kaum muda, menjadi tidak menarik dan layu. Setiap paham, atau ide, akan menentukan bentuk-bentuk watak sosial para pengikutnya. Dan watak sosial itu akan memberi warna kepada tindakan-tindakan dan tingkah laku hidupnya, yang selanjutnya akan memberikan arah kepada jalan nasib itu. Maka, jika perubahan nasib dikehendaki, terlebih dahulu akan diusahakan perubahan paham, atau ide, yang menguasai masyarakat bersangkutan. Dalam hal Islam, sumber-sumber itu, khususnya alQur’an, telah terpelihara secara sempurna segi bunyi atau lafalnya sejak dari semula. Tetapi, pemahaman oleh manusia (Muslim) atas prinsip-prinsip ajaran yang terkandung di dalamnya itu senantiasa berkembang. Hal itu terjadi karena perkembangan zaman yang selalu memberikan masukan baru kepada alam pikiran manusia. Tetapi, pemahaman yang berkembang itu tidak seluruhnya benar dan tepat. Kadang-kadang malah sangat vulgar atau kasar, D1E


F NURCHOLISH MADJID G

sehingga justru mengandalkan pengertian agama itu sendiri. Contohnya ialah paham-paham apologetis modern. Apologetis itu dilakukan sebagai cara membela Islam dalam menghadapi invasi peradaban modern Barat. Dan kaum Muslimin, dalam hal ini, menghadapi serangan itu sebagai pihak yang lemah. Apologi, yang dilakukan dari kedudukan yang lebih lemah, itu kadang-kadang justru menunjukkan gejala rasa rendah diri. Karena itu, setiap pikiran apologetis, pada dasarnya, tidak mengandung kreativitas yang orisinal. Memang, tidak seluruh pemikiran apologetis itu merupakan kegagalan. Malahan, sebagiannya begitu mengesankan, sehingga mampu memberikan kepuasan kepada umat Islam, menghentikan kegelisahan mereka serta membangkitkan kembali semangat mereka untuk bertahan dan melawan pengaruh peradaban asing. Tetapi, justru karena ia pada dasarnya tidak lebih dari apologi, maka kemampuannya terbatas. Bahkan, mungkin saja ia akan menjelma menjadi bumerang yang akan memukul kembali umat Islam secara lebih dahsyat lagi. Ironisnya, kecenderungan-kecenderungan apologetis itu ditemukan lebih kuat di kalangan orang-orang Islam modern, atau mungkin lebih tepat, orang-orang Islam pseudo modern, yaitu mereka yang justru mengetahui dan mengecap kenikmatan peradaban modern, baik moral maupun material, tetapi tidak dengan kemantapan kepada diri sendiri, selaku orangorang Muslim. Hal itu baik karena pembawaan dirinya maupun, lebih penting lagi, karena tidak mampu menemukan proporsi peradaban modern itu terhadap agama yang ingin dipeluknya secara sungguh-sungguh.

Prinsip Iman Islam merupakan suatu agama. Sebagai agama, maka intinya ialah keyakinan. Tentang perlunya manusia akan suatu keyakinan, apa pun bentuk isinya, tidak perlu diterangkan lebih lanjut di sini. D2E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

Sebab, adalah suatu kenyataan bahwa hidup ini tak mungkin tanpa keyakinan sama sekali. Keyakinan yang benar, menurut Islam, disebut iman (īmān). Secara harfiah, hal itu berarti percaya. Dalam hal ini, pertama dan utama ialah percaya kepada Tuhan. Tidak hanya dalam arti percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi lebih penting lagi ialah sikap memercayai atau menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan apresiasi itu ditumbuhkan oleh adanya penghayatan menyeluruh akan sifat-sifat Tuhan, sebagai tersimpul dalam al-Asmā’ al-Husnā (Nama-Nama Yang Indah) bagi-Nya. Sikap apresiatif kepada Tuhan itu merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap itu juga disebut takwa (taqwā). Jadi, takwa adalah semangat atau rasa ketuhanan pada diri seorang manusia beriman. Ia merupakan suatu bentuk tertinggi kehidupan ruhani atau spiritual. Takwa ditumbuhkan dan diperkuat dengan kontak-kontak, atau zikir (dzikr) kepada Tuhan, itu besar sekali peranannya dalam membentuk kehidupan ruhani. Ibarat, dalam pengertiannya yang formal (shalat, umpamanya), adalah medium komunikasi dengan Tuhan agar terjadi kontak atau zikir itu. Dan memang, tujuan komunikasi dan kontak melalui ibadat itu (puasa, umpamanya) adalah menumbuhkan takwa tadi. (Begitu penting takwa dan zikir itu, sehingga khutbah-khutbah selalu diisi dengan pesan takwa dan ditutup dengan zikir). Maka inilah inti kewajiban manusia: senantiasa memelihara komunikasi dengan Tuhan Yang Mahaesa, dengan jalan mengabdi dan berbakti kepada-Nya, guna memurnikan agama dan penghayatannya bagi Tuhan semata. Apresiasi ketuhanan itu, dalam intensitasnya lebih lanjut, akan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh dan meliputi. Begitu intensnya kesadaran itu sehingga tumbuh keadaan seperti digambarkan dalam ungkapan bahasa Jawa “manunggaling kawula lan Gusti”, artinya “bersatunya hamba dan Tuhannya”. Tidak dalam pengertiannya yang panteistis, melainkan, seperti manusia dilukiskan dalam al-Qur’an, bahwa Tuhan itu menyertai manusia di mana pun ia berada, dan bahwa D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Tuhan itu lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya sendiri. Jika apresiasi ketuhanan itu betul-betul ada pada diri seseorang, maka berarti ia sepenuhnya menguasai jiwa dan sikap batinnya, di mana terdapat sumber motivasi segala kegiatan hidupnya. Maka, setiap apresiatif atau takwa kepada Tuhan itu akan melandasi seluruh kegiatan budayanya dalam hidup ini. Jadi iman, takwa atau rasa ketuhanan itu merupakan dasar hidup dan pegangan yang kukuh kuat. Dan sekarang satu hal yang harus kita perhatikan, dalam hubungannya dengan pembahasan ini, ialah bahwa iman, takwa, apresiasi ketuhanan atau pengalaman keagamaan itu, sebagaimana telah dijelaskan, adalah sesuatu yang bersifat spiritual atau ruhani. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai itu menyangkut dan berada pada diri paling intrinsik seseorang, yaitu kemurnian atau keikhlasan. Jadi, hal itu harus tumbuh dari adanya pilihan yang bebas dan merdeka. Oleh karena itu, nilai-nilai religius tersebut amat individual sifatnya. Ia dapat berbeda, apalagi dipaksakan dari luar. Ia merupakan milik paling pribadi dan paling mendalam seseorang. Ia tersimpan sempurna di dalam lubuk hati atau budi nurani seseorang. Begitu sempurnanya religiusitas itu tersimpan dan tersembunyi di dalam dada, sehingga hanya Tuhanlah yang kuasa mengetahui dan menilainya. Orang yang bersangkutan mampu hanya merasakannya, sedangkan menerangkan dan membukanya kepada orang lain, secara sempurna, akan mengalami keterbatasanketerbatasan rasio dan bahasa lisannya.

Prinsip Amal Saleh Telah disebutkan bahwa rasa ketuhanan, atau takwa itu, jika ada pada seseorang, akan menjadi dasar dan pegangan hidupnya yang kukuh kuat. Sebab, karena takwa itu menguasai batin beserta sikap-sikapnya, maka, dalam suatu kesucian dan kemurnian ruhani, ia akan menentukan bentuk dan nilai dorongan batin, atau D4E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

motivasi, bagi seluruh kegiatan hidup atau budayanya. Dan hal itu tidak dapat tidak merupakan keinginan untuk mencapai tingkat apresiasi ketuhanan yang lebih tinggi, menuju kesempurnaan atau penghabisan rasa kesucian, yaitu “persetujuan” atau “rida” Tuhan itu sendiri. Sesungguhnya, dorongan, keinginan dan kecenderungan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran itu telah merupakan sifat yang, secara intrinsik, ada pada diri manusia karena kemanusiaannya. Sebab, manusia itu, menurut “fitrah” atau “kejadian asalnya” yang suci, memang dengan sendirinya cenderung kepada kesucian yang hanīf. Dan seterusnya manusia itu, dengan sendirinya, cenderung merindukan atau mendambakan kesucian terakhir dan mutlak, yaitu Tuhan Yang Mahasuci, Mahabenar, Mahabaik, dan seterusnya yang serbamutlak. Tetapi, justru karena Tuhan itu serbamutlak, maka ia tak mungkin terjangkau oleh manusia dalam pengertian apa pun. Yang dapat dilakukan oleh manusia ialah berproses menurut dorongan kerinduan dan keinginan kemanusiaannya dalam suatu jalan yang menuju kepada Tuhan, dan biar pun manusia itu dalam hidupnya tak mungkin menjangkau dan sampai kepada Tuhan, ia dapat memperoleh persetujuan atau rida-Nya yang, ia rasakan secara ruhani, berupa apresiasi ketuhanan itu. Sungguh, tingkat tertinggi kehidupan spiritual itu ialah sikap apresiatif ruhani serta perasaan lega dan rela (lego lilo) kepada Tuhan. Dan pengalaman itu merupakan pertanda bahwa Tuhan pun rela (ridlā) dan menyetujuinya. Sudah barang tentu harus diingat bahwa bentuk-bentuk pengalaman religius itu amat individual sifatnya, dengan segala kelanjutannya sebagaimana diterangkan di muka. Karena Tuhan, sebagai tujuan penghayatan dan apresiasi, itu bersifat serbamutlak yang, pada hakikatnya, tak terjangkau, maka yang dapat dan harus dilakukan ialah pendekatan terusmenerus mengikuti garis yang membentang menuju-Nya. Hal itu berarti manusia harus berusaha senantiasa mengembangkan dan meningkatkan apresiasi religius itu, dengan mengadakan eksplorasieksplorasi yang akan menambah pengalaman-pengalaman baru. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Proses ini, sesaat pun, tidak boleh berhenti. Sebab, setiap penghentian berarti mengaku telah sampai dan menjangkau Tuhan Yang Mutlak. Jadi, hal itu berarti telah menempatkan Tuhan dalam daerah jangkauan manusia. Dengan demikian, Tuhan mengalami relativisasi, kehilangan kemutlakannya, menjadi nisbi, sebagaimana alam dan manusia sendiri, dengan keterbatasan-keterbatasannya. Maka, dalam rangka proses yang tidak kenal henti inilah, kita, orang-orang Muslim, diajarkan berdoa setiap saat, khususnya dalam kesempatan melakukan komunikasi formal (terutama shalat) kepada Tuhan, agar Ia senantiasa memberikan kepada kita petunjuk ke jalan yang benar dan lurus. Kembali ke masalah manusia dan kemanusiaan tadi. Telah diterangkan bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan intrinsik kepada kesucian (hanīf), sesuai dengan kejadian asal atau fitrahnya yang suci. Sekarang, kecenderungan ruhani itu menyatakan dirinya dalam bentuk budi. Maka, manusia itu, pada dasarnya atau secara prinsipal, adalah makhluk berbudi. Dan apabila takwa, atau apresiasi ketuhanan, itu sejalan dengan kemanusiaan atau fitrah seseorang, maka ia berarti juga memperkuat kemanusiaan atau fitrah itu dengan mempertajam rasa kecenderungannya kepada kesucian. Jadi, agama dan keagamaan berfungsi sebagai penyempurna budi luhur manusia yang, secara intrinsik, ada padanya. Lalu, apakah bukti nyata budi luhur itu? Tidak lain ialah tindakan-tindakan, atau amal, dan perbuatannya yang serasi, atau saleh, dan harmonis dalam hubungannya dengan lingkungan hidup di sekitarnya, secara menyeluruh, khususnya dalam hubungannya dengan sesama manusia sendiri. Dengan titik-tolak dari budi luhur, yang terbit dari fitrah kemanusiaan yang suci dan diperkuat serta disempurnakan oleh rasa dan penghayatan ketuhanan, maka manusia membangun manusia dan bumi ini untuk menciptakan kualitas-kualitas hidup yang disebut kabahagiaan, baik secara material, jasmani maupun untuk hidup di akhirat kelak. Sesunguhnya, manusia diciptakan Tuhan di bumi sebagai khalifah-Nya. Manusia ditumbuhkan dari tanah atau bumi itu, D6E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

dan diberi tugas untuk membangun serta mengembangkannya, sesuai dengan “keinginan” dan “aturan” Tuhan sendiri. Selaku “mandataris” Tuhan, maka manusia bertindak “atas nama Tuhan” (bism-i ’l-Lāh). Maka dari itu, segala tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dengan menjalankan “mandat” dengan penuh tanggung jawab itu, manusia akan memperoleh “persetujuan” atau rida Tuhan. Persetujuan itu dikaruniakan kepadanya berupa Kasih Tuhan di dunia ini dan Kasih Tuhan di akhirat nanti, sesuai dengan sifat-Nya yang Rahman dan Rahim. Dan sudah tentu, kedua bentuk kasih tersebut akan memberikan kepada manusia kehidupan yang baik atau bahagia secara lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kehidupan di akhirat dan kehidupan di dunia berbeda sifatsifat dan dimensi-dimensinya. Dari segi manusia, kehidupan di akhirat itu amat individual sifatnya. Di sana, tidak ada kolektivitas atau solidaritas sosial antara sesama manusia, betapapun dekatnya hubungan dan pertalian antarmereka itu dalam kehidupan di dunia ini. Masing-masing orang berdiri sebagai pribadi-pribadi yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Pada waktu itu, tidak ada lagi amal, dan usaha hanya ada di dunia saja, yaitu selama manusia mengemban mandat dari Tuhan selaku wakil-Nya, yang diserahi tugas untuk membangun dunia ini. Dan di akhirat, “mandat” tersebut telah dicabut. Maka, tidak ada lagi tugas usaha. Yang ada adalah penilaian dan pembalasan, yaitu penilaian dan pembalasan atas amal dan usaha manusia dalam menjalankan tugas selaku pemegang mandat tersebut. Sesungguhnya, kehidupan di akhirat merupakan kelanjutan kehidupan ruhani kita di dunia ini, dalam bentuknya yang murni. Dalam kehidupan ruhani itu sebagaimana telah kita bahas, manusia mengadakan dan mengalami apresiasi ketuhanan dan penghayatan keagamaan sendiri secara pribadi, tanpa dapat diintervensi oleh orang lain. Maka dari itu, hari akhirat juga dinamakan hari agama (yawm al-dīn). Dan disebabkan manusia telah berhenti selaku khalifah yang berwenang (sekalipun D7E


F NURCHOLISH MADJID G

tidak mutlak), maka segala urusan pada waktu itu hanya ada di tangan Tuhan saja. Telah diterangkan bahwa perbuatan manusia, atau karyanya yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan akan dapat memperoleh persetujuan-Nya, ialah yang serasi atau saleh. Dalam hal ini, serasi dalam hubungannya dengan lingkungan hidup ini secara menyeluruh baik dalam arti spiritual maupun material. Keserasian sepiritual adalah keserasian akibat adanya penghayatan keagamaan serta apresiasi ketuhanan. Jadi, keserasian dalam dimensinya yang vertikal, yaitu dalam hubungannya dengan Tuhan. Telah dibahas bahwa religiusitas ini sejalan dan bersambung dengan fitrah, atau kejadian asal kemanusiaan yang suci, yang menjadikannya senantiasa berkemauan baik secara asasinya. Manusia sebagai mahluk berbudi itu senantiasa diliputi oleh “niat” atau “iktikad” atau “motifasi”, dan hal itu menentukan nilai spiritual dan pekerjaan. Tetapi, betapapun, ia adalah milik seseorang secara pribadi. Demikianlah, keserasian ini merupakan juga keserasian dalam hubungannya dengan kehidupan di akhirat atau hari agama kelak. Keserasian ini merupakan sumber kebahagiaan spiritual atau ruhani. Tetapi, tidaklah demikian dengan keserasian jenis kedua, yaitu keserasian material. Keserasian ini adalah dalam hubungannya dengan lingkungan hidup di dunia ini, berupa lingkungan alam (natural) maupun lingkungan manusia (sosial). Lingkungan ini berjalan menurut pola-pola yang tetap, yang merupakan manifestasi kehendak dan aturan Tuhan. Keserasian itu mudah sekali tampak oleh kita. Sebab, alam telah secara pasti mengikuti aturan-aturan Tuhan “tanpa membantah”. Tetapi, tidaklah demikian dengan manusia, baik dalam hubungannya dengan alam itu maupun hubungan antarsesamanya. Hubungan yang serasi itu hanya diwujudkan oleh manusia sendiri, jika ia memahami hukum-hukum yang menguasai dan mengatur bentuk hubungan antara alam dan alam, antara alam dan manusia, serta antara manusia dan manusia. Tetapi, bagaimana manusia memahami dan mengetahui hukum-hukum ciptaan Tuhan yang menguasai lingkungan hidup D8E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

yang luasnya tak terbatas itu? Karena alam ini luas tak terhingga, maka tentulah aturan yang menguasainya juga luas tak terhingga. Memang demikianlah, hukum-hukum Tuhan itu berada dalam ilmu-Nya, yang meliputi seluruh jagad raya. Sehingga, seandainya setiap batang kayu yang ada di muka bumi ini menjadi pena untuk menulis ilmu Tuhan, dengan seluruh lautan menjadi tintanya, ditambah lagi dengan tujuh kali seluruh lautan, maka pengetahuan Tuhan tersebut tidak akan habis tertulis. Begitu, lukisan dalam al-Qur’an. Maka, mustahillah ilmu itu diajarkan Tuhan kepada manusia, dan manusia, atau mahluk lainnya apa pun, akan tak mampu memahaminya sekaligus. Tetapi, manusia tetap harus sedikit bayak mengetahui dan mengerti aturan Tuhan itu, untuk sedikit banyak dapat mewujudkan suatu kehidupan yang serasi, harmonis, dan bahagia. Maka dengan kasih-Nya, Tuhan memberikan kepada manusia suatu alat yang, apabila digunakan, ia akan dapat sedikit banyak mengerti hukum-hukum tadi. Alat itu adalah kemampuan khusus pada manusia, yang disebut akal, rasio atau intelek. Dengan adanya kemampuan itu, maka terbukti bagi manusia suatu kemungkinan menjalankan tugasnya membangun dunia ini. Sungguh, kemampuan intelektual, atau ilmiah inilah merupakan kelebihan utama manusia atas makhluk-makhluk yang lain, termasuk malaikat, sehingga ia memperoleh kehormatan diangkat sebagai khalifah Tuhan di bumi. Jadi, dengan kemampuan itu terbuka kemungkinan bagi manusia untuk memahami lingkungan hidupnya, baik yang alam (natural) maupun sosial. Maka, jika pemahamannya itu tepat, dan ia mengikutinya secara taat, maka ia sedikit banyak akan mampu pula mewujudkan kehidupan dunia yang baik itu. Kemampuan itu memang terbatas. Dan ilmu dapat dikumpulkannya hanyalah sedikit. Tetapi, adanya ilmu yang sedikit itu pun besar bagi kehidupannya. Dan hanya dengan pengerahan kemampuan rasional itulah, manusia sanggup sedikit banyak membangun kehidupan di dunia secara lebih baik. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Jadi, keserasian hidup yang material itu berada dalam dimensidimensi yang rasional, baik secara logis maupun empiris. Hal itu berbeda dengan keserasian hidup spiritual, sebab ia berada dalam dimensi-dimensi yang supra-rasional, baik secara logis maupun secara empiris. Maka, manusia tidak bisa mengerti dan mengetahui segi kehidupan spiritual itu dengan mempergunakan kemampuan rasio dan inteleknya. Mungkin saja dapat, sebagai pengantar. Tetapi, akhirnya ia harus menerima pengajaran, dan kemudian memercayainya. Pengajaran itu haruslah datangnya dari Tuhan, Pencipta dan Pengatur seluruh kehidupan. Pengajaran itu dinamakan wahyu, dan disampaikan Tuhan kepada umat manusia melalui manusia-manusia luar biasa yang diangkat sebagai utusan-utusan-Nya. Maka, dalam agama, manusia perlu memercayai adanya utusan-utusan Tuhan dan fungsi mereka. Bagi setiap kelompok manusia ada utusan Tuhan, yang menyampaikan wahyu-Nya. Tetapi, menurut Islam utusan yang penghabisan, dengan membawa seruan kepada seluruh umat manusia, ialah seorang manusia yang bernama Muhammad ibn Abdullah, orang Arab Makkah keturunan Nabi Ibrahim dari Kaldea. Ia muncul sebagai utusan Tuhan pada abad ke-6 sesudah Isa al-Masih, atau Yesus Kristus, seorang Rasulullah lainnya yang besar. Kembali kepada aspek material tadi. Berbeda dengan aspek kehidupan spiritual yang ruhani dan pribadi, maka aspek yang rasional ini tidak lagi bersifat pribadi, sekurang-kurangnya tidak seluruhnya demikian. Sebab, penanggulangannya dapat dilakukan bersama dengan orang lain. Bahkan, dalam banyak hal, memang bergantung pada orang lain. Lebih-lebih jika diingat bahwa kemampuan rasional itu terbatas, sehingga penemuan-penemuan yang berupa ilmu itu relatif sifatnya, artinya bisa salah. Maka, memerlukan kerjasama antarsesama manusia untuk mengimbangi kekurangan itu atau menguranginya. Kerja sama antarsesama manusia itu diwujudkan dalam bentuk adanya sikap terbuka terhadap kritikkritik, penilaian-penilaian ataupun perbaikan-perbaikan, sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia keseluruhannya. D 10 E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

Karena relativitas ilmu sebagai produk rasional dengan kemampuan yang terbatas itu, maka ia senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seseorang yang menutup diri bagi perkembangan ilmunya adalah mengingkari relativitas dan keterbatasan rasionya. Dan karena itu, berarti mengabsolutkan rasio itu dan ilmunya. Benar-benar ia menjadi manusia absolutis. Dan karena yang absolut itu hanya Tuhan, maka dengan begitu ia telah menyaingi Tuhan. Telah diterangkan bahwa inilah jenis kejahatan yang luar biasa besarnya terhadap kemanusiaan. Dosa menyaingi Tuhan, atau syirik itu, tak akan terampuni. Kita mengetahui, bahwa absolutisme itu mencelakakan manusia. Sebab ia akan menutup setiap pintu bagi kemajuan dan perkembangan. Padahal, segala sesuatu itu berkembang. Yang tidak berkembang hanyalah yang mutlak atau absolut saja, yaitu Tuhan. Memang tidak ada kejahatan atau dosa yang lebih besar daripada memacetkan perkembangan sejarah golongan manusia, sebab hal itu berarti menghancurkan secara total. Jadi, dimensi kehidupan duniawi yang material itu adalah ilmu, sedangkan dimensi kehidupan ukhrawi yang spiritual itu adalah imani. Oleh karena itu, pendekatannya pun harus dibedakan. Seperti telah dibahas cukup panjang lebar, memang antara kedua aspek kehidupan itu tidak mungkin dipisahkan. Sebab, melalui setiap pribadi, setiap perbuatan atau amalnya di dunia ini, pertama-tama, merupakan sesuatu yang tak akan lepas dari sikap batin atau ruhaninya. Dan, bentuk-bentuk hubungannya itu akan mempunyai pengaruh dan konsekuensi, bahkan menentukan nilai kehidupannya di akhirat nanti. Namun, pendekatannya tetap harus dibedakan, disebabkan perbedaan-perbedaan dimensional itu. Perbedaan dimensional antara kedua jenis kehidupan itu sejajar dengan perbedaan dimensional antara iman dan ilmu. Iman tumbuh dan berkembang dengan bertitik-tolak wahyu, sedangkan ilmu tumbuh dan berkembang karena rasionalitas. Dan karena perbedaan dimensi itu, maka pendekatan kepada salah satunya dapat dilakukan dengan mengabaikan dimensi lainnya. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Umpamanya, dalam pendekatan bidang kehidupan duniawi dan ilmu, tidak ada halangan bagi dua orang yang berlainan untuk kerja sama. Atau, seseorang dapat mencapai suatu prestasi tinggi ataupun rendah, dengan tidak terpengaruh oleh aspek batin atau spiritualnya. Maka, biasa sekali suatu gejala bahwa seseorang dengan “iman yang benar” (sikap dalam hidup ruhani atau ukhrawi yang benar) mencapai prestasi yang lebih rendah dibandingkan dengan orang lain yang memiliki “iman yang salah” atau sikap batin yang keliru. Begitu pula sebaliknya, pendekatan dalam kehidupan ukhrawi yang spiritual itu dapat dilakukan dengan sepenuhnya mengabaikan dimensi kehidupan duniawi. Umpamanya, dua orang dari tingkat dan prestasi dari kehidupan duniawi yang berbeda dapat saja melakukan kegiatan ruhani (formal, lahiriah) secara bersama-sama tanpa perbedaan sedikit pun. Artinya, tetap ada kemungkinan bahwa orang yang lebih rendah prestasinya itu (lebih bodoh atau lebih miskin) akan mencapai tingkat kehidupan ruhani yang lebih tinggi daripada yang lebih pandai atau lebih kaya, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi, tentu saja manusia harus mengejar tingkat yang setinggi-tingginya di dalam kedua aspek kehidupan itu. Begitulah, meskipun dalam al-Qur’an, umpamanya, banyak keterangan tentang kesempatan kehidupan duniawi, namun diajarkan pula agar manusia berusaha mencapai “kebahagian di dunia dan akhirat”. Dan karena dimensi serta cara pendekatannya berbeda, maka kedua kebahagian itu tidak dapat dicapai sekaligus hanya dengan satu cara. Maka, barangsiapa menempuh dimensi-dimensi kehidupan duniawi, dia akan mendapatkannya. Begitu pula, barangsiapa menempuh dimensi-dimensi kehidupan ukhrawi, dia akan memperolehnya. Jadi, mengejar salah satunya tidaklah berarti secara otomatis akan mendapatkan yang lainnya dari kedua kehidupan itu. Maka diperingatkan bahwa barangsiapa mengejar hanya kebahagiaan duniawi, baginya tidak akan ada hak sedikit pun di akhirat. Begitu pula, yang berusaha mengejar kebahagiaan ukhrawi diingatkan agar tidak melupakan nasibnya di dunia. D 12 E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

Tetapi, sekali lagi, meskipun kedua aspek kehidupan itu mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda, sehingga cara-cara pendekatan, penggarapan, dan pengembangannya pun berbeda, namun, sejalan dengan fitrah manusia, seseorang harus berusaha mencapai tingkat setinggi-tingginya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Usaha itu dilakukannya dengan melakukan amal saleh, sebagaimana telah diterangkan di muka, yaitu kegiatan berbudaya yang serasi antara segi duniawi dan ukhrawi. Meskipun harus dibedakan, tetapi harus berjalan serentak, pada masing-masing orang, antara yang bersifat ilmiah dan yang bersifat imaniah. Dimensi ilmu untuk dunia, dan dimensi iman untuk akhirat. Dengan menyertakan iman dan ilmu itulah, manusia akan mampu melaksanakan amal saleh, dan dengan begitu pula mencapai tingkat kemanusiaannya yang paling tinggi.

Cita-Cita Keadilan Sosial Setelah kita membahas dua prinsip utama itu, yaitu prinsip iman dan prinsip amal saleh, dengan keterangan tentang kedudukan ilmu pengetahuan duniawi dalam amal saleh itu, beserta pengertianpengertiannya, sekarang kita akan membahas secukupnya saja suatu cita-cita yang amat kuat dalam Islam, yaitu cita-cita mewujudkan keadilan sosial. Hal ini terasa perlu dibahas secara khusus, karena begitu kuat dan banyak aspirasi keadilan sosial dalam al-Qur’an, namun begitu lemah dan sedikit aspirasi itu di kalangan umat Islam Indonesia. Firman-firman yang dengan tegas membela nasib kaum lemah dan menuntut pengorbanan kaum kuat itu, begitu sedikit menarik perhatian kaum ulama dan pemimpin Islam, sehingga pembahasan tentang firman-firman itu dikalahkan oleh pembahasan tentang ayat wudu, umpamanya, yang menghasilkan berjilid-jilid dan bermacam-macam buku fiqih, atau ayat-ayat lain yang temanya lebih ringan dan isinya lebih mudah dimengerti. Jadi, pembahasan ini dimaksudkan juga untuk secara konkret D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

mengusahakan hilangnya kepincangan dalam paham keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan. Sebenarnya, cita-cita keadilan sosial itu merupakan bagian dari amal saleh di atas. Telah diterangkan bahwa amal dan saleh, yang akan membawa menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat itu, berarti amal atau tindakan manusia yang serasi dengan keseluruhan lingkungannya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan dalam keserasian duniawi itu, terliputi pula keserasian dunia lingkungan alam dan lingkungan sosial sesama manusia. Dalam rangka keserasian sosial itulah, cita-cita keadilan sosial berada. Kehidupan serasi atau saleh antarmanusia itu ialah kehidupan yang diliputi kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, dan seterusnya. Singkatnya ialah kehidupan yang diliputi oleh salām, suatu kata Arab yang juga satu akar kata dengan kata Islām. Pengertian kata itu meliputi keseluruhan pengertian tentang nilai-nilai hidup yang tinggi dan mulia. Tugas manusia terhadap sesamanya ialah menyebarkan dan menanamkan salām ini. Begitu sentralnya tugas itu, sehingga ia merupakan pernyataan paling langsung apresiasi ketuhanan, yang telah memperkuat rasa kemanusiaan, sebagaimana telah diterangkan di muka. Hubungan langsung keduannya itu disimbolkan dalam struktur salat: ia dibuka dengan takbir (Allāhu akbar) yang merupakan kontak dengan Tuhan, dan ditutup dengan salam (al-salām-u ‘alay-kum) yang merupakan kontak antarmanusia. Tetapi, keadaan yang penuh kedamaian itu tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Ia memerlukan kondisi-kondisi yang akan menumbuhkannya. Kondisi-kondisi itu, antara lain dan yang terpenting, ialah adanya keadilan sosial, yaitu keadilan yang menyangkut bidang ekonomi, di mana terdapat pembagian rezeki, atau kekayaan dalam masyarakat. Marilah kita perhatikan secara memadai bidang ini. Cobalah kita renungkan, betapa dalam al-Qur’an disebutkan bahwa harta kekayaan adalah titipan Tuhan, yang dikuasakan kepada penerimanya agar dipergunakan untuk sesama anggota masyarakat atau D 14 E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

kepentingan umum. Betapa dikatakan bahwa dalam harta orangorang kaya itu ada hak yang pasti bagi orang-orang miskin. Betapa rendahnya orang-orang yang mempergunakan harta kekayaannya (sendiri) untuk kepentingan dirinya sendiri saja dalam kehidupan yang mewah, sehingga dikatakan sebagai kawan setan, makhluk jahat. Betapa sebaliknya juga terkutuk orang-orang yang menyimpan rapat harta kekayaannya itu, sehingga kehilangan fungsi sosialnya. Dan karena itu, betapa dikehendakinya agar orang-orang mampu menggunakan harta kekayaan untuk diri sendiri itu dengan mengingat tingkat rata-rata dalam masyarakat, tidak terlalu boros dan tidak pula terlalu irit. Betapa ditegaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum ia bersedia mengorbankan sebagian harta yang dicintainya itu untuk orang banyak. Betapa dikatakan bahwa barangsiapa tidak akan tegas membela nasib orang-orang lemah, seperti anak yatim dan orang miskin, berarti ia mendustakan agama, dan ia tetap celaka, meskipun melakukan ibadat sembahyang. Betapa dikatakan bahwa, dalam hubungan ekonomi antarsesama manusia itu, tidak boleh ada tindas-menindas atau exploitation of man by man (lā tazhlimūn-a wa lā tuzhlamūn). Betapa ancaman kehancuran masyarakat manusia, atau negara, itu ditunjukkan jika di dalamnya terdapat gap antara si kaya dan si miskin, kemudian si kaya tidak bersedia mengorbankan sebagian kekayaannya untuk kepentingan menegakkan keadilan sosial, tetapi malahan bertindak demonstratif dan hidup mewah. Dan akhirnya ... Tuhan berjanji akan memberikan kekuatan kepada orang-orang tertindas di bumi, kemudian mereka dijanjikan akan diberi pemimpin-pemimpin .... Dari uraian itu, yang semuannya terdiri atas terjemahan tak langsung dan populer dari ayat-ayat al-Qur’an, terasa begitu kuatnya aspirasi keadilan sosial dalam Islam. Memang ayat-ayat itu tidak mendetil, dan hanya bersifat garis besar. Justru, ayatayat itu merupakan petunjuk dan pegangan moral bagi kita yang aspiratif dan inspiratif. Apresiatif kepada cita-cita keadilan sosial haruslah bersifat dinamis. Sebab, kita mengapresiasikannya dalam D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

rangkaian penghayatan keagamaan yang spiritual, dan karena itu bersifat aspiratif serta inspiratif. Aspiratif memberikan dorongan dan motivasi kepada kita. Dan dalam merealisasikannya dalam kehidupan nyata (duniawi) ini, sebagaimana semua kehidupan duniawi, kita harus bersandar pada ilmu pengetahuan (sosial) yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat manusia. Oleh karena kemanusiaan, dengan sendirinya, senantiasa menghendaki dan mencita-citakan kebaikan, maka cita-cita keadilan sosial ini sangat manusiawi sifatnya, sehingga ia dimiliki oleh seluruh umat manusia dalam bentuk dan manifestasinya yang berbeda-beda. Dari antara mereka itu banyak yang tampil sebagai pemikir-pemikir, guna mengemukakan jalan melaksanakannya, atau sebagai pejuang-pejuang, guna mengusahakan dengan sungguh-sungguh pelaksanaannya dalam kehidupan nyata. Banyak dari mereka yang gagal, tetapi juga ada yang, sampai tingkat tertentu, berhasil dengan baik. Atas dasar kemanusiaan, tidak ada salahnya, bahkan merupakan suatu keharusan, untuk menyertai mereka dalam pikiran-pikiran itu, dalam pengertian mengambil (belajar) dari mereka, atau memberi (mengemukakan pikiran dan pengalaman sendiri, jika ada) kepada mereka. Dalam belajar dari mereka itu, apresiasi kita kepada pikiran-pikiran yang ada ialah apresiasi ilmiah, bukan ideologis. Jadi, kita memperhatikan ide-ide dan pikiran-pikiran itu, dan mengambil yang terbaik. Hal itu berbeda dengan aspirasi ideologis yang cenderung ke kekuatan, dan karena itu tidak kritis serta tertutup. Telah dikemukakan betapa berbahaya sikap tertutup itu.

Apologi “Negara Islam� Pembahasan ini adalah pembahasan tambahan, berupa suatu tanggapan terhadap salah satu bentuk paham keagamaan di kalangan umat Islam. Pembahasan ini dirasa perlu, karena adanya urgensi D 16 E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

untuk mengadakan penjernihan, atau clearence, di sekitar masalah tersebut. Gagasan “Negara Islam” pernah muncul dengan kuat sekali di kalangan umat Islam pada masa-masa yang lalu. Sekarang ini syukurlah sudah tidak ada lagi, setidak-tidaknya begitu dalam penampakan lahiriah, meskipun mungkin masih ada sisa-sisanya. Sebetulnya, ditinjau dari segi proses sejarah dan perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu adalah suatu bentuk kecenderungan apologetis, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan. Setidak-tidaknya apologi itu tumbuh dari dua jurusan: Pertama, ialah apologi kepada ideologi-ideologi Barat (modern), seperti demokrasi, sosialisme, komunisme, dan lain sebagainya. Ideologi-ideologi itu sering bersifat totaliter, artinya, bersifat menyeluruh, dan secara mendetil meliputi setiap bidang kehidupan, khususnya politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Apologi kepada ideologi-ideologi modern itu menimbulkan adanya apresiasi yang bersifat ideologi politis kepada Islam, dan dengan demikian membawa ke cita-cita: “Negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, dan seterusnya. Dan apresiasi ideologis politis yang totaliter itu membawa timbulnya suatu pemikiran apologetis yang mengatakan bahwa Islam itu bukan hanya sekadar agama, sebagaimana Budhisme, Hinduisme, Kristen, dan lain-lain, yang bidang penggarapannya ialah bidang ruhani, atau spiritual, dalam bentuk pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi Islam adalah al-dīn (tanpa terjemahan). Dengan perkataan al-dīn itu diharapkan dan dimaksudkan memberikan pengertian yang totaliter, sehingga meliputi segala aspek kehidupan ini, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lainnya. Apologi itu rupanya diperlukan, karena dalam kehidupan modern yang didominasi oleh pola kehidupan Barat itu, segi paling tinggi ialah segi politik, ekonomi, sosial, ataupun segi-segi lainnya, selain segi spiritual. Dapat dipahami bahwa invasi kultural yang dahsyat itu menghancurkan rasa harga diri umat Islam yang justru dalam D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

bidang-bidang tersebut amat terbelakang, sehingga menimbulkan rasa rendah diri itu. Maka, apologi itu merupakan kompensasi rasa rendah diri. Sebab, dengan apologi yang melahirkan apresiasi ideologis politis yang totaliter itu, umat Islam (melalui apologiapologi) mencoba membuktikan bahwa Islam ternyata lebih unggul, setidak-tidaknya setingkat dengan peradaban Barat dengan ideologi-ideologi modernnya, dalam hal yang menyangkut ekonomi, politik, sosial dan lain-lain, yaitu bidang-bidang yang justru umat Islam mengalami kekalahan total. Sebagai suatu apologi, pikiranpikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek. Setelah secara sementara memberikan kepuasan serta harga diri kepada kaum Muslimin, pikiran-pikiran itu, akhirnya, ternyata palsu, sehingga, bagaikan bumerang, memukul kembali umat Islam. Keadaannya sekarang justru mungkin lebih parah daripada semula. Begitulah nasib pemikiran-pemikiran hasil apologi, baik yang telah tertulis maupun yang belum sempat tertulis. Apologi bahwa Islam adalah al-dÄŤn, bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter, itu tidak benar ditinjau dari beberapa segi. Pertama, ialah segi bahasa. Di situ terjadi inkonsistensi yang nyata, yaitu bahwa perkataan al-dÄŤn itu dipakai juga untuk menyatakan agama-agama yang lain, termasuk agama syirk-nya orang-orang Quraisy Makkah. Jadi, arti kata itu memang agama, dan kerana itu, Islam adalah agama. Kedua, ialah diakui, namun dapat dilihat dengan jelas bahwa titik-tolak apologi itu ialah “inferiority complexâ€?. Yaitu rasa rendah diri hingga dilakukan penggarapan atas bidangbidang politik, ekonomi, sosial dan lain-lainya dari aspek hidup material ini atas bidang spiritual atau agama. Pola pikiran ini jelas merupakan total seorang Muslim menghadapi invasi-invasi cara berpikir materialistis dari Barat. Sebetulnya, jika seorang Muslim menginsaďŹ aspek spiritual, atau agama, dalam kehidupan ini, dan mengetahui benar-benar serta yakin akan keunggulan agama Islam, maka ia tak akan mengalami rasa rendah diri itu, malahan justru dengan penuh rasa harga diri menghadapi siapa pun. Dengan bekal D 18 E


F MENYEGARKAN PAHAM KEAGAMAAN DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA G

kemantapan pada diri sendiri dan agamanya itu, justru di bidang lainnya dia menjadi kreatif, dan dengan jiwa bebas dari rendah diri, dia dengan senang hati belajar kepada orang lain yang lebih unggul di bidang-bidang tersebut. Dan segi lainnya lagi ialah dapat dibuktikan bahwa dalam sumber-sumber ajaran Islam, khususnya al-Qur’an, bidang penggarapan Islam memperoleh ketegasan dan kejelasannya dalam bidang spiritual, yaitu bidang keagamaan. Kedua, ialah legalisme, yang membawa sebagian kaum Muslimin ke pikiran apologetis “Negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi serba-legalistis kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan fiqihisme. Fiqih ialah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijriah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. Fiqihisme ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasinya pun, umumnya, masih memusatkan sasarannya ke bidang itu. Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syariat. Maka, negara Islam itu pun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan, dan hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan perombakannya secara total, sehingga sesuai dengan pola kehidupan modern dari segala aspeknya, tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka hasilnya tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama. Dari tindakan yang lebih prinsipal, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimenisnya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Memang, antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah diterangkan di muka. Namun, antara keduannya itu tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. Karena suatu negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual, guna mengurus dan mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya, maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan kepada negara. Sedangkan dalam Islam sendiri dinyatakan tidak dibenarkannya suatu lembaga kekuasaan ruhani, atau rahbÄ niyah. Dan setiap tindakan yang mengarah ke kekuasaan ruhani atas orang lain (hal ini tak mungkin terjadi) adalah tindakan yang mengarah ke sifat ketuhanan. Jadi, merupakan tindakan menyaingi Tuhan, atau musyrik. [™]

D 20 E


F SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI G

SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI1 Oleh Nurcholish Madjid

Pertama perlu ditegaskan bahwa saya membuat perbedaan prinsipal antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. Dari perspektif Islam, sekularisme adalah perwujudan modern dari paham dahriyah, seperti diisyaratkan dalam al-Qur’an: “Mereka berkata, ‘Tiada sesuatu kecuali hidup duniawi kita saja — kita mati dan kita hidup — dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa’. Tapi mereka sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga1

Diambil dari catatan kaki (no. 1), tulisan berjudul “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia” dalam Endang Basri Ananda (ed.), 70 Tahun Prof. Dr. Rasjidi (Jakarta: Harian Pelita, 1985) (yang dimuat sebagai bagian II, Bab XII kumpulan tulisan ini juga), disertai pendahuluan sebagai berikut: “Tulisan polemis Pak Rasjidi yang ditunjukkan kepada saya ialah yang bersangkutan dengan ide saya dan teman-teman tentang perlunya pembaruan pemikiran dalam Islam di Indonesia. Ide itu pertama kalinya saya cetuskan dalam sebuah makalah dalam suatu pertemuan antara tokoh-tokoh GPI, HMI, dan PII di aula Menteng Raya 58, pada Januari 1970 (makalah ini dan makalah-makalah yang berkaitan, dimuat selengkapnya pada bab ini juga — penyunting). Di antara sekian banyak hal dalam makalah itu menjadi sasaran kritik Pak Rasjidi, yang terpenting ialah konsep saya tentang sekularisasi. Meskipun di sini bukanlah tempatnya untuk mengulas kritik Pak Rasjidi itu, namun, guna memenuhi suatu harapan yang bisa diduga dari orang yang membaca tulisan ini, saya ingin menyinggungnya sepintas lalu dalam bentuk suatu catatan kaki”. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

duga saja,” (Q 45:24). Jadi jelas, sekularisme tidak sejalan dengan agama, khusunya agama Islam.

Pengertian Sosiologis Sekularisasi Sementara itu, sekularisasi memang dapat diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara. Tapi, ini bukanlah satu-satunya arti istilah sekularisasi. Arti lain istilah itu ialah yang bersifat sosiologis, bukan filosofis, seperti yang digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert N. Bellah. Parsons menunjukkan bahwa sekularisasi, sebagai suatu bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya. Dan hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam normanorma dari nilai kemasyarakatan itu.2 Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu bisa semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme. Ini menjadi pandangan Robert N. Bellah, misalnya ketika ia mengemukakan ciri-ciri masyarakat Islam Klasik (zaman Nabi dan al-Khulafā’ al-Rāsyidūn) yang ia nilai sebagai sebuah masyarakat modern. Bellah menyebutkan beberapa unsur struktural Islam Klasik yang relevan dengan argumennya (bahwa Islam Klasik itu modern), yaitu monoteisme yang kuat, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, devaluasi radikal, atau sekularisasi pranata kesukuan Arab jahiliah, dan, akhirnya, sistem politik demokratis. Untuk jelasnya, mengenai sekularisasi itu ia mengatakan bahwa Islam Klasik telah melakukan “devaluasi radikal, dan orang dibenarkan menyebutnya sekularisasi, atas semua struktur sosial yang ada berhadapan dengan hubungan antara Allah 2

Parsons, (et.al.), Theories of Society: Foundation of Modern Sociological Theory (New York: Free Press, 1961). D2E


F SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI G

dan manusia yang sentral itu. Di atas segalanya, hal ini berarti pencopotan pranata kesukuan atau perkeluargaan (kinship), yang telah menjadi pusat kesucian Arabia sebelum Islam, dari makna sentralnya”. Dengan kata lain, proses “devaluasi radikal” atau “sekularisasi” itu, dalam pandangan sosiologis Bellah, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman jahiliah menjadi pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Mahaesa belaka.3 Jadi, penggunaan kata “sekularisasi” dalam sosiologi mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka “sekularisasi”-nya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan bidah, khurafat, dan praktik syirik lainnya, yang kesemuannya itu berlangsung di bawah semboyan kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan agama. Maka saya pernah mengajukan argumen bahwa sekularisasi serupa itu, seperti telah dikemukakan, berkenaan dengan pandangan sosiologis Bellah, adalah konsekuensi dari tauhid. Tauhid sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan, demi rida-Nya, dan hal ini, bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi kehidupan manusia. Hal ini tidak salah, bahkan sesuai dengan pengertian sosiologis Bellah tersebut — yang juga saya anut — sebab, pengertian itu mengandung makna pengalihan sakralisasi dari suatu obyek alam ciptaan (makhluk) ke Tuhan Yang Mahaesa. Pranata kesukuan, seperti disebut Bellah, hanyalah salah satu dan merupakan yang terpenting dari rasa kesucian jahiliah. Tetapi sesungguhnya, orangorang Arab jahiliah yang menyucikan atau menyembah obyek lain, yang kesemuanya itu, dalam pandangan Islam, termasuk manifestasi 3

Lihat Bellah, Beyond Belief (New York: Harper &Row, Publishers, 1970), h. 151. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

politeisme (syirik). Sedangkan yang Mahasuci hanyalah Tuhan (subhān-a ’l-Lāh). Karena hanya Tuhan yang sakral, maka seluruh kegiatan, untuk bisa mendapatkan maknanya yang hakiki, harus hanya ditujukan kepada-Nya semata, dengan implikasi orientasi kegiatan demi kebenaran (al-Haqq), secara tulus dan ikhlas.

Kontroversi Konsep Sekularisasi Tapi, meskipun pengertian sosiologis sekularisasi itu sudah cukup banyak digunakan para ahli ilmu-ilmu sosial, toh harus diakui bahwa masih tetap terdapat kontroversi di sekitar istilah itu. Hal ini dicerminkan oleh adanya perdebatan dan polemik di sekitar buku Harvey Cox, Secular City. Kesulitan timbul dari kenyataan bahwa masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat sekularisme sebagai suatu ideologi yang secara khusus bersemangat antiagama. Karenanya, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis itu.4 Inilah yang agaknya menjadi dasar penolakan Pak Rasjidi atas penggunaan saya akan istilah sekularisasi. Jika benar dugaan ini, maka keberatan Pak Rasjidi cukup beralasan dan dapat diterima, yaitu jika sekularisasi memang tak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa Enlightenment Eropa tadi. Dan rumitnya, persoalan “sekularisasi” itu dapat disimpulkan dari editorial Richard Hunt, “The Role of Religion in a Changing World”.5 Di situ Hunt mengatakan bahwa keinginan untuk memiliki alat rumah tangga yang baik seperti kulkas pun mempunyai implikasi sekularisasi, sadar, ataupun tak sadar.

4

Peter E. Clasner, The Sosiology of Seculazation (London: Routledge & Kegan Paul, 1977), h. 34. 5 Dalam Mizan, Jakarta Vol. I No. 3, 1984. D4E


F SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI G

Kesimpulan Kesimpulannya, terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”, “sekularisasi” dan “sekularisme” itu, maka adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral. [ ]

D5E


F KEPERCAYAAN VERSUS PENGETAHUAN G

KEPERCAYAAN VERSUS PENGETAHUAN Oleh Nurcholish Madjid

Perlunya Penelitian atas Agama Sekalipun sebenarnya sudah merupakan kesepakatan umum, barangkali ada baiknya memulai pembahasan mengenai penelitian atas agama dengan sedikit menyinggung perlunya penelitian atas agama di Indonesia sekarang ini. Pada waktu yang lalu pernah terkenal sebuah ungkapan yang berbunyi agama adalah unsur mutlak dalam nation building. Dan sekarang, hampir merupakan suatu “dalil” yang diterima umum bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah suatu pembangunan yang menyeluruh atau suatu pembangunan manusia seutuhnya. Umumnya, orang berpendapat bahwa yang tersirat di balik adagium itu ialah suatu kehendak (sekurang-kurangnya secara negatif ) agar pembangunan tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat material saja tetapi juga (secara positif ) hendaknya mencakup pembangunan spiritual. Dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan dengan “spiritual” ialah terutama agama. Jika memang agama merupakan suatu dimensi pembangunan yang mengimbangi dimensi lainnya (material), secara ilmu berhitung biasa dia memiliki harga yang sama dengan lainnya. Jika dalil dan adagium itu sungguh-sungguh hendak diwujudkan, sangat diperlukan keterangan-keterangan yang dapat dipercaya mengenai agama itu, yang akan dapat dijadikan landasan, atau sekurangkurangnya bahan dalam pembangunannya. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Ditinjau dari segi kepentingan ilmu, penelitian atas agama di Indonesia juga, sudah cukup penting dan menarik. Indonesia mirip dengan Prancis atau Amerika Serikat, dalam hal bahwa di negaranegara tersebut terdapat suatu agama golongan mayoritas, tetapi memiliki sikap toleran yang besar terhadap agama-agama lainnya. Indonesia juga mirip dengan negeri Belanda, misalnya, dalam hal bahwa pengelompokan lebih kuat mengikuti jalur-jalur pengikutan agama tertentu. Persoalan-persoalan tersebut rasanya sudah cukup mendukung alasan tentang menariknya penelitian tentang agama di Indonesia. Tetapi kenyataannya, penelitian atas agama di sini — walau masih baru permulaan — memiliki segi-segi kesulitan tersendiri. Maksud utama di sini ialah mencoba mencari salah satu segi yang membuat penelitian atas agama mengalami kesulitan dan penuh persoalan. Yang hendak ditinjau secara khusus ialah bentukbentuk hubungan antara agama dan ilmu-ilmu sosial, terutama potensi pertentangannya.

Kepercayaan versus Pengetahuan Penggunaan kata “versus� di sini hanyalah sekadar mencari kemudahan pemilihan kata. Maka tidak dikehendaki penafsiran langsung atas arti pertentangan. Kepercayaan tak selalu bertentangan dengan ilmu pengetahuan, begitulah klaim dari banyak sekali tokoh agama, dan hal ini didukung oleh banyak sekali bukti. Mungkin kepercayaan berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam memandang suatu masalah, tidak bertentangan atau antagonis. Dalam keadaan demikian, dapat diharapkan, suatu saat, antara keduanya akan terjadi pertemuan dan persesuaian. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa sejarah umat manusia, antara lain, memuat bukti-bukti bahwa hubungan antara kepercayaan, atau agama, dan ilmu pengetahuan, tidak selalu harmonis. Antagonisme antara keduanya, sebagaimana diwakili oleh masingD2E


F KEPERCAYAAN VERSUS PENGETAHUAN G

masing pendukungnya, sempat memengaruhi kehidupan orang banyak dalam jangka waktu yang cukup lama. Mula-mula tampaknya pertentangan itu mengenai semua cabang ilmu pengetahuan: alam maupun sosial. Tetapi saat ini, rasanya sudah amat jarang terdengar bahwa agama atau kepercayaan menentang suatu perkembangan ilmu pengetahuan alam. Walaupun begitu, penentangan oleh agama atau kepercayaan terhadap perkembangan ilmu sosial masih dirasakan sebagai sesuatu yang berlangsung. Kiranya hal itu tidak perlu mengherankan. Sebab, pertentangan atau perbedaan itu berakar dalam pertentangan dan perbedaan antara etika-etika masing-masing: agama dan kepercayaan menuntut adanya sikap menerima dengan teguh, tanpa ragu dan kepastian, tentang hasil kesudahan; sedangkan ilmu justru dilandaskan kepada skeptisisme dan sikap tidak berkepentingan (disinterestedness) akan hasil kesudahan suatu kegiatan ilmiah, selain nilai ilmiah itu sendiri. Lebih tidak mengherankan lagi ialah adanya pertentangan itu. Sebab pada sesama ilmu pengetahuan sosial saja, yang berlandaskan etika yang sama, pertentangan sering merupakan sesuatu yang tidak mudah dihindari. Pada zaman modern ini, pertentangan ideologi yang paling banyak memengaruhi kehidupan manusia bukanlah antara yang agama dan yang duniawi (sekular), tetapi justru antara yang sama-sama sekular (kapitalisme lawan komunisme). Tetapi mungkin, yang lebih menentukan adanya pertentangan antara agama dan ilmu sosial ialah “rivalitas� antara keduanya dalam menerangkan keadaan atau kenyataan. Dilihat dari sudut pandang yang lebih empiris, menurut Roland Robertson, pada keseluruhannya, sistem-sistem kepercayaan adalah “percobaan fundamental untuk menemukan weltanschaung yang cocok�. Dikatakan selanjutnya, bahwa dua hal tentang persaingan antara ilmu sosial dan agama merupakan akibat dari kenyataan di atas. Pertama, ilmu sosial berdiri sebagai saingan (rival) terhadap pandangan keagamaan, melalui kenyataan bahwa ia sungguh-sungguh mencoba menerangkan kenyataan-kenyataan. Kedua, banyak D3E


F NURCHOLISH MADJID G

ilmu sosial memberikan perhatian kepada pembentukan paradigmaparadigma dan pandangan-pandangan, biasanya atas dasar bahwa perangkat tertentu persoalan-persoalan empiris yang dipertanyakan belum bisa diatasi dengan menggunakan ukuran-ukuran penjelas yang tegas. Jadi, persaingan terjadi dengan mengambil dua bentuk yang saling berhubungan dekat. Dalam hal pertama, ilmu sosial, dalam satu segi, mengaku atau mengklaim lebih untuk dirinya daripada agama atau ilmu agama. Dalam hal kedua, ilmu sosial menyediakan dirinya sebagai suatu pilihan tersendiri tentang weltanschaung.1 Mungkin hal tersebut dapat ikut menjelaskan, mengapa sampai saat ini penelitian tentang agama masih mengalami jalan yang seret, bahkan tidak jarang terdengar suara-suara yang agak sumbang atau tidak setuju.

Jalan Keluar? Kita biasa mengatakan bahwa persoalan agama adalah peka. Tetapi lebih daripada peka, penelitian agama adalah rumit. Kerumitan itu antara lain dicoba dijelaskan sepintas lalu tadi. Maka dari itu, mengemukakan jalan keluar dalam hal yang peka lagi rumit ini, akan selalu merupakan percobaan yang bersifat sementara, dengan kesediaan menerima hasil yang kurang memuaskan. Jadi, dengan sendirinya jalan keluar yang hendak dikeluarkan di sini sangat bersifat sementara, dan coba-coba (tentative) sifatnya. Mengingat adanya potensi persaingan antara agama dan ilmu sosial yang akan menjadi alat untuk meneliti agama itu, maka jalan keluar yang segera terbayang dalam pikiran ialah bagaimana menemukan jalan tengah antara atau gabungan dari keduanya.

1

RoLand Robertson, The Sociological Interpretation of Religion (New York: 1972). D4E


F KEPERCAYAAN VERSUS PENGETAHUAN G

Dalam kenyataannya, hal itu berarti pertaruhan dalam pribadipribadi para peneliti agama. Mungkin pribadi-pribadi itu ialah tenaga-tenaga yang, karena berbagai hal, mempunyai kemungkinan lebih baik daripada yang lainnya dalam memahami segi-segi keimanan suatu agama, sebagaimana dipeluk masyarakat, tetapi sekaligus juga memiliki keterampilan meneliti, dalam arti sanggup melihat dan menilai kenyataan-kenyataan, tanpa perlu memiliki kepentingan atau “interest” di dalamnya. Betapapun sulitnya menemukan tenaga serupa itu, kiranya bukanlah suatu hal yang mustahil. Malahan barangkali pihak-pihak yang berwenang, yakin lembaga-lembaga ilmiah, dapat dengan sengaja menciptakan tenagatenaga serupa itu, misalnya melalui latihan-latihan teratur. Sebab, pilihan lain akan barangkali mengecewakan: penelitian agama oleh seorang agamawan saja, hanya akan menghasilkan “teologi”, sedangkan pekerjaan itu, oleh ilmuwan saja, mungkin akan terbatas hanya kepada kenyataan-kenyataan “yang bisa diukur”. Lebih-lebih jika telah disepakati bahwa “makna” adalah suatu kenyataan dalam hidup manusia, maka jenis penelitian “luaran” seperti itu, tentu akan sangat kekurangan kegunaan. [ ]

D5E


F PROPORSI HUBUNGAN ANTARA KEILMUAN DAN KEAGAMAAN G

PROPORSI HUBUNGAN ANTARA KEILMUAN DAN KEAGAMAAN Oleh Nurcholish Madjid

Barangkali sudah menjadi kesepakatan semua orang bahwa setiap agama, termasuk dengan sendirinya agama Islam, berakar tunjang pada sikap percaya yang sungguh-sungguh atau tulus (iman). Meskipun mungkin pendekatan empiris dapat dilakukan, untuk menguji kebenaran suatu nilai keagamaan, dasar kebenaran suatu nilai keagamaan tidak terutama terletak dalam veriďŹ kasi empiris, tetapi dalam percaya kepada pemberitaan dari atas (wahyu). Karena itu, kedudukan sebuah Kitab Suci dalam agama adalah mutlak. Sebab itu, dalam spektrum bidang kognitif manusia, agama menempati ujung yang berlawanan dengan pengetahuan alam, termasuk kelompok pengetahuan kemanusiaan (humaniora, humanities). Sedangkan di tengah-tengahnya terletak kedudukan ilmu-ilmu sosial, yang hendak mempergunakan empirisisme pengetahuan alamiah untuk menguji, antara lain, implikasi-implikasi nyata nilai-nilai humaniora dalam masyarakat atau pribadi.

Kenisbian Penilaian Ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial, adalah netral. Artinya, tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau menguasainya. Sebagaimana halnya dengan apa saja D1E


F NURCHOLISH MADJID G

yang netral, ilmu pengetahuan dapat dipergunakan baik untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat maupun yang merusak. Contohcontoh untuk hal itu banyak sekali. Tetapi ada sesuatu yang perlu dicatat, yaitu bahwa penilaian atas kebajikan atau kejahatan penggunaan sesuatu yang netral tidak hanya bergantung pada siapa yang memiliki atau menguasainya, tetapi juga bergantung pada sudut pandang siapa pun yang menilainya, sesuai dengan kepentingan yang ada. Misalnya, perang Vietnam dinilai sebagai baik atau jahat bergantung pada siapa yang menilainya: membunuh orang Vietnam (komunis), untuk orang Amerika, adalah kebaikan, sebab membela kepentingan mereka (katakan: membendung komunisme); tetapi, bagi orang Vietnam sendiri, tindakan Amerika itu adalah kejahatan yang sukar masuk akal mereka. Dan perang memang bernilai netral: jika baik menurut yang melihatnya, akan dinamakan sabīl atau “perjuangan”, kemudian korbannya disebut syahid atau “pahlawan”; tetapi jika menurut penilaiannya jahat, akan disebutnya “invasi”, “agresi”, dan seterusnya, yang tentu memengaruhi penilaian atas para pelaku maupun korbannya. Karena kesewenang-wenangan kepentingan yang tertanam (tyranny of vested interest), terdapatlah kenyataan di dunia ini tentang kenisbian penilaian. (Nilai itu sendiri, baik maupun jahat boleh jadi bersifat mutlak; tetapi penilaian, yaitu penerapan suatu nilai untuk suatu kenyataan, adalah nisbi.) Karena kenisbian penilaian, dapat dikatakan, hampir tidak ada suatu kenyataan kehidupan di dunia ini yang dapat disepakati semua orang akan nilainya, baik ataupun buruk. Keadaan itu merupakan sumber utama ketidakdamaian hidup manusia di dunia. Kebanyakan kepentingan yang tertanam telah diinternalisasi oleh masingmasing pribadi, atau sosialisasi oleh masing-masing masyarakat. Maka ia tidak pernah dipersoalkan atau dipertanyakan lagi, tetapi diterima sebagai yang wajar saja. Hal ini menutupi kemungkinan membawanya kesadaran akan hakikat suatu persoalan. Hidup di dunia dikuasai dan diliputi oleh ketidaksadaran. Mungkin inilah salah satu yang tercakup dalam pengertian beberapa konsep atau D2E


F PROPORSI HUBUNGAN ANTARA KEILMUAN DAN KEAGAMAAN G

pandangan-dunia (world outlook) yang menamakannya sebagai “maya”, “samsara”, ataupun matā‘ al-ghurūr (kesenangan yang menipu), sekalipun pada beberapa konsep, dalam istilah-istilah tersebut terdapat pula segi-segi perbedaannya.

Kesejatian Hidup Akhirat Tetapi, kebaikanlah yang bersifat fitri atau manusiawi. Sedangkan kejahatan merusak hidup. Maka manusia, demi kemanusiaan dan kebahagiaannya sendiri, memerlukan kebaikan. Demi kemanusiaannya, orang senantiasa dituntut untuk dapat melihat bahwa yang benar adalah memang benar, dan yang palsu adalah palsu. Hal itu berarti ia dituntut dari waktu ke waktu untuk dapat membebaskan dirinya dari setiap bentuk ikatan kepentingan yang tertanam (vested interest). Bagaimana? Inilah persoalan yang mahabesar! Agama memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu (sebagaimana menjadi ciri-umum-utama semua agama) dengan mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dan hari kemudian atau hidup kekal sesudah hidup dunia ini. Perbandingan “Hidup Kini” (al-dunyā atau al-ūlā) dengan “Hidup Nanti” (al-ākhirah) dilukiskan dalam al-Qur’an: “Kehidupan dunia ini tidak lain ialah kesenangan dan permainan belaka. Dan sesungguhnya Negeri Akhirat itulah Kehidupan yang sebenarnya, kalau saja mereka (umat manusia) mengetahui,” (Q 29:64).

Kesejatian hidup di akhirat ialah, karena di sana yang benar adalah benar, dan yang palsu adalah palsu. Tidak ada lagi pengaburan penilaian oleh keinginan subyektif manusia, dan manusia dapat melihat serta merasakan hakikat segala sesuatu. Dan apabila ia merasakan kebahagiaan, sifat kebahagiaan itu adalah sejati, mutlak. Demikian pula sebaliknya, jika ia harus mengenyam kesengsaraan. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Jadi, kehidupan di akhirat, di mana Allah sendiri yang bertindak sebagai Hakim dan Penguasa segala persoalan (Q 82:20), berbeda dengan kehidupan di dunia, di mana manusia mempunyai peranan, melalui kegiatan atau amalnya. Tetapi kehidupan akhirat “disongsong” oleh salah satu segi kehidupan di dunia ini, yaitu kehidupan ruhani. Segi ruhani keseluruhan kehidupan dunia ini merupakan refleksi atau cermin kehidupan akhirat. Melalui kehidupan ruhani, seseorang di dunia ini dapat merasakan “percikan” (spill over) kehidupan ukhrawi, bahagia ataupun sengsara. Dan kebahagiaan atau kesengsaraan itu belum tentu mempunyai korelasi dengan segi-segi yang bukan ruhani. Segi ruhani merupakan pancaran kehidupan ukhrawi, yaitu kehidupan yang sebenarnya, karena hanya dalam batasan ruhani, manusia dapat mengenali kebenaran sebagai kebenaran, dan kepalsuan sebagai kepalsuan. Pada segi ruhanilah terletak hakikat manusia dan penilaiannya. Sentralnya ialah hati nuraninya. Pengalaman akan kebaikan dan keburukan, secara intrinsik, ada pada manusia, karena hati nuraninya. Dan karena kebaikan dengan sendirinya diterima, sedangkan keburukan dengan sendirinya ditolak, kebaikan merupakan bagian yang inheren pada manusia. Tetapi, hati nurani bukannya sesuatu yang tidak dapat menumpulkan ketajamannya. Kemunduran kepekaan hati nurani dikarenakan hal-hal tersebut, yaitu vested interest yang telah mengalami internalisasi ataupun sosialisasi. Maka, diperlukan suatu “bantuan” dari luar, yaitu pertama, penginsafan seseorang akan Kenyataan Mutlak atau Tuhan dan, kedua, kesungguhan sikap hidup “menyongsong” Hidup Sejati, Hidup Akhirat, atau keyakinan akan hidup kekal sesudah hidup ini. Berdasarkan itulah bangun sistem nilai dan cara-cara penilaian. Begitulah, keseluruhan kehidupan di dunia ini seharusnya tunduk kepada pertimbangan tentang baik dan buruk oleh hati nurani yang mampu bersuara secara sejati karena menyadari kenyataan mutlak dan menginsafi hidup sejati kelak. Dalam ukuran kesejatian, sungguh hidup di dunia ini dapat merupakan tempat D4E


F PROPORSI HUBUNGAN ANTARA KEILMUAN DAN KEAGAMAAN G

kebahagiaan atau kesengsaraan, mungkin sendiri-sendiri, atau silihberganti, atau tercampur-baur, yang merupakan refleksi kehidupan akhirat. “Barang siapa di dunia ini buta, maka di akhirat ia pun buta, dan lebih sesat lagi,” (Q 17:72). Demikian juga halnya dengan ilmu pengetahuan yang netral itu, ia harus ditundukkan di bawah pertimbangan fitrah kemanusiaan. Ia tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa bimbingan kesadaran kemanusiaan, sehingga dapat memberi umpan balik yang merusak kehidupan. Jangan sampai terjadi, “Kerusakan timbul di darat maupun di laut, akibat perbuatan tangan manusia,” (Q 30:41). Tetapi, apakah kemanusiaan yang adalah kebaikan itu? Kebaikan, atau juga Kebenaran Sejati, ialah Tuhan sendiri. Dan kebaikan yang menantinya ialah yang dirasakan oleh hati nurani ketika ia secara utuh dan mendalam berkomunikasi dengan Tuhan sebagai Kebaikan Sejati, serta menginsafi adanya kehidupan kekal nanti. Apa yang dirasakannya itu memancar keluar dalam kehidupan berupa orientasi dan penilaian. Maka yang diperlukan oleh manusia ialah sikap batin yang senantiasa komunikatif dengan Tuhan. Menurut Q 17:44, seluruh alam raya beserta isinya ini tak pernah putus berkomunikasi dengan Tuhan.

Apresiasi atas Nilai Kebaikan Sejati Tentang bagaimana cara melakukan hal itu semua adalah menjadi wewenang agama. Tetapi perlu diingat bahwa cara adalah sesuatu yang mengharuskan adanya pembakuan atau standardisasi, sehingga dapat disertai oleh semua orang. Cara atau jalan (syarī‘ah) mengantarkan seseorang kepada tujuan, yaitu pengenalan Tuhan dan keinsafan ketuhanan (ma‘rifah). Seseorang, sebagai ahl al‘irfān, tidak akan dapat membagi makrifatnya dengan orang lain. Ia hanya dapat bertindak sebagai ahl al-‘ilm, yang dapat mengajarkan segi-segi cara atau syariat kepada orang lain. Dan inilah bidang kegiatan sosial-keagamaan. Sebagaimana setiap cara adalah muspra, D5E


F NURCHOLISH MADJID G

jika tidak mengantarkan seseorang kepada tujuan, demikian pula, suatu bentuk pernyataan eksoteris agama adalah sia-sia, sebelum ia menghasilkan pada diri pelakunya suatu nilai esoteris. Maka agama pun menunjukkan apa atau siapa tujuan itu. Apresiasi atas nilai Kebaikan Sejati, yang adalah Tuhan itu sendiri, melahirkan cita etis (seorang Muslim), yaitu peniruan budi pekerti, akhlak atau moral Tuhan. Pengenalan akhlak Tuhan itu diperoleh melalui peresapan “Nama-Nama Baik” (al-Asmā’ al-Husnā) sebagaimana diterangkan dalam Kitab Suci. Nama-Nama Baik, yang dengannya kita dianjurkan menyeru Tuhan, merupakan pengungkapan sifat-sifat Tuhan, yang berarti pula menerangkan akhlak-Nya. Karena sifat-sifat itu tidak berada dalam keadaan yang berat sebelah, tetapi meliputi keseluruhan budi pekerti, peresapan dan peniruan akhlak Tuhan akan mengantarkan seseorang ke penemuan diri kemanusiaannya yang utuh. Yang memuncaki dan mendominasi keseluruhan sifat Tuhan itu ialah sifat cinta kasih: “Kasih-Ku meliputi segala sesuatu,” (Q 7:155), dan juga ilmu pengetahuan: “Ya Tuhanku, Engkau meliputi segala sesuatu dengan kasih dan pengetahuan-Mu,” (Q 40:7). Maka demikian pula, budi pekerti manusia pun haruslah merupakan sesuatu yang dituntun oleh rasa cinta kasih kepada sesama makhluk Allah, dan diterangi oleh ilmu pengetahuan yang memberi jalan lebih baik ke arah bagaimana melaksanakan rasa cinta kasih itu. Kembali kepada kenetralan ilmu pengetahuan, maka akhlak ketuhanan (Rabbāniyah) mengharuskan ilmu pengetahuan mematuhi rasa cinta kasih yang kita tiru dari Allah. Ilmu pengetahuan, sebagai suatu cara mengenali lingkungan secara lebih baik, guna dapat membantu hidup kita, hendaknya hanya ditujukan kepada penggunaan bagi peningkatan kehidupan yang diliputi oleh semangat cinta kasih. Adalah simbolis sekali ajaran dalam agama (Islam) agar memulai segala pekerjaan dengan Bismillāhirrahmānirrahīm, yang di dalamnya disebutkan dua kali, sifat Tuhan yang serbakasih dan sayang. Di situlah terletak persoalan “nilai” (bukan “mutu”) atau D6E


F PROPORSI HUBUNGAN ANTARA KEILMUAN DAN KEAGAMAAN G

value (bukan quality) intelektualitas di kalangan kaum Muslim, dan bagaimana peningkatannya. Semua dikembalikan kepada “ruh� keagamaan Islam sebagai sumber nilai hidup seorang Muslim. Sedangkan dari segi mutu atau kualitas, umat Islam sudah tentu dapat belajar banyak, termasuk orang bukan Islam, sebagaimana dahulu pernah dilakukan, dan sebagaimana sekarang pun sedang berjalan. Karena kenetralannya, ilmu pengetahuan dapat ditukarmenukarkan atau diberi-dan-mintakan antara sesama manusia, tanpa memandang tata-nilai masing-masing yang bersangkutan. [™]

D7E


F SUMBANGAN ISLAM UNTUK PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MODERN G

SUMBANGAN ISLAM UNTUK PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MODERN Oleh Nurcholish Madjid

Apa ilmu pengetahuan modem itu? Meskipun kata “modem” bisa diartikan dengan banyak makna, untuk memudahkan pembahasan, kita batasi pengertian kata itu sebagai definisi untuk tingkat-mutakhir perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan yang, karena berbagai hal, kebetulan, dimulai oleh bangsa-bangsa dari kawasan Eropa Barat Laut. Ciri peradaban mutakhir itu ialah teknologi. Teknologi ini, pada gilirannya, ditopang oleh suatu sistem kognitif yang dilandasi oleh empirisisme, dan inilah yang kita maksudkan dengan ilmu pengetahuan modern. Selain empirisisme yang amat menonjol, ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang ke depan, sehingga ilmu pengetahuan menjadi tidak berhenti pada suatu tapal batas (frontier). Karena itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan bagian mutlak ilmu pengetahuan modern. Meskipun abad modern, kebetulan, dimulai oleh Eropa Barat Laut, sesungguhnya bahan-bahan pembentuk kemodernan itu berasal dari pengalaman hampir seluruh umat manusia — dari Cina di timur sampai Spanyol di barat. Karena rentang daerah peradaban umat manusia pra-modern itu berpusat di kawasan Timur Tengah dengan budaya Islamnya, yang paling banyak memberi sumbangan bahan klasik bagi timbulnya abad modem itu ialah peradaban Islam. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Dalam kosakata ilmu pengetahuan modern, dapat kita temukan berbagai “jejak kaki” yang menunjukkan bahwa sumbangan Islam itu terutama berwujud berbagai bahan yang merupakan high culture umat manusia saat itu — dan sampai batas tertentu, juga saat sekarang — sebagaimana tecermin pada istilah-istilah ilmiah, seperti aljabar (aljabr), alkohol (al-kuhul), asimut (al-sumt), logaritma (al-khawārizmiyah), dan cipher (al-sifr). Tidak seluruh bahan peradaban Islam itu dihasilkan oleh kreasi umat Islam sendiri. Selain berkreasi, umat Islam klasik juga berfungsi sebagai “penengah” (wasīth) dan “saksi” (syahīd) keseluruhan umat manusia. Fungsi itu dijalankan dengan menerapkan sikap terbuka terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan umat-umat lain. Sikap ini melahirkan sikap-sikap lebih lanjut yang amat mendorong perkembangan ilmu dan peradaban, seperti sikap tidak segan mengambil sesuatu yang baik dan bermanfaat dari umat lain. Dalam perspektif inilah, bisa dipahami sabda-sabda Nabi bahwa “hikmah (ilmu pengetahuan, wisdom) adalah barang hilang kaum beriman, sehingga siapa pun dari mereka menemukannya, hendaknya ia mengambilnya,” dan hendaknya kita menuntut ilmu pengetahuan, meskipun harus “ke negeri Cina”. Karena itu, sejarah mencatat bahwa umat Islam adalah kelompok umat manusia yang pertama menginternasionalkan ilmu pengetahuan. Jika sebelumnya suatu cabang ilmu pengetahuan hanya merupakan kekayaan nasional bangsa tertentu, seperti Yunani, Persia, India, dan Cina, sejak Islam dan dalam peradaban Islam, ilmu-ilmu itu tumbuh menjadi kekayaan bersama umat manusia. Penjelasan mendasar atas kenyataan-kenyataan itu terdapat dalam weltanschaung Islam, yang memandang bahwa umat manusia (anakcucu Adam) adalah makhluk Tuhan, yang ditunjuk untuk menjadi khalifah (wali pengganti) bagi-Nya di bumi. Dalam al-Qur’an diterangkan bahwa kelebihan Adam atas para malaikat, sehingga ia berhak dijadikan khalifah, ialah bahwa Tuhan memberinya ilmu pengetahuan dan kemampuan mengenali lingkungannya. Dan lingkungan itu ialah seluruh jagat raya (langit dan bumi) yang D2E


F SUMBANGAN ISLAM UNTUK PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MODERN G

ditegaskan sebagai diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan umat manusia. Jadi, memahami lingkungan hidup, baik yang ďŹ sik maupun yang sosiokultural, dapat dipandang sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahan manusia. Hal itu juga berarti usaha memahami sunnatullah (hukum-hukum Tuhan) yang telah ditetapkan-Nya untuk alam ciptaan-Nya. Semua ini melahirkan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan modern. Maka bertindak dengan berpedoman pada hasil-hasil penemuan ilmiah adalah bertindak sesuai dengan sunnatulldh. Dengan kata lain, hal itu merupakan suatu bentuk ketundukan kepada Allah, dan berarti pula suatu bentuk keislaman. Oleh karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa dosa terbesar manusia yang tak terampuni ialah syirik. Sebab syirik, yang sebenarnya merupakan takhayul (superstition) itu, menghalangi manusia dari kemungkinan memahami alam dan masyarakat lingkungannya secara obyektif. Jadi juga menghalangi ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan itu sendiri tidak lain ialah usaha manusia memahami sunnatullah. Jadi jelas, bahwa sumber sumbangan Islam bagi ilmu pengetahuan ialah paham tauhid: monoteisme yang tegas dan tidak mengenal kompromi. Tauhid juga bisa disebut paham Ketuhanan Yang Mahaesa — adalah ajaran yang menegaskan bahwa Tuhan adalah asal-usul dan tujuan hidup manusia, termasuk peradaban dan ilmu pengetahuannya. Kini muncul banyak kritik kepada peradaban modern dengan teknologi dan ilmu pengetahuannya itu. Dari sudut pandang Islam, hanya segi metode dan empirisisme ilmu pengetahuan modernlah yang tampaknya absah (valid). Sedangkan dalam hal moral dan etika, ilmu pengetahuan modern amat miskin. Hal ini bisa menjadi sumber ancaman lebih lanjut umat manusia. Di sinilah letak inti sumbangan Islam — dengan sistem keimanan berdasarkan tauhid itu, kaum Muslim diharapkan mampu menawarkan penyelesaian atas masalah moral dan etika ilmu pengetahuan modern. Manusia harus disadarkan kembali akan fungsinya sebagai ciptaan Tuhan, yang dipilih untuk menjadi D3E


F NURCHOLISH MADJID G

khalifah-Nya, dan harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya di muka bumi ini kepada-Nya. Ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan, dan harus digunakan dalam semangat mengabdi kepada-Nya. [™]

D4E


F AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM G

AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM Oleh Nurcholish Madjid

Pada permulaan pembahasan ini, mungkin ada baiknya kita memeriksa kembali sejenak apa yang dimaksud dengan ilmu kalam. Meskipun sekarang kaum Muslim telah memiliki persepi tentang apa arti ilmu kalam, seperti biasanya, dalam tahap-tahap pertama munculnya ilmu itu penuh dengan kontroversi. Hal ini tecermin antara lain dalam keanekaan teori para sarjana klasik maupun modern, Muslim maupun bukan-Muslim, tentang asal-usul istilah kalam itu.

Sejarah Ilmu Kalam Untuk memulai, perlu ditegaskan bahwa ilmu kalam adalah teologi rasional yang tumbuh karena kebutuhan membela aliran pikiran tertentu. Karena itu, dengan sendirinya ia juga bersifat skolastik. Bahkan al-Farabi mengatakan bahwa ilmu kalam, pada asal pertumbuhannya, bersifat apologetis, yang bertugas melayani suatu kelompok Islam tertentu melawan kelompok Islam lainnya atau kelompok di luar Islam.1 Dengan mengutip al-Syahrastani, Ali al-Syabi mengatakan bahwa istilah kalam mula-mula muncul pada masa pemerintahan 1

Lihat al-Farabi, Ihsā’ al-‘Ulūm, ed. Osman Amine (Cairo: Maktabah alAnjlu al-Misriyyah, 1968), h. 131. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Khalifah al-Ma’mun (ibn Harun al-Rasyid, 198-218 H/813-833 M) dari Daulah Abbasiyah, dan diciptakan oleh kaum Mu’tazilah. Al-Syabi mengisyaratkan bahwa alasan penggunaan istilah kalam (makna harfiahnya “bicara”) boleh jadi karena masalah paling me nonjol yang mereka perdebatkan, yaitu tentang “bicara” sebagai salah satu sifat Tuhan, atau karena kesamaan tertentu antara kaum mutakallimun (ahli ilmu kalam) dan para filosof yang menamakan salah satu cabang ilmu mereka ilmu manthiq (logika), dan kemudian mereka mengganti istilah manthiq dengan kalam, karena dua perkataan itu sebenarnya mempunyai makna harfiah yang sama. Al-Syabi pun berpendapat bahwa nama lain yang umum untuk ilmu kalam ialah ilmu tauhid, karena tugas pokoknya ialah mengukuhkan kemahaesaan Tuhan (monoteisme). Ia juga dinamakan ‘ilm ushūl al-dīn (ilmu ushuluddin), karena topik pembahasannya dianggap berkaitan dengan pokok-pokok ajaran agama. Kadang-kadang disebut ‘ilm al-nazhar wa al-istidlāl (ilmu pembahasan dan penyimpulan rasional) dan ‘ilm al-maqālāt al-islāmīyah (ilmu kategori-kategori keislaman) yang menunjukkan segi rasionalisme ilmu kalam.2 Syaikh Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa ilmu kalam mempunyai pengertian yang sama dengan ilmu tauhid. Ia menyebutkan bahwa penggunaan istilah kalam boleh jadi karena masalah pokok yang dibicarakan dalam ilmu itu ialah persoalan apakah kalam Allah al-mathlū (firman Tuhan yang bisa dibaca, yakni al-Qur’an) itu sesuatu yang hadīts (fenomena sekunder, terciptakan), ataukah qadīm (abadi, tanpa permulaan), dan boleh jadi karena ilmu itu didasarkan pada argumen-argumen rasional yang tampak nyata pada “bicara”-nya para penganutnya. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa para ahli kalam sedikit

2

Ali al-Syabi, Mabāhits fī ‘Ilm al-Kalām wa al-Falsafah (Tunis: Dar Buslamah, 1977), h. 11-12. D2E


F AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM G

menggunakan dalil-dalil tekstual, kecuali setelah peneguhan dalildalil rasional.3 Montgomery Watt, seorang orientalis dan Islamolog terkenal, berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa istilah kalam yang dikaitkan dengan ilmu keislaman itu jelas sekali mula-mula muncul sebagai ejekan, yang mengisyaratkan bahwa para pendukungnya ialah “orang-orang yang hanya berbicara” (al-mutakallimūn). Tapi istilah itu kemudian berkembang menjadi istilah yang netral.4 Pendapat senada dikemukakan oleh Michael Cook yang mengatakan bahwa para ahli kalam adalah “pasukan dialektis dari aliran-aliran yang saling bertengkar, yaitu duta-duta ahli dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam perang kata.”5 Pendapat lain yang cukup menarik dikemukakan oleh Harry A. Wolfson. Dengan mengutip Ibn Rusyd, Wolfson mengatakan bahwa kata kalam digunakan dalam terjemahan Arab dari karya-karya para filosof Yunani untuk mengartikan istilah logos yang dalam aneka arti harfiahnya ialah “kata-kata”, “akal”, dan “argumen”. Selanjutnya, Wolfson menerangkan bahwa istilah kalam kemudian berkembang menjadi berarti setiap cabang khusus ilmu pengetahuan. Maka ilmu alam disebut ‘ilm al-kalām al-thābi‘ī (the physical kalam), dan ilmu ketuhanan disebut ‘ilm al-kalām al-Ilāhī (the divine kalam), dan seterusnya.6 Sesungguhnya, dalam sejarah Islam, ilmu kalam telah muncul sejak masa cukup dini. Al-Hasan al-Basri telah menggunakan istilah kalam untuk mengacu kepada pembahasan tentang persoalan kebebasan manusia dan takdir, dalam konteks pertentangan pendapat antara kaum Qadariah dan kaum Jabariah. Tetapi 3

Muhammad Abduh, “Risālah al-Tawhīd”, dalam Major Themes in Modern Arabic Thought, ed. Trevor J. Le Gassik (Ann Arbor: The Michigan University Press, 1979), teks Arab, h. 63-64. 4 Montgomery Watt, The Formative Periode of Islamic Thought (Edinburg: The University Press, 1973), h. 182-183. 5 Michael Cook, Early Muslim Dogma (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), h. 157. 6 Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge Mass: Harvard University Press, 1976), h. 1-2. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

pembahasan rasional pertama tentang masalah itu, khususnya tentang paham Jabariah, dimulai oleh seorang rasionalis bernama Jahm ibn Shafwan yang telah menalar pra-penentuan menurut metode filsafat Yunani, khususnya Aristotelianisme dan Neoplatonisme, dan mengembangkannya menjadi paham mutlak pra-penentuan Aristoteli. Terutama karena unsur Hellenisme dalam ilmu kalam, ia mulamula ditolak keras oleh para ulama. Al-Syafi’i, misalnya, pernah menyatakan bahwa para ahli kalam “harus dihajar dengan pelepah kurma dan terompah, kemudian harus diarak mengelilingi permukiman setiap keluarga dan kabilah, sambil diumumkan kepada setiap orang: ‘Inilah ganjaran mereka yang meninggalkan al-Qur’an dan menaruh minat kepada ilmu kalam.”7 Ia juga dikabarkan pernah menyatakan bahwa sikapnya terhadap para ahli kalam ialah “menampar muka mereka dengan sandal dan mengusir mereka dari kampung halaman”.8 Yang lebih keras lagi menolak ilmu kalam ialah para pengikut mazhab Hanbali.

Sikap al-Ghazali Tanpa mengetahui hal-hal tadi, kita akan sulit memahami sikap al-Ghazali terhadap ilmu kalam. Oleh Philip K. Hitti, al-Ghazali digolongkan sebagai salah seorang yang paling menentukan jalannya sejarah Islam dan bangsa-bangsa Muslim. Bahkan, dalam bidang pemikiran dan peletakan dasar ajaran-ajaran Islam, alGhazali ditempatkan pada urutan kedua setelah Rasulullah. Ia

7

Lihat Ibn Taimiyah, Minhāj al-Sunnah al-Nabawīyah fī Naqd Kafām al-Syī‘ah wa al-Qadarīyah, 4 jilid (Cairo: al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1321 H), jilid 1, h. 181. 8 Jalaluddin al-Suyuthi, Sawn al-Manthiq wa al-Kalām ‘an Fann al-Manthiq wa al-Kalām diedit dengan pengantar oleh Ali Sami al-Nasysyar (Cairo: alNasysyar, 1366 H/1947 M), h. 31. D4E


F AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM G

adalah seorang pemikir yang tidak saja mendalam, tapi juga sangat subur dan produktif dengan karya-karya. Tapi, di balik kehebatannya, al-Ghazali adalah seorang manusia biasa, yang dalam beberapa hal juga menunjukkan berbagai kelemahan. Salah satu kelemahannya ialah sikapnya terhadap ilmu kalam. Mungkin karena ia memiliki semangat intelektual yang amat tinggi, yang mendorongnya untuk mengkaji apa saja yang ada pada lingkungannya, di samping itu, al-Ghazali sering menunjukkan sikap-sikap yang tidak konsisten. Ia sendiri melukiskan dengan baik sekali riwayat pengembaraan intelektualnya dalam bukunya al-Munqidz min al-Dlalāl (Penyelamat dari Kesesatan) yang ditulisnya pada saat menjelang wafatnya. Banyak pengkaji melihat bahwa ketidakkonsistenan al-Ghazali justru merupakan petunjuk kehebatan intelektualnya yang selalu mencari dan terus-menerus ingin tahu itu. Salah satu ketidakkonsistenan al-Ghazali ialah terhadap ilmu kalam. Mungkin karena menganut mazhab Syafi’i, al-Ghazali, dalam bukunya, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām (Menghalangi Orang Awam dari Ilmu Kalam), tampak menentang ilmu kalam. Tetapi bukunya yang lain, al-Iqtishād fī al-I‘tiqād (Moderasi dalam Akidah), al-Ghazali memberi tempat kepada ilmu kalam al-Asy’ari. Dan dalam karya utamanya yang cemerlang, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), al-Ghazali dengan cerdas menyuguhkan semacam sinkretisme kreatif dalam Islam, sambil tetap berpegang pada ilmu kalam al-Asy’ari. Mungkin hal itu tidak perlu mengherankan. Sebab, al-Ghazali yang dilahirkan di Kota Tus itu, pada usia mudanya, dikenal sebagai murid utama al-Juwaini yang juga dikenal sebagai Imam alHarmain, 1028-1085 M), salah seorang terbesar dari kalangan para Mutakallimun Asy’ari. Al-Ghazali kemudian aktif mengembangkan Asy’arisme ketika selama delapan tahun (1077-1085) menjabat sebagai guru besar pada Universitas al-Nizhamiyah, Baghdad. Jabatan al-Ghazali sebenarnya ialah guru besar ilmu fiqih mazhab Syafi’i, sedang Universitas al-Nizhamiyah mengikuti mazhab pendiri dari D5E


F NURCHOLISH MADJID G

sponsornya, Nizam al-Mulk, dan menjadi partisan mazhab Syafi’i. Di samping menganut mazhab Syafi’i di bidang fiqih, Nizam al-Mulk juga menganut, malah mengagumi ilmu kalam al-Asy’ari. Ada yang mengatakan bahwa hal ini terjadi mungkin karena Abu al-Hasan alAsy’ari sendiri adalah seorang penganut mazhab Syafi’i yang baik.9 Juga, dengan melihat tema utama pikiran al-Ghazali, yang merupakan sinkretisme kreatif — barangkali bisa dibenarkan mengapa ia menganut ilmu kalam al-Asy’ari. Sebagaimana dimaksudkan oleh pendirinya, Asy’arisme bertujuan mengambil jalan tengah di antara paham Jabariah dan Qadariah, serta di antara ketegaran kaum Hanbali dan kebebasan berpikir para filosof. Menurut Fazlur Rahman, penyelesaian teologis yang diajarkan oleh al-Asy’ari (dan al-Maturidi) — lepas dari berbagai nuktah pada sistem mereka yang menjadi sasaran kritik kaum Hanbali, seperti Ibn Taimiyah — benar-benar merupakan “definisi menyeluruh tentang Islam, yang membungkam paham Khawarij dan Mu’tazilah, dan menyelamatkan umat dari bunuh diri”. Yang dimaksud bunuh diri ialah tak berdayanya Islam untuk bertahan karena ketidakmampuan intelektual para pemimpin Islam dalam menghadapi dan menjawab tantangan gelombang Hellenisme yang melanda Islam saat itu. Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa Asy’arisme merupakan titik puncak gerakan hadis yang telah berlangsung beberapa dasawarsa, dan berhasil menciptakan “rasa keseimbangan yang barangkali unik dalam sejarah umat manusia, dilihat dari segi dimensinya yang raksasa itu”.10

Jasa Al-Ghazali Telah disebutkan bahwa, seperti al-Asy’ari, al-Ghazali adalah seorang “moderator”. Sebagaimana disinggung sebelumnya, al-Ghazali 9

George Maksidi, “Ash’ari and the Ash’rites in Islamic Religious History”, 2 bagian, bag. 1, Studia Islamica (Paris) 17 (1962), h. 39. 10 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), h. 61 dan 141. D6E


F AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM G

berpendapat bahwa kebenaran “terletak di antara literalisme kaum Hanbali dan liberalisme kaum filosof ”. Ia tetap menerima metode penafsiran metaforis (ta’wīl) dalam memahami nash-nash suci (alQur’an dan hadis), seperti dianut para filosof, tapi ia menegaskan bahwa kebenaran tidaklah semata-mata dipahami berdasarkan kewenangan tradisional (al-sam‘), melainkan juga berdasarkan cahaya (al-nūr) yang dipancarkan Tuhan di dalam hati, dan hal ini seharusnya menjadi penimbang untuk menerima atau menolak tradisi.11 Karena itu, menurut Ibn Taimiyah, letak kedudukan intelektual al-Ghazali ialah di antara kedudukan ulama dan filosof. “Para ulama mengecamnya karena ia memiliki kecenderungan kepada filsafat, dan para filosof mengkritiknya karena masih adanya sisasisa keislaman dalam dirinya, dan karena ia sama sekali tidak mau melepaskan keislaman dan hanya menerima filsafat.” Ibn Taimiyah juga menyatakan persetujuannya kepada Ibn Rusyd yang menilai al-Ghazali sebagai “Orang dua muka”.12 Salah satu “kedua-mukaan” al-Ghazali tercermin dalam sikapnya terhadap filsafat Yunani. Di satu pihak, ia dikenal sebagai penulis buku polemis, Tahāfut al-Falāsifah, yang ia maksudkan untuk mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrindoktrin mereka. Tapi ia juga menulis buku-buku dalam ilmu logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhī, juga dinamakan al-qiyās al-manthiqī [silogisme]). Dalam bukunya, Mi’yār al-‘Ilm (Metrik Ilmu Pengetahuan), ia membela ilmu warisan Aristoteles dan menerangkan berbagai segi kegunaannya. Dengan demikian, pada hakikatnya, ia adalah juga seorang pengikut filsafat, malah 11

Ibn Taimiyah, Ma‘ārij al-Wushūl ilā Ma’rifat anna Ushūl al-Dīn wa Furū‘ahū qad Bayyanahā al-Rasūl, diterbitkan dalam Majmū‘āt al-Rasā’il alKubrā (Cairo: Mathba’ah al-Amiriyyah al-Kubra, 1323 H), h. 181. (Makalah itu telah diterjemahkan penulis sebagai “Tangga Pencapaian” dalam Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang, 1984]), h. 238-296. 12 Ibn Taimiyah, al-Nubūwāt (Cairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1368 H/1966 M), h. 77. Lihat juga Minhāj, jilid 1, h. 99. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

filsafat Aristoteles, di samping Neoplatonisme yang tampak dalam buku-bukunya yang lain. Dan dalam bukunya, al-Mustashfā serta al-Qisthās al-Mustaqīm, Al-Ghazali, kata Ibn Taimiyah, mencampuradukkan agama dan filsafat kafir, sehingga buku-buku itu amat berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslim, karena bisa menyesatkan.13 Namun, lepas dari itu semua, al-Ghazali sedemikian berjasa kepada Islam dan umat Islam, karena ia berhasil menciptakan keseimbangan keagamaan pada kaum Muslim, yang tiada taranya dalam sejarah umat manusia. Dan meskipun ia dituduh sebagai anti-intelektual, al-Ghazali, seperti tercermin pada sikapnya yang membela logika, sesungguhnya seorang intelektualis besar. Intelektualismenya juga tercermin dalam berbagai argumentasi kalām-nya. Seperti yang dilakukan para Mutakallim lain, al-Ghazali juga menggunakan argumen-argumen Neoplatonis yang bersumber terutama pada doktrin-doktrin Plotinus (dikenal sebagai al-Syaykh al-Yūnān), John Philoponus (dikenal sebagai Yahya al-Nahwi) dan Iskandar Afrodisias. Argumen-argumen kalam yang digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan keterciptaan alam, berpusar di sekitar konsep-konsep nihāyah (keberhinggaan), tarkīb (ketersusunan), a‘rādl (aksiden), tawallud (generasi, pelahiran wujud-wujud baru), harakah ajrām al-samā’ (gerak benda-benda langit), qiyās (pembandingan, analogi), takhshīsh (pengkhususan atau penentuan), dan tarjīh (preferensi, pengunggulan).14 Argumen-argumen kalam tradisional digunakan dengan baik sekali oleh al-Ghazali: Sekitar seperempat dari bukunya, Tahāfut, dipenuhi argumen kalam, seraya menumbangkan argumen-argumen filsafat. Tetapi, al-Ghazali tidak membatasi diri 13

Ibn Taimiyah, Kitāb al-Radd ‘alā al-Manthīqīyīn, diedit dengan pengantar oleh Syed Sulaiman Nadvi (Bombay: Sharaf al-Din al-Kutubi wa Awladuh, 1368 H/1949 M), h. 14-15. Lihat juga al-Suyuthi, op. cit., h. 13. 14 Wolfson, “Kalam Arguments for Creation in Saadia, Averooes, Maimonides, and St Thomas” dalam American Academy of Jewish Research (Saadia, Anniversary volume, 1943), h. 199. D8E


F AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM G

dengan hanya argumen-argumen konvensional itu. Ia, misalnya, juga menggunakan argumen teologis: argumen kekuasaan yang mengabsahkan diri-sendiri (self-authenticating authority), dan argumen yang berdasarkan sifat temporal alam. Ia juga menggunakan argumen kebergantungan (imkān, contingency), meskipun ia kemudian melihatnya sebagai kontraproduktif. Semua argumen itu bertujuan membuktikan bahwa: (1) para filosof gagal mendemonstrasikan ketidakmungkinan penciptaan wujud temporal dari suatu wujud abadi, dan (2) bahwa permulaan alam ini bisa didemonstrasikan (secara rasional).15 Argumen al-Ghazali sangat efektif untuk membantah doktrin para filosof peripatetis (al-falāsifah al-masysya’un), seperti Ibn Sina, yang mendukung kosmologi kelanggengan alam Aristoteles. Tetapi yang lebih menarik ialah dukungan pemikiran kontemporer kepada argumen-argumen kalam seperti yang dibentangkan dan digunakan oleh al-Ghazali. Meskipun tidak sampai terjadi dukungan ilmiah terhadap kemungkinan Tuhan memberi wahyu kepada seseorang, seperti dianut oleh Yahudi dan Islam, atau mewahyukan (inkarnasi), seperti yang ada pada ajaran Kristen, argumen kalam menurut metode al-Ghazali itu, sejauh ini, adalah yang terbaik untuk membuktikan adanya Pencipta, keterciptaan alam, dan tidak abadinya alam. Seandainya masih hidup, tentu al-Ghazali dan para pendukungnya akan bersorak-sorai menyaksikan bagaimana ilmu pengetahuan modern menyajikan banyak bahan yang menopang argumen-argumennya. Konsep “ledakan besar” (big bang) sebagai teori permulaan terwujudnya alam — seperti dirintis oleh Chandra Sekar, pemenang hadiah Nobel — membuktikan bahwa alam, berbeda dengan klaim Aristoteles, Ibn Sina, dan lain-lain, dari kalangan filosof masysya’un, secara definitif terbuktikan mempunyai permulaan, dan terwujud dari ketiadaan (min al-‘adam, min lā syay’; 15

Untuk pembahasan singkat, namun memadai tentang argumen-argumen kalam al-Ghazali, lihat William Lanc Craig, The Kalam Cosmological Argument (New York: Barnes & Noble, 1979), h. 42-49. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

ex nihilo). Sungguh, menurut ungkapan seseorang, “there is no such thing as free lunch in the world,” tapi “the world it self is a free lunch” karena ia tercipta dari tiada; dengan kata lain, secara gratis. Dan argumen kosmologis kalam tentang adanya Tuhan, yang bertitiktolak dari asumsi dasar bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, didukung oleh perkembangan terakhir ilmu alam, yaitu ilmu alam kuantum (quantum physics).16 Dan al-Ghazali seperti itu, menurut Ibn Khaldun, adalah yang pertama dari kalangan pemikir Muslim yang menggunakan “metode baru” (tharīqat al-khalāf, di samping “metode klasik” (tharīqat al-salaf).”17 [ ]

16

Paul Davies, God and the New Physics (New York: Simon and Schuster, 1983), h. 216. 17 Dikutip oleh Montgomery Watt, The Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: The University Press, 1979), h. 117-118. D 10 E


F EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN G

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN Oleh Nurcholish Madjid

Seorang Muslim di mana saja mengatakan bahwa agama sering mendapatkan dukungan yang paling lengkap dan sempurna. Iman ini sering mendapatkan dukungan dari hasil pengamatan pihak yang lebih netral. Sosiolog E. Gellner, misalnya, mengatakan bahwa Islam lebih menyerupai suatu cetak biru sosial (dari Tuhan) daripada lainnya. Sifatnya yang menyeluruh sebagai gerakan sosial, secara amat penting membedakan Islam dari agama-agama lain. Karena itu, kata Gellner, adalah sangat menarik memperhatikan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan cetak biru itu, untuk menguji teori-teori tentang hubungan antara kepercayaan dan kenyataan sosial.

Cetak Biru Sosial Sebagai cetak biru sosial, apakah Islam berhasil? Seorang yang beriman pasti menjawab dengan positif. Bukti keberhasilannya ialah sejarah Nabi Muhammad sendiri dan para khalifah sesudahnya. Sebagai pembangun agama, Nabi Muhammad adalah yang paling sukses dibandingkan dengan pembangun agama lain mana pun. Cerita sukses Rasulullah dan para khalifahnya itu meninggalkan bekas yang mendalam dalam cara berpikir kaum Muslim. Para ďŹ losof Islam, seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Rusyd menetapkan D1E


F NURCHOLISH MADJID G

doktrin bahwa ajaran yang benar harus sukses dalam pelaksanaannya. Sebab dalam berfilsafat, mereka selalu membayangkan ketokohan Nabi Muhammad sebagai lambang kesuksesan dan contoh ideal atau uswah. Menurut Prof. Fazlur Rahman, tekanan kepada faktor sukses itu merupakan ciri utama filsafat Islam, dan membedakannya dari filsafat Yunani yang berkembang saat itu. Tapi, berpegang pada doktrin sukses mungkin lebih mudah bagi kaum Muslim abad-abad pertama itu daripada abad-abad terakhir ini. Jika masa permulaan itu Islam ditandai oleh kemenangan, saat terakhir ini justru menunjukkan gejala sebaliknya: bangsa-bangsa Muslim dikalahkan dan dijajah oleh bangsa-bangsa non-Muslim. Maka timbul pertanyaan yang sangat mengusik hati: mengapa Tuhan membiarkan para pendukung cetak-biru-Nya kalah? Atau, apakah cetak-biru itu sendiri sudah kehabisan masa berlakunya? Pertanyaan itu secara pasti dijawab umat Islam dengan negatif. Tuhan tidak membiarkan rencana-Nya terbengkalai. Dan, rencana itu tetap mempunyai validitas. Tidak ada sesuatu yang salah pada Tuhan dan agama-Nya. Yang salah ialah umat Islam, yaitu komunitas orang yang mengaku memeluk agama itu. Dan lagi, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri,” (Q 13:11). Berdasarkan itu, maka dapat disimpulkan bahwa umat Islam telah mengalami perubahan dan penyimpangan dari jalan yang benar. Karena komunitas yang disebut umat Islam itu terbentuk oleh adanya konfigurasi kultural dan pranata sosial yang tumbuh bersama tradisi, dan karena berbagai unsur tradisi itu terbentuk oleh berbagai penafsiran dan pemahaman orang-orang Islam sendiri tentang agamanya, yang diperlukan ialah mengkaji dan menilai kembali penafsiran dan pemahaman masyarakat itu. Inilah yang dilakukan oleh mereka yang disebut para pembaru (mujaddid). Paling terkenal di antaranya ialah Ibn Taimiyah (wafat 728 H/1328 M) dari Suriah, yang kemudian berpengaruh kepada dan diteruskan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (wafat 1206 H/1791 M) dari Jazirah Arab. Mereka ini mewakili gerakan pembaru yang D2E


F EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN G

lahir dari dalam dinamika masyarakat Islam sendiri, tanpa sesuatu rangsangan dari luar. Tapi gagasan mereka juga berpengaruh besar kepada para pembaru lainnya yang bergerak, sebagian, karena dirangsang oleh adanya kontak Islam dengan Barat dalam satu dan lain bentuk. Termasuk para pembaru kelompok kedua ini ialah Jamaluddin alAfghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Sayid Ahmad Khan, Zia Gokalp, Agus Salim, dan lain-lain. Pikiran merekalah yang sebegitu jauh banyak mengembangkan masyarakat Islam, di zaman modern, dari Maroko sampai Indonesia.

Gejala Spektakuler Kebangkitan-Kembali Islam Kemudian, pada pengujung abad keempat belas Hijriah, seperti kita ketahui, muncul berbagai gejala spektakuler kebangkitan kembali Islam, dengan Revolusi Iran sebagai puncaknya. Banyak ahli mencoba menerangkan hakikat Revolusi Iran itu, tetapi agaknya banyak pula yang tidak dapat menerangkannya sama sekali, dan menolak berbagai keterangan yang ada. Salah satu yang menarik tentang revolusi itu ialah bahwa ia didukung dan dipelopori oleh para mahasiswa dan kaum intelektual modern. Peranan Khomeini memang sangat penting. Tapi dari satu pandangan teori sosial, ia sebenarnya tidak lebih daripada tokoh simbol dan penyederhana persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Tokoh serupa itu, menurut Karl Deutsch, memang selalu diperlukan, dan muncul dalam situasi kritis dan perubahan sosial yang besar. Maka, yang sesungguhnya teramat penting dalam gejala lain modern ialah berkembangnya pengaruh kaum intelektual Muslim hasil pendidikan Barat modern, khususnya dalam dasawarsa terakhir ini. Seperti tercermin dalam dukungan kaum intelektual Iran kepada revolusinya, perkembangan kaum intelektual Muslim itu tidak hanya terbentuk di dalam negeri-negeri Muslim sendiri, tapi juga di luarnya, khususnya Eropa dan Amerika. Pendidikan dan ilmu D3E


F NURCHOLISH MADJID G

pengetahuan modern menjadi bahan bagi adanya keyakinan baru pada kaum Muslim, dan meneguhkan kesadaran identitas mereka. Maka sering kali timbul fenomena bahwa kelompok intelektual Muslim itu membentuk gerakan-gerakan militan. Kalangan non-Muslim senantiasa mempunyai kesan bahwa umat Islam cenderung untuk militan dan fanatik. Banyak keterangan diberikan untuk gejala ini. Antara lain dikatakan bahwa hal itu terjadi karena orang-orang Muslim umumnya mempunyai perasaan lebih terhadap umat lain. Ini pun bukannya tanpa alasan. Islam termasuk satu rumpun dengan Yahudi dan Kristen. Tetapi, menurut Max Weber, monoteisme yang keras merupakan sifat utama Yahudi dan Islam. Sedangkan dalam Kristen terdapat doktrin-doktrin yang menghalanginya dari monoteisme yang murni (strict). Kristen dan Islam memiliki segi persamaan dalam hal universalismenya, sedangkan Yahudi adalah agama yang nasionalistis. Maka, Islam adalah agama yang memiliki monoteisme murni dan universalisme sekaligus. Kedua prinsip itu merupakan sumber energi Islam yang sangat kuat. Satu lagi sumber kekuatan Islam adalah keyakinan tak tergoyahkan kaum Muslim tentang keotentikan Kitab Suci mereka. Seorang orientalis mengatakan bahwa sebagai agama termuda, Islam “beruntung� muncul ketika peradaban tulis-menulis telah mencapai tingkat yang mantap, dan ketika perkembangan bahasa Arab mencapai taraf yang sangat tinggi. Kesemuanya itu memungkinkan pendokumentasian al-Qur’an secara rapi dan otentik sejak masa hidup Rasulullah. Dengan latar belakang itu semua, Islam berkembang terus dengan penuh vitalitas. Dan saat ini, perkembangan itu tampak sedang mencapai titik yang tak lagi bisa dikembalikan.

Kecanggihan Berpikir Sudah tentu, ini adalah sesuatu yang sangat memberikan harapan kepada dunia Islam. Walaupun begitu, masih saja terdapat celah D4E


F EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN G

untuk mempertanyakan keabsahan dan ketepatan berbagai segi pelaksanaan konkret yang dipilih oleh para pendukung politiknya. Misalnya, tampak bahwa kebanyakan mereka itu belum mampu memandang ke seberang hal-hal yang sesungguhnya kurang strategis dan bukan esensi utama Islam — seperti hukum-hukum potong tangan, rajam dan cambuk, persoalan-persoalan bunga bank, cadar dan pakaian wanita, serta lagu-lagu dan musik Barat. Tampak pula, kebanyakan mereka masih juga mengalami kesulitan menangkap dan meresapi prinsip-prinsip Islam yang lebih utama, khususnya keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan. Padahal, prinsip-prinsip itu berulang kali diungkapkan dalam al-Qur’an dengan bahasa yang keras dan tegas, khususnya dalam surat-surat pendek terakhir (Juz ‘Amma), tapi juga dalam banyak surat lainnya. Agaknya masih diperlukan tingkat kecanggihan berpikir yang lebih tinggi lagi untuk dapat menangkap prinsipprinsip itu dan merumuskan kembali kerangka intelektualnya secara up to date. Kemampuan kaum Muslim dalam hal tersebut akan merupakan sumbangan amat berharga kepada dunia dan umat manusia saat ini. Sebab, seperti dinyatakan oleh banyak pemikir, umat manusia sekarang sedang menghadapi krisis yang bisa sangat dahsyat dampaknya terhadap peradaban. Sebagai cetak biru sosial pemberian Tuhan, Islam pasti mempunyai jawaban, dan mampu memberi penyelesaian atas persoalan umat manusia sejagat ini. Tetapi, bukankah wahana dan perwujudan nyata Islam itu di muka bumi ini ialah umat Islam itu sendiri? Hal ini berarti bahwa pernyataan tentang kemampuan menjawab tantangan zaman itu tidak seharusnya ditujukan kepada Islam qua Islam, tetapi kepada umat Islam, yaitu manusia-nyata para pemeluk agama Allah itu. Untuk memperoleh penyelesaian atas persoalan itu semua, di hadapan kaum Muslim tersedia lembaran-lembaran mushaf. Tetapi, agar dapat menggali khazanah yang terkandung dalam Kitab Suci itu, orang-orang Muslim tampaknya masih memerlukan peralatan yang agaknya sampai saat ini masih belum sepenuhnya dimiliki, yaitu ilmu pengetahuan. Setelah iman, ilmu D5E


F NURCHOLISH MADJID G

pengetahuan adalah kunci pokok bagi kesuksesan dan kejayaan. “Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang berilmu pengetahuan ke tingkat yang setinggi-tingginya,” (Q 48:11). Dan berkenaan dengan doktrin sukses dalam filsafat Islam tersebut, baik sekali direnungkan kembali sebuah tamsil dalam al-Qur’an: “Adapun buih, maka akan sirna tanpa arti; dan adapun yang bermanfaat untuk manusia, maka akan tetap berada di bumi,” (Q 13:17). Dalam konteks firman Ilahi itu, buih adalah tamsil kepalsuan yang pasti gagal (zahūq), dan hanya kebenaran yang akan bermanfaat untuk manusia, dan pasti sukses (zhāhir). [ ]

D6E


F USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM G

USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

Dalam permulaan abad Hijriah — yang telah dicanangkan sebagai abad kebangkitan kembali Islam — intelektualisme akan merupakan salah satu persoalan sentral kaum Muslim. Gejala yang sering disebut sebagai petunjuk adanya kebangkitan kembali Islam ialah antusiasme orang-orang muda kepada agama, khususnya di Indonesia, dan juga di seluruh dunia. Sesungguhnya, antusiasme kepada agama itu tidak hanya dialami oleh orang-orang muda Islam, tetapi juga oleh mereka dari agama-agama lain, khususnya Budhisme, Hinduisme, dan Kristen. Untuk yang akhir ini, kita ingat gerakan di Amerika yang menamakan diri Moral Majority, pimpinan Pendeta Falwell, yang tidak saja menegaskan keyakinan kekristenan (Protestan) mereka, tapi juga menampilkan penegasan itu dalam sikap-sikap yang mengancam golongan-golongan lain, khususnya kaum minoritas, seperti Yahudi spiritualisme yang lebih bersifat mistis, jika tidak disebut religius, yang menggejala secara spektakuler, namun berwatak sentrifugal, yaitu perkembangan pesat kultus-kultus dalam berbagai macam dan bentuk. Agama-agama “pinggiran” (fringe religion, menurut istilah Paul Davies) ini kedengaran lebih sesuai untuk zaman Perang Bintang dan teknologi microchips dalam pesawat-pesawat komputer. Kultus-kultus itu banyak mengklaim keilmiahan yang dangkal, seperti bentuk-bentuk kultus yang diasosiasikan dengan UFO (Unidentified Flying Objects; Benda-Benda Terbang Tak Dikenal); D1E


F NURCHOLISH MADJID G

ESP (Extra-Sensory Perceptions; Persepsi Ekstra-Indra), spirit contacts, scientology, transcendental meditation, dan lain-lain kepercayaan berdasarkan teknologi. Ini semua menunjukkan berkepanjangannya daya persuasi kepercayaan dan dogma dalam masyarakat yang secara dangkal bersifat rasional dan ilmiah. Sebab, meskipun kultuskultus eksentrik itu bernada ilmiah, sebenarnya sama sekali tidak rasional — malah suatu bentuk pemujaan kepada kejahilan (cults of unreason, menurut istilah Christopher Evans). Orang berpaling kepada kultus-kultus semacam itu, bukan untuk mendapatkan kebenderangan intelektual, tapi semata-mata karena mengharap kenyamanan ruhani dalam suatu dunia yang keras dan tak menentu ini. Dengan kata lain, keanggotaan dalam kultus yang melanda dunia saat ini adalah salah satu bentuk pelarian diri (eskapisme) dan ketidakberdayaan menghadapi tantangan hidup nyata. Karena hakikatnya yang palsu itu, gejala-gejala keagamaan lahiriah dan menyempal tersebut tidak benar untuk dijadikan petunjuk akan adanya kebangkitan keagamaan menjelang milenium ketiga Masehi ini. Kebangkitan keagamaan itu ada, tapi petunjuk atau indikasi harus dicari di balik gejala-gejala lain, dan ini akan kita coba bicarakan.

Klaim Keilmiahan atas Agama Baik ilmu pengetahuan maupun agama mempunyai dua wajah: sosial dan intelektual. Ilmu pengetahuan telah berinteraksi dengan agama, sebagaimana ia telah menyerbu setiap segi kehidupan kita. Meskipun kultus-kultus populer tersebut berujung kepada kebodohan yang telanjang, sebagaimana dikatakan tadi, pada mulanya semua itu mengklaim keilmiahan. Jadi, berdasarkan tinjauan itu, dengan perkataan lain: ilmu pengetahuan telah mempengaruhi kehidupan keagamaan, tapi tidak pada tingkat intelektualnya, tetapi hanya pada taraf berbagai klaim keilmiahan yang masih harus dibuktikan validitasnya. D2E


F USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM G

Praktik-praktik keagamaan, atau spiritual, digunakan orang dan diyakini kebenarannya, bukan karena memang benar menurut landasan pengujian yang universal, tapi karena suatu bentuk kultus tampak seperti menjawab (sementara) pencarian orang akan makna hidup. Dalam keadaan seseorang terdesak oleh pengalaman riilnya sendiri untuk memiliki suatu pegangan, maka ajaran apa pun jadilah, asal menimbulkan kepuasan, karena klaimnya akan kemutlakan. Tapi, kepuasan itu bisa sangat pendek umurnya, yaitu jika ternyata dasar kepercayaan itu palsu, dan akan memukul balik secara dahsyat. Karena dorongan kebutuhan ruhani yang mendesak itu, kebanyakan orang masih mendapati doktrin-doktrin keagamaan lebih bisa meyakinkan dirinya ketimbang argumen-argumen ilmiah. “Tapi, tidak ada agama yang bisa diharapkan akan bertahan lama jika berdasarkan kepercayaan kepada asumsi-asumsi yang secara ilmiah jelas salah.�1 Kebangkrutan ilmiah suatu sistem kepercayaan itulah yang akan menjadi sumber pemukulan balik keruhanian kepada para pemeluknya. Maka dari itu, tidak bisa dihindari adanya keperluan akan kegiatan telaah intelektual atas noktah-noktah ajaran keagamaan. Tapi, hal ini bukanlah hujjah untuk superioritas intelek, atau rasio, dalam menghadapi wahyu. Wahyu, yang sikap menerima kebenarannya disebut oleh Marshall Hodgson sebagai creative action itu,2 berada pada dataran persepsi yang lebih tinggi daripada rasio, sebagaimana persepsi rasional adalah lebih tinggi daripada persepsi inderawi. Tetapi, sebagaimana persepsi rasional yang baik memerlukan, atau dipermudah oleh adanya persepsi inderawi yang baik, maka demikian pula persepsi keagamaan (kewahyuan, revelational) akan didukung dan dipermudah oleh adanya persepsi rasional yang baik. Dengan kata lain, keimanan didukung oleh 1

Paul Davies, God and the New Physics (New York: Simon and Schuster, 1983), h. 3. 2 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid 1, h. 80. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

intelektualisme, iman menjadi kukuh karena ilmu atau akal. Jika kita perhatikan dorongan langsung atau tidak langsung dalam alQur’an kepada manusia untuk menggunakan persepsi rasional yang baik itu, ia akan sampai kepada persepsi religius yang baik pula. Lepas dari keotentikan sumber pengucapannya, ungkapan bahwa agama adalah akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal mengandung makna kebenaran yang asasi. Jadi, tanpa berarti mendukung paham rasionalisme, agama menghendaki suatu bentuk intelektualisme. Etos keilmuan adalah suatu bagian integral keagamaan yang sehat. Etos itu muncul karena adanya kemampuan pada diri sendiri dan pada sistem keyakinan yang menjadi anutannya, dan ini melahirkan sikap tidak khawatir dan tidak cemas untuk menghadapkan keyakinan itu kepada pengujian ilmiah. Inilah pula yang menjadi wawasan dasar Muhammad Abduh, dan yang melandasi gerakan reformasinya, pada pengujung abad ini di Mesir, ketika ia menganjurkan kepada mahasiswa al-Azhar untuk belajar filsafat dan mengukuti jejak Ibn Khaldun dalam kajian-kajian yang lebih empiris. Yang tersirat dalam intelektualisme itu ialah jiwa yang kritis. Justru jiwa yang kritis itu, secara harfiah, penumbuhannya di kalangan kaum beriman didorong, seperti yang menjadi maksud firman Allah dalam al-Qur’an, “Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak ada padamu pengetahuan mengenainya. Sebab, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani semuanya, akan dimintai tanggung jawab tentang perkara itu,” (Q 17:36). Semua orang mengetahui dan sepakat bahwa jiwa kritis ini merupakan pangkal intelektualisme dan paham keilmuan (scientism), dan menjadi unsur konstitutif peradaban Islam selama berabad-abad zaman kejayaan pada masa lalu yang tidak terlalu jauh. Ajaran dalam Kitab Suci tadi menegaskan bahwa seluruh anggota tubuh kita, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, yaitu akal budi (fu’ād), akan dimintai pertanggungjawabannya atas pilihan-pilihan yang dilakukannya. Ajaran itu jelas sekali menuntut kita untuk mengadakan kajian dan kajian kembali nilaiD4E


F USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM G

nilai dan norma-norma yang kita anut agar dengan begitu kita bisa menganutnya lagi dengan penuh tanggung jawab di hadapan Pengadilan Tuhan kelak, dan di hadapan pengadilan sejarah dalam kehidupan sekarang.

Semangat Keterbukaan dan Kedinamisan Islam Dari tema reformasi Jamaluddin al-Afghani3 dan Muhammad Abduh sampai intelektualisme Pak Rasjidi, demikian pula, berbagai kegiatan intelektual klasik, dari al-Kindi yang memelopori kajian filsafat, Ibn Hasyim yang ikut merintis pembahasan rasional atas sendi-sendi kepercayaan (‘aqīdah), al-Syafi’i yang membangun kaidah-kaidah yurisprudensi (‘ilm ushūl al-fiqh) dan seterusnya, kita melihat benang merah yang direntang secara konsisten, yaitu pengejawantahan, atau semacam itu, dari firman Tuhan: “... Maka sampaikanlah kabargembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang suka mendengarkan perkataan (aqwāl), kemudian 3

Jamaluddin al-Afghani, sebagaimana kelak diikuti jejaknya oleh Muhammad Abduh, berjasa membangkitkan kembali etos intelektualisme di kalangan umat Islam zaman mutakhir. Berbeda dengan tema-tema reformasi Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab di Jazirah Arabia sebelumnya, tematema reformasi al-Afghani—Abduh adalah lebih “liberal” dan intelektualistis, apresiasi yang positif kepada fisafat. Al-Afghani mengatakan, “Bangsa Arab bangkit memimpin dunia, dan dari kekuasaannya menjalankan politik keadilan dan kejujuran. Setelah sebelumnya akal pikiran orang-orang Arab itu tidak mengenal ketentuan-ketentuan peradaban dan tuntutan-tuntutannya, syariat dan ajaran agama mendorongnya untuk mencari berbagai jenis ilmu pengetahuan dan mendalaminya. Maka mereka pindahkanlah ke negeri-negeri Ptolomeus, filsafat Plato dan Aristoteles. Padahal sebelum agama Islam itu, tak sedikit pun dari mereka, orang-orang Arab tadi mempunyai ilmu pengetahuan.” (Al-Afghani, “Madi al-Ummah wa Hadiriha wa’llaj Illaliha” dalam Trevor J. Le Gassik, ed., Major Themes in Modern Arabic Thought: An Anthology (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1979), h. 58 (teks Arab dengan anotasi), lihat terjemahan kami dalam Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 360. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk Tuhan, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi,” (Q 39:17-18).

Dengan mengutip al-Razi dan al-Thabari, Muhammad Asad menafsirkan bahwa firman itu memberikan gambaran tentang mereka yang bersedia menguji setiap preposisi keagamaan (dalam arti seluas-luasnya) di bawah sorotan akalnya sendiri, kemudian mengambil apa saja dari preposisi itu yang dapat diterima oleh akal, dan membuang yang tidak tahan terhadap ujian akal. Asad mengutip al-Razi dengan mengatakan bahwa ayat itu merupakan komplemen untuk mereka yang menggunakan argumentasi rasional (hujjat al-‘aql), melakukan pembahasan kritis (nazhar), dan membuat penyimpulan logis (istidlāl). Ini, tentu saja merupakan suatu penafsiran yang rasionalistis, sesuai dengan reputasi alRazi. Sedangkan Muhammad Ali al-Shabuni, dalam bukunya Shafwat al-Tafāsīr (“Inti Kitab-Kitab Tafsir”), menerangkan bahwa ayat itu dimaksudkan sebagai pujian kepada mereka yang suka mendengarkan hadis (penuturan atau uraian) dan kalam (pembahasan rasional) mengenai berbagai ide atau pandangan, kemudian mengikuti mana saja yang paling baik. Al-Shabuni mengutip Ibn Abbas yang mengatakan bahwa orang yang bertindak demikian itu mampu mengenali mana yang baik dan mana yang buruk, atau, dengan kata lain, berjiwa kritis.4 Apa pun tafsiran para ahli terhadap firman itu, jelas bahwa semangatnya bersesuaian dengan apa yang telah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu sikap kaum Muslim yang terbuka dan inklusivistis, serta kesediaan mereka untuk belajar dari siapa saja dan dari mana saja. Peradaban Islamlah yang pertama kali menginternasionalisasikan ilmu pengetahuan, tidak saja dalam arti menjadikan ilmu itu milik 4

Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), h. 707, catatan kaki 22. Cf. Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat alTafāsīr, 3 jilid (Beirut: Dar at-Qur’an al-Karim, 1981), jilid 3, h. 74. D6E


F USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM G

semua bangsa — sebelum Islam, ilmu berwatak amat nasionalistis, jadi ada ilmu Yunani, ilmu Mesir, ilmu Persia, ilmu India, ilmu Cina, dan seterusnya — tetapi juga karena ramuan ilmu Islam itu ditimba kaum Muslim dari setiap sumber yang ada di seluruh permukaan bumi. Nabi sendiri bersabda, hendaknya kaum beriman menuntut ilmu, “meskipun ke negeri Cina.” Beliau juga memerintahkan umat Islam untuk memungut setiap hikmah (wisdom) yang mereka dapati, karena “hikmah adalah barang hilang orang-orang beriman.” Karena hal-hal itu, dan disebabkan oleh berbagai nuktah lain ajaran Islam, Emile Dermenghem memandang Islam sebagai “Humanisme dan Agama Terbuka”. Pemekaran peradaban Islam masa lalu dimungkinkan karena keterbukaan itu, sebab, kata Dermenghem, Islam memiliki kekuatan hidup pemikiran keagamaan yang menyediakan semangat terbuka dan dinamis. “Islam,” katanya lebih lanjut, “yang” telah menyumbang kehidupan spiritual umat manusia dan memperkaya kebudayaannya itu, menawarkan nilai-nilai abadi yang darinya semua orang dapat mengambil manfaat. Sebagai “golongan menengah” (ummat-an wasath-an, kata al-Qur’an), Islam memainkan peranan sebagai perantara antara Timur dan Barat ... ia memiliki apa yang diperlukannya untuk menjadi agama ‘terbuka’”.5 Bahwa dalam sejarah, Islam pernah menyuguhkan kepada kemanusiaan “nilai-nilai abadi yang darinya semua orang dapat mengambil manfaat” telah menjadi catatan sejarah para sarjana modern, khususnya ahli-ahli peradaban Yahudi. Sampai saat ini masih banyak kita dapati kajian tentang Islam yang membahas pengaruh unsur-unsur luar terhadap perkembangan intelektual agama itu. Tapi sesungguhnya, sebagaimana Islam dipengaruhi, ia juga amat banyak mempengaruhi umat-umat yang lain, khususnya Yahudi dan Kristen. Mengenai umat Yahudi, Abraham S. Halkin menyebut pengalaman bangsa Yahudi dalam Islam masa lalu telah menghasilkan adanya apa yang ia namakan sebagai “Fusi Besar”, 5

Emile Dermenghem, Muhammad and the Islamic Tradition (Woodstock, N.Y.: The Overlook Press, 1981), h. 87. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

dan telah “menciptakan tipe baru orang-orang Yahudi”. Mereka ini, dalam pangkuan Islam, telah menjadi warga suatu dunia besar, yaitu dunia Islam. Perbendaharaan kata akidah Islam menyusup ke dalam buku-buku keagamaan Yahudi, malah cukup aneh bahwa alQur’an pun sering menjadi nash dalil mereka, dan mereka mengutip ayat-ayat Kitab Suci Islam itu dalam banyak pembahasan mereka. Karya-karya tulisan orang-orang Yahudi penuh dengan ungkapanungkapan yang berasal dari karya-karya para ilmuwan, filosof, dan anti-kalam Islam. “Sungguh, sastra Arab, baik yang asli maupun yang diimpor dari luar, menjadi latar belakang umum dari apa saja yang ditulis oleh orang-orang Yahudi.”6 Sedemikian terbukanya sifat peradaban Islam waktu itu sehingga Max I. Dimont, seorang ahli sejarah kebudayaan Yahudi mengatakan bahwa dalam dunia Islam, orang-orang Yahudi bukannya menghadapi tantangan pemaksaan atau perkosaan hak-haknya — sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi dalam hubungan Islam-Yahudi masa lalu — tapi bagaimana meng-handle keterbukaan budaya yang mengagumkan itu. ... Masyarakat Islam membukakan pintu masjid-masjid, madrasahmadrasah, dan bahkan kamar-kamar tidurnya untuk konversi, edukasi, dan asimilasi. Tantangan yang dihadapi orang-orang Yahudi ialah bagaimana berenang dalam peradaban yang semerbak itu tanpa tenggelam ... dengan orang-orang Yahudi melakukan apa yang wajar saja. Mereka tinggalkan para ahli agama kuno mereka, dan mengganti mereka ini dengan ahli-ahli baru. Mereka bukannya menolak peradaban Islam tapi malah menerimanya. Mereka bukannya menyisihkan diri, tapi malah mengintegrasikan diri ... kaum Yahudi belum pernah mengalami hal sedemikian baiknya sebelum ini.7 6

Abraham S. Halkin, “The Judeo-Islamic Age”, dalam Leo W. Schwarz, ed., Great Ages and Ideas of the Jewish People (New York: The Modern Library, 1956), h. 219. 7 Max. I. Dimont, The Indestructible Jews (New York: New American Library, 1971) h. 190. D8E


F USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM G

Disebabkan oleh pengalaman permusuhan yang panjang antara Timur Tengah dan Eropa, orang-orang Barat sampai saatsaat terakhir ini, mengalami hambatan psikologis yang besar, untuk mengakui utang budi mereka kepada peradaban Islam. Tapi orang-orang Yahudi, justru dengan bangga, menyebutkan bahwa zaman keemasan peradaban dan intelektual mereka ialah pada zaman Islam. Dari merekalah, kita mengetahui sampai mana kontribusi Islam dalam peradaban dunia. Sementara orang-orang Eropa selalu menunjukkan sikap seolah-olah suatu peradaban tak mungkin terwujud di muka bumi ini tanpa harus berakar dalam peradaban Romawi-Yunani. Dimont juga mengatakan bahwa, dalam hal pengetahuan: .... bangsa Arab telah jauh meninggalkan bangsa Yunani. Peradaban Yunani, pada esensinya, adalah suatu kebun subur yang penuh dengan bunga-bunga, namun tanpa banyak memberi buah. Peradaban Yunani itu kaya dengan filsafat dan sastra, namun miskin dalam teknik dan teknologi. Karena itu, merupakan suatu usaha historis dari orang-orang Arab dan orang-orang Yahudi di dunia Islam untuk memecahkan culdesac keilmuan Yunani itu, dan menuntunnya menuju jalan baru ilmu pengetahuan — untuk menemukan konsep-konsep nol, simbol minus, angka irasional, dan untuk meletakkan dasar ilmu kimia baru — yaitu ide-ide yang meratakan jalan ke arah dunia ilmu pengetahuan modern melalui alam pikiran para intelektual Eropa sesudah masa Kebangkitan.8

Dalam bukunya yang lain, Dimont juga mengatakan, peradaban Islam bukanlah hasil rampasan dari peradaban bangsa-bangsa lain, atau didirikan di atas hasil pikiran dari luar. Peradaban itu tumbuh dari sumber mendalam kreativitas yang ada pada orang-orang Muslim itu sendiri. Selama sekurangnya tujuh abad, bangsa Arab, dengan dibantu orang-orang Yahudi yang menjadi “momongan� 8

Ibid., h. 184. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

mereka, memimpin peradaban dunia. (Karena itu, Dimont sangat menyesalkan adanya kerugian yang tak perlu akibat dipaksakannya Israel, dan mengharapkan lekas terjadinya kerja sama kultural dan intelektual kembali di bawah pimpinan Islam seperti masa lalu.)9 Ini semuanya dikemukakan untuk mendukung argumen utama tulisan ini, yaitu bahwa penumbahan intelektualisme dan pemekarannya telah menjadi bagian integral sejarah Islam, disebabkan jiwa terbuka dan penuh percaya diri sendiri kaum Muslim masa lalu. Dan “api” Islam itu, dalam awal abad yang telah dimaklumkan sebagai abad kebangkitan Islam ini, adalah salah satu yang mesti segera dihidupkan dan disulut kembali. Adakah harapan untuk itu? Pepatah Arab mengatakan, mā adlyaq al-‘aysy law lā wus‘at al-āmāl (alangkah sempitnya hidup kalau tidak karena lapangnya harapan). Agama Islam sendiri mengajarkan bahwa putus harapan hanyalah menjadi watak orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Dan alasan untuk adanya harapan bagi masa depan itu cukup banyak.

Kebangkitan Intelektualisme Islam di Indonesia Tanpa menghiraukan dongeng-dongeng palsu — seperti konon perintah Umar ibn al-Khaththab untuk membakar perpustakaan Iskandaria pada waktu pembebasannya oleh kaum Muslim — sambutan Islam kepada ilmu pengetahuan boleh dikatakan spontan begitu bersentuhan dengan berbagai pusat peradaban yang ada. Kaum Muslim, seperti dikatakan oleh G.M. Wickens, mengasimilasi ide apa saja dari luar untuk springboard bagi penciptaan peradaban baru.10 Tapi secara histotis, asimilasi dan penyerapan kekayaan budaya luar itu terjadi secara besar-besaran setelah lebih 9

Max I. Dimont, Jews, God and History (New York: New American Library, 1962). h. 205. 10 G.M. Wickens, “Khatimah” dalam R.M. Savory, ed., Introduction to Islamic Civilization (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), h. 190. D 10 E


F USAHA MEMBANGKITKAN ETOS INTELEKTUALISME ISLAM G

dahulu didahului oleh gerakan penerjemahan buku-buku dari luar, penerbitan, pengkajian, serta pengembangannya. Dengan kata lain, gerakan penerjemahan telah secara menentukan menstimulasi kebangkitan intelektual Islam. Tapi tampaknya, pengalaman Islam masa lalu tidaklah terlalu unik dalam sejarah umat manusia. Tadi telah disebutkan, Islam adalah yang pertama kali menampilkan peradaban dengan muatan intelektual yang berskala internasional. Karena itu, kebangkitan Islam bersifat internasional pula, dan menjadi kebaikan untuk semua manusia, sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa misi Nabi Muhammad, yaitu Islam, diperuntukkan bagi kebahagiaan semuanya. Setelah kebangkitan peradaban Islam klasik itu, kebangkitan berskala internasional berikutnya ialah yang dialami Eropa, yang secara khusus disebut Renaissans itu. Dan kebangkitan Eropa itu pun dimulai dengan gerakan penerjemahan, pengkajian, dan pengembangan karya-karya ilmiah dari luar, dalam hal ini dari dunia Islam. Terdapat berbagai bahan bacaan yang menjelaskan hubungan organis antara Renaissans dan peradaban Islam.11 Jika apa yang telah terjadi dalam sejarah itu bisa dijadikan petunjuk, cukup beralasan untuk berharap bahwa intelektualisme Islam di Indonesia ini — suatu gejala yang akan banyak mempengaruhi kehidupan bangsa secara amat menentukan — akan tumbuh subur, karena melihat perkembangan pesat gerakan penerjemahan dan penerbitan buku-buku dari luar. Harapan kita ialah penerjemahan dan penerbitan itu akan diikuti dengan kegiatan pengkajian dan pengembangannya secara kritis dan kreatif, seperti yang terjadi dalam sejarah Islam dan sejarah Eropa. [ ]

11

Salah satunya ialah John S. Badeau, et al, The Genius of Arab Civilization, Source of Renaissance (Cambridge: MIT Press 1983). D 11 E


F SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM G

SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh, sebagaimana diketahui, mempunyai dampak yang amat luas dan menentukan terhadap perjalanan mutakhir sejarah Islam. “Modernisasi” dan “modernisme” Abduh itu, termasuk modernisasi dan modernisme dalam bidang-khusus pendidikan, tidak dapat kita pahami lebih tepat, jika kita tidak mengetahui latar belakang umum keadaan umat Islam dan bangsa Arab saatsaat sampai akhir abad kesembilan belas. Kita dapat mengapresiasi mengapa reaksi terhadap usaha-usaha pembaruan Muhammad Abduh sedemikian keras, dan mengapa akhirnya pembaruannya itu sedemikian bermakna, jika semuanya itu kita proyeksikan kepada keterbelakangan yang mengungkungi umat Islam, khususnya bangsa Arab (tapi secara relatif bukan bangsa Turki dan Iran). Pada saat-saat menjelang Abduh melancarkan gerakannya. Karena itu, bagian cukup besar tulisan ini dipergunakan untuk membahas latar belakang itu, baik politik, intelektual, kultural, pendidikan, maupun ekonomi.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Keterbelakangan Dunia Arab Muslim Karena suatu sebab tertentu yang bisa dijelaskan hanya dengki keterangan panjang lebar, pada waktu Eropa Barat Laut sedang mengalami perubahan besar-besaran memasuki zaman modem, yakni perubahan pada abad kedelapan belas, bangsa-bangsa Arab lebih dari bangsa-bangsa lain Muslim seperti Turki dan Iran, telah mengalami kemerosotan kultural yang parah. Bahkan dalam hal pemerintahan pun, negeri-negeri Arab terkemuka, seperti Mesir dan Syiria, dapat disebut sebagai “jajahan” Turki (penggunaan sebutan “jajahan” sebagai bentuk hubungan politik antardua atau lebih bangsa Muslim adalah kurang lazim). Kemunduran bangsa-bangsa Arab itu dalam lingkungan dunia Islam sendiri, telah mulai amat terasa semenjak beberapa waktu sebelumnya, yaitu semasa kejayaan dinasti-dinasti Islam bukan Arab yang memelopori penggunaan mesiu (maka sering dinamakan “Kerajaan-Kerajaan Mesiu”, Gunpowder Kingdoms): Mogul di India, Safawi di Iran, dan Utsmani di Turki. Ketika kerajaan-kerajaan Islam bukan-Arab mencapai kejayaan mereka yang amat mengesankan (ingat Taj Mahal di India, Kota Isfahan di Iran, dan masjid-masjid di Istanbul), bangsa-bangsa Arab justru tidak menunjukkan kreativitas apa pun. Bahkan bahasa Arab pun — yang kedudukannya sebagai bahasa keilmuan tidak bisa digeser oleh bahasa Islam lain seperti Urdu, Persi, dan Turki. Namun, karena ketidakproduktifan intelektual orang-orang Arab sendiri — telah mengalami penyempitan dalam penggunaannya hanya untuk hal-hal keagamaan dalam arti sempit. Lebih dari itu, disebabkan berkembangnya keawaman (jika bukan kebodohan), maka bahasa Arab yang berlaku dalam masyarakat pun ialah bahasa Arab kolokuial (‘āmiyah), sedangkan bahasa Arab standar dan baku, yakni bahasa Arab fushhā, sering diperlakukan sebagai bahasa kuna yang telah mati, seperti yang dialami bahasa-bahasa Yunani dan Latin di Eropa modern. D2E


F SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM G

Karya ilmiah klasik Arab, seperti karya dalam bidang-bidang ďŹ lsafat dan ilmu pengetahuan (Ibn Khaldun, al-Biruni, dan lainlain), bahkan juga karya dalam bidang sastra Arab sendiri, menjadi tak terjangkau oleh sebagian besar orang Arab, termasuk para ulamanya (para ulama itu mungkin bisa membaca buku bermutu dan serius tertentu seperti IhyÄ â€™-nya al-Ghazali, tapi sampai dengan akhir-akhir ini, mereka secara intelektual tidak at home dengan karya-karya ilmiah, seperti Muqaddimah-nya Ibn Khaldun). Karena tiadanya minat itu, berangsur-angsur sebagian karya klasik itu hilang, persis seperti yang dialami oleh sebagian karya klasik Yunani kuna. Dan jika pun terdapat simpanan karya-karya klasik tersebut, maka lebih besar kemungkinan hal itu didapatkan di Istanbul daripada di Bagdad atau Kairo (sejak zaman modern ini, Kairo amat bergiat mengumpulkan karya-karya klasik Arab-Islam tersebut, dan kini perpustakaannya memiliki salah satu koleksi yang paling kaya di dunia; tapi mungkin masih setaraf, atau sebanding, dengan, misalnya, koleksi Universitas Princeton di Amerika, yang konon masih menyimpan jutaan manuskrip Arab/Islam yang sama sekali belum dijamah, di samping banyak sekali perpustakaan atau museum di negeri-negeri Barat yang juga menyimpan banyak manuskrip Arab-Islam). Kemunduran peranan orang-orang Arab di dunia Islam tidak hanya terbatas dalam bidang-bidang politik, intelektual, dan kultural, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Di bidang politik, dominasinya sekurang-kurangnya masih di tangan orang-orang Muslim (bukan-Arab), sedangkan di bidang ekonomi, dominasinya kebanyakan berada di tangan orang-orang bukan-Muslim, terutama Kristen, meskipun bangsa Arab, yakni orang-orang Arab Kristen dari pantai Timur Laut Tengah (sejak dari Gaza di selatan sampai Antiokia di utara), di samping adanya peranan menonjol dari orang-orang Yahudi. Dominasi ekonomi kalangan bukan-Muslim itu tidak hanya terdapat di daerah-daerah Islam dengan sistem politik yang lemah, tapi juga di dalam Kerajaan Utsmani sendiri. Dan peranan menonjol ekonomi itu tidak hanya dipegang oleh D3E


F NURCHOLISH MADJID G

orang-orang Kristen Arab dan Yahudi, tapi juga oleh orang-orang Kristen Eropa, khususnya Yunani, meskipun secara politik bangsa Yunani adalah jajahan Turki (jadi, orang-orang Yunani secara politik terkalahkan oleh orang-orang Turki, tapi secara ekonomi justru mereka yang mendominasi orang-orang Turki). Sampai dengan saat-saat terakhir ini, peranan ekonomi orang-orang Yunani di Mesir, misalnya, adalah sebanding dengan peranan orang-orang Cina di Asia Tenggara dan orang-orang Yahudi di Eropa. Keunggulan orang-orang bukan Muslim, termasuk mereka yang berbangsa dan berbahasa Arab, seperti orang-orang Lebanon itu, semakin diperkukuh oleh adanya kemudahan komunikasi kultural — melalui keagamaan — antara mereka dan bangsa-bangsa Eropa Barat modern. Dengan uraian tersebut, tampak jelas bahwa orang-orang Arab Muslim tidak hanya terbelakang di bidang keislaman sendiri, baik yang bersangkutan dengan soal politik, intelektual, kebahasaan, maupun di bidang ekonomi. Dan dengan keterbelakangan ekonomi tersebut, seperti dialami orang-orang Muslim umumnya, orangorang Arab Muslim juga ketinggalan oleh rekan-rekan mereka yang bukan Muslim dalam usaha mereka menyertai kemodernan. Karena itu, desakan untuk melakukan modernisasi adalah jauh lebih kuat terasa pada orang-orang Muslim Arab, daripada orangorang Muslim bukan Arab. Permasalahannya pun, yang terdapat pada orang-orang Muslim Arab, menjadi lebih rumit dan gawat, jika dibandingkan dengan permasalahan yang terdapat pada, misalnya, orang-orang Muslim Turki atau Iran, atau lebih-lebih lagi jika dibandingkan dengan permasalahan orang-orang Arab bukan Muslim. Pada mulanya, orang-orang Arab Kristenlah yang sangat berminat menghidupkan kembali keagungan kebudayaan Arab, khususnya bahasa Arab. Usaha tersebut dimulai orang-orang Arab Kristen dari daerah Pegunungan Lebanon dengan Beirut sebagai pusatnya. Di sanalah, secara turun-temurun, hidup orang-orang Arab petani yang beragama Kristen. Kemudian, beberapa bangsa D4E


F SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM G

Barat, khususnya kaum kolonialis Prancis, tapi juga kalangan swasta Amerika, mendirikan sekolah-sekolah missi. Murid sekolah-sekolah tersebut, pada mulanya, adalah orang-orang Arab Kristen setempat (meskipun kelak orang-orang Arab Muslim juga menyertai mereka, khususnya setelah Universitas Amerika Beirut berdiri dan tidak lagi secara eksklusif bersifat keagamaan). Banyak orang Kristen terpelajar dari angkatan-angkatan pertama itu menjadi amat tertarik kepada kekayaan Arab dan kejayaan sejarah Arab masa lampau mereka. Meskipun kekayaan dan kejayaan itu sangat erat kaitannya dengan Islam, sekurang-kurangnya sifat kearabannya itu mereka dapati bisa ditonjolkan untuk membedakan antara mereka dan para penguasa Turki yang saat itu “resmi” mewakili Islam. Apalagi bahasa Arab sangat dihormati di seluruh negeri Islam, dan kalangan sarjana Barat modern pun menunjukkan respek yang mendalam kepadanya. Maka, pada akhir abad kesembilan belas, sejumlah orang Arab Kristen dengan sadar mencoba menghidupkan kembali gaya bahasa Arab klasik dari zaman Abbasiyah, seperti Nasif al-Yaziji, yang mencoba menulis Maqāmāt menurut model karya Hariri. Ia kemudian tumbuh dan tampil sebagai teladan untuk para penulis masa sesudahnya setidaktidaknya dalam hal gaya bahasa. Dan dengan begitu, daerah kecil dalam kawasan Syiria (Syam), yakni Pegunungan Lebanon, telah tumbuh menjadi pusat kebangkitan peradaban Arab.

Peranan Mesir Peranan orang-orang Kristen dari daerah Syam (Syiria Raya) ini menjalar ke negeri-negeri Arab lain, khususnya Mesir. Karena kelangkaan tenaga terpelajar di Mesir, orang-orang Arab Kristen dari Utara itu kemudian memelopori kegiatan intelektual di sana, khususnya di bidang jurnalistik dan pers. Orang-orang Arab Kristen ini — didorong oleh keinginan untuk mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan sebagai warisan nasional yang mereka lihat terdapat D5E


F NURCHOLISH MADJID G

pada orang-orang Barat — mempunyai aspirasi kultural nasional yang sangat kuat untuk menghidupkan kembali bahasa dan sastra Arab, atas nama kebesaran dan keagungan bangsa Arab. Merekalah pelopor nasionalisme Arab dan Arabisme pada umumnya. Mereka ini, untuk keperluan menemukan kembali “kearaban” (‘urūbah) mereka yang agung, sering menengok ke belakang, khususnya ke zaman kejayaan dinasti Abbasiyah. Maka berbarengan dengan itu, mereka berusaha menghidupkan kembali tradisi penulisan karya dalam bahasa Arab klasik (fushhā), dan sedikit banyak disertai motif untuk menyaingi dan membedakan diri dari lingkungan yang serba-Turki dan Persi.

Kebangkitan Orang-Orang Arab Muslim Usaha orang-orang Arab Kristen ini ternyata mendapatkan sambutan hangat dan positif dari rekan-rekan mereka orang-orang Arab Muslim, khususnya di Mesir. Dan perkembangan inilah yang mengantarkan Mesir kepada masa dilancarkannya pembaruan Muhammad Abduh. Pada orang-orang Arab Muslim, sebagaimana bisa diduga, gerakan kebangkitan itu, berbeda dengan gerakan kebangkitan orang-orang Arab Kristen, tidak terbatas hanya pada bidang-bidang kebahasaan dan intelektual, tapi juga, lebih-lebih lagi, menjamah bidang pemikiran keagamaan Islam sendiri. Berkenaan dengan ini, menarik untuk dicatat bahwa dorongan kebangkitan keagamaan itu sebenarnya justru amat terpencil dari lalu lintas utama peradaban manusia yaitu Arabia Timur, Nejed. Di sanalah bangkit gerakan yang dikenal dengan berbagai nama (Gerakan Salafiyah, misalnya), tapi lebih populer dengan sebutan “Gerakan Wahhabi”, suatu sebutan yang dinisbatkan kepada pelopornya, Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Sesungguhnya, gerakan Wahhabi merupakan kelanjutan gerakan pemurnian Islam yang berakar jauh dalam sejarah masa lalu Islam, kembali ke zaman D6E


F SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM G

Ahmad ibn Hanbal, kemudian Ibn Taimiyah. Tetapi, berbeda dengan gerakan Ibn Hanbal ataupun Ibn Taimiyah — yang pertama lebih teologis, dan yang kedua lebih intelektualistis — gerakan Ibn Abdul Wahhab menampilkan segi pemikiran yang lebih sederhana, namun responsif, atau langsung relevan dengan keadaan umum umat Islam, khususnya di Jazirah Arab saat itu. Karena itulah gerakan tersebut menjadi efektif. Setelah digabung dengan gerakan politik pewaris dinasti keamiran Ibn Sa’ud, gerakan Wahhabi menjadi gerakan reformasi dan pemurnian yang paling sukses dan konkret di zaman mutakhir, dan dampaknya — yang bersifat internasional, sampai-sampai ke Indonesia agaknya tidak diduga oleh para sponsornya sendiri. Segi yang amat menarik dari gerakan Wahhabi ialah kemunculannya yang tanpa tersentuh sedikit pun oleh gelombang modernisme Barat. Telah dikatakan bahwa Arabia Timur adalah salah satu kawasan di lingkungan dunia Islam yang amat terisolasi dari lalu lintas peradaban manusia khususnya zaman modem ini. Tapi agaknya, keadaan ini tidak menghalangi kaum Wahhabi untuk meluaskan pengaruhnya, khususnya setelah mereka berhasil menaklukkan Makkah dan Madinah, dua kota yang setiap tahun menjadi forum pertemuan internasional bangsa-bangsa Muslim. Salah satu daerah yang amat merasakan gelombang pengaruh gerakan Wahhabi ialah Mesir. Tema-tema reformasi Wahhabi seperti ajakan untuk kembali kepada kemurnian Islam klasik yang sederhana berdasarkan Kitab dan Sunnah, argumen untuk membuka kembali, dan terus-menerus, pintu ijtihad, seruan untuk memerangi dan memberantas bidah, dan seterusnya menggema di kalangan para intelektual Muslim Mesir, yang setiap tahap perkembangan mereka sendiri telah tersentuh oleh modernisme, baik karena kehadiran langsung orang-orang Barat di Mesir (Inggris, misalnya), ataupun karena peranan intelektual orang-orang Arab Kristen dan Syiria (Lebanon), sebagaimana telah dituturkan di awal.

D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Muhammad Abduh dan Filsafat Dan perspektif itulah, antara lain, kita harus memandang dan mengapresiasi ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Tampak jelas bahwa banyak tema pembaruan Muhammad Abduh merupakan kelanjutan tema-tema pembaruan Muhammad ibn Abdul Wahhab di Jazirah Arab. Meskipun Abduh mempunyai wawasan yang lebih luas daripada Ibn Abdul Wahhab, jejak-jejak pandangan keagamaan Hanbali juga tampak padanya. Juga tampak jelas pada Muhammad Abduh jejak-jejak pandangan keagamaan yang jauh lebih liberal daripada kaum Wahhabi, sehingga Abduh sering disebut sebagai seorang pemikir reformasi Islam jenis “modernis”. “Modernisme” Abduh itu, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apreasif terhadap filsafat. Ia memperoleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin al-Afghani (al-Asadabadi), seorang penganjur gigih pan-Islamisme dan orator politik yang memukau. (Al-Afghani sendiri mengembangkan wawasannya yang positif terhadap filsafat. Hal ini diduga karena ia tumbuh dari kalangan kaum Syi’ah. Kaum ini diketahui memiliki kebebasan berpikir yang lebih besar daripada kaum Sunni, dan berpandangan lebih positif kepada filsafat serta pemikiran rasional (maka dalam teologi kaum Syi’ah, banyak hal yang mendekati Kalam kaum Mu’tazilah). Dengan begitu, Muhammad Abduh berada dalam posisi intelektual dan dogmatis yang sedemikian berbeda dengan kaum Wahhabi. (Kaum Wahhabi, sebagai penganut mazhab Hanbali, menolak keras tidak hanya filsafat, tapi juga ilmu kalam, yang notabene adalah suatu bentuk pengembangan teologi Islam skolastik.) Seperti halnya al-Afghani, Muhammad Abduh melihat bahwa salah satu sebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan itu ialah hilangnya tradisi intelektual, yang intinya ialah kebebasan berpikir. Tapi, berbeda dengan al-Afghani, gurunya, Abduh melihat bidang pendidikan dan keilmuan lebih menentukan daripada bidang politik. Karena itu, terutama keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi Pasha yang gagal, Abduh kemudian memilih D8E


F SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM G

mencurahkan perhatiannya kepada usaha reformasi intelektual dan pendidikan, berpisah dari al-Afghani dalam hal strategi. Yang pertama-pertama diusahakannya ialah merombak dan mereformasi almamaternya sendiri, yaitu Universitas al-Azhar. Hal paling penting yang ia lakukan ialah memperjuangkan agar kepada para mahasiswa al-Azhar juga diajarkan mata kuliah filsafat, demi menghidupkan kembali dan mengembangkan intelektualisme Islam yang telah padam itu. Usahanya ini mengalami kegagalan, karena ditolak oleh dewan guru besar al-Azhar. Namun, “liberalisme Islam” yang ditanamkannya itu berkembang terus, dan berkelanjutan dalam memengaruhi jalan pikiran generasi Muslim yang “terpelajar” (yakni, berpendidikan Barat, dan karenanya berkenalan dengan modernisme Barat). Bahkan, sesungguhnya apresiasi Abduh kepada filsafat itu terkait erat dengan programnya untuk memerangi taklid. Sebab, pada abad-abad ke-18 dan ke-19 itu, taklid telah mencakup pula semangat jiwa, jika bukan teologis, yang meliputi penolakan terhadap hal-hal yang baru, khususnya yang datang dari Barat. (Taklid mengimplikasikan keharusan untuk mengikuti para ulama saja, dan demi keselamatan, seorang pemeluk Islam dilarang mengikuti orang-orang lain, apalagi dari kalangan bukan Muslim, meskipun mengenai hal-hal yang tidak langsung bersifat keagamaan. Dan semangat taklid tersebut, sebagai suatu pandangan hidup, berujung pada sikap yang hampir menyucikan warisan nenek moyang.) Tetapi, ketika Muhammad Abduh menolak taklid dan kecenderungan menyucikan nenek moyang, ia tidaklah bermaksud menggantikannya begitu saja dengan konsep-konsep Barat yang asing. Sebaliknya, ia hendak menggantikannya dengan semangat ijtihad, yang pada Abduh, semangat tersebut mempunyai pengertian seperti pada kaum Wahhabi, yaitu pengkajian bebas dalam batasbatas peraturan yang telah mapan dalam menyimpulkan ajaranajaran hukum dan moral Islam, dengan memperhitungkan apa yang terbaik di sini dan kini. Ia, misalnya, menerapkan dan mengembangkan konsep mashlahah, istishlāh, istihsān, ‘umūm D9E


F NURCHOLISH MADJID G

al-balwā, dan lain-lain, seperti pernah dikembangkan oleh para pemikir Hanbali, khususnya Ibn Taimiyah. Tetapi, konsep ijtihad Abduh diletakkan pada kemodernan itu. Karena itu, ia bisa melihat manfaat filsafat dan pemikiran-pemikiran rasional lainnya dalam Islam, meskipun ia masih menggunakan teknik penjelasan bilā kayfa dalam pembahasan tentang ketuhanan. Bergandengan dengan pandangannya yang “liberal” itu ialah etos keilmuannya yang diperoleh dari Barat, khususnya dari Comte. Meskipun tidak sampai kepada positivisme Comte yang menolak agama, Abduh menunjukkan sikap penghargaan yang sangat tinggi kepada metode dan kajian ilmiah objektif, seperti yang dibela oleh para ilmuwan modern. Namun, bagi Abduh, soal keagamaan adalah tetap sentral, dan keagamaan harus menjiwai ilmu pengetahuan. Abduh bahkan berpendapat bahwa menerima secara sungguhsungguh ilmu pengetahuan merupakan semangat asli agama Islam, dan sebaliknya, baginya hanya Islam yang sanggup menggabungkan antara ilmu dan agama. Karena, Islam baginya merupakan pembeda tegas pemikiran rasional, dan dogma-dogmanya dapat diterangkan secara ilmiah. Untuk itu, ia menulis beberapa karya, khususnya sebuah buku berjudul al-Islām wa al-Nashrānīyah ma‘a al-‘Ilm wa al-Madanīyah. Pada diri Muhammad Abduh juga terdapat petunjuk tentang pengaruh pemikiran ilmiah sosial Ibn Khaldun yang tidak kecil. (Ibn Khaldun sendiri, bersama dengan al-Ghazali dan Ibn Taimiyah, dalam tinjauan modern, sering dilukiskan sebagai pelopor “positivisme Islam”.) Muhammad Abduh sangat menganjurkan para pengikutnya untuk mengikuti jejak Ibn Khaldun dalam melakukan kajian-kajian obyektif atas masalah-masalah kemasyarakatan, lepas dari, mitos-mitos dan kepercayaan-kepercayaan palsu. Tapi, ia lebih dekat dengan al-GhazaIi dalam sikap terhadap wahyu; banyak bersandar kepada kelangsungan pengalaman spiritual pribadi yang sensitif dan terbuka. (Bersama al-Afghani, Muhammad Abduh, oleh sementara kalangan, dituduh aktif mendirikan dan menyebarkan aliran kebatinan/teosofi Masonry, al-Masuniyyah di Mesir.) Tapi, D 10 E


F SYAIKH MUHAMMAD ABDUH DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM G

ia berbeda dengan al-Ghazali. Karena ia seperti kaum Mu’tazilah, sangat menghargai kekuatan akal untuk memahami — jika bukan menemukan — kebenaran dasar, termasuk memahami kebenaran keagamaan. Hal ini semua, tentu saja, konsisten dengan sikapnya terhadap filsafat, dan sikapnya terhadap dambaannya untuk membangkitkan kembali tradisi intelektual Islam yang lebih bebas. Dan inilah inti reformasinya di bidang pendidikan. Secara formal, usaha reformasi itu mengalami kegagalan, karena ditolak oleh Universitas al-Azhar. Tapi, secara informal, ia terus berkembang. Dan, seperti telah dikemukakan, telah berhasil ikut membentuk jalan pikiran generasi muda Islam yang terdidik secara modern. Bahkan, sesungguhnya, secara formal pun, di luar al-Azhar, aspirasi pembaruan Muhammad Abduh juga menunjukkan bentuk konkret yang berwujud lembaga pendidikan tinggi Darul Ulum yang kini termasuk dalam lingkungan Universitas Kairo. [ ]

D 11 E


F DIALOG INTEGRAL DALAM PERADABAN DAN PEMIKIRAN SLAM G

DIALOG INTEGRAL DALAM PERADABAN DAN PEMIKIRAN ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

Pendahuluan Mendahului pembahasan lebih luas, kita sepatutnya mempertanyakan, adakah sesuatu yang dinamakan pemikiran — atau, filsafat — Islam? Pertanyaan itu kedengarannya mengada-ada, jika saja dikaitkan dengan pengertian umum tentang apa itu Islam dan pemikiran atau filsafatnya. Jawabannya sudah pasti bersifat peneguhan, dan sesudah itu masalah dianggap tidak lagi ada. Tapi, dalam suatu tinjauan sejarah pemikiran Islam yang lebih serius, jawaban afirmatif pun tidak harus dibiarkan tanpa persoalannya sendiri pula, sekurang-kurangnya memerlukan penjabaran dan substansiasi.

Dialog Integral Suatu pengembangan pemikiran tidak mungkin terwujud tanpa adanya dialog. Dialog itu sendiri dituntut untuk berjalan secara cerdas, atau, jika tidak, dialog itu tidak akan menghasilkan pemikiran kreatif. Tetapi, dialog yang cerdas saja tidak cukup. Dialog dalam lingkungan suatu kelompok, seperti halnya setiap bentuk dialog, adalah hampir mustahil jika segala sesuatu diletakkan dalam tanda D1E


F NURCHOLISH MADJID G

tanya. Suatu dialog memerlukan titik-tolak, yang sedapat mungkin disepakati semua peserta. Jika suatu pandangan baru mengenai suatu masalah diketengahkan, ia bisa diperjelas hanya dengan membandingkannya dengan suatu latar belakang pokok ajaran yang disepakati, yang ajaran itu, untuk suatu masa, dianggap atau diterima sebagai seolah-olah konstan atau paling-paling mengalami peralihan karena pergantian perspektif. Maka, suatu inovasi dalam suatu perkara dimungkinkan tumbuh, hanya jika bisa dibuat asumsi bahwa setidak-tidaknya beberapa perkara lain tetap tak berubah. Melalui berbagai generasi, inovasi selalu benar-benar terjadi. Tetapi, selama masih ada komitmen bersama kepada sejumlah pribadi yang sama-sama mengakui titiktolak mula pertama tersebut, maka dialog itu akan tetap memiliki ciriciri umum budaya dan masyarakat bersangkutan, meskipun substansi dialog itu tidak harus merupakan hal menonjol dalam waktu-tertentu budaya dan masyarakat bersangkutan. Suatu inovasi atau kreativitas, untuk bisa disebut inovasi dan kreatif, menuntut tingkat keotentikan tertentu, betapapun ia, dalam konteks kultural masanya, terasa tidak konvensional, menyalahi kebiasaan. Keotentikan itu diperoleh dengan memperhatikan mufradÄ t (vocabulary) budaya, atau bentuk seni, atau prinsip-prinsip kelembagaan, ataupun lainnya, yang digunakan bersama untuk menyatakan ide-ide sebagaimana telah berkembang dalam sistem budaya bersangkutan. Integralitas dialog itulah yang bakal bisa memberi kerangka bermakna untuk suatu tinjauan sejarah tentang perkembangan pemikiran Islam.1

Hakikat Sejarah Pemikiran Islam Secara singkat, hakikat sejarah pemikiran dalam Islam ialah kelangsungan dialog integral tadi, yaitu dialog berdasarkan iman, namun 1

Lihat Marshall GS Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974) jilid 1, h. 86-87. D2E


F DIALOG INTEGRAL DALAM PERADABAN DAN PEMIKIRAN SLAM G

tak lepas dari konteks sejarah. Tetapi, statement demikian dapat diterima hanya dalam kerangka pandangan kesejarahan yang ilmiah itu. Ia belum tentu merupakan kesepakatan pembahas, jika tinjauan permasalahannya dilakukan dari suatu posisi dogmatis. Suatu nuktah dialog yang secara kultural-historis harus disebut sebagai bersifat Islami atau bersemangat keislaman, dalam pandangan dogmatis, bisa sama sekali bernilai bidah atau penyelewengan keagamaan sejenisnya. Karena itu, di sini, suatu percobaan akan dilakukan untuk memahami hakikat itu dalam perspektif sejarah. Peradaban Islam boleh disebut unik di antara berbagai peradaban pada masa kejayaannya, dalam tiadanya minat untuk melestarikan tradisi sastra daerah tempat ia berkembang. Pada peradabanperadaban lain, puncak-puncak hasil sastra milenium pertama sebelum Masehi tetap berperan sebagai titik-tolak kehidupan intelektual. Sampai zaman modern ini, karya-karya klasik Yunani dan Latin, malah juga Ibrani, tetap dibaca dengan penuh minat di Eropa, demikian pula klasik Sanskerta di kawasan budaya India, klasik Cina di Timur Jauh, dan lain-lain. Di dunia Islam, sebaliknya, hasil sastra Semit dan Arya (Iran) masa sebelumnya berangsurangsur, pada abad-abad pertama Islam, diganti oleh klasik Arab dan (kelak) “Persi Islam� (artinya, bukan bahasa Persi Pallawa dari zaman kerajaan Sasani). Karya-karya sastra Arab klasik zaman sebelum Islam (Jahiliah) pun hampir musnah, jika tidak karena kebangkitan kembali Arabisme pada sekitar pertengahan zaman Umayyah. Kaum Muslim menciptakan model-model karya klasik mereka sendiri. Karena hal-hal tersebut, kedatangan Islam menandasi suatu keterputusan tertentu bidang budaya yang tidak ada persamaannya dalam peradaban-peradaban lain. Keterputusan kultural itu memberi kesempatan unik pada Islam untuk menawarkan sesuatu yang baru dan segar. Keterputusan itu makin dipertegas ketika peradaban Islam, lagi-lagi tanpa ada bandingannya pada masa itu, menjadi sedemikian tersebar dan mendominasi daerah-daerah inti peradaban Yunani dan Sanskerta, sehingga peradaban Islam D3E


F NURCHOLISH MADJID G

tidak lagi bisa disebut sebagai milik kelompok masyarakat manusia tertentu, seperti Arab, misalnya. Meskipun demikian, peradaban Islam, termasuk dunia pemikirannya, tidak mungkin dipahami tanpa memperhitungkan setting kultural dan geografis Irano-Semitis yang menjadi ciri daerah pertemuan tiga benua Afro-Eurasia, yaitu kawasan yang membentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur. Daerah ini, dalam wawasan geografis Yunani kuna, adalah healtland daerah Oikoumene, yaitu daerah yang dihuni manusia berbudaya. Karena itu, masyarakat Islam tidak saja merupakan ahli waris langsung masyarakat-masyarakat kuna sebelumnya di daerah antara Nil dan Oxus itu, tetapi juga, pada tingkat yang penting, menjadi pelanjut positifnya. Dilihat dari sudut geografis maupun sumber-sumber kemanusiaan dan kebendaan, peradaban Islam pada akhirnya adalah pewaris tradisi peradaban bangsa-bangsa kuna sejak Babilonia, Mesir, Ibrani, Persia, beserta bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Lebih khusus lagi, peradaban Islam adalah pewaris tradisi yang diungkapkan dalam berbagai bahasa Semit dan Iran, yang berkembang beberapa abad sebelum kedatangan Islam, dan tradisi-tradisi itu pada urutannya dibangun berlandaskan warisan-warisan kuna sebelumnya. Karena itu, sekalipun terdapat keterputusan literer tadi, secara tidak langsung, bahan-bahan literer kuna sebelum Islam tetap bertahan dalam peradaban baru itu, sementara aslinya atau terjemahannya sendiri tidak lagi dikenal.2 Ibn al-Muqaffa, seorang Iran Majusi yang pindah agama ke Islam, dan yang kemudian mengislamkan karya-karya literer Sasani, dan mengungkapkannya kembali dalam bahasa Arab yang tinggi, adalah contoh hubungan unik peradaban Islam dengan peradaban kuna itu. Demikian pula al-Ghazali, dengan bukunya Nashīhat al-Muluk (Nasihat untuk Raja-Raja), yang mengambil, untuk contoh butirbutir nasihatnya, kejadian dan pengalaman kuna Persia, khususnya 2

Ibid., h. 103. D4E


F DIALOG INTEGRAL DALAM PERADABAN DAN PEMIKIRAN SLAM G

Raja Sunan Khusra Anusyirwan, mewakili dengan baik sekali kenyataan unik berupa sekaligus breach dan continuity peradaban Islam dengan peradaban-peradaban sebelumnya.3 Keterputusan dan kesinambungan inilah yang menjadi sumber dinamika dialog integral dalam Islam, yang memberikan ciri paling kuat pada peradaban yang dibangunnya selama kurang tebih tujuh abad. Sebagai rentetan dialektis response dan counter response, atau tesis-antitesis-sintesis Hegel, dialog itu terjadi pada peradaban Islam tidak hanya dalam pendefinisian hubungannya dengan peradaban lain, tapi juga dalam dinamika internal Islam sendiri. Tapi, dialog internal itu tidak lagi berciri-utamakan breach, tetapi integralitas dan kontinuitas. Kontinuitas kultural di kalangan kaum Muslim paling tampak pada dataran yang kita namakan “agama”. Tradisi keagamaan Islam, biar pun sungguh terdapat kebhinnekaan di dalamnya, tetap mempertahankan integralitas yang tinggi, secara nyata berbeda dari, katakanlah, agama Kristen dan Budhisme.4 Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, misalnya, adalah dua tokoh dari dua kutub yang bertentangan dalam pandangan filosofisnya, terutama, berkenaan dengan sikap mereka terhadap klasisisme Yunani. Begitulah sekurang-kurangnya berdasarkan polemik post mortum mereka. Tapi, dalam hal berkenaan dengan bidang paham “agama”, khususnya fiqih, kedua tokoh itu menunjukkan kemiripan yang amat jauh, yaitu bahwa kedua-duanya adalah penganut pandangan yang “ortodoks”, kecuali bahwa al-Ghazali adalah seorang penganut mazhab Syafi’i, sedangkan Ibn Rusyd penganut mazhab Maliki.5 3

Buku al-Ghazali, Nashīhat al-Muluk telah diterjemahkan dari aslinya dalam bahasa Arab ke bahasa Inggris oleh F.R.C. Bagley, dengan judul Counsel for Kings (London: Oxford University Press, 1971). Buku ini amat menarik, karena dapat dibandingkan dengan buku Wulang Reh dalam khazanah sastra keraton Jawa. 4 Hodgson, op. cit., h. 87. 5 Dalam literatur Islam klasik, istilah yang digunakan untuk pengelompokan manusia berdasarkan perbedaan pandangan keagamaan, atau paham hidup, ialah firqah. Ini biasanya diterjemahkan (dalam bahasa Inggris) menjadi sect, yakni, sekte, padahal istilah Arab, firqah, tidak menunjuk kepada pengertian D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Ilham al-Qur’an sebagai Sumber Dorongan Peradaban ataupun kebudayaan bisa dipahami sebagai kompleks saling hubungan dan saling bergantung berbagai tradisi. Maka, peradaban atau kebudayaan Islam pun, termasuk butir-butir pemahaman keagamaannya, adalah kompleks saling berkait berbagai tradisi Oikoumene, khususnya kawasan Nil sampai Amudarya. Bahkan daerah-daerah di luar kawasan itu pun, khususnya daerah Maghrib (Afrika Utara) dan Transoxiana (Mā Warnā’ al-Nahr, daerah di balik Amudarya) juga akhirnya memberikan sumbangan yang amat berharga. Yang pertama diwakili oleh tokoh seperti Ibn Rusyd dan Ibn Khaldun, dan yang kedua oleh al-Bukhari serta al-Maturidi, misalnya. Tapi, karena integralitas keagamaan pada jiwa intinya, meskipun merupakan kompleks tradisi-tradisi yang saling berkait, peradaban Islam tidak bisa diredusir menjadi sekadar jumlah besar (sum total) tradisi tempat ia berkembang, tetapi merupakan suatu kompleks yang telah memperoleh penggarapan kembali. Yang membuat peradaban kawasan itu berbeda di bawah Islam ialah, terutama, adanya tekanan relatif dari beberapa elemen kultural yang ada, dan penyeimbangan antara berbagai elemen itu. Dorongan yang mengilhami penggarapan ke arah keseimbangan baru itu, yaitu dorongan yang akhirnya menciptakan peradaban Islam, terbukti luar biasa komprehensif dan swasembada. Untuk bisa menangkap semangat dorongan itu, seseorang (Muslim) sekurang-kurangnya harus memahami jiwa al-Qur’an. Dan dalam usaha menangkap semangat itu, seseorang tidak hanya harus terbiasa dengan konsep-konsep yang dinyatakan yang sekeras istilah Inggris sect, sekte. Biasanya, istilah firqah tidak terlalu jauh beda maknanya dari istilah mazhab, dan karena itu harus diterjemahkan dengan ungkapan yang lebih lunak, yaitu “aliran pemikiran” (school of thought). Selain beberapa perkecualian yang sangat ekstrem, dalam Islam boleh dikatakan tidak ada sekte seperti pengertian dalam istilah Inggris, sect. (Lihat Hodgson, op. cit., h. 66-67). D6E


F DIALOG INTEGRAL DALAM PERADABAN DAN PEMIKIRAN SLAM G

dalam bahasa budaya bersama, tapi juga harus menghayati dan menghadapkan dirinya pada tantangan moral yang sama. Dari segi metodologis, memahami tantangan moral Islam itu adalah yang paling penting untuk bisa memahami integralitas dialog dalam Islam. Terletak pada inti tantangan itu ialah al-Islām sendiri dalam makna generiknya (bukan maknanya sebagai pengelompokan kemasyarakatan — societal grouping-nya). Al-Islām, dalam pengertian generiknya, merupakan suatu ungkapan untuk semangat pasrah kepada Tuhan Maha Pencipta. Integralitas peradaban Islam, dari suatu sudut penglihatan, dapat dilihat asal muasalnya sebagai pengembangan sikap islām yang mula pertama, yaitu sikap pasrah pribadi kepada Tuhan. Penerimaan tantangan itu sendiri, pada tingkat pribadi, bisa merupakan suatu tindakan pilihan yang kreatif (creative action). Dan pilihan kreatif itu, pada sejumlah besar pribadi yang membentuk masyarakat, merupakan momen awal dorongan penciptaan suatu peradaban. Momen selanjutnya ialah komitmen kelompok manusia, sebagai kelanjutan pilihan kreatif itu, sehingga publik langsung melihat kejadian kreatif bagaimana ide pertama itu terlembagakan dan mengalami pengukuhan. Pada bentuknya yang paling efektif, komitmen itu melahirkan ketaatan umum. Karena itu, peradaban Islam dapat didefinisikan sebagai bentuk nyata komitmen kepada tantangan moral yang dibawakan oleh Nabi Muhammad. Dan ini, pada urutannya, mengambil bentuk konkret dalam penerimaan seruan Kitab Suci, dan kepada program bersama komunitas yang sama-sama menerima seruan itu, yaitu umat.6 6

Letak pentingnya kedudukan umat, terutama, menonjol sekali pada kaum Sunni. Penyucian umat itu, antara lain, dinyatakan dalam doktrin ijma’; yakni konsensus, sebagai salah satu sumber pemahaman keagamaan, khususnya bidang hukum (fiqih). Hal ini berdasarkan sebuah laporan hadis, bahwa umat tidak akan bersepakat atas kesesatan. Tapi, doktrin ijma’ bukannya tanpa masalah, dan lepas dari kontroversi. Seorang pembela Sunnisme yang puritan, Ibn Taimiyah, misalnya, menolak doktrin ijma’, kecuali yang terjadi pada generasi salaf, yakni tiga generasi Islam yang pertama. Dan hanya merekalah yang tidak bersepakat D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Dorongan dinamis al-Islām kepada dataran sosial, telah pula melahirkan tantangan untuk menciptakan masyarakat yang ideal, suatu tatanan pergaulan paling baik antarmanusia (khayr ummah). Sejak awal sejarahnya, masyarakat Islam sendiri tidak selalu sepakat tentang apa bentuk nyata khayr ummah itu. Pandangan Islam tentang bagaimana seharusnya masyarakat manusia ini, telah ditinjau dan ditafsirkan dalam berbagai cara: dan tidak ada satu bentuk ideal pun yang sepenuhnya berlaku untuk semua orang Islam. Tetapi, setiap Muslim merasakan adanya keharusan untuk berusaha menjawab tantangan moral al-Qur’an dengan segala implikasinya. Mereka yang terlibat dalam perjuangan membangun kehidupan sesuai dengan visi Islam, telah terlibat pula dalam suatu percobaan dengan kemungkinan pahala yang paling memuaskan. Dan ia melakukan hal itu dengan menggunakan segala sesuatu yang terbaik yang terbuka untuk umat manusia, tetapi juga dengan risiko besar untuk mengalami kesalahan dan kegagalan. Tapi, visi itu tidak pernah padam, dan percobaan itu tidak pernah ditinggalkan. Bahkan, harapan dan percobaan itu tetap hidup dan vital dalam abad modern ini. Sejarah Islam, sebagai sistem iman, dan sebagai sistem budaya, dan yang iman itu menjadi intinya, memperoleh keutuhan dan keunikan kedudukannya dari visi dan percobaan mewujudkan tantangan moral itu. Dan inilah atas kesesatan. Pandangan Ibn Taimiyah ini dapat memberi kelonggaran yang besar untuk berijtihad, yang merupakan inti seruan pembaruannya. Pada golongan Syi’ah, kesucian tidak terletak pada umat, tapi pada para pemimpin keagamaan (imām) yang berasal dari lingkungan Rumah Tangga Rasulullah (ahl al-bayt). Konsep ini bisa membuat permasalahan menjadi lebih jelas dan konkret dibandingkan dengan konsep ijma’; tapi juga tidak lepas dari problem, yaitu ketika deretan imam itu, oleh satu dan lain sebab, berhenti (tujuh imam, pada Syi’ah Sab’iyah atau Isma’iliyah dan dua belas imam pada Syi’ah Itsna ‘Asyariyah), dan situasi vakum imamah karena ghaybah (okultisme) itu harus adil oleh suatu kepemimpinan, ad interim, seperti kedudukan Imam Khomeini sekarang. Walaupun begitu, agaknya, pada kaum Syi’ah masalah kepemimpinan itu masih jauh lebih mudah dipecahkan daripada di kalangan kaum Sunni. D8E


F DIALOG INTEGRAL DALAM PERADABAN DAN PEMIKIRAN SLAM G

yang secara esensial mewarnai seluruh dialog dalam Islam yang karena kesetiaannya kepada prinsip-prinsip dasar keagamaannya, merupakan suatu dialog integral. Dan dari sudut pandangan ini pula, kita harus memandang gejolak intelektual yang mewarnai Islam sepanjang sejarahnya, sampai masa-masa redup, entah karena jenuh, puas diri, atau lainnya. [™]

D9E


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.