Islam Agama Peradaban - Nurcholish Madjid

Page 1



F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI KODIFIKASI G

PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI KODIFIKASI DAN KEASLIAN KITAB SUCI AL‐QUR’AN Oleh Nurcholish Madjid

Di seluruh dunia tidak seorang Muslim pun meragukan keaslian dan keabsahan kitab sucinya. Menurut keyakinan Islam, al-Qur’an adalah pegangan hidup terakhir dari yang diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui perantaraan Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para Nabi dan Rasul itu. Konsekuensi logisnya, Allah sendiri yang akan memelihara keutuhan dan keabsahan kitab suci-Nya itu. Sebab jika tidak demikian, dan kemudian kitab suci itu dibiarkan mengalami kemungkinan perubahan, maka klaimnya sebagai wahyu penutup menjadi rapuh, dan fungsinya sebagai pegangan hidup umat manusia sampai akhir zaman menjadi goyah. Allah menjanjikan hal itu semua dalam firman-Nya: “Sungguh Kami telah menurunkan peringatan (al-Qur’an), dan Kamilah yang menjaganya,” (Q 15:9). Secara kenyataan lahiriah, al-Qur’an memang tampil kepada umat manusia sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi janji Tuhan bahwa kitab suci itu akan terpelihara dari kemungkinan perubahan. Di seluruh dunia Islam tidak satu pun kitab suci al-Qur’an yang diterbitkan berbeda dari yang lain, biar pun hanya sekadar satu kata. Dan setiap kali ada kejadian penulisan al-Qur’an yang menyalahi pedoman yang benar, tentu akan segera diketahui dan dikoreksi. Secara resminya, di negeri kita tanggung jawab itu dilakukan oleh badan yang disebut Lajnah Pentashih al-Qur’an, di bawah D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Departemen Agama. Negeri-negeri Islam yang lain pun mempunyai badan yang serupa, dengan tanggung jawab yang kurang lebih sama. Karena keseragaman yang mutlak pada semua mushaf atau penerbitan al-Qur’an itu, maka kaum Muslim juga memiliki ketenteraman batin yang tinggi berhadapan dengan kitab sucinya. Mereka membacanya dengan keyakinan penuh bahwa mereka melafalkan kalam Ilahi yang otentik dan sejati. Ini memberi mereka pengalaman keagamaan yang tinggi, sehingga membaca al-Qur’an merupakan cara pendekatan diri kepada Allah yang sangat baik, sebagai salah satu bentuk zikir. Dan rasa keagamaan yang dihasilkan akan semakin tinggi jika disertai usaha memahami kandungan kalam Ilahi itu dan ajaran-ajarannya.

Riwayat Pembukuan al-Qur’an

Ada pandangan bahwa al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini sesungguhnya sudah dikumpulkan oleh Nabi sendiri dalam lembaranlembaran tulisan tangan (manuskrip), dan tidak semata-mata dipertaruhkan kepada hafalan para sahabat belaka. Berbagai riwayat menunjukkan bahwa Nabi selalu memerintahkan sahabat-sahabat tertentu untuk menulis dan mencatat wahyu yang baru beliau terima. Maka sejak di zaman Nabi itu pun sudah ada lembaranlembaran (shuhuf) dari kitab suci yang dapat dibaca. Ini juga diisyaratkan dalam al-Qur’an sendiri, dengan firman Allah: “Rasul dari Allah yang membaca lembaran-lembaran suci, di dalamnya terdapat perintah-perintah yang lurus (tegas kebenarannya),” (Q 98:2-3). Jadi digambarkan bahwa Nabi saw. “membacakan” perintah-perintah Allah dari lembaran-lembaran suci (shuhuf-un muthahharah). Dalam pengertian apa pun kata-kata “membacakan” di situ (karena Nabi saw. adalah seorang ummī yang tidak pandai membaca dan menulis), namun firman itu menunjukkan bahwa penulisan atau pencatatan wahyu Ilahi kepada Nabi telah terjadi dan terwujud di D2E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI KODIFIKASI G

zaman beliau sendiri, dan tentunya penulisan atau pencatatan itu juga dibuat dengan lengkap. Tinggal satu-satunya kemungkinan ialah bahwa meskipun di zaman Nabi itu sudah ada tulisan atau catatan al-Qur’an, namun ia tidak disusun dan dibuat sehingga membentuk sebuah buku terjilid atau mushhāf (rangkuman catatan yang dibuat “antara dua kulit [ghilāf])”. Sementara ada pandangan seperti di atas, dan umat Islam di seluruh dunia meyakini bahwa al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun, cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw. sendiri, melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakr, Umar, dan Utsman, dengan Umar sebagai pemegang peran yang paling menonjol. Sebuah riwayat melukiskan demikian: Umar ibn al-Khaththab menanyakan tentang sebuah ayat dari Kitab Allah. Setelah diberitahu bahwa ayat itu pernah ada pada seseorang yang telah terbunuh dalam perang Yamamah, Umar teriak dalam nada penyesalan: “Innā li ’l-Lāh-i wa innā ilayhi rāji‘ūn!” Umar pun memerintahkan agar semua (catatan) al-Qur’an dikumpulkan. Dialah yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an.1

Jika dalam riwayat itu disebutkan bahwa Umar adalah yang perta makali mengumpulkan al-Qur’an ke dalam sebuah mushhāf, yang dimaksud mungkin bukanlah ia yang pertama kali melakukannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai khalifah, melainkan yang pertama punya gagasan atau ide mengenai hal itu dan mengusulkannya kepada Abu Bakr sewaktu dia ini menjabat sebagai khalifah. Sebab yang umum tercatat dalam riwayat pembukuan al-Qur’an ialah bahwa Abu Bakr merupakan tokoh yang dalam kekuasaan politiknya (sesuai dengan kedudukannya sebagai 1

Abu Bakr Abdullah ibn Abi Dawud, Kitāb al-Mashāhif, ed. A. Jefferey (Kairo, 1936/1355), h. 10. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

seorang khalifah) pertama kali memerintahkan pengumpulan al-Qur’an menjadi sebuah mushhāf, berdasarkan usul dan pendapat yang datang dari Umar tersebut. Salah satu penuturan berkenaan dengan usaha pertama membukukan al-Qur’an ialah yang menyangkut tiga tokoh: Abu Bakr, Umar, dan Zaid ibn Tsabit. Seorang ulama terkemuka, Ibn Hajar al-Asqalani, menuturkan sebuah kisah tentang hal itu sebagai berikut: Zaid menceritakan, Abu Bakr mengutus orang memanggil aku pada saat ketika banyak orang terbunuh dalam peperangan Yamamah. Lalu kudapati Umar ibn al-Khaththab ada bersamanya. Kata Abu Bakr, ‘‘Umar ini baru saja datang kepadaku, dan mengatakan demikian: ‘Dalam perang Yamamah kematian telah menimpa lebih banyak pada qurrā’ (para pembaca al-Qur’an), dan aku khawatir kematian serupa juga akan menimpa pada mereka dalam kejadian peperangan yang lain, dengan akibat banyak bagian dari al-Qur’an akan hilang. Karena itu aku berpendapat bahwa Anda (Abu Bakr, selaku khalifah) harus memerintahkan untuk mengumpulkan al-Qur’an.’” Tambah Abu Bakr, “Aku katakan kepada Umar: ‘Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang Nabi sendiri tidak melakukannya?!’ Dan Umar ini menjawab bahwa pekerjaan itu bagaimanapun juga adalah baik. Dia (Umar) tidak henti-hentinya menolak keberatan saya sehingga Allah membimbing saya ke arah usaha ini.’” Abu Bakr melanjutkan lagi, “Zaid, engkau adalah orang muda dan cerdas, dan kami tidak melihat cacat padamu. Engkau pernah bertugas mencatat wahyu untuk Nabi, karena itu carilah catatan-catatan al-Qur’an itu semua, dan kumpulkanlah.” (Kata Zaid), “Demi Allah, kalau seandainya mereka itu memintaku memindahkan gunung tentu tidak akan terasa lebih berat daripada yang mereka tuntut dariku untuk mengumpulkan al-Qur’an.” Karena itu kutanyakan bagaimana mungkin mereka melakukan sesuatu yang Nabi sendiri tidak melakukannya, tapi Abu Bakr menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Dia tidak henti-hentinya menolak keberatanku sampai D4E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI KODIFIKASI G

akhirnya Allah membimbingku ke arah usaha itu sebagaimana Dia telah membimbing Abu Bakr dan Umar. Karena itu aku pun mulailah mencari semua catatan-catatan al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang pipih, dan hafalan manusia. Aku temukan (catatan) ayat terakhir dari surat al-Tawbah yang dimiliki oleh Abu Khuzaimah al-Anshari, dan tidak kutemukan pada orang lain siapa pun juga, (yaitu ayat) “Sungguh telah datang kepadamu sekalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang merasakan beratnya penderitaan yang menimpamu, sangat memperhatikan keadaanmu, dan yang cinta kasih kepada kaum beriman. Maka jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, ‘Cukuplah bagiku Allah (saja), yang tiada Tuhan selain Dia, yang kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arasy (singgasana) yang agung.’” Lembaran-lembaran kitab suci (shuhuf) yang dikerjakan oleh Zaid demikian itu tetap tersimpan pada Abu Bakr. Setelah ia meninggal, lembaran-lembaran itu dipindahkan ke Umar yang kemudian setelah ia meninggal diserahkan kepada anak perempuannya, Hafshah (janda Nabi saw.).2

Kisah tentang dua ayat terakhir dari surat al-Tawbah (juga dikenal sebagai surat al-Barā’ah) yang menurut Zaid “hilang” dan kemudian diketemukan pada seorang sahabat Nabi bernama Abu Khuzaimah al-Anshari itu cukup menarik. Sebab hal itu menggambarkan suatu contoh peristiwa usaha sungguh-sungguh dari Zaid untuk mencari verifikasi dari setiap ayat yang hendak ditulis dalam mushhāf atau kodifikasinya. Sebab sesungguhnya Zaid sendiri mengetahui adanya ayat itu secara hafalan, namun ia tidak menemukan bukti tertulisnya. Sesuai dengan metodologi yang ia gunakan untuk mengecek keabsahan dan keotentikan ayat-ayat al-Qur’an yang ia kumpulkan, ia tidak mau menuliskan sesuatu kecuali jika tidak ada saksi baginya, paling tidak dari dua 2

Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bārī (13 jilid), (Kairo, 1939/1348), jil. 9, h. 9. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

orang. Metodologi ini telah lebih dahulu ditetapkan oleh Umar, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar: Berita bahwa Umar tidak akan menerima sesuatu untuk dimasukkan ke dalam mushhāf sampai adanya dua orang saksi bersedia memberi kesaksian menunjukkan bahwa Zaid tidak terima hanya karena sesuatu didapatinya telah tertulis. Lebih jauh, dalam metodologi pendekatannya yang sangat berhati-hati, dia menuntut agar orang yang mengaku menerima (ayat) al-Qur’an langsung dari lisan Nabi juga memberi kesaksian mereka, meskipun Zaid sendiri mengetahui bahwa ayat bersangkutan adalah bagian yang otentik dari al-Qur’an.3

Munculnya “Mushhāf ‘Utsmānī”

Teks dan pembukuan kitab suci al-Qur’an yang kini ada di tangan kita dikenal sebagai “Mushhāf ‘Utsmānī” (untuk mudahnya kita terjemahkan menjadi “Kodifikasi Utsmani”). Proses terwujudnya Kodifikasi Utsmani ini adalah seperti yang dituturkan dalam Kitāb al-Mashāhif demikian: Hudzaifah ibn al-Yaman datang kepada (Khalifah) Utsman langsung dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia di mana, setelah mempersatukan tentara dari Irak dan Syria, ia mempunyai kesempatan untuk menyaksikan perbedaan setempat berkenaan dengan al-Qur’an. “Wahai Amir al-Mu’minin,” ia memberi saran, “tanganilah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Kitab Suci seperti kaum Kristen dan Yahudi.” Utsman mengirim utusan ke Hafshah meminta dipinjami shuhuf (lembaran-lembaran catatan Kitab Suci yang ia warisi dari ayahandanya, Umar, berasal dari Abu Bakr, dan sekarang ada di tangannya) “sehingga kami dapat membuat 3

Ibid., h. 11. D6E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI KODIFIKASI G

salinannya ke dalam buku lain dan kemudian dikembalikan.” Dia (Hafshah) mengirimkan shuhuf-nya kepada Utsman yang memanggil Zaid, Sa‘id ibn al-‘Ash, Abdrrahman ibn Harits ibn Hisyam dan Abdullah ibn al-Zubair dan memerintahkan mereka untuk menyalin shuhuf itu ke beberapa naskah. Dan berbicara kepada sekelompok orang (Islam dari suku) Quraisy, dia (Utsman) berkata, “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid, maka tulislah kata-kata (dari al-Qur’an) itu menurut dialek Quraisy karena ia diturunkan dalam lisan (dialek) itu.” Setelah mereka selesai membuat salinan shuhuf tersebut, Utsman mengirim satu naskah ke masing-masing pusat terpenting wilayah kekhalifahan dengan perintah bahwa semua bahan tertulis tentang al-Qur’an yang ada, baik yang berupa lembaran-lembaran terpisah maupun yang berbentuk buku, harus dibakar. Al-Zuhri menambahkan, “Kharijah ibn Zaid mengatakan kepada saya bahwa Zaid menceritakan, ‘Saya menyadari bahwa sebuah ayat dari surat al-Ahzāb, yang pernah kudengar Nabi membacanya, hilang. Saya menemukannya dimiliki oleh Khuzaimah ibn Tsabit dan saya masukkan ayat itu pada tempatnya yang wajar.’”4

Kemudian ada riwayat lain yang pada dasarnya sama dengan yang di atas itu dengan beberapa informasi tambahan yang menguatkannya, demikian: Kami sedang duduk-dukuk di masjid dan Abdullah membaca al-Qur’an ketika Hudzaifah datang dan berkata, “Ini adalah bacaan menurut Ibn Umm ‘Abd! (maksudnya, Abdullah). Dan ini bacaan menurut Abu Musa! Demi Allah, kalau saya berhasil datang ke Amir al-Mu’minin (Utsman, di Madinah), saya akan usulkan agar ia menetapkan satu cara bacaan al-Qur’an!” Abdullah menjadi sangat marah dan berkata keras kepada Hudzaifah yang jatuh terdiam.5 4 5

Abu Bakr Abdullah ibn Abi Dawud, op. cit., h. 10. Ibid., h. 13 D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Yazid ibn Mu‘awiyah sedang berada dalam masjid pada zaman al-Walid ibn ‘Uqbah, duduk dalam sebuah kelompok yang di situ juga ada Hudzaifah. Seorang pejabat berseru: “Mereka yang mengikuti bacaan (al-Qur’an) versi Abu Musa hendaknya berkumpul di sudut dekat pintu Kindah! Dan mereka yang mengikuti bacaan versi Abdullah, hendaknya berkumpul dekat rumah Abdullah!” Bacaan mereka terhadap ayat 196 surat al-Baqarah tidak sama... Hudzaifah menjadi sangat marah, matanya merah, dia pun bangkit, menyingsingkan gamisnya sampai pinggang, meskipun ia sedang berada dalam masjid. Ini terjadi pada zaman Utsman. Hudzaifah berteriak: “Apakah ada orang yang mau pergi menemui Amir al-Mu’minin, atau aku sendiri yang akan pergi?! Inilah yang telah terjadi pada peristiwa sebelumnya!” Dia kemudian mendatangi (kelompok-kelompok tersebut) dan duduk, lalu berkata, “Allah telah mengutus Muhammad yang bersama para pendukungnya berperang melawan mereka yang menentangnya sampai akhirnya Allah memberi kemenangan kepada agama-Nya. Allah memanggil Muhammad dan Islam berkembang. Untuk menggantinya, Allah memilih Abu Bakr yang memerintah selama Allah mengehendaki. Kemudian Allah memanggilnya dan Islam berkembang cepat. Allah menunjuk Umar yang berdiri di tengah Islam. Kemudian Allah memanggilnya. Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya Allah memilih Utsman. Demi Allah! Islam berada dalam puncak perkembangannya sehingga kamu sekalian segera akan mengalahkan semua agama yang lain!”6

Rupanya perbedaan dalam bacaan al-Qur’an itu tidak hanya terjadi di tempat-tempat yang jauh dari Madinah, ibukota. Di Madinah sendiri pun terjadi perbedaan itu, seperti dituturkan dalam sebuah riwayat, demikian: Pada waktu pemerintahan Utsman, para guru mengajarkan (al-Qur’an) menurut bacaan ini atau bacaan itu kepada para murid6

Ibid., h. 11 D8E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI KODIFIKASI G

nya. Kalau seorang murid menjumpai sebuah versi bacaan dan dia tidak menemukan kesepakatan, mereka melaporkan perbedaan itu kepada guru mereka. Mereka kemudian membela versi bacaan mereka, sambil menyalahkan versi yang lain sebagai bidah. Berita itu sampai ke telinga Utsman yang kemudian bicara kepada orang banyak: “Kalian ada di sini dekat aku, dan berselisih tentang al-Qur’an, dengan membacanya secara berbeda-beda. Akibatnya, mereka yang berada jauh di pusat wilayah-wilayah Islam akan lebih-lebih lagi berbeda satu sama lain. Wahai para Sahabat Nabi! Bertindaklah dalam kesatuan! Marilah berkumpul dan membuat sebuah imam (naskah induk) untuk semua kaum Muslim!” Maka Utsman pun bertindak tegas. Seperti telah dikemukakan, ia perintahkan semua jenis naskah pribadi al-Qur’an supaya dimusnahkan, dan semua orang harus menyalin kitab suci menurut kitab induk yang telah dibagi-bagikan ke beberapa pusat terpenting wilayah Islam. Inilah asal mula adanya sebutan mushhāf ‘Utsmānī yang kini merupakan mushhāf bagi seluruh kaum Muslim, tanpa kecuali. Bahkan, sangat menarik bahwa kaum Syi’ah pun, yaitu kaum yang sebagian besar tidak begitu suka kepada Utsman, juga mengakui keabsahan mushhāf ‘Utsmānī ini, sehingga al-Qur’an yang ada pada seluruh umat Islam sejagad, sebagaimana telah dikemukakan, adalah praktis sama dan tanpa perbedaan sedikit pun juga antara satu dengan lainnya. Ini dinyatakan dengan jelas sekali tidak saja dalam wujud kesamaan mushhāf kaum Syi’ah dengan kaum Sunnah, juga dalam penjelasan yang termuat dalam beberapa cetakan mushhāf terbitan Iran, sebagai berikut: (Ini adalah al-Qur’an) dengan penulisan yang sangat bagus dan jelas, yang diambil berasal dari cara penulisan (rasm al-khathth) al-Qur’an yang asli dan tua yang dikenal dengan sebutan rasm al-mushhāf atau rasm ‘Utsmānī. Dan cara baca (qirā’at)-nya berasal dari yang paling mu‘tabar (absah), dari riwayat Hafsh dan ‘Ashim, yang dari jurusan lain juga berasal dari Amir al-Mu’minin Ali (as.) dan dari jalan ini berasal dari pribadi Nabi yang mulia (saw.). Dalam memberi nomor D9E


F NURCHOLISH MADJID G

ayat diambil berasal dari riwayat Abdullah ibn Habib al-Sullami, dari Imam Ali ibn Abi Thalib (as.), sehingga jumlah ayat itu ialah 6236 ayat.7

Memang ada versi keterangan lain tentang bagaimana umat Islam sampai kepada keadaan sekarang, yaitu memiliki kitab suci yang mutlak sama di seluruh muka bumi. Salah satu versi itu, seperti telah disinggung, mengatakan bahwa hal itu terjadi karena sesungguhnya pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushhāf sudah terjadi di masa Rasulullah saw. sendiri, atas perintah dan pengawasan beliau, kemudian para sahabat menyalin dan mencontohnya. Terakhir, sebagai kesimpulan dari semua ini ialah hal yang sesungguhnya sudah kita terima semua, yaitu bahwa kitab suci Islam, al-Qur’an, memiliki tingkat keotentikan dan keaslian yang tidak dapat diragukan sama sekali. Inilah keuntungan yang luar biasa, yang kini dinikmati kaum Muslim di seluruh muka bumi, berkat kebijakan yang berwawasan ke depan yang amat jauh dari para tokoh sahabat Nabi. Dan kenyataan ini, bagi kita kaum Muslim, membuktikan kebenaran janji Allah bahwa kitab suci-Nya itu akan selalu terpelihara dari kemungkinan pengubahan oleh manusia. [ ]

7

Keterangan itu, aslinya dalam bahasa Persia, termuat dalam keterangan tambahan pada mushhāf al-Qur’an (Teheran: Mu’assasah Intisyarat Shabirin, 1405 H), h. 983. D 10 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’‐MI‘RAJ Oleh Nurcholish Madjid

Peristiwa Isra’ (Isrā’) dan Mi’raj (Mi‘rāj) Nabi Muhammad saw. mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam sistem ajaran Islam. Negara kita, sebagai negara dengan sebagian besar penduduknya beragama Islam, telah menjadikan hari peringatan peristiwa amat penting itu sebagai hari libur nasional, dan peringatannya sendiri diadakan secara resmi di Masjid Istiqlal (Masjid Kemerdekaan), dengan dihadiri Presiden, Wakil Presiden, para anggota kabinet, para wakil negara Islam, dan para undangan terhormat lainnya. Jalannya peristiwa itu sendiri sudah sangat umum dikenal, dan menjadi tema-tema pokok berbagai ceramah dan tabligh untuk memperingatinya. Juga sudah dibeberkan dalam berbagai karya tulis, baik yang klasik maupun yang modern. Hikmahnya pun telah pula sangat luas diketahui, yang kiranya tidak perlu banyak disinggung di sini. Sebaliknya, dalam pembahasan kali ini akan dikemukakan segi-segi kesejarahan berkenaan dengan dua tempat suci yang terkait dengan peristiwa amat penting itu, yaitu Masjid Haram di Makkah dan Masjid Aqsha di Bait al-Maqdis. Tujuannya ialah memberi kesadaran historis kepada kita semua selaku pemeluk Islam dan yang memercayai sepenuhnya kejadian luar biasa Isra’ dan Mi‘raj itu, seperti dirintis oleh Ibn Khaldun, pelopor sesungguhnya filsafat sejarah dan ilmu-ilmu sosial, dan seperti dilakukan oleh Ibn Taimiyah. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Masjid Haram di Makkah

Masjid Haram (al-Masjid al-Harām), baik dalam arti bangunan masjid itu sendiri ataupun dalam arti keseluruhan kompleks Tanah Suci Makkah (sebagaimana dikemukakan para ahli tafsir al-Qur’an), adalah tempat bertolak Nabi saw. dalam menjalani Isra’ dan Mi’raj. Ini dijelaskan tanpa meragukan dalam al-Qur’an, surat al-Isrā’ (juga disebut surat Banī Isra’il), yaitu surat ke-17, ayat pertama: “Mahasuci Dia (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya di suatu malam, dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepada-Nya sebagian dari tandatanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar, Maha Melihat,” (Q 17:1).

Mengapa Nabi saw. dalam perjalanan suci itu bertolak dari Masjid Haram, kiranya adalah karena alasan yang amat jelas, yaitu karena beliau adalah orang Makkah dan tinggal di sana. Tetapi mungkin sekali ada kaitannya dengan sejarah Masjid Haram itu sendiri, sehingga perjalanan beliau yang bertolak dari Makkah (menuju Masjid Aqsha, dan terus ke Sidrat al-Muntaha) itu mempunyai makna lain, yaitu isyarat Makkah sebagai titik-tolak semua ajaran para Nabi dan Rasul, yaitu tawhīd (paham Ketuhanan Yang Mahaesa) dan Islām (sikap pasrah yang tulus kepada-Nya). Sebab dalam Kitab Suci al-Qur’an sendiri terdapat firman yang menegaskan bahwa “Sesungguhnya Rumah (suci) yang pertama didirikan untuk umat manusia ialah yang ada di Bakkah (Makkah) itu, sebagai bangunan yang diberkati dan merupakan petunjuk bagi seluruh alam,” (Q 3:96). Sebagai rumah ibadat yang pertama untuk umat manusia, Masjid Haram di Makkah itu menurut banyak ulama didirikan oleh Nabi Adam as. Adam dan istrinya Hawa, telah bersalah melanggar larangan Allah memakan buah pohon terlarang (yang oleh setan yang menggoda disebut syajarat al-khuld) (Q 20:120). Konon Nabi D2E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

Adam as. membangun Ka‘bah sebagai inti Masjid Haram itu segera setelah ia turun ke bumi, diusir dari surga, karena pelanggarannya tersebut. Tentang Adam sebagai yang pertama mendirikan Masjid Haram, dalam hal ini ialah Ka‘bah, terdapat sebuah hadis, bahwa Nabi saw. pernah menerangkan: Allah mengutus Jibril kepada Adam dan Hawa, dan berkata kepada keduanya: “Dirikanlah untuk-Ku Rumah Suci.” Lalu Jibril membuat rencana untuk keduanya itu. Maka mulailah Adam menggali dan Hawa memindahkan tanah sehingga bertemu air, lalu ada suara memanggil dari bawahnya: “Cukup untukmu, wahai Adam!” Setelah selesai membangun Rumah Suci itu, Allah memberi wahyu kepadanya: “Hendaknya engkau tawaf mengelilinginya.” Dan difirmankan kepadanya: “Engkau adalah manusia pertama, dan ini adalah Rumah Suci pertama.” Kemudian generasi pun silih berganti sampai saatnya Nabi Nuh menunaikan haji ke sana, dan generasi pun terus berganti sesudah itu sampai Nabi Ibrahim mengangkat fondasi daripadanya.1

Bahwa Nabi Ibrahim mengangkat fondasi bangunan itu, dijelaskan dalam al-Qur’an, berkaitan dengan firman-firman tentang kegiatan Ibrahim dan putranya, Isma’il, membangun (kembali) Masjid Haram, dalam hal ini khususnya Ka’bah: “Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan Isma’il mengangkat fondasi dari Rumah Suci itu, lalu berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui,’” (Q 2:127). Kita semua sudah tahu bahwa Nabi Ibrahim sampai di Makkah atas petunjuk Allah dalam perjalanan membawa anaknya, Isma’il beserta ibunya, Hajar. Ibrahim sendiri melukiskan bahwa Makkah adalah suatu lembah yang “tidak bertetumbuhan”, sehingga ia merasa iba dan sedih telah meninggalkan sebagian dari keturunan1

Al-Hajj Abbas Kararah, al-Dīn wa Tārīkh al-Harāmayn al-Syarīfayn (Makkah: Markaz al-Haramain al-Tijari, 1404 H/1984 M), h. 33-34. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

nya, yaitu Isma’il, di tempat yang tandus itu. Namun ia tetap berdoa untuk tempat itu dan para penghuninya, sebagaimana dituturkan dalam firman suci yang mengharukan sekali, demikian terjemahnya: “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian dari keturunanku di suatu lembah yang tidak bertetumbuhan, di dekat Rumah-Mu yang Suci. Wahai Tuhan kami, agar mereka menegakkan sembahyang, maka jadikanlah hati nurani manusia condong (mencintai) mereka, dan karuniakanlah kepada mereka bermacam buah-buahan, semoga mereka bersyukur,” (Q 14:37).

Agaknya sumber air yang ditemukan dalam galian oleh Adam dan Hawa itu ialah sumur Zamzam yang di sebelah Rumah Suci, yaitu Rumah Allah (Bayt-u ’l-Lāh, “Baitullāh”), Ka‘bah. Sumber itu, karena berada cukup jauh dalam tanah, kemudian hilang karena tertimbun pasir. Secara mukjizat sumber itu diketemukan kembali oleh Isma’il dan ibundanya, Hajar, pada saat keduanya untuk pertama kali tinggal di lembah itu dari Kana‘an, dan Ibrahim, ayah Isma’il meninggalkan mereka dengan pasrah kepada Allah. Zamzam menjadi daya tarik yang amat kuat bagi lembah itu, sehingga lambat laun tumbuhlah sebuah kota, yaitu Makkah atau Bakkah. Mula-mula adalah orang-orang Arab dari suku Jurhum yang meminta izin Hajar untuk ikut tinggal di Makkah. Mereka mengetahui adanya sumber air di lembah itu dalam suatu perjalanan dagang mereka dari Syria menuju negeri mereka di Arabia Selatan. Hajar mengizinkan, dengan syarat bahwa Zamzam tetap menjadi haknya untuk menguasai. Isma’il berumah tangga dengan wanita dari kalangan orang Arab itu, dan dari rumah tangga Isma’il itulah kelak tumbuh suku Arab Quraisy, dan dari suku ini kelak tampil Nabi Muhammad saw., penutup semua Utusan Tuhan. Dalam perjalanan waktu, sumur Zamzam yang telah diketemukan kembali oleh Isma’il dan ibundanya itu sempat hilang lagi D4E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

karena ditimbuni tanah dan pasir oleh suatu kelompok penduduk Makkah sendiri yang sedang berperang dengan kelompok lainnya, dan mereka menjalankan taktik “bumi hangus” terhadap Makkah, kemudian meninggalkan kota itu. “Politik bumi hangus” ini berhasil, karena sumur Zamzam tidak pernah lagi dapat diketemukan oleh penduduk Makkah sendiri yang tersisa. Sedikit demi sedikit keturunan Isma’il yang berhak atas Makkah itu kembali lagi, dan mereka inilah yang kemudian melahirkan suku Quraisy tersebut. Tokoh mereka yang sangat terpandang ialah kakek Nabi, Abd al-Muththalib. Melalui petunjuk dalam mimpi, kakek Nabi ini berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam setelah hilang sekian lama itu.2 Peninggalan pengalaman Ibrahim, Hajar, dan Isma’il telah menjadi patokan ibadat haji. Maka ibadat haji sebagian besar merupakan acara memperingati dan menapak-tilas (commemorative) tiga makhluk manusia yang dipilih oleh Allah untuk meletakkan dasar-dasar paham Ketuhanan Yang Mahaesa (Tawhīd) dan ajaran pasrah kepada-Nya (Islām). Selain ritus tawaf keliling Ka‘bah yang merupakan peninggalan Nabi Adam, manasik atau ritus haji lainnya merupakan upaya menghidupkan kembali pengalaman dan perjuangan tiga manusia, Ibrahim, Hajar, dan Isma’il, dalam menegakkan ajaran tauhid dan Islam: sa‘i antara dua bukit Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, turun ke Mina, melempar ketiga jumrah, dan berkorban binatang ternak. (Keterangan lebih lanjut tentang Makkah dan Masjid Haram serta kaitannya dengan manasik haji sudah amat terkenal, karena itu di sini dirasakan tidak perlu lagi diulang, kecuali hal-hal tersebut di atas yang amat pokok dan penting). Dari keturunan Isma’il tidak ada yang tampil menjadi Nabi kecuali Nabi Muhammad saw. Sedangkan dari keturunan Ishaq, yaitu putra Ibrahim dengan Sarah, tampil banyak Nabi, sehingga 2

Lihat, Sīrah Ibn Ishāq, terjemah Inggris oleh A. Guillaume “The Life of Muhammad” (Karachi: Oxford University Press, 1980). h. 62. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

sebagian besar tokoh-tokoh para Nabi yang dituturkan dalam al-Qur’an adalah tokoh-tokoh keturunan Ishaq itu, yang juga menjadi tokoh-tokoh dalam Bibel, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Tetapi Nabi Muhammad saw. adalah yang terbesar dan paling berpengaruh dari semua Nabi dan Rasul, dan merupakan penutup para Nabi dan Rasul Allah sepanjang masa. Peranan dan pengaruh Nabi Muhammad diakui oleh para ahli sejarah di mana pun (asalkan berpikir jujur) sebagai yang paling besar dalam sejarah umat manusia. Dalam Perjanjian Lama semua itu sudah diisyaratkan dengan tegas, demikian: Dan lagi kata Malaekat Tuhan kepadanya (Hajar): “Bahwa Aku akan memperbanyakkan amat anak-buahmu, sehingga tiada tepermanai banyaknya.” Dan lagi pula kata Malaekat Tuhan kepadanya: “Sesungguhnya engkau ada mengandung dan engkau akan beranak laki-laki seorang, maka hendaklah engkau namai akan dia Isma’il, sebab telah didengar Tuhan akan dikau dalam hal kesukaranmu.3 Maka akan hal Isma’il itu pun telah Kululuskan permintaanmu; bahwa sesungguhnya Aku telah memberkati akan dia dan membiakkan dia dan memperbanyakkan dia amat sangat dan duabelas orang raja-raja akan berpencar daripadanya dan aku akan menjadikan dia satu bangsa yang besar. Akan tetapi perjanjianku akan kutetapkan dengan Ishaq, yang akan diperanakkan oleh Sarah bagimu pada masa yang tertentu, tahun yang datang ini.4 Maka didengar Allah akan suara budak (anak kecil, yaitu Isma’il) itu, lalu berserulah Malaekat Allah dari langit akan Hajar, katanya kepadanya: “Apakah yang engkau susahkan, wahai Hajar? Janganlah takut, karena telah didengar Allah akan suara budak itu dari tempatnya. Bangunlah engkau, angkatlah budak itu, sokonglah dia, karena Aku hendak menjadikan dia suatu bangsa yang besar.” Maka 3 4

Kitab Kejadian, 16:10-11. Kitab Kejadian, 17:20-21. D6E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

dicelikkan Allah akan mata Hajar, sehingga terlihatlah ia akan suatu mata air, lalu pergilah ia mengisikan kirbat itu dengan air, diberinya minum akan budak itu. Maka disertai Allah akan budak itu sehingga besarlah ia, lalu ia pun duduklah (tinggal) dalam padang belantara dan menjadi seorang pemanah.5 Berbahagialah orang (Isma’il) yang kekuatannya adalah dalam Engkau, dan hatinya adalah pada jalan raya ke Ka‘bah-Mu. Apabila mereka itu melalui lembah pokok ratam dijadikannya mata air (Zamzam), bahkan seperti kelimpahan hujan awal menudungi mereka itu.6

Maka tampilnya Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul Allah yang penghabisan dapat dipandang sebagai wujud dari semua yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Ibrahim, Hajar, dan Isma’il itu. Juga merupakan wujud dikabulkannya doa Nabi Ibrahim sendiri agar di antara keturunan Isma’il kelak akan juga tampil seorang Rasul yang akan membacakan ayat-ayat Allah, dan mengajarkan Kitab Suci dan Hikmah Ilahi kepada mereka dan kepada umat manusia (Q 2:129). Semuanya itu kemudian dibuktikan dengan tampilnya bangsa Arab, di bawah pimpinan kaum Quraisy, untuk mengemban amanat Allah melalui agamanya yang terakhir, dan telah membawa pengaruh kepada kemajuan dan reformasi peradaban umat manusia sampai sekarang, dan seterusnya sepanjang zaman.

Masjid Aqsha di Bait al-Maqdis

Masjid Aqsha adalah tujuan perjalanan malam (isrā’) Nabi saw., serta titik-tolak beliau melakukan Mi‘rāj, menuju Sidrat al-Muntahā, menghadap Tuhan Seru sekalian alam. Ini dengan jelas disebutkan 5 6

Kitab Kejadian, 21:17-20. Mazmur, 84:5-6. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

dalam al-Qur’an, surat al-Isrā’, ayat pertama, sebagaimana telah dikutip di atas. Salah satu pengalaman Nabi saw. ketika berada di Masjid Aqsha itu ialah ketika beliau menjadi imam sembahyang untuk seluruh Nabi dan Utusan Allah, sejak dari Nabi Adam as. Ini jelas melambangkan persamaan dasar dan kontinuitas agama Allah seperti dibawa oleh para Rasul itu semuanya, dan agama itu kemudian berkembang sejak dari bentuk yang dibawa oleh Nabi Adam as. menuju bentuknya yang terakhir dan sempurna, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Karena itulah Nabi Muhammad saw. menjadi imam para Nabi dan Rasul di Masjid Aqsha itu, yang hal ini jelas sekali melambangkan dan menegaskan bahwa beliau, selaku penutup para Nabi dan Rasul, mewakili puncak perkembangan agama Allah, yaitu al-Islām (ajaran kepatuhan dan pasrah kepada Allah dengan tulus). Tentang bagaimana dapat terjadi bahwa Nabi Muhammad saw. bertemu dengan para Nabi, sejak dari Nabi Adam sampai Isa al-Masih, bahkan tentang bagaimana seluruh peristiwa perjalanan suci Isra’ dan Mi‘raj itu terjadi, tentulah merupakan rahasia Allah, menjadi bagian dari perkara gaib yang kita harus beriman kepadanya. Sementara itu, para ahli tafsir menuturkan tentang adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, apakah Nabi saw. mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu secara ruhanijasmani, ataukah ruhani saja. Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa Nabi saw. melakukan perjalanan suci itu secara ruhanijasmani sekaligus. Tetapi ada beberapa riwayat, seperti dari A’isyah, Mu’awiyah, dan al-Hasan (ibn Ali ibn Abi Thalib?), sebagaimana dikutip oleh al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyāf, bahwa Isra’ dan Mi’raj itu dialami Nabi secara ruhani saja.7 Tetapi sesungguhnya masalah itu, di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, tidaklah relevan. Karena apa pun yang dikehendaki oleh 7

Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi (467-538 H), Al-Kasysyāf (Teheran: Intisyarat Aftab, tanpa tahun), jil. 2, h. 437. D8E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

Tuhan tentu akan terjadi. Dan sekarang ini, dengan pertolongan ilmu pengetahuan modern, mungkin kita dapat menjelaskan sedikit lebih baik tentang masalah ini. Yaitu kalau kita lihat dalam kerangka teori kenisbian waktu seperti dikembangkan oleh Robert Einstein. Kalau Einstein dan para ilmuwan dapat membangun teori bahwa manusia dapat “berjalan-jalan” ke masa lalu dan masa mendatang — antara lain berdasarkan kenisbian waktu — yang teori itu telah dituangkan dalam tulisan-tulisan science fiction seperti ide tentang adanya “lorong waktu” (time tunnel), maka mungkin saja bahwa Nabi dalam Isra’ dan Mi’raj itu, dengan kehendak Allah karena dibebaskan oleh-Nya dari belenggu dimensi ruang-waktu, telah melakukan perjalanan dalam “lorong waktu”, sehingga beliau dapat melihat dan mengalami hal-hal di masa lalu dan di masa mendatang sekaligus. Sebab Allah sendiri pun tidak terikat ruang dan waktu, dan baik ruang maupun waktu itu tidak lain adalah ciptaan Allah semata, tidak mutlak, dan tidak abadi. Bahan-bahan bacaan, termasuk yang dirancang secara populer, sekarang dengan mudah dapat diperoleh mengenai hal ini. Jadi, sekali lagi, masalah bagaimana Nabi saw. mengalami Isra’ dan Mi’raj itu, di hadapan kehendak Allah dan kemahakuasaan-Nya, tidaklah terlalu relevan. Kita percaya kepada Allah, dan kita membenarkan terjadinya Isra’ dan Mi’raj itu dengan sepenuh hati, sebagaimana hal itu diteladankan oleh wisdom sahabat Nabi yang terdekat, Abu Bakr ra., sehingga beliau ini mendapat gelar al-Shiddīq (pendukung kebenaran yang tulus). Seperti halnya dengan pertemuan Nabi saw. dengan para Nabi dan para Rasul terdahulu sepanjang zaman dalam shalat bersama dan beliau menjadi imam, begitu pula pengalaman keberadaan Nabi di Masjid Aqsha adalah suatu pengalaman yang telah lepas dari dimensi ruang-waktu yang relatif. Sebab semasa Nabi melakukan perjalanan suci itu, Masjid Aqsha dalam arti bangunan fisiknya tidak ada, kecuali sisa beberapa bagiannya yang kurang penting. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Tentang bagaimana perjalanan nasib Masjid Aqsha itu dalam sejarah masa lalu sejak didirikan, al-Qur’an sendiri telah memberi keterangan yang cukup jelas, bahwa ia telah mengalami penghancuran total dua kali. Penafsiran keterangan dalam al-Qur’an itu dengan fakta-fakta sejarah menjadi amat penting, karena tanpa itu kita akan terjebak dalam cara berpikir a-historis, sesuatu yang dikritik keras oleh Ibn Khaldun dan Ibn Taimiyah. Keterangan dalam al-Qur’an tentang apa yang terjadi pada Masjid Aqsha sepanjang sejarahnya di masa lalu termuat dalam surat al-Isrā’, yaitu surat yang justru dibuka dengan peneguhan telah terjadinya perjalanan suci Nabi Muhammad saw. seperti telah dikutip di atas. Keterangan itu, dalam terjemahnya, adalah demikian: “Dan telah Kami takdirkan bagi Bani Isra’il dalam Kitab, ‘Kamu pasti akan membuat kerusakan di bumi dua kali, dan kamu akan menjadi amat sangat sombong. Maka tatkala telah tiba janji (takdir) yang pertama dari dua pengrusakan itu, Kami bangkitkan atas kamu hamba-hamba Kami yang memiliki kekuatan dahsyat, lalu mereka merajalela di setiap pelosok negeri. Ini adalah janji (takdir) yang telah terlaksana. Kemudian Kami kembalikan kepada kamu kekuasaan atas mereka (musuh-musuhmu), dan Kami karuniakan kepada kamu harta kekayaan dan keturunan, serta Kami jadikan kamu lebih banyak jiwa (warga). Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbaik untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka kamu berbuat jahat untuk dirimu sendiri pula. Maka tatakala tiba janji (takdir) yang kedua (dari dua takdir pengrusakan tersebut), (Kami utus hambahamba-Ku yang memiliki kekuatan dahsyat) agar mereka merusak wajah-wajahmu, agar mereka masuk masjid seperti mereka dahulu (pada janji pengrusakan pertama) masuk masjid, dan agar mereka menghancurkan sama sekali apa pun yang mereka kuasai. Semogalah Tuhanmu mengasihi kamu. Dan jika kamu kembali (membuat kerusakan), maka Kami pun akan kembali (memberi azab). Dan kami

D 10 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

jadikan jahanam sebagai penjara bagi orang-orang yang menentang (kafir),’” (Q 17:4-8).

Jadi dalam firman itu disebutkan bahwa anak-cucu Isra’il, yaitu kaum Yahudi, telah ditetapkan dalam Kitab (menurut para ahli tafsir dapat berarti Lawh al-Mahfūzh ataupun Kitab Taurat)8 akan membuat kerusakan di bumi dua kali, dan pada kedua peristiwa perusakan itu Allah mengirimkan azab-Nya kepada mereka, berupa hancur luluhnya Masjid Aqsha atau Bait Maqdis, dan terhinanya bangsa Yahudi. Sekarang, pertanyaannya ialah, apa dan kapan wujud terjadinya kedua peristiwa perusakan dan turunnya azab Allah itu? Sepeninggal Nabi (Raja) Sulaiman, Bani Isra’il terpecah menjadi dua, yaitu kelompok sepuluh suku Yahudi yang berkuasa di bagian selatan Palestina dan berpusat di Samaria, dan kelompok dua suku Yahudi (Yehuda dan Bunyamin) yang menguasai Yudea dan berpusat di Yerusalem atau Bait Maqdis. Dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyāf, Zamakhsyari mengatakan bahwa peristiwa perusakan yang pertama berupa pembunuhan Nabi Zakaria dan pemenjaraan Aramia, padahal sudah diperingatkan akan datangnya kemurkaan Allah jika mereka melakukan kejahatan itu. Sedangkan peristiwa perusakan yang kedua ialah pembunuhan Nabi Yahya, putra Nabi Zakaria, serta rencana mereka untuk membunuh Nabi Isa putra Maryam as. Tetapi, dalam keterangannya tentang siapa “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat (ulī ba’s-in syadīd)” yang dibangkitkan untuk menjadi alat mengazab kaum Yahudi itu, pada peristiwa perusakan pertama Zamakhsyari menyebutkan kemungkinan balatentera Sunjarib atau balatentera Nebukadnezar. Juga disebutkan adanya riwayat dari Ibn Abbas, bahwa mereka itu ialah balatentera Jalut (Goliath) yang membunuh para ulama Yahudi, membakar Taurat, menghancurkan Masjid (Aqsha) dan 8

Lihat A. Hassan, Al-Furqān (Bangil: Persis, 1401 H), h. 528, keterangan

1838 D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

membantai 70.000 orang Yahudi. Zamaksyari tidak menerangkan siapa “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” yang menjadi instrumen azab Tuhan pada peristiwa perusakan yang kedua oleh kaum Yahudi itu.9 Zamakhsyari tentu saja bukanlah satu-satunya yang mencoba menerangkan apa dan kapan serta bagaimana sebenarnya dua kali peristiwa perusakan oleh Bani Isra’il yang mengundang azab Ilahi yang dahsyat itu. Ibn Katsir, seorang penafsir al-Qur’an yang kenamaan, mengatakan bahwa para ulama Islam, baik yang terdahulu (salaf) maupun yang kemudian (khalāf) berselisih pendapat tentang siapa “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” tersebut tadi, serta kapan kejadiannya dan bagaimana. Ibn Katsir mengkritik beberapa sumber yang ia sebutkan sebagai lemah atau dla‘īf, dan menyebutkan tentang adanya cerita yang fantastis atau aneh tentang jalannya peristiwa tersebut. Namun mirip dengan Zamakhsyari, Ibn Katsir juga menyebutkan kemungkinan bahwa pada peristiwa perusakan yang pertama, mereka “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” itu adalah balatentera Raja Sunjarib dari al-Maushil, tapi juga mungkin Nebukadnezar dari Babilonia. Dan sama dengan Zamakhsyari, Ibn Katsir juga tidak mencoba menerangkan siapa “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” pada peristiwa perusakan yang kedua tersebut.10 Kitab tafsir lain yang cukup populer di Dunia Islam ialah Tafsīr al-Baidlāwī. Dalam tafsir ini al-Baidlawi, sedikit berbeda dan lebih masuk akal daripada Zamakhsyari, mengatakan bahwa peristiwa perusakan pertama oleh kaum Yahudi ialah sikap mereka meninggalkan ajaran-ajaran Taurat dan pembunuhan Nabi Sya’ya’ — ada yang mangatakan Nabi Aramiya’ (seperti dikatakan Zamakhsyari — lihat di atas) — dan peristiwa perusakan kedua ialah pembunuhan mereka atas Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, 9

Al-Zamakhsyari, op. cit., h. 438. Abu al-Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimsyaqi (wafat 774 H), Tafsīr ibn Katsīr (Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H), jil. 3, h. 26-27. 10

D 12 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

serta percobaan mereka untuk membunuh Nabi Isa al-Masih. Untuk yang pertama, al-Baidlawi tidak merasa pasti siapa yang berperan sebagai “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” yang dibangkitkan untuk menjadi instrumen azab Tuhan kepada Bani Isra’il itu: boleh jadi balatentra Nebukadnezar dari Babilonia, atau Jalut dari kalangan bangsa Filistin, atau Sunjarib dari Niniveh (al-Maushil, menurut Ibn Katsir — lihat di atas). Sedangkan untuk peristiwa perusakan kedua, al-Baildawi menyebutkan bahwa “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” itu ialah balatentera Persia, yang melalui mereka ini Allah membalas dendam atas pembunuhan Nabi Yahya.11 Kitab tafsir lain ialah Tafsīr al-Khāzin, yang memberi penjelasan sangat panjang lebar tentang peristiwa dua kali perusakan oleh Bani Isra’il tersebut. Sedikit mengulangi keterangan-keterangan seperti tersebut di atas, tafsir ini menegaskan bahwa pada peristiwa perusakan yang pertama “para hamba Allah yang berkekuatan dahsyat” itu ialah balatentera Nebukadnezar, sedangkan untuk peristiwa perusakan yang kedua ialah balatentera Herodus (Khirudusy). Namun dalam kitab tafsir ini juga disebutkan peristiwa penyerbuan Bait Maqdis oleh tentera Titus dari Roma, yang meluluhlantakkan Bait Maqdis dan membuatnya terbengkalai sampai tiba saatnya tempat suci itu dikuasi oleh umat Islam pada zaman Khalifah Umar ibn al-Khaththab yang memerintahkan kaum Muslim untuk membangun sebuah masjid di bekas tempatnya itu.12 Keterangan yang lebih ilmiah (dari sudut pandangan kesejarahan) diberikan oleh Ibn Khaldun, dalam kitabnya yang amat terkenal, Muqaddimah. Menurut ahli sejarah yang kesohor ini Nebukadnezar menaklukkan Samaria, kemudian Judea dan 11

Nashiruddin Abu Sa‘id Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairazi al-Baidlawi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl (Tafsīr al-Baidlāwī) (Beirut: Mu’assasat Sya‘ban, tanpa tahun), jil. 3, h. 196-197. 12 Alauddn Ali ibn Muhammad al-Baghdadi, terkenal dengan nama al-Khazin (wafat 725 H), Tafsīr al-Khāzin (Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl) (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), jil. 3, h. 152 dan 157. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

menyerbu Yerusalem, menghancurkan Masjid Aqsha, membakar Taurat dan mematikan agama Yahudi. Nebukadnezar kemudian memboyong orang-orang Yahudi ke negerinya (untuk dijadikan budak). Ini adalah peristiwa penghancuran Masjid Aqsha yang pertama. Selang 70 tahun seorang Raja Persia dari Dinasti Kiyaniyah (Achaemenid) berhasil mengembalikan bangsa Yahudi itu ke Yerusalem, setelah mengalahkan Babilonia dalam suatu peperangan. Kaum Yahudi membangun kembali masjid mereka (Masjid Aqsha) menurut bentuk aslinya (dari zaman Nabi Sulaiman). Tapi pusat ibadat itu hanya untuk kegiatan keagamaan para pendeta saja, tanpa makna kekuasaan politik seperti sebelumnya. Kekuasaan politik berada di tangan bangsa Persia. Iskandar Agung dari Yunani mengalahkan Persia, dan kaum Yahudi berada dalam kekuasaan Yunani. Tetapi kekuasaan ini segera melemah, dan kaum Yahudi bangkit kembali dan berhasil mengakhiri penjajahan Yunani. Kini kekuasaan kaum Yahudi ada di tangan kaum pendeta Hasmonean (Bani Hasymanaya), sampai mereka kemudian dikalahkan oleh bangsa Romawi. Pada waktu Romawi menyerbu Yerusalem, kaum Yahudi diperintah oleh Raja Herodus (yang agung), seorang penguasa Yahudi (konon berdarah Arab, namun berbudaya Yunani), yang kawin dengan wanita dari klan Hasmonean. Tentara Romawi, dipimpin oleh Titus, menghancurkan Yerusalem, meratakan Masjid Aqsha dengan tanah, dan mengasingkan orang-orang Yahudi ke Roma dan ke daerah yang lebih jauh lagi. Inilah penghancuran Masjid Aqsha yang kedua, dan peristiwa pengasingan tersebut disebut kaum Yahudi sebagai “Pengasingan Besar” (al-Jalwat al-Kubrā atau al-Jalā’ al-Akbar, the Great Exile).13 13

Ibn Khaldun, Muqaddimah (diedit oleh Suhail Zukar dan diberi anotasi oleh Khalil Syahadah) (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M), h. 288-289. Tentang kubah yang disebut Ibn Khaldun bahwa Bani Isra’il diperintahkan oleh Allah untuk membangunnya itu, ada yang mengatakan bahwa yang benar ialah bukannya kubah dari kayu, melainkan sebuah kemah besar dari D 14 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

Ibn Khaldun menuturkan keterangan kesejarahan yang sangat menarik tentang Bait Maqdis (juga disebut al-Bait al-Muqaddas, al-Quds, Yerusalem atau Ursyalim), demikian: Adapun Bait Maqdis, yaitu al-Masjid al-Aqsha, mula-mula, di zaman kaum Shabi’ah, adalah tempat kuil Zahrah (Dewi Venus). Kaum Shabi’ah menggunakan minyak sebagai sajian pengorbanan yang ditumpahkan pada karang yang ada di sana. Kuil Zahrah itu kemudian hancur. Dan Bani Isra’il, setelah menguasai Yerusalem, menggunakan karang tersebut sebagai kiblat. Hal ini terjadi sebagai berikut: Nabi Musa memimpin Bani Isra’il keluar dari Mesir, untuk memberi mereka Yerusalem yang telah dijanjikan oleh Allah kepada moyang mereka, Isra’il (Nabi Ya‘qub), dan kepada ayahnya, Ishaq, sebelumnya. Pada waktu mereka mengembara di gurun, Allah memerintahkan mereka membuat kubah dari kayu akasia yang ukurannya, gambarannya, efigi (haikal)-nya dan patung-patungnya ditetapkan dengan wahyu. Dalam kubah itu ditempatkan Tabut, meja dengan piring-piringnya dan tempat api dengan lampu-lampunya dan dibuatkan pula altar tempat berkorban, yang semuanya digambarkan dengan lengkap dalam Taurat. Maka kubah itu pun dibuat, dan di situ diletakkan Tabut Perjanjian (Tābūt al-‘Ahd, the Ark of Covenant), yaitu tabut yang di dalamnya terdapat lembaran batu yang dibuat sebagai ganti dari lembaran batu yang diturunkan (kepada Nabi Musa) dengan Sepuluh Perintah (al-Kalimāt al-‘Asyr, the Ten Commandments) karena telah pecah berantakan. Dan sebuah altar dibangun di sebelahnya. Allah membuat janji kepada Musa bahwa Harun adalah penaggungjawab upacara pengorbanan itu. Mereka mendirikan kubah itu di tengah perkemahan mereka di gurun, bersembahyang ke arahnya, melakukan pengorbanan pada altar di depannya, dan pergi ke sana untuk menerima wahyu. Ketika kulit, sebagai kemah pertemuan atau “aula” Bani Isra’il di gurun, dan disebut, dalam bahasa Ibrani, Tabernakel — (Lihat, Franz Rosenthal, Muqaddimah [terjemah Inggris], 3 jilid [New York: Pantheon Books, 1958], jil. 2, h. 258 catatan kaki 65). D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

Bani Isra’il berhasil menguasai Syam (Syria), mereka menempatkan kubah tersebut di Gilgal dalam kawasan Tanah Suci (al-Ardl al-Muqaddasah) antara Benjamin dan Ephraim. Kubah itu tetap berada di sana selama 14 tahun, tujuh tahun selama perang dan tujuh tahun selama pembagian negeri. Setelah (Nabi) Yosyua (Yusya’, Joshua) as. meninggal, mereka pindahkan kubah itu ke Syilu dekat Gilgal, dan mereka dirikan tembok sekelilingnya. Kubah itu berdiri di sana selama 300 tahun, sampai kemudian dikuasai oleh bangsa Filistin. Bangsa ini mengalahkan mereka (Bani Isra’il), kemudian (akhirnya) kubah itu mereka kembalikan, dan setelah matinya Eli (Ali) sang pendeta, dipindahkan ke Nob (Nuf ). Pada masa Thalut kubah itu dipindahkan ke Gibeon (Kab’un) di tanah Benjamin. Setelah Nabi Dawud as. berkuasa, ia pindahkan kubah dan Tabut itu ke Bait Maqdis, lalu ia bangun kemah khusus untuknya, dan diletakkan di atas Karang (Shakhrah) di sana. Kubah itu tetap menjadi kiblat yang diletakkan di atas Karang di Bait Maqdis. (Nabi) Dawud ingin membangun masjid di Karang itu, tertapi tidak selesai, dan diteruskan oleh putranya, Nabi Sulaiman, yang membangunnya pada tahun keempat dari kekuasaannya dan pada tahun 500 sejak wafat Nabi Musa as. Tiang-tiangnya dibuat dari perunggu, dan di dalamnya dibangun lantai dari kaca. Dinding-dinding dan pintu-pintunya dibalut dengan emas. Nabi Sulaiman juga menggunakan emas untuk memperindah efigi-efigi (hayākīl)-nya, patung-patungnya, bejana-bejananya, dan tungkutungkunya. Kunci-kuncinya dibuat dari emas. Di tengahnya dibuat semacam galian untuk meletakkan Tabut Perjanjian, yaitu Tabut yang di dalamnya terkandung lembaran-lembaran suci (berisi Sepuluh Perintah) yang dipindahkan dari Zion tampat ayahnya (Nabi Dawud) setelah diletakkan di sana untuk sementara waktu Masjid Aqsha itu sedang dibangun. Suku-suku Isra’il dan para pendeta mereka membawa Tabut itu dan menempatkannya di dalam lubang yang disediakan. Kubah, bejana-bejana, dan altar semuanya diletakkan dalam tempat-tempat yang telah disediakan dalam masjid. Keadaan tetap demikian selama dikehendaki Allah. D 16 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

Kelak, masjid itu dihancurkan oleh Nebukadnezar, setelah 800 tahun berdiri. Nebukadnezar membakar Taurat, tongkat (milik Nabi Musa), melelehkan efigi-efigi, dan memporak-porandakan batuanbatuannya. Kemudian para penguasa Persia mengizinkan Bani Isra’il kembali (ke Yerusalem). Uzair (Ezra), seorang Nabi dari Bani Isra’il saat itu, membangun kembali Masjid Aqsha, dengan bantuan penguasa Persia, Bahman (Artaxerxes), yang dalam kelahirannya berutang budi kepada Bani Isra’il yang digiring menjadi tawanan (di Babilonia) oleh Nebukadnezar. Bahman menetapkan batasanbatasan pembangunan kembali Masjid Aqsha dan membuatnya sebagai bangunan yang lebih kecil daripada yang ada di masa Nabi Sulaiman. Bani Isra’il tidak mau melanggar ketentuan itu .... Bangsa-bangsa Yunani, Persia, dan Romawi silih berganti menguasai Bani Isra’il. Selama masa itu, wewenang memerintah yang leluasa dipunyai Bani Isra’il, kemudian dilakukan oleh para pendeta Yahudi, kaum Hasmonean. Kaum Hasmonean sendiri kemudian diganti oleh Herodus yang punya hubungan perkawinan dengan mereka, kemudian diteruskan oleh anak-anak Herodus. Herodus membangun kembali Masjid Aqsha dengan sangat megah, mengikuti rencana Nabi Sulaiman. Ia menyelesaikan pembangunan itu selama enam tahun. Kemudian Titus, salah seorang penguasa Romawi, muncul dan mengalahkan bangsa Yahudi serta menguasai negeri mereka. Titus (tahun 70 Masehi) menghancurkan Yerusalem dan Masjid Aqsha yang ada di sana. Tempat bekas berdirinya masjid itu ia perintahkan untuk diubah menjadi ladang. Kemudian, bangsa Romawi memeluk agama al-Masih as., dan mulailah mereka mengagungkan al-Masih itu. Para penguasa Romawi maju-mundur untuk memeluk agama al-Masih, sampai datang masa Konstantin yang ibunya, Helena, telah memeluk agama Masehi. Helena pergi ke Yerusalem untuk menemukan kayu yang digunakan bagi penyaliban al-Masih, menurut pendapat mereka (orang Nasrani). Para pendeta memberi tahu kepadanya bahwa salib itu telah dibuang ke dalam tanah yang penuh sampah dan kotoran. Helena menemukan kayu salib itu, dan di tempat kotoran D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

itu ia dirikan Gereja Kotoran (Kanīsat al-Qumāmah, konon nama ejekan untuk Kanīsat al-Qiyāmah, “Gereja Kiamat”). Gereja itu oleh kaum Masehi dianggap berdiri di atas kubur al-Masih. Helena menghancurkan sisa-sisa sebagian dari Masjid Aqsha yang masih berdiri. Kemudian ia memerintahkan agar kotoran dan sampah dilemparkan ke atas Karang Suci sampai seluruhnya tertutup oleh sampah dan kotoran itu, dan letak Karang Suci menjadi tersembunyi. Helena menganggap inilah balasan yang setimpal kepada kaum Yahudi atas perbuatan mereka terhadap kubur al-Mashh .... Keadaan tetap bertahan seperti itu sampai datangnya Islam dan Umar datang untuk membebaskan Bait Maqdis dan menanyakan tempat Karang Suci itu, lalu ditunjukkan tempatnya dan ia dapatkan di atasnya tumpukan sampah dan tanah. Lalu ia bersihkan tempat itu dan ia dirikan masjid di atasnya menurut cara kaum Badui. Umar mengagungkan tempat itu sejauh yang diizinkan Allah dan sesuai dengan kelebihannya sebagaimana disebutkan dan ditetapkan dalam Induk Kitab Suci (Umm al-Kitāb, yakni, al-Qur’an). Kemudian Kha lifah al-Walid ibn Abd al-Malik mencurahkan perhatian untuk membangun masjidnya menurut model bangunan masjidmasjid Islam, sebagaimana dikehendaki Allah, seperti yang juga ia lakukan untuk Masjid Haram (di Makkah) dan Masjid Nabi saw. di Madinah.14

Kiranya kutipan dari keterangan Ibn Khaldun itu membantu memberi kejelasan kepada kita tentang riwayat Masjid Aqsha sehingga terbentuk seperti yang sekarang ini. Beberapa hal oleh Ibn Khaldun diterangkan lebih rinci. Misalnya, pembangunan oleh Helena (ibunda Raja Konstantin yang mendirikan Konstantinopel) akan “Gereja Kiamat” (“Gereja Kebangkitan”, karena menurut anggapan orang Masehi gereja itu berdiri di atas kubur Nabi Isa al-Masih setelah disalib, yang dari kubur itu beliau dibangkitkan kembali) terjadi pada tahun 328 Masehi, dan bahwa Helena 14

Ibid., h. 440-443. D 18 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

memerintahkan untuk membuang segala macam kotoran dan sampah ke atas Karang Suci (Shakhrah), kiblat orang Yahudi, sebagai penghinaan kepada mereka.15 Keterangan yang menarik lagi dari Ibn Khaldun menyangkut peranan Khalifah Umar ibn al-Khaththab, demikian: Umar ibn al-Khaththab datang ke Syam, dan mengikat perjanjian perdamaian dengan penduduk Ramalla atas syarat mereka membayar jizyah. Kemudian ia perintahkan Amr (ibn al-Ashsh) dan Syarahbil untuk mengepung Bait Maqdis, dan mereka lakukan. Setelah pengepungan itu membuat mereka (penduduk Bait Maqdis) sangat menderita, mereka meminta perdamaian dengan syarat bahwa keamanan mereka ditanggung oleh Umar sendiri. Maka Umar pun datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan untuk mereka yang teksnya (sebagian) adalah: “Dengan nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari Umar ibn al-Khaththab kepada penduduk Aelia (Īliyyā’, yakni, Bait Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.” Umar ibn al-Khaththab masuk Bait Maqdis dan sampai ke Gereja Qumamah (Qiyamah) lalu berhenti di plazanya. Waktu sembahyang pun datang, maka ia katakan kepada Patriak: “Aku hendak sembahyang.” Jawab Patriak: “Sembahyanglah di tempat Anda.” Umar menolak, kemudian sembahyang pada anak tangga yang ada pada gerbang gereja, sendirian. Setelah selesai dengan shalatnya itu ia berkata kepada Patriak: “Kalau seandainya aku sembahyang di dalam gereja, maka tentu kaum Muslim kelak sesudahku akan mengambilnya dan berkata, ‘Di sini dahulu Umar sembahyang.’” Dan Umar menulis (perjanjian) untuk mereka bahwa pada tangga itu tidak boleh ada jamaah untuk sembahyang dan 15

Ibn Khaldun, Tārīkh ibn Khaldūn (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), jil. 2, h. 175. D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

tidak pula akan dikumandangkan azan padanya. Kemudian Umar berkata kepada Patriak: “Sekarang tunjukkan aku tempat yang di situ aku dapat mendirikan sebuah masjid.” Patriak berkata: “Di atas Karang Suci (Shakhrah) yang di situ dahulu Allah pernah berbicara kepada Nabi Ya’qub.” Umar mendapati di atas karang itu banyak darah (di samping sampah dan kotoran), maka ia pun mulailah membersihkannya dan mengambil darah itu dengan tangannya sendiri dan mengangkatnya dengan bajunya sendiri. Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya, dan sampah itu bersih ketika itu juga, kemudian ia perintahkan untuk didirikan masjid di situ.16

Cukup banyak yang diterangkan oleh Ibn Khaldun tentang Bait Maqdis dan Masjid Aqsha. Tetapi beberapa keterangan tambahan yang penting masih diperlukan di sini. Para ulama, seperti Ibn Taimiyah, mengatakan bahwa yang sesungguhnya disebut al-Masjid al-Aqsha ialah seluruh kompleks di atas bukit Moria di Bait Maqdis atau Yerusalem itu, yang kompleks tersebut sekarang dikenal, dalam bahasa Arab, sebagai al-Harām al-Syarīf (Tanah Suci Mulia). Di atas kompleks al-Harām al-Syarīf itulah dahulu berdiri Masjid Aqsha yang pertama oleh Nabi Sulaiman (sebagaimana telah dikutip pembahasannya dari Ibn Khaldun di atas), yang oleh orang Arab juga dinamakan Haikal Sulaiman (dan diinggriskan menjadi Solomon Temple). Seperti telah dijelaskan oleh Ibn Khaldun yang dikutip di atas, Masjid Aqsha yang didirikan oleh Nabi Sulaiman ini dihancurkan oleh Nebukadnezar. Kemudian Uzair, dengan bantuan seorang Raja Persia, Bahman, membangunnya kembali secara sederhana. Lalu Raja Yahudi Herodus (yang agung, begitu kaum Yahudi menyebutnya), membangun kembali Masjid itu dengan amat megah, di saat-saat sekitar kelahiran Nabi Isa al-Masih. Masjid Aqsha yang kedua ini kemudian dihancurkan oleh Titus dari Roma, pada tahun 70 Masehi. Dan orang-orang Romawi, karena 16

Ibid., jil. 2, h. 268-269. D 20 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

kebencian mereka kepada bangsa Yahudi, berusaha melenyapkan sama sekali sisa-sisa keyahudian pada Bait Maqdis dan bekas Masjid Aqsha itu, dengan menjadikannya pusat penyembahan berhala mereka. Di atas bekas masjid itu mereka bangun patung Dewi Aelia, berhala Romawi, dan nama Yerusalem atau Bait Maqdis pun diubah menjadi Aelia Kapitolina, atau Aelia saja. Orang Arab mengenalnya sebagai Īliyyā’, sehingga nama ini pun tercantum dalam naskah perjanjian keamanan yang dibuat Umar untuk penduduk Bait Maqdis. Pada waktu Helena (ibu Raja Konstantin) membangun Gereja Kiamatnya, karena kemarahannya kepada kaum Yahudi ia perintahkan untuk menimbuni Shakhrah atau Karang Suci, kiblat kaum Yahudi, dengan sampah dan kotoran, selain ia perintahkan pula untuk menghancurkan sisa-sisa Masjid Aqsha (peninggalan Herodus) yang masih berdiri, sehingga yang akhirnya tersisa hanyalah sebuah tembok, yang oleh orang Yahudi disebut “Tembok Ratap” (Wailing Wall). Tembok itu kini merupakan tempat paling suci bagi kaum Yahudi dan menjadi tujuan kunjungan mereka yang terpenting. Keadaan seperti itulah yang didapati oleh Umar ibn al-Khaththab ketika masuk kompleks bekas Masjid Aqsha itu, yang kemudian ia dan kaum Muslim bersihkan, lalu didirikan masjid di situ. Sebelum menetapkan tempat masjid itu, Umar bertanya kepada seorang sahabat, bernama Ka‘b al-Ahbar, bekas pemeluk agama Yahudi, di mana sebaiknya diadakan sembahyang. Ka‘b menunjukkan tempat sebelah utara Karang atau Shakhrah, tampaknya dengan maksud agar sembahyangnya menghadap sekaligus ke arah Shakhrah itu (kiblat kaum Yahudi dan bekas kiblat pertama kaum Muslim) dan ke arah Masjid Haram di Makkah. Umar marah kepada Ka‘b, dan menuduhnya masih membawa-bawa semangat keyahudiannya. Lalu Umar memilih tempat di sebelah selatan Shakhrah, menghadap ke Makkah dan membelakangi Shakhrah itu. Di situlah Umar memerintakan didirikan masjid, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Khaldun. D 21 E


F NURCHOLISH MADJID G

Masjid itu, juga sebagaimana dituturkan Ibn Khaldun, kelak dibangun dengan megah oleh Khalifah al-Walid ibn Abd al-Malik. Tapi sebelum pembangunan masjid itu oleh Khalifah al-Walid, sebuah kubah yang sangat indah, yang ditopang oleh bangunan bersegi delapan (oktagonal) pada tahun 72 H/691 M didirikan oleh Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan, ayah al-Walid, persis di atas Shakhrah atau Karang Suci itu. Bangunan ini kemudian dikenal sebagai Qubbat al-Shakhrah (diinggriskan menjadi The Dome of the Rock), karena dirancang untuk melindungi Karang Suci, kiblat pertama Islam, dan tempat Nabi saw. menjejakkan kaki beliau menuju Sidrat al-Muntahā dalam peristiwa Mi’raj. Karang Suci itu sendiri berbentuk batu besar yang berlubang di tengahnya, berukuran 18 kali 14 meter. Pada waktu Qubbat al-Shakhrah ini didirikan, Makkah berada di tangan kekuasaan Abdullah ibn al-Zubair yang memberontak kepada Bani Umayyah di Damaskus, sehingga kaum Muslim Syam (Syria) tidak dapat menunaikan ibadat haji. Karena itu ada yang mengatakan bahwa motif Abd al-Malik ibn Marwan mendirikan Qubbat al-Shakhrah ialah untuk mengalihkan perhatian kaum Muslim dari Abdullah ibn al-Zubair. Tetapi banyak para ahli yang mengatakan bahwa motif sesungguhnya Abd al-Malik ibn Marwan membangun Kubah Karang itu ialah untuk menegaskan kemenangan dan keunggulan Islam di atas agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani, persis di pusat kedua agama itu sendiri, yaitu Bait Maqdis atau Yerusalem.17 Dan begitulah keadaannya sampai saat sekarang ini. Sebagai penutup, dapatlah disimpulkan bahwa kejadian Isra’Mi’raj Nabi saw., selain merupakan perjalanan metafisis dan luar biasa maknanya sebagai pengalaman keagamaan yang amat tinggi (bahkan tertinggi, karena Nabi telah mencapai Sidrat al-Muntahā, “tempat” yang paling tinggi dalam susunan wujud ini), adalah juga suatu peristiwa yang amat erat terkait dengan sejarah agama Allah 17

Lihat pembahasan dalam Andrew Rippin, Muslims, Their Religious Beliefs and Practices (New York: Routledge, 1991), Vol. 1, h. 53-54. D 22 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI ISRA’-MI’RAJ G

di kalangan umat manusia. Karena itu makna dan siginifikansi peristiwa metafisis itu akan masih terasa pada umat manusia, dan akan terus terungkap sepanjang sejarah, sesuai dengan janji yang lebih menyeluruh dari Allah: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka (umat manusia) tanda-tanda kebesaran Kami di seluruh cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sehingga akan jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Benar adanya,” (Q 41:53). Demikianlah, semoga Allah selalu membimbing kita untuk semakin mampu menyingkap kebenaran-Nya dan menangkap pesan-Nya sesuai dengan janji tersebut. [ ]

D 23 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH Oleh Nurcholish Madjid

Apakah peristiwa Hijrah Nabi dari Makkah ke Yatsrib (yang kelak diubah namanya menjadi Madinah) itu semata-mata peristiwa historis-sosiologis, ataukah merupakan peristiwa yang mengandung makna keruhanian yang besar semata? Jawabnya dapat diberikan dari berbagai segi. Jika diingat bahwa Nabi saw. melakukan Hijrah itu hanya setelah mendapatkan petunjuk dan izin Allah (seperti dapat disimpulkan dari turunnya berbagai ďŹ rman suci yang memberi isyarat kepada Nabi bahwa peristiwa besar itu akan terjadi dan akan merupakan titik-balik bagi kemenangan beliau serta kaum beriman, dan seperti juga dengan jelas dapat dipahami dari percakapan Nabi dengan Abu Bakr pada saat-saat terakhir sebelum meninggalkan Makkah), maka Hijrah adalah sebuah peristiwa supranatural seperti mukjizat. Tetapi dari sudut bahwa al-Qur’an sendiri senantiasa menegaskan bahwa segala peristiwa yang menyangkut kelompok manusia, dalam hal ini terutama pola kehidupan kolektifnya, selalu mengikuti Sunnatullah yang tidak berubah-ubah (dan yang kita diperintahkan untuk mempelajari dan mengambil pelajaran dari yang telah lalu), peristiwa Hijrah adalah peristiwa historis-sosiologis. Yaitu peristiwa yang terjadi dengan mengikuti Sunnatullah yang tak berubah-ubah tersebut. Peristiwa Hijrah juga dapat disebut sebagai peristiwa kesejarahan karena dampaknya yang demikian besar dan dahsyat pada perubahan sejarah seluruh umat manusia. Kalau sebuah buku yang D1E


F NURCHOLISH MADJID G

membahas tokoh-tokoh umat manusia sepanjang sejarah menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai yang terbesar dan paling berpengaruh daripada sekalian tokoh, bukti dan alasan penilaian dan pilihan itu antara lain didasarkan kepada dampak kehadiran Nabi dan agama Islam, yang momentum kemenangannya terjadi karena peristiwa Hijrah. Dari sudut pandang ini tepat sekali tindakan Khalifah Umar ibn al-Khaththab untuk memilih Hijrah Nabi sebagai titik-permulaan penghitungan kalender Islam, dan bukan, misalnya, memilih kelahiran Nabi (yang saat itu tentunya belum menjadi seorang Nabi, melainkan hanya seorang bayi Muhammad). Tindakan Umar itu mencocoki prinsip besar Islam, yaitu “penghargaan dalam Jahiliah berdasarkan keturunan, dan penghargaan dalam Islam berdasarkan prestasi kerja�. Dan prestasi kerja Nabi saw. mendapatkan momentumnya dengan terjadinya Hijrah, sehingga ketika wafat, Nabi Muhammad saw. adalah seorang Utusan Allah yang paling sukses dan paling besar pengaruhnya kepada umat manusia. Maka menirukan jargon yang sering muncul dalam masyarakat, salah satu inti makna Hijrah ialah semangat mengandalkan penghargaan karena prestasi kerja, bukan karena pertimbangan-pertimbangan kenisbatan (ascriptive) yang sekadar memberi gengsi dan prestise seperti keturunan, asal daerah, kebangsaan, bahasa, dan lain-lain. Selain sejalan dengan prinsip di atas, pandangan ini juga merupakan konsekuensi penegasan al-Qur’an bahwa seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali yang ia usahakan sendiri (Q 53:36-42).

Hijrah sebagai Peristiwa Supranatural

Jadi, berdasarkan itu, sekali lagi, Hijrah adalah pristiwa historis yang amat besar, bahkan yang paling besar dalam sejarah umat manusia jika dilihat dampak yang dihasilkannya. Walaupun begitu D2E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

Hijrah adalah sekaligus peristiwa metafisis, yang dari berbagai segi termasuk mukjizat Nabi dan tindakan supranatural beliau. Untuk kelengkapan pembahasan tentang Hijrah ini, dirasa perlu memahaminya sebagai peristiwa supranatural terlebih dahulu. Artinya, memandangnya sebagai sebuah peristiwa yang tidak akan terjadi tanpa “campur tangan” Tuhan secara langsung, baik dalam penyiapan, perencanaan, maupun perlindungan-Nya. Menurut sebagian para ahli, salah satu firman Allah yang merupakan isyarat kepada terjadinya Hijrah yang membawa kemenangan besar bagi Nabi saw. itu ialah (terjemahnya): “Apakah mereka (kaum kafir Makkah) berkata, ‘Kami adalah kelompok yang menang?’ Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka lari terbirit-birit. Sunnguh, saatnya akan datang sebagai janji kepada mereka, dan saat itu akan sangat menyedihkan dan sangat pahit (bagi mereka),” (Q 54:45-47). Bahkan ada isyarat dari al-Qur’an bahwa Nabi akan keluar dari kota tumpah darahnya yang amat dicintai, yaitu Makkah, namun akan kembali dengan penuh kemenangan, dengan izin Allah: “Sesungguhnya Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran al-Qur’an sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad) tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu (Makkah),” (Q 28:85). Mendengar antisipasi dan prediksi serupa itu kaum kafir Quraisy hanyalah mengejek dan menertawakan saja. Tahun-tahun terakhir menjelang Hijrah, bagi Nabi dan kaum beriman adalah saat-saat yang penuh kesulitan. Oleh karena itu tidak heran bahwa kaum kafir merasa kemenangan sudah di ambang pintu, dan Nabi berserta kaum beriman akan segera lenyap dari muka bumi. Maka mereka hanya mengejek saja jika ada prediksi bahwa kaum beriman, di bawah pimpinan Nabi, akan mendapatkan kemenangan dan kaum kafir akan hancur. Menurut sebagian ulama bahkan surat al-Rūm (surat No. 30) ayat-ayat pertama yang meramalkan kemenangan Romawi Timur (Bizantium) atas Persia juga merupakan prediksi tidak lanngsung bagi kemenangan Nabi dan kaum beriman terhadap kaum kafir. Pertama, karena kaum beriman bersimpati kepada Romawi, tidak D3E


F NURCHOLISH MADJID G

kepada Persia, sementara kaum kafir Makkah bersimpati kepada Persia, tidak kepada Romawi. Kedua, keadaan Romawi saat itu, setelah dikalahkan oleh Persia, adalah porak-poranda sehingga sepintas lalu mustahil akan dapat menang atas Persia yang perkasa. Tetapi kenyataannya Romawi menang tidak lama setelah turun surat alRūm itu. Berarti bahwa kaum beriman pun, dalam keadaan yang sangat lemah dan yang dirundung berbagai kesulitan, juga dapat menang atas kaum kafir Makkah yang kaya dan kuat. Semuanya itu terbukti menjadi kenyataan setelah Hijrah, dimulai dengan perang Badar yang merupakan titik-balik seluruh sejarah umat Islam (dan sejarah umat manusia). Karena itu dalam al-Qur’an perang Badar itu disebut “Hari yang menentukan” (Yawm al-Furqān — Q 8:41).

Tahun Kesedihan

Dari sudut tinjauan historis-soiologis, peristiwa Hijrah adalah puncak dari rentetan berbagai peristiwa yang panjang, sepanjang masa perjuangan Nabi saw. menegakkan kebenaran di Makkah. Di bawah ini kita coba tuturkan kembali beberapa peristiwa yang memberi ilustrasi tentang segi kesejarahan dan sosiologis Hijrah. Sebab-sebab peristiwa-peristiwa itu mengawali kepindahan Nabi dari Makkah ke Yatsrib, merupakan pendahuluan atau penyiapan terjadinya peristiwa bersejarah itu. Telah lewat lebih dari sepuluh tahun Nabi berjuang menegakkan kebenaran di Makkah, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Nabi lebih-lebih lagi mengalami banyak kesulitan karena kematian istri beliau, Khadijah, yang selama ini mendukung dan memberanikan beliau dengan amat setia. Setelah itu wafat pula paman beliau, Abu Thalib (ayah Ali, yang kelak menjadi menantu beliau dan terpilih sebagai khalifah keempat). Sebagai tokoh besar klannya, Abu Thalib dengan penuh ketulusan dan tanggung jawab melindungi Nabi, seorang anggota klan dan kemenakannya, dari D4E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

serangan orang-orang kafir Makkah. Karena wibawanya, perlindungan itu sangat efektif, dan untuk selama ini Nabi merasa aman, dengan gangguan yang tidak berarti. Kematian Khadijah dan Abu Thalib membuat tahun kesepuluh dari Kenabian menjadi tahun yang amat sulit bagi Nabi, maka disebut “tahun kesedihan” (‘ām al-huzn). Kini jalan terbuka lebar bagi kaum kafir Makkah untuk menyiksa Nabi dan menghalangi tugas suci beliau. Suatu saat, misalnya, Nabi masuk rumah dengan kepala beliau penuh pasir, akibat ulah seorang Quraisy yang dungu. Salah seorang putri beliau menolong Nabi membersihkan kepalanya dari pasir, sambil menangis. Nabi menasehatinya: “Janganlah engkau menangis, wahai anakku, sebab Allah akan melindungi ayahmu.” Beliau juga mengatakan: “Orang Quraisy tidak dapat berbuat sesuatu yang tidak aku sukai, sampai meninggalnya Abu Thalib.”1 Karena merasakan kerasnya perlawanan kaum Quraisy Makkah, Nabi saw. mencoba menyampaikan seruan suci beliau ke luar kota. Tha’if yang merupakan kota pilihan yang wajar. Selain jaraknya yang tidak begitu jauh dari Makkah, kota itu menduduki tempat kedua terpenting dalam jajaran kota-kota di Hijaz. Karena terletak di pegunungan dengan udara yang segar dan tanah yang subur, Tha’if menjadi tempat peristirahatan para saudagar kaya dari Makkah, dengan villa-villa dan kebun-kebuh yang indah. Disertai oleh Zaid (ibn Haritsah), Nabi datang ke kota itu dan menyampaikan seruan beliau. Tetapi, sama dengan di Makkah, Nabi menjumpai penolakan dan perlawanan yang keras dari penduduk Tha’if. Dan atas hasutan tokoh mereka, penduduk Tha’if beramai-ramai menghalau Nabi dan Zaid, sambil melempari keduanya dengan batu. Dalam keadaan luka parah Nabi dan Zaid meninggalkan Tha’if. Beliau berdua sedikit tertolong oleh kebaikan dua orang pemilik kebun di luar kota yang melihat Nabi dan Zaid yang menderita 1

Abd al-Salam Harun, Tahdzīb Sīrah Ibn Hisyām (ringkasan kitab biografi Nabi oleh Ibn Hisyam) (Beirut: Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1399 H/1979 M), h. 95. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

berat itu berteduh di bawah sebuah pohon di kebun mereka. Kedua orang itu ialah Utbah dan Syaibah, dari Makkah dan, seperti Nabi sendiri, keturunan Abd al-Manaf. Mereka menyaksikan perlakuan penduduk Tha’if kepada Nabi dan Zaid, dan merasa iba kepada keduanya ini. Mereka suruh salah seorang budak mereka bernama Addas membawa setandan anggur untuk ditawarkan kepada Nabi dan Zaid. Ketika Nabi menerima anggur itu dan hendak memakannya, beliau membaca: “Bismi ’l-Lāh.” Mendengar bacaan itu, Addas mengatakan: “Kata-kata itu bukanlah yang biasanya diucapkan orang di negeri ini.” Lalu Nabi balik bertanya kepada Addas: “Dari negeri mana kamu? Dan apa agamamu?” Dijawab oleh Addas: “Aku seorang Nasrani, dan aku datang dari Niniveh.” Disahut oleh Nabi: “Dari kota tempat seorang yang benar, Yunus putra Matta.” Addas bertanya: “Dari mana tuan mengetahui tentang Yunus putra Matta?” Nabi menjawab: “Ia adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi, dan aku adalah seorang Nabi.” Lalu Addas membungkukkan badan kepada Nabi, mencium kepala, tangan dan kaki beliau. Kedua pemilik kebun itu menyaksikan dari jauh tingkah laku Addas, budak mereka. Ketika kembali, Addas ditanya: “Hati-hati, Addas! Apa yang membuatmu mencium kepala, tangan dan kaki orang itu?” Ia menjawab: “Tuan, tidak ada di muka bumi ini yang lebih baik daripada orang itu! Ia telah bercerita kepadaku tentang sesuatu yang hanya seorang Nabi yang tahu.” Kedua juragan itu berkata: “Hati-hati kau Addas, janganlah kau biarkan orang itu membelokkan engkau dari agamamu, sebab agamamu lebih baik daripada agamanya!”2 Nabi kembali ke Makkah dengan perasaan tidak menentu tentang nasib beliau berhadapan dengan kaum Quraisy, karena beliau kini tidak lagi memiliki tokoh-tokoh pelindung dan pembela. Karena itu beliau tidak langsung pulang ke rumah di kota, melainkan singgah di gua Hira’, tempat beliau dahulu berkhalwat (menyepi). Dari sana beliau mengirim utusan untuk meminta per2

Ibid., h. 98. D6E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

lindungan beberapa tokoh Quraisy sehingga beliau aman masuk kembali ke rumah. Namun usaha itu tanpa hasil. Kemudian beliau ingat seorang tokoh Quraisy yang bernama Muth’im ibn Adiy, pemimpin klan Naufal, yang cukup berwibawa dan baik hati. Beliau meminta kepadanya jaminan perlindungan untuk masuk kota, dan Muth’im menyetujuinya. Muth’im memanggil semua anak lelaki dan kemenakannya, melengkapi mereka dengan senjata dan baju perang. Dengan jaminan perlindungan oleh Muth’im dan anak-anaknya ini, Nabi saw. bersama Zaid pun masuk kota. Ketika beliau sampai di Ka‘bah, Muth’im berdiri tegak di atas ontanya, dan dengan suara sekeras-kerasnya berseru: “Wahai kaum Quraisy! Aku telah berjanji untuk memberi perlindungan kepada Muhammad. Karena itu janganlah ada seorang pun yang mengganggunya!” Abu Jahal bertanya, apakah mereka, Muth’im dan kelompoknya, telah menjadi pengikut Muhammad. Mereka menjawab, “Kami hanya memberinya perlindungan.” Mendengar itu klan Bani Makhzum hanya dapat berkata: “Orang yang kamu lindungi, akan kami beri pula perlindungan.” Dengan begitu Nabi pun aman, dan beliau dapat kembali pulang ke rumah.3 Berada di Makkah kembali, Nabi hidup kesepian. Beliau berdoa kepada Tuhan tentang siapa yang sebaiknya hendak beliau nikahi. Tidak lama Malaikat Jibril datang dengan membawa selembar kain sutera, yang padanya tertera potret A’isyah, putri Abu Bakr, sahabat beliau yang paling setia. Tapi A’isyah saat itu baru berumur 10 tahun, sementara Nabi telah berumur lebih dari 50 tahun. Lagipula Abu Bakr telah menjanjikan A’isyah untuk dijodohkan dengan Jubair, anak Muth’im. Karena itu terhadap Jibril Nabi hanya berkata: “Kalau memang Allah menghendaki tentu akan terjadi.” Tapi beberapa hari sesudah itu Nabi melihat dalam mimpi datangnya Jibril membawa lembaran sutera yang sama, dan beliau 3

Martin Lings, Muhammad, His Life Based on the Earliest Sources (New York: Inner Traditions International, 1983), h. 100. Lihat juga, Muhammad Zafrullah Khan, Muhammad, Seal of the Prophets (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), h. 58. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

meminta kepadanya untuk ditunjukkan isinya. Ketika disingkap, tampak lagi gambar A’isyah, dan sekali lagi Nabi hanya berkata: “Kalau ini kehendak Allah, tentu akan terlaksana.” Meskipun telah mendapatkan isyarat dari Jibril, Nabi tidak segera menikahi A’isyah. Bahkan beliau tidak menyampaikan isyarat Jibril itu kepada siapa pun, termasuk kepada Abu Bakr. Tapi kemudian datang peneguhan yang ketiga bahwa beliau harus menikahi A’isyah, kali ini dari seorang wanita bernama Khaulah, istri Utsman ibn Mazh‘un, seorang sahabat Nabi yang amat saleh dan banyak beribadat, lagi pula kaya raya. Wanita itu banyak memperhatikan keperluan Nabi sepeninggal Khadijah. Ketika Nabi bertanya kepadanya tentang siapa wanita yang sebaiknya beliau nikahi, Khaulah menjawab: “A’isyah putri Abu Bakr atau Saudah putri Zam‘ah.” Saudah adalah seorang janda, berusia sekitar 30 tahun. Suaminya, Sakran, adalah salah seorang sahabat Nabi yang berhijrah ke Habasyah (Abessinia atau Ethiopia), namun wafat tidak lama setelah kembali ke Makkah. Nabi meminta kepada Khaulah untuk mengatur perkawinan beliau dengan kedua wanita yang disebutnya itu (A’isyah dan Saudah). Saudah dengan senang hati menerima lamaran Nabi, dan memilih iparnya, Hathib, juga seorang Sahabat Nabi yang baru kembali dari hijrahnya ke Habasyah, sebagai pihak yang mengawinkannya dengan Nabi. Sementara itu, Abu Bakr mendekati Muth‘im, memintanya untuk membatalkan rencana perkawinan A’isyah dengan anaknya, Jubair. Muth‘im menerima, dan setelah beberapa bulan A’isyah pun dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr, kepada Nabi, tanpa kehadiran A’isyah sendiri. Dan Nabi tidak segera hidup berumah tangga dengan A’isyah, kecuali bertahun-tahun setelah pernikahan resmi beliau, yaitu kelak di Madinah setelah Hijrah. (Para ulama mengatakan bahwa perkawinan Nabi dengan A’isyah, sebagaimana terlihat dari “ikut-campur”-nya Jibril, sesungguhnya adalah rencana Ilahi. Karena A’isyah masih sangat muda dan dengan begitu, sesuai dengan takdir-Nya, dia akan hidup lama setelah Nabi sendiri wafat, D8E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

maka akan ada “sumber hidup” untuk mengetahui detail kehidupan privat Nabi yang perlu diketahui kaum beriman untuk diteladani. Dan yang terjadi memang demikian: A’isyah hidup cukup lama setelah Nabi, dan memerankan diri sebagai guru kaum beriman, khususnya berkenaan dengan kehidupan pribadi Nabi untuk dicontoh orang banyak. Terutama di bidang itu, A’isyah adalah perawi hadis yang kaya dan subur).4 Sementara itu, Nabi meneruskan perjuangan beliau menyampaikan seruan suci Islam kepada suku-suku sekitar Makkah dan di Arabia, seperti suku-suku atau klan-klan Bani Maharab, Farazah, Ghassan, Marrah, Hanifah, Suldim, Abs, Kindah, Kalb, Harits, Azrah, Hadzramah, dan lain-lain. Namun semua usaha itu berlalu tanpa hasil yang memadai. Dalam keadaan serba-sulit itu, peristiwa kecil terjadi menyangkut Abu Bakr. Ia mendirikan sebuah mushalla kecil di sebelah rumahnya, di mana ia sembahyang dan membaca al-Qur’an. Mushalla itu tanpa atap, dan dinding yang mengelilinginya pun tidak terlalu tinggi, sehingga mudah dilongok orang dari luar. Ini rupanya menggusarkan hati kaum kafir Makkah, karena orang yang kebetulan lewat dekat mushalla itu dan melongoknya, sering tertarik oleh ibadat Abu Bakr, lebih-lebih oleh ayat-ayat suci yang dibacanya. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian menyatakan diri menerima Islam. Maka kaum kafir Makkah mengutus Ibn al-Dughunnah, meminta kepada Abu Bakr untuk membongkar mushallanya itu, atau membuatnya bangunan tertutup sama sekali sehingga tidak menarik perhatian orang luar. Abu Bakr dengan tegas menolak, dan mengancam untuk membatalkan perjanjian damai dengan Ibn al-Dughunnah, sambil menyatakan: “Cukup bagi saya perlindungan dari Allah!” Persis pada hari itu pulalah Nabi saw. memberitahu Abu Bakr dan para sahabat yang lain: “Aku telah diberitahu tempat hijrah kalian: aku melihat tanah dengan pengairan yang cukup, kaya dengan pohon-pohon kurma, terletak 4

Khan, ibid., h. 61-62. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

di antara dua alur batu-batu hitam.” Dan yang digambarkan Nabi itu tidak lain ialah Yatsrib atau Madinah, kota oase.5

Perjanjian ‘Aqabah I

Yatsrib adalah sebuah kota di sebelah utara Makkah sekitar empatratus kilometer, sebuah kota oase yang hijau karena pepohonan kurma. Penduduknya terdiri dari orang-orang Arab dan Yahudi. Suku-suku Yahudi di sana ialah: Bani Nazhir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah. Mereka ini mempunyai Kitab Suci, lebih terpelajar daripada penduduk Yatsrib yang lain, dan menguasai perdagangan. Sedangkan suku-suku Arabnya ialah Aus dan Khazraj. Kedua suku Arab ini saling bermusuhan dengan amat sengit. Pada sekitar saatsaat itu terjadi peperangan yang dahsyat antara kedua suku itu, yaitu perang Bu‘ats, namun tidak menyelesaikan persoalan mereka. Bahkan mereka menjadi semakin porak-poranda. Suatu saat sebelum perang Bu‘ats, Nabi secara kebetulan mengetahui tentang adanya seorang tokoh yang datang dari kota Yatsrib, bernama Suwaib ibn Tsamat, berada di Makkah. Ia terkenal pemberani, dari keturunan yang terhormat, dan manusia berbudi sehingga digelari Kāmil (sempurna). Ia juga dikenal sebagai seorang penyair yang terpandang. Nabi saw. mengundang Suwaib dan menyerunya untuk menerima Islam. Setelah mendengar beberapa ayat suci al-Qur’an dibacakan Nabi, ia sangat terkesan. Ia tidak menjadi Muslim, tapi menyatakan dukungan kepada Nabi. Ia kembali ke Yatsrib, namun tidak lagi terdengar beritanya, diperkirakan terbunuh dalam peperangan suku di sana. Ini terjadi sebelum perang Bu’ats yang terkenal. Meskipun tidak sempat dengan tegas menyatakan diri masuk Islam, namun Suwaib yang sempat bertemu Nabi itu dipandang sebagai pendahulu penting dari peristiwa berikutnya, yaitu Perjanjian ‘Aqabah I. 5

Harun, op. cit., h. 103-104. D 10 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

Tidak lama sebelum perang Bu’ats yang terkenal itu, Nabi menerima berita tentang datangnya sebuah rombongan dari Yatsrib, yang ternyata dari suku Aus. Mereka bermaksud meminta bantuan suku Quraisy di Makkah untuk menghadapi seteru mereka, suku Khazraj. Nabi mengajak mereka menerima Islam, yang kemudian disambut oleh seorang pemuda bernama Iyas ibn Mu‘adz dengan pernyataan: “Demi Tuhan, yang diserukan orang ini (Nabi saw.) kepada kita adalah lebih baik daripada tujuan kita sendiri datang ke sini.” Tetapi Abu al-Haisar, pemimpin rombongan mereka, sambil melemparkan segenggam pasir ke arah Iyas, berteriak: “Diam! Kita datang ke sini bukan untuk ini!” Kemudian, beberapa lama setelah itu, sesudah Perang Bu‘ats, pada bulan Rajab tahun kesebelas dari Kenabian, Rasulullah saw. bertemu lagi dengan sebuah rombongan kecil dari Yatsrib, dari suku Khazraj. Beliau dengan halus meminta mereka jika sekiranya mereka sudi mendengarkan apa yang hendak beliau sampaikan. Atas persetujuan mereka, beliau duduk di antara mereka, mengajak mereka menerima Islam, dan membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an. Setelah Nabi selesai membaca ayat-ayat suci, mereka saling memandang kemudian menyatakan kesediaan mereka menerima Islam. Kalau tidak, mereka khawatir, kaum Yahudi akan mendahului dan mengalahkan mereka. Ada dua belas orang dalam rombongan itu, yaitu: 1 2

3

4 5 6

As‘ad ibn Zurarah, dari klan Bani Najjar. ‘Auf ibn al-Harits, juga dari klan Bani Najjar, yang dari kalangan mereka ayah ‘Abd al-Muthalib mengikat perkawinan. Rafi‘ ibn Malik, dari klan Banu Zuraiq. Kepadanya Nabi saw. menghadiahkan sebuah naskah al-Qur’an yang sejauh itu sudah diwahyukan kepada beliau. Qutbah ibn Amir, dari klan Bani Salmah. Uqbah ibn Amir, dari klan Bani Haram. Jabir ibn Abdillah, dari klan Bani Ubaid. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

7 8 9 10 11 12

Ubadah ibn al-Shamit. Abu al-Haitsam ibn al-Tayyahan. Dzakwan ibn Abdu Qays. Yazid ibn Tsa‘labah. Al-Abbas ibn Ubadah. Uwaim ibn Sa‘idah.

Ubadah ibn al-Shamit melukiskan jalannya perjanjian dengan Nabi itu demikian: “Aku termasuk yang hadir dalam perjanjian ‘Aqabah yang pertama. Kita semua ada duabelas orang. Maka kami berbaiat kepada Rasulullah saw. menurut baiat para wanita. Ini terjadi sebelum kita diwajibkan berperang. (Kita berjanji) untuk tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun juga, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kita, tidak memfitnah sesama tetangga, tidak mengingkarinya dalam kebenaran. (Nabi bersabda), ‘Kalau kamu penuhi ini semua, maka kamu akan mendapatkan surga; dan kalau ada kesalahan yang tersembunyi sampai Hari Kiamat, maka urusannya terserah kepada Allah: jika dikehendaki, Dia akan menyiksamu, dan jika dikehendaki, Dia akan mengampunimu.’” Setelah mereka kembali ke Yatsrib, Nabi mengutus Mush‘ab ibn Umair, seorang sahabat beliau dari Makkah, untuk mengajari mereka agama Islam dan memimpin mereka dalam sembahyang. Sebab baik suku Aus maupun suku Khazraj saling menolak kepemimpinan mereka. Saat berpisah dengan Nabi, mereka mengaku bahwa mereka telah menjadi sangat lemah karena pertentangan terus-menerus sesama mereka, dan bahwa perselisihan di antara mereka besar sekali. Karena itu, setiba mereka di Yatsrib, mereka akan menyampaikan seruan menerima Islam, dengan harapan bahwa Allah swt. akan menyatukan mereka melalui Nabi, dan dengan begitu mereka dapat membantu beliau. Sejak itu, Islam mulai menyebar di kota Yatsrib. D 12 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

Perjanjian ‘Aqabah II

Mush‘ab kembali ke Makkah, dan bersamanya adalah rombongan orang-orang Yatsrib, yang Muslim dan yang musyrik, datang ke Makkah untuk ikut festival haji yang berlangsung di sana. Dalam rombongan itu terdapat al-Bara’ ibn Ma‘rur, seorang orang tua yang sangat disegani dan menjadi pemimpin mereka. Ia sudah menerima Islam, dan merasa tidak tenteram hatinya jika mengerjakan shalat dengan membelakangi Ka‘bah (karena harus menghadap ke Bait Maqdis di Yerusalem). Maka ia, menyalahi Sunnah Nabi saat itu, mengerjakan shalat menghadap ke Makkah dan membelakangi Yerusalem. Karena merasa ditentang oleh anggota rombongan yang telah Muslim, maka sesampai di Makkah ia ingin bertemu sendiri dengan Nabi, memohon pendapat beliau mengenai tindakannya itu. Setelah bertemu, Nabi besabda, “Engkau akan mendapatkan qiblat itu jika engkau bersabar hati.”6 Setelah selesai mengerjakan upacara haji, rombongan dari Yatsrib itu dengan penuh rahasia berkumpul di ‘Aqabah, hendak mengadakan perjanjian dengan Nabi saw. Mereka berjumlah 73 pria, dan dua orang wanita, yaitu Nusaibah bint Ka‘b dan Asma’ bint Amr ibn Addiy. Setelah beberapa saat menunggu, mereka melihat Nabi saw. datang disertai paman beliau, al-Abbas ibn Abd al-Muthalib, yang saat itu masih kafir, namun sangat mencintai Nabi dan dengan penuh kesungguhan berusaha melindungi kemenakannya itu. Setelah Nabi duduk, al-Abbas adalah yang pertama membuka pembicaraan: “Wahai kaum Khazraj, Muhammad ini adalah anggota golongan kami, sebagaimana kamu telah maklum. Kami telah melindunginya dari (serangan) kaum kami sendiri (Quraisy), dari kalangan mereka yang mempunyai pandangan sama dengan kami mengenai dia. Ia berada dalam kemuliaan di antara kaumnya sendiri, dan terlindung dalam kalangannya sendiri. Namun ia berketetapan hati untuk bergabung dengan kamu dan berserikat 6

Ibid., h. 119. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

dengan kamu. Kalau kamu yakin bahwa kamu dapat setia kepada apa yang kamu janjikan kepadanya dan mampu melindunginya dari musuh-musuhnya, maka kamu berhak mengambil beban tanggung jawab itu. Tetapi jika sekiranya kamu hendak menyerahkannya kepada musuh dan menghinakannya setelah ia bergabung dengan kamu, maka tinggalkan dia sekarang juga! Sebab ia dalam kemuliaan dan keamanan di kalangan kaum dan negerinya sendiri.” Mereka dari rombongan Yatsrib itu menyahut: “Sudah kami dengar semua pernyataanmu. Maka sekarang berbicaralah, wahai Rasulullah, dan tetapkan untuk dirimu dan untuk Tuhanmu apa yang kau suka!” Maka Rasulullah pun berbicara, kemudian membaca ayatayat al-Qur’an, berdoa kepada Allah dan mengajak kepada Islam. Kemudian beliau bersabda: “Aku membuat janji setia kepadamu semua, bahwa kamu akan melindungi aku seperti kamu melindungi istri-istri dan anak-anakmu sendiri!” Kemudian al-Bara’ ibn Ma‘rur mengambil tangan Nabi dan berkata: “Ya! Dan demi Dia yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi, kami pasti akan melindungimu seperti kami melindungi keluarga dan harta kami sendiri. Maka ambillah janji setia dari kami, wahai Rasulullah! Kami, demi Allah, adalah kaum ahli perang dan pemilik senjata yang kami warisi turun-temurun.” Abu al-Haitsam memotong pembicaraan al-Bara’, dan berkata: “Antara kami dan kelompok lain (yakni, kaum Yahudi di Yatsrib) terdapat perjanjian, dan jika kami putuskan barangkali jika itu terjadi lalu Allah menganugerahkan kemenangan kepada engkau, maka engkau akan meninggalkan kami?” Terhadap pernyataan itu Nabi hanya tersenyum, kemudian menjawab: “Tidak! Darah adalah darah, dan darah harus dibalas dengan darah! Aku temasuk golonganmu dan kamu termasuk golonganku! Aku akan perangi golongan yang kamu perangi, dan aku akan berdamai dengan golongan yang kamu berdamai dengan mereka!”

D 14 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

Setelah selesai dengan perjanjian itu, Nabi meminta 12 orang dari mereka sebagai pemimpin. Maka dipilihlah 9 orang dari suku Khazraj dan tiga orang dari suku Aus, yaitu: 1

2

3 4

5

6

7

8

As‘ad ibn Zurarah dari klan Banu Najjar, cabang klan Khazraj, yang juga pemimpin rombongan yang pertama dahulu. Dialah yang memulai sembahyang Jumat di Yatsrib. Ia termasuk sahabat Nabi yang paling utama. Ia wafat tidak lama setelah Nabi sampai di Yatsrib, sebelum perang Badar. Usayd ibn Hudlair, dari klan Bani Abd al-Asyhal, cabang suku Aus. Ia termasuk sahabat Nabi yang utama. Ayahnya adalah seorang komandan suku Aus dalam peperangan Bu’ats. Ia sangat ikhlas lagi cerdas. Ia meninggal di zaman Khalifah Umar. Rifa‘ah ibn Abd al-Mundzir, dari suku Aus. Sa‘d ibn Ubadah dari klan Bani Sa‘idah, cabang suku Khazraj. Ia adalah kepala suku Khazraj dan tergolong di antara golongan Anshar yang paling utama. Pada saat Nabi saw. wafat, sebagian kaum Anshar mencalonkan dia sebagai khalifah atau pengganti Nabi. Ia sendiri wafat di zaman kekhalifahan Umar. Al-Bara’ ibn Ma‘rur dari klan Bani Salmah, cabang suku Khazraj. Ia sudah lanjut usia, dan sangat dihormati. Ia wafat sebelum Nabi saw. tiba di Yatsrib dalam Hijrah. Abdullah ibn Rawahah, dari klan Bani Harits, cabang suku Khazraj. Ia seorang penyair terkenal, dan seorang beriman yang sangat berbakti. Ia wafat pada peperangan Mu’tah, sebagai komandan tentera kaum beriman. Ubadah ibn al-Shamit, dari klan Bani Auf, cabang suku Khazraj. Ia tergolong sahabat Nabi yang terpelajar. Ia wafat di zaman kekhalifahan Utsman ibn Affan. Sa‘d ibn Rabi‘, dari klan Bani Tsa‘labah, cabang suku Khazraj. Ia seorang yang sangat tulus dan sahabat Nabi D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang terkemuka. Ia menemui kesyahidannya dalam perang Uhud. 9 Rafi‘ ibn Malik dari klan Bani Zuraiq, cabang suku Khazraj. Ketika ia menerima Islam, ia diberi hadiah Nabi sebuah naskah al-Qur’an yang sudah diwahyukan. Ia menjadi syahid dalam perang Uhud. 10 Abdullah ibn Amr, dari klan Bani Salamah, cabang suku Khazraj. Ia gugur dalam perang Uhud. Nabi saw. menghibur putranya, Jabir ibn Abdillah, dan beliau katakan kepadanya bahwa Allah telah berbicara kepada ayahandanya dan bersabda, “Wahai hambaku, Aku rida kepada engkau. Mintalah kepada-Ku apa saja, dan engkau akan dikabulkan.” Ia menjawab, “Tuhan, keinginanku hanyalah kalau saja aku dapat hidup kembali sehingga aku dapat menyerahkan hidupku sekali lagi untuk Islam.” Allah bersabda, “Kalau seandainya tidak pernah Aku tetapkan bahwa tidak ada orang yang mati akan hidup kembali, tentu Aku kabulkan permohonanmu itu.” 11 Sa‘d ibn Khaitsamah, dari klan Bani Haritsah, cabang suku Aus. Seorang muda yang kelak gugur sebagai syahid dalam perang Badar. Ketika ia hendak berangkat ke peperangan itu, ayahnya mencoba membujuknya untuk tinggal di rumah, dan membiarkan ia (ayahnya) sendiri pergi perang. Tetapi ia berketetapan hati untuk pergi, lalu ayah dan anak itu setuju berundi, dan sang anak memenangkan undian itu. Ia pun pergi perang menyertai Nabi, dan menemui syahadah. 12 Al-Mundzir ibn Amr dari klan Bani Sa‘idah, cabang suku Khazraj. Seorang Sahabat Nabi yang tampil dengan kecenderungan kesufian. Ia gugur sebagai syahid dalam peristiwa Bi’r Ma’unah. Demikianlah beberapa rentetan peristiwa yang terjadi tidak lama sebelum Hijrah. Kesemuanya itu menyiapkan Nabi dan kaum D 16 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

Muslim, secara psikologis dan sosiologis, pelaksanaan Hijrah yang amat bersejarah.

Pelaksanaan Hijrah

Setelah matang dengan berbagai persiapan itu, Hijrah pun dilaksanakan. Tetapi sebelum Nabi sendiri melaksanakannya, beliau mendorong semua kaum Muslim Makkah untuk berhijrah. Dan yang tinggal di Makkah hanyalah beliau sendiri beserta Ali ibn Abi Thalib dan Abu Bakr. Dari berbagai riwayat, diketahui bahwa “Hari H” Hijrah Nabi datang dari Allah, dan Nabi menunggu petunjuk Ilahi itu. Ini antara lain terbukti dari jawaban Nabi kepada Abu Bakr, yang dari waktu ke waktu memohon kepada Nabi untuk diizinkan berhijrah ke Yatsrib: “Janganlah tergesa-gesa; mungkin Allah akan memberimu seorang kawan.” Abu Bakr pun bersabar, dan berharap bahwa kawannya dalam berhijrah tidak lain ialah Nabi sendiri. Karena berita tentang rencana berhijrahnya kaum Muslim, khususnya Nabi sendiri, telah menyebar di kalangan kaum kafir Makkah (suatu hal yang tak mungkin dihindari), maka wajar sekali bahwa mereka mengatur siasat bagaimana hal itu jangan sampai terjadi. Sebab jika Nabi sendiri lolos dari Makkah dan bergabung dengan para pendukungnya yang tumbuh semakin banyak, mereka tahu pasti bahwa akibatnya akan fatal bagi kepentingan kaum Quraisy. Makar-makar mereka atur, namun, singkatnya cerita, semuanya menemui kegagalan. Keberhasilan Nabi dalam melaksanakan Hijrah, selain karena perlindungan Allah secara mukjizat, adalah berkat kecermatan Nabi mengatur siasat. Tentu pertama-tama Nabi telah menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, dengan terlebih dahulu menyelamatkan para pengikut beliau berhijrah. Kemudian beliau bertiga, Nabi sendiri, bersama Ali dan Abu Bakr, adalah yang terakhir melakukan Hijrah, dengan perhitungan yang sangat cermat. D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

Karena mengetahui bahwa diri beliau adalah sasaran utama makar kaum Quraisy, Nabi meminta Ali mengenakan jubah beliau dan tidur di atas dipan beliau. Suatu tugas yang amat berbahaya, namun Ali menerimanya dengan tulus dan gagah berani. Ini ternyata merupakan siasat yang sangat tepat, karena mampu mengelabui para pelaku makar seolah-olah Nabi memang masih ada di rumah, sementara dalam kesempatan yang tepat beliau telah keluar. Dan mereka para pelaku makar sangat terlambat mengetahuinya. Dalam perjalanan menuju Yatsrib, Nabi dan Abu Bakr menempuh rute yang tidak lazim, yaitu menuju selatan, padahal Yatsrib ada di sebelah utara. Ini pun adalah siasat Nabi yang tepat. Beliau memperhitungkan bahwa para pelaku makar tentu akan mencoba mengejar beliau ke arah utara, yaitu arah yang wajar ke Yatsrib. Maka dengan menempuh jalan ke selatan, Nabi berhasil menunda kemungknan untuk dapat diketemukan, dan kesempatan itu digunakan Nabi untuk mengumpulkan perbekalan melalui orang kepercayaan beliau. Perjalanan selanjutnya menuju Yatsrib diteruskan oleh Nabi bersama Abu Bakr dengan menempuh jalan yang juga tidak lazim, yaitu di sebelah barat, sepanjang pantai Laut Merah. Ini pun mempunyai arti kesiasatan yang penting. Tetapi karena perjalanan menjadi lebih panjang dan lama, Nabi terlambat sampai di Yatsrib dari dugaan semula orang banyak, sehingga menerbitkan kekhawatiran. Orang banyak telah menunggu-nunggu kedatangan Nabi beberapa hari. Di hari terakhir, ketika mereka telah pulang ke rumah masing-masing, seorang Yahudi warga Yatsrib melihat dari jauh kedatangan Nabi dan Abu Bakr itu. Ia berteriak: “Wahai anakcucu Qailah (maksudnya, orang Arab Yatsrib), ini pemimpinmu telah datang!� Maka orang pun berdatangan menyambut Nabi dan Abu Bakr, namun kebanyakan mereka tidak mengenali beliau sampai saatnya Abu Bakr merentangkan sorbannya untuk mamayungi Nabi, sehingga mereka pun tahu siapa yang Nabi dan D 18 E


F PENDEKATAN SEJARAH DALAM MEMAHAMI HIJRAH G

siapa yang Abu Bakr.7 (Sementara itu, Ali sendiri tinggal di Makkah selama tiga hari sesudah kepergian Nabi, untuk melaksanakan pesan Nabi agar mengembalikan semua kekayaan orang Makkah yang dititipkan kepada beliau, karena beliau tetap terkenal sebagai orang terpercaya, dengan gelar al-Amīn. Setelah selesai dengan tugasnya itu, barulah Ali menyusul ke Yatsrib). Sesampai di Yatsrib, segeralah Nabi saw. bertindak meletakkan dasar-dasar masyarakat yang hendak dibangun mengikuti ajaran Islam. Semangat dan corak masyarakat itu tercermin dalam keputusan Nabi untuk mengganti nama Yatsrib menjadi al-Madīnah, yaitu “kota par excellence”, tempat madanīyah atau tamaddun, peradaban. Jadi Nabi di tempat barunya itu hendak membangun sebuah masyarakat berperadaban (civic society), sebuah polis yang kelak menjadi contoh atau model bagi masyarakat-masyarakat politik yang dibangun umat Islam. Dalam bahasa Arab, Madīnah berarti tsaqāfah dan hadlārah, yang berarti pola kehidupan menetap yang berbudaya dan berperadaban (sebagai lawan badāwah, pola kehidupan nomad yang kasar). Inilah rahmat yang dibawa beliau untuk seluruh umat manusia, melalui pelaksanaan tugas beliau menyampaikan risalah suci dari Allah swt. Terakhir, sebagai penegasan, kita bisa menyimpulkan bahwa sekalipun Hijrah itu sendiri merupakan peristiwa yang mengandung unsur metafisis (karena “intervensi” Tuhan), namun secara sosiologis masih dapat diterangkan sebagai peristiwa yang berlangsung dalam kerangka Sunnatullah. Mungkin tidak persis sama, namun barangkali sebanding, dengan perjalanan Dzu al-Qarnain dalam al-Qur’an yang terus-menerus mengalami sukses karena Allah menyediakan baginya sabab, dan Dzu al-Qarnain mengikuti dengan baik sabab itu (Q 18:84). Demikian pula Nabi saw. telah dianugerahi sabab yang beliau ikuti dengan setia dan cermat, penuh perhitungan. Dalam pengertian ini, Hijrah itu berlangsung tetap dalam jalur Sunnatullah yang tidak berubah-ubah, sehingga 7

Ibid., h. 119. D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

dapat dikaji secara ilmiah, dan pelajaran dapat ditarik daripadanya. Tetapi karena peristiwa itu menyangkut seorang Utusan Tuhan dan berkaitan dengan sebuah tugas suci, maka sangat wajar bahwa ia mengandung unsur-unsur Ilahi sebagai mukjizat yang tidak dapat ditiru. Peristiwa Hijrah Nabi itu menyangkut kegiatan fisik, yaitu kepindahan dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Tetapi di balik fenomena fisik itu, seperti tampak dari penuturan singkat di atas, terkandung fenomena yang tidak fisik, melainkan spiritual dan kejiwaan, yaitu tekad yang tidak mengenal kalah dalam perjuangan menegakkan kebenaran. Maka dalam semangatnya yang spiritual ini, berhijrah ialah bertekad meninggalkan kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkorban dan menderita, karena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugerahkan Allah kepada pejuang kebenaran itu. Tetapi, sebagaimana diteladankan oleh Nabi sendiri, semua itu harus dilakukan dengan perhitungan, dengan membuat siasat, taktik, dan strategi. Dengan begitu jaminan akan berhasil menjadi lebih besar, karena adanya gabungan serasi antara dorongan iman yang bersemangat dan bimbingan ilmu pengetahuan yang tepat, sesuai dengan firman Allah: “...Allah akan mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan yang dianugerahi ilmu-pengetahun ke berbagai tingkat yang lebih tinggi,” (Q 58:11). [ ]

D 20 E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL‐QUR’AN PERJUANGAN MUSA MELAWAN FIR’AUN Oleh Nurcholish Madjid

Kisah tentang umat-umat yang telah lalu merupakan bagian dari isi al-Qur’an yang esensial. Dari segi proporsi, kisah menempati bagian terbanyak dalam keseluruhan isi Kitab Suci. Kisah-kisah itu dituturkan sebagai media penyampaian pesan kepada umat manusia tentang perlunya usaha terus-menerus meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai puncak ciptaan Ilahi. Secara khusus al-Qur’an menegaskan bahwa makna kisah-kisah itu harus kita pikirkan dan renungi, sebagai sumber pelajaran: “Kisahkanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir,” (Q 7:176). “Dan sungguh dalam kisah-kisah mereka itu ada tamsil-ibarat bagi mereka yang berpikiran mendalam,” (Q 12:111). Kisah-kisah al-Qur’an juga disebut sebagai “sebaik-baik kisah” (Q 12:3) dan merupakan “kisah-kisah kebenaran” (Q 3:62). Dari penegasan-penegasan itu jelas sekali bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an dimaksudkan untuk menjadi bahan perbandingan bagi manusia. Dan karena kisah-kisah umat masa lalu merupakan bagian dari sejarah umat manusia, maka kerangka besar keseluruhan kisah itu ialah sejarah itu sendiri dengan hukum-hukumnya yang telah ditetapkan Allah. Dalam peristilahan al-Qur’an, hukum Allah untuk sejarah itu (“Hukum Sejarah”) ialah sunatullah (Arab: sunnatu ’l-Lāh (dibaca: Sunnatullāh). Ditegaskan pula bahwa sunatullah D1E


F NURCHOLISH MADJID G

itu tidak akan berubah-ubah atau mengalami peralihan (Q 35:43). Karena sejarah dengan sunatullahnya itu merupakan “laboratorium” segi sosial-budaya hidup manusia dalam bermasyarakat, maka kita diperintahkan untuk mempelajari sejarah, dengan mengembara di bumi dan menyaksikan bagaimana akibat kesudahan kaum yang menentang kebenaran (Q 3:137).

Pesan Kerasulan

Kisah-kisah dalam al-Qur’an umumnya dikaitkan dengan kedatangan seorang atau beberapa orang utusan Tuhan. Berkenaan dengan ini, ditegaskan bahwa Tuhan mengutus utusan-Nya untuk setiap umat, dengan tugas tertentu, yaitu menyeru kaumnya untuk beribadat hanya kepada Tuhan saja, dan untuk melawan tirani (thāghūt). Dengan singkat dan padat pesan kerasulan itu serta bagaimana manusia menyikapinya digambarkan dalam firman demikian: “Sungguh telah Kami bangkitkan untuk setiap umat seorang Rasul, (dengan tugas menyampaikan seruan): ‘Hendaknya kamu semua hanya menyembah Allah, dan meninggalkan tirani (thāghūt).’ Di antara mereka ada yang diberi hidayah oleh Allah, dan di antara mereka ada yang sudah pasti mengalami kesesatan. Maka mengembaralah di bumi, dan telitilah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (kebenaran) dahulu itu,” (Q 16:36).

Dalam firman itu dikemukakan beberapa hal yang amat penting untuk memahami agama secara tepat dan menyeluruh. Yaitu, pertama, ditegaskan bahwa Allah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat. Berkenaan dengan ini, perkataan “ummah” dalam bahasa Arab mempunyai konotasi, selain kelompok manusia di suatu tempat tertentu, juga kelompok manusia dalam zaman tertentu. Karena itu terdapat kemungkinan satu umat di tempat tertentu D2E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

mendapatkan lebih dari seorang Rasul, karena umat itu hidup dalam zaman yang berbeda-beda. Kedua, tugas seorang Rasul ialah menyerukan penyembahan hanya kepada Tuhan Yang Mahaesa, yaitu suatu pandangan keagamaan yang disebut tawhīd atau monoteisme. Ketiga, penyembahan kepada Tuhan Yang Mahaesa semata terkait erat dengan sikap meninggalkan atau melawan tirani atau thāghūt. Di sinilah segi emansipatoris kisah-kisah al-Qur’an. Sebab kisah-kisah itu memberi gambaran tentang perjuangan manusia melawan thāghūt dan menghancurkannya. Sebab thāghūt itu, secara definisi ialah segala kekuatan jahat, yang bercirikan merampas kebebasan manusia sehingga manusia tidak lagi dapat tampil sebagai makhluk yang bertanggung jawab (yaitu makhluk yang secara logis dibenarkan untuk menerima akibat perbuatannya, baik atau buruk). Sebab “menyembah Tuhan” mengandung makna adanya kesadaran pertanggungjawaban manusia di hadapan-Nya. Jadi “menyembah Tuhan semata” dan “melawan tirani” merupakan hal tak terpisahkan, dan keduanya merupakan asas bagi moralitas, akhlak atau budi pekerti, dan kesemuanya itu adalah tugas para Rasul yang tidak pernah berubah-ubah sepanjang zaman. Keempat, umat yang kedatangan Rasul itu pada pokoknya terbagi dalam sikapnya kepada kebenaran: menerima, dan dengan begitu mendapatkan hidayah Tuhan; atau menolak dengan sadar, dan dengan begitu telah dipastikan kesesatan pada mereka. Golongan yang terakhir ini merupakan kelompok mereka yang mendustakan kebenaran (al-mukadzdzibūn), dan kita umat manusia harus mengambil pelajaran (‘ibrah, “tamsil-ibarat”) dari kisah mereka.

Kisah Nabi Musa dan Fir‘aun

Dari sekian kisah dalam al-Qur’an yang dituturkan paling banyak ialah kisah Musa melawan Fir‘aun. Oleh karena itu untuk mengambil contoh kisah emansipatoris dalam al-Qur’an kita akan membatasi D3E


F NURCHOLISH MADJID G

pembahasan kita kepada kisah yang kejadiannya meliputi negeri Mesir dan Kana‘an, dengan tujuan bahwa kita dapat menarik analogi antara kisah itu dengan kisah-kisah yang lain dalam Kitab Suci. Dalam kajian sosiologi agama modern, Nabi Musa disebut sebagai salah seorang “Nabi bersenjata” (the armed Prophet). Dan dalam pandangan para ulama Islam, Nabi Musa dikategorikan sebagai yang ketiga dari lima Rasul yang disebut Ulū al-‘Azm (mereka yang berkamauan keras), yaitu lima yang paling utama dari semua Utusan Tuhan.1 Dan kisah tentang Musa beserta perjuangannya membebaskan Banī Isra’il (anak turun Isra’il, yakni Nabi Ya’qub) dari penindasan Fir‘aun di Mesir dan membimbing mereka keluar dari negeri yang tiranik itu menuju kebebasan di tanah suci yang dijanjikan, di Kana‘an (Palestina Selatan). Kisah Musa menyangkut rentang waktu yang cukup panjang, jika kita harus menelusuri akar-akarnya. Adalah Ibrahim, seorang pengajar monoteisme yang lahir di kota Ur dari daerah Kaldea, di lembah Efrat-Tigris (Mesopotamia, Irak sekarang). Karena ajarannya yang menentang praktik penyembahan berhala kaumnya (temasuk bapaknya sendiri) itu, maka Ibrahim terpaksa lari keluar negaranya. Mula-mula ia menuju ke utara, ke kota Harran (sekarang ada dalam wilayah kekuasaan Turki), namun di sana ia dimusuhi juga. Kemudian ia membelok ke barat, terus ke selatan, sampai ke Kana‘an atau Palestina Selatan. Di sana ia menetap. Untuk suatu keperluan, Ibrahim ke Mesir dengan istrinya, Sarah. Karena Raja Mesir tertarik kepada Sarah, Ibrahim terpaksa mengakunya sebagai saudaranya, karena takut dianiaya oleh raja, dan Sarah pun diambil oleh raja. Tetapi raja segera tahu bahwa Sarah bukanlah saudara Ibrahim, melainkan istrinya. Maka Sarah pun dikembalikan kepada Ibrahim, suaminya, dengan disertai hadiah seorang budak perempuan berkebangsaan Mesir, bernama Hajar, sebagai penghargaan raja kepada Sarah sendiri dan Ibrahim yang bijaksana.

1

Mereka itu ialah Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa al Masih, dan Nuh. D4E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

Agaknya karena merasa salah tidak dapat memberi Ibrahim keturunan, padahal sudah lanjut usia, Sarah mempersilakan Ibrahim menikahi Hajar, budak perempuannya, setelah dinyatakan sebagai orang merdeka. Dari Hajar lahirlah seorang putra yang ditunggu-tunggu, dan dinamainya Isma’il (Ishma-El, “Allah telah mendengar”), karena Ibrahim memandang lahirnya bayi itu sebagai jawaban atas doanya, atau karena Allah telah mendengar keluhkesah Hajar yang tidak sepenuhnya diterima oleh Sarah. Ketegangan dalam rumah tangga Ibrahim memuncak ketika Sarah meminta agar Hajar dan anaknya, Isma’il, dikeluarkan dari rumah tangga mereka. Ibrahim terpaksa menurut, namun Allah justru membimbingnya ke arah yang kelak mempengaruhi sejarah umat manusia seluruhnya. Ibrahim mendapat petunjuk agar Hajar dan Isma’il di bawa ke selatan, ke suatu lembah yang disebut Bakkah atau Makkah, di lingkungan daerah perbukitan. Di lembah yang kering kerontang itu dahulu telah berdiri rumah suci yang pertama, yaitu Ka‘bah (Q 14:37).2 Ibrahim kembali ke Kana‘an, kepada istrinya yang pertama, Sarah. Selang beberapa belas tahun, ternyata Ibrahim dan Sarah menerima kabar gembira yang dibawa oleh para malaikat bahwa Sarah akan mengandung dan melahirkan seorang putra. Ketika Sarah menerima kabar gembira itu, ia tertawa, karena merasa bahwa ia sendiri sudah tua dan suaminya pun lanjut usia, jadi dari mana ia akan mendapatkan seorang anak?! Namun kehendak Allah pasti terjadi, dan lahirlah seorang anak, dan dinamainya Ishaq (Izaac, artinya “tertawa”) (Q 11:69-73). Tapi justru melalui Ishaq itulah Tuhan menjanjikan kepada Ibrahim akan tampil banyak Nabi dan Rasul. Sedangkan melalui Isma’il yang ada di Makkah Tuhan menjanjikan untuk memenuhi 2

Dan bahwa Ka‘bah adalah rumah suci yang pertama didirikan untuk umat manusia, disebutkan dalam al-Qur’an demikian: “Sesungguhnya rumah (suci) pertama-tama yang didirikan untuk umat manusia ialah yang ada Bakkah (Makkah) itu, yang diberkati dan sebagai petunjuk untuk seluruh alam,” (Q 3:96). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

doa Ibrahim bahwa di kalangan anak turunnya akan dibangkitkan seorang Nabi yang mengajari mereka Kitab Suci dan Hikmah (wisdom), dan mereka akan tampil sebagai bangsa yang besar (Q 2:129). Rasul yang dimohonkan Ibrahim bagi keturunan Isma’il itu dan yang kemudian dikabulkan Allah ialah Muhammad saw., dan bangsa yang besar yang bakal bangkit dari keturunan Isma’il itu ialah bangsa Arab yang berkat agama Islam menguasai dunia beradab saat itu. Ishaq beranakkan Ya’qub yang bergelar Isra’il (Isra-El, hamba Allah). Isra’il mempunyai anak dua belas orang, sepuluh dari istri pertama dan dua dari istri kedua. Salah seorang anaknya itu ialah Yusuf yang menjadi sasaran kecemburuan dan pengkhianatan saudara-saudaranya. Karena ulah saudara-saudaranya, Yusuf akhirnya terdampar di Mesir, mula-mula sebagai budak, kemudian bebas namun lalu masuk penjara, dan akhirnya menjadi menteri urusan pangan kerajaan. Ya’qub yang hidup di Kana‘an selalu merindukan Yusuf, yang ia yakin masih hidup. Maka diperintahkan anak-anaknya untuk mencari Yusuf dengan cara “tidak masuk dari satu pintu saja melainkan masuk dari berbagai pintu yang berbeda-beda”. Akhirnya diketemukanlah Yusuf yang telah menjadi menteri tersebut. Dengan kedudukannya yang baik itu, Yusuf mampu memboyong seluruh keluarga ayahnya untuk menetap di Mesir. Maka mereka pun beranak-pinak, dan lahirlah di Mesir suatu kelompok masyarakat yang dikenali sebagai Bani Isra’il (anak-turun Isra’il, yakni, Nabi Ya’qub), asal-muasal bangsa Yahudi sekarang ini. Bani Isra’il berkembang biak dan tumbuh menjadi ancaman bagi bangsa Mesir, khususnya para penguasanya. Mereka ditindas dan diperbudak, dengan penyiksaan yang paling buruk. Sesuai dengan kebiasaan saat itu — sekarang pun masih ada, tapi lebih-lebih di masa lalu — peranan ahli nujum mempunyai pengaruh yang besar kepada para penguasa. Fir’aun pun harus memperhatikan nasehat-nasehat mereka. Di antara nasehat-nasehat itu ialah hendaknya Fir‘aun waspada terhadap lahirnya seorang bayi lelaki di kalangan anak-turun Isra’il yang bakal membawa akibat kehancuran kekuasaannya. D6E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

Dalam suasana demikian itulah seorang jabang bayi lahir. Dia adalah bayi lelaki, jadi terancam untuk dibunuh suruhan raja. Namun ibunya mendapat petunjuk dari Allah agar mengapungkan bayinya di sungai Nil, yang ternyata diketemukan oleh keluarga raja. Bayi itu dipungutnya sebagai anak angkat, dan dinamainya Musa. Sedangkan yang menyusui dan mengasuhya adalah ibunya sendiri, melalui kehendak Allah. Musa dibesarkan di istana Fir‘aun. Namun dari berbagai sumber, antara lain ibu kandungnya sendiri — yaitu wanita yang menyusuinya — ia tahu bahwa ia adalah seorang warga Bani Isra’il. Karena itu ia secara langsung merasakan pedihnya penderitaan kaumnya itu. Instinknya untuk selalu membela warganya yang tertindas itu telah membuatnya dalam kesulitan, karenanya secara tidak disengaja misalnya, ia membunuh seorang warga Mesir. Ia lari, hanya untuk akhirnya mendapat tempat dalam hati keluarga yang sangat saleh di Madyan, sebuah tempat di tepi Laut Merah, antara Hijaz dan Palestina. Konon kepala keluarga yang saleh itu ialah Nabi Syu‘aib as.3 Setelah tinggal dengan tokoh dari Madyan itu selama enambelas tahun atau lebih (sebagai “maskawin” yang ia harus bayar untuk pernikahannya dengan dua putri Nabi Syu‘aib, masing-masing delapan tahun menggembala kambing) (Q 28:27), Musa agaknya bermaksud hendak kembali ke Mesir. Dalam perjalanannya bersama keluarganya, di suatu lembah dekat bukit Sinai, di tengah kegelapan malam dari jauh Musa melihat ada api. Musa berkata kepada keluarganya agar mereka tetap tinggal di tempat, dan ia sendiri akan pergi menuju api itu kalau-kalau ada keterangan yang dapat diperoleh, atau mendapatkan obor penyuluh perjalanan dan pemanas badan. Tapi setelah sampai ke tempat api itu, Musa 3

Menurut Malik ibn Anas dan al-Hasan al-Bashri, Nabi Syu‘aib itulah yang menampung Musa dan mengambilnya untuk menantu. Dari Nabi Syu‘aib itu pula agaknya Musa mendapat pelajaran tentang Ketuhanan Yang Mahaesa atau Tawhīd. (Lihat Muhammad Jad al Mawla, et. al., Qashash al-Qur’ān [Beirut [?], Dār al Fikr, 1398/1969]). D7E


F NURCHOLISH MADJID G

mendengar suara memanggil dari sebelah kanan lembah, dari pohon yang menyala di tanah yang diberkati: “Wahai Musa, Aku adalah Allah, Tuhan sekalian alam.”4 Dalam perjumpaannya dengan Tuhan itu Musa dinyatakan dipilih oleh-Nya sebagai utusan, dan dibekali dengan berbagai kemampuan supra-natural, yaitu mukjizat-mukjizat. Kemudian ia diperintahkan untuk pergi ke Fir‘aun, sebab dia itu bertindak tiranik (thaghā, melakukan thughyān, berlaku sebagai thāghūt) (Q 20:24). Dalam misinya itu Musa dibantu oleh saudaranya, Harun, atas doanya sendiri kepada Tuhan. Keduanya pergi ke Fir‘aun, mula-mula dalam menghadapi Fir‘aun dan menyampaikan pesan Tuhan mereka gunakan metode diplomasi yang halus, sesuai dengan petunjuk yang mereka terima dari Tuhan, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan pembicaraan yang lunak, kalaukalau ia akan menjadi ingat atau takut (kepada Tuhan),” (Q 20:44). Namun akhirnya terjadi “showdown”, mula-mula adu kekuatan “supra-natural” antara kaum sihir Fir‘aun dan mukjizat Nabi Musa, kemudian berkembang menjadi bentrokan fisik (militer) karena Fir‘aun tetap tidak mengizinkan Bani Isra’il meninggalkan Mesir menuju ke tanah suci (al-ardl al-muqaddasah) yang dijanjikan Allah bagi mereka, yaitu tanah Kana‘an atau Palestina Selatan (Q 5:21). 4

Penuturan ini kita dapati dalam al-Qur’an di tiga tempat, dengan sedikit variasi namun intinya sama persis: “Maka setelah Musa sampai kepadanya (api), ia dipanggil: ‘Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka lepaskanlah kedua terumpahmu, sesungguhnya engkau berada dalam lembah yang suci, yaitu lembah Uwa. Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang hendak diwahyukan. Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegaklah sembahyang agar ingat kepada Ku,” (Q 20:11-14), “Maka ketika Musa telah sampai kepadanya (api), ia dipanggil: ‘Diberkatilah orang yang dalam Api dan yang ada di sekelilingnya, dan Mahasuci Allah, Tuhan sekalian alam,” (Q 27:7), dan, “Maka setelah Musa datang kepada api itu, ia dipanggil dari lembah sebelah kanan di tanah yang diberkati, dari pohon (yang menyala): ‘Wahai Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan sekalian alam,” (Q 28:30). D8E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

Segi Emansipatoris Kisah Musa dan Fir‘aun

Di atas telah dijelaskan bahwa semua utusan Tuhan membawa misi yang bersifat emansipatoris, karena ajaran yang dibawanya, yaitu iman kepada Tuhan dan menentang tirani akan dengan sendirinya membawa peningkatan harkat dan martabat manusia. Maka segi emansipatoris kisah Musa melawan Fir‘aun ialah, pertama, perlawanannya kepada Fir‘aun itu sendiri sebagai personifikasi tirani dan otoriterianisme; dan kedua, pembebasan Bani Isra’il dari perbudakan oleh bangsa Mesir dan membawanya ke tanah suci yang dijanjikan. Tetapi karena Bani Isra’il generasi kaum Nabi Musa itu keras kepala dan enggan berjuang, maka mereka dihukum oleh Tuhan dengan dibiarkan luntang-lantung di padang pasir selama empat puluh tahun (Q 5:96). Barulah generasi berikutnya yang melanjutkan perjuangan Bani Isra’il untuk pergi ke tanah yang dijanjikan. Jadi generasi Musa dan Harun tidak pernah memasuki tanah suci itu, karena mereka ini, termasuk Musa dan Harun sendiri, telah meninggal lebih dahulu. Kejadian fisik yang melambangkan pembebasan dan emansipasi dalam kisah Musa ialah keberhasilan gerakan keluar Mesir secara besar-besaran (Eksodus) dan kegagalan Fir‘aun untuk menghalangi. Maka Eksodus (Arab: al-Khurūj) menjadi lambang pembebasan manusia dari perbudakan dan penindasan. Allah menjanjikan kepada Nabi Musa dan kaum beriman bahwa Dia akan memberi kekuatan kepada kaum tertindas dan mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris kekuasaan. Secara khusus kaum yang tertindas itu disebut sebagai “mereka yang dibuat lemah” atau “mereka yang diperlemah” (al-ladzīna ustudl‘ifū dalam bentuk kata kerja, al-mustadl‘afūn dalam bentuk kata sifat pasif [maf‘ūl, passive participle]).5 5

“Dan Kami (Tuhan) akan menganugerahkan kekuatan kepada mereka yang dibuat lemah (al-ladzīna ustudl‘ifū) di bumi, kemudian Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan mereka pewaris-pewaris,” (Q 28:5). “Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan (untuk membela) D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Namun emansipasi Bani Isra’il yang sesungguhnya baru terjadi setelah melalui Musa mereka mendapatkan pedoman dan hukum dari Allah dalam bentuk Sepuluh Perintah (al-Kalimāt al-‘Asyr, the Ten Commandments). Sepuluh Perintah itu diterima Musa dalam “perjumpaan”-nya dengan Allah di atas bukit Sinai, dalam perjalanan Bani Isra’il keluar dari Mesir menuju Palestina. Rentetan peristiwa itu dituturkan dalam al-Qur’an demikian: “Dan Kami telah tetapkan janji kepada Musa tiga puluh malam, kemudian Kami sempurnakan dengan sepuluh malam, maka sempurnalah pertemuan dengan Tuhannya selama empatpuluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, Harun, ‘Gantikan aku mengurus kaumku, bertindaklah dengan baik, dan jangan mengikuti jalan mereka yang merusak.’ Dan tatkala Musa datang untuk perjumpaan dengan Kami (Tuhan), dan Tuhannya pun berbicara kepadanya, ia berkata: ‘Tuhanku, tampakkan Diri Engkau kepadaku, sehingga dapat melihat-Mu.’ Dia (Tuhan) menjawab: ‘Engkau tidak akan dapat melihat-Ku. Tapi pandanglah gunung itu, kalau gunung itu tetap di tempatnya, maka engkau akan melihat-Ku.’ Maka setelah Tuhannya menampakkan (kebesaran-Nya) pada gunung itu, Dia jadikan gunung itu bagaikan debu, dan Musa tersungkur pingsan. Setelah ia sadar kembali, ia berkata: ‘Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau, dan aku adalah yang pertama-tama dari kalangan mereka yang beriman.’ Dia (Tuhan) berfirman: ‘Wahai Musa, sesungguhnya Aku telah memilihmu atas sekalian umat manusia dengan tugas dan firman-Ku. mereka yang diperlemah (al-mustadl‘afūn), yang terdiri dari kaum lelaki dan perempuan serta anak-anak?! Mereka ini berkata, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zalim ini, serta bangkitkanlah seorang pelindung untuk kami dari sisi-Mu, dan bangkitkanlah seorang pembela untuk kami dari sisi-Mu,” (Q 4:75). D 10 E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

Maka ambillah yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan jadilah engkau termasuk mereka yang bersyukur!’ Dan Kami tuliskan untuknya dalam papan-papan batu segala sesuatu sebagai nasehat dan rincian akan segala perkara. (Lalu firman-Nya kepada Musa): ‘Ambillah itu semua dengan sungguhsungguh, dan perintahkan kaummu untuk mengambil mana yang terbaik. Tidak lama lagi akan Aku tunjukkan kepadamu tempat tinggal orang-orang yang fasik,’” (Q 7:142-144)

Papan-papan batu (al-alwāh) yang disebutkan dalam al-Qur’an itu adalah medium dituliskannya Sepuluh Perintah Allah kepada Bani Isra’il. Ketika Musa turun dari atas bukit Sinai untuk menyampaikan perintah-perintah Allah itu ia dapati mereka telah menyeleweng dari akidah yang benar, karena ulah seseorang yang bernama Samiri. Musa marah sekali, termasuk marah kepada saudaranya, Harun, dan papan-papan batu itu diletakkannya di tanah (ada yang menafsirkan dibanting hingga berantakan — suatu pendapat yang ditolak oleh sebagian ulama), tanpa terlebih dahulu membaca dan menerangkannya. Baru setelah Musa reda dari kemarahannya, ia ambil kembali papan-papan batu itu dan disampaikan apa isinya. Al-Qur’an melukiskan kejadian itu demikian: “Tatakala Musa kembali kepada kaumnya dengan sangat marah dan sedih, ia berkata: ‘Sungguh jahat dalam kamu menggantikan diriku setelah aku pergi. Apakah kamu hendak mendahului perintah Tuhanmu?’ Kemudian ia letakkan papan-papan batu itu dan dipegangnya kepala saudaranya (Harun) serta ditariknya. Harun berkata: ‘Wahai anak ibuku! Sesungguhnya golongan itu telah membuatku tak berdaya dan hampir-hampir membunuhku. Maka jangan kau buat mereka gembira karena aku, dan jangan pula kau jadikan aku termasuk kaum yang zalim!’ D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku, dan masukkanlah kami dalam kasih-Mu. Engkau adalah sekasih-kasih mereka yang pengasih.’ Mereka yang menjadikan patung anak sapi (sebagai sesembahan) akan mendapatkan murka dari Tuhan mereka, dan kehinaan dalam kehidupan dunia. Begitulah Kami memberi ganjaran kepada orangorang yang mengada-ada (secara palsu). Sedangkan orang-orang yang melakukan tindak kejahatan namun bertaubat sesudahnya lagi pula benar-benar beriman, maka sesungguhnya Tuhanmu, sesudah adanya taubat itu, adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan setelah Musa reda dari amarahnya, ia ambillah papan-papan batu itu, yang dalam naskahnya terdapat hidayah dan rahmat untuk mereka yang takut kepada Tuhan,” (Q 7:150-154)

Begitulah Allah telah membebaskan Bani Isra’il dari kungkungan perbudakan dan penindasan Fir‘aun, dan telah pula diikat “perjanjian” (al-‘ahd, al-mītsāq) antara Allah dan mereka. Dalam al-Qur’an sendiri disebutkan dengan jelas isi peerjanjian antara Allah dan Bani Isra’il itu, demikian: “Dan tatkala Kami (Allah) membuat perjanjian dengan Bani Isra’il: ‘Bahwa kamu tidak akan menyembah selain Allah, berbuat baik kepada kedua orangtua dan kepada karib kerabat, anak-anak yatim dan kaum orang-orang miskin, dan berkatalah kamu kepada umat manusia dengan perkataan yang baik, tegakkanlah sembahyang, dan tunaikanlah zakat.’ Namun kamu berpaling, kecuali sedikit di antara kamu, dan kamu menyimpang. Dan ketika Kami buat perjanjian dengan kamu: ‘Bahwa kamu tidak boleh menumpahkan darah sesamamu, dan kamu tidak boleh mengusir sebagian dari kalanganmu sendiri dari tempat-tempat tinggalmu.’ Lalu kamu pun menerima, dan kamu semua bersaksi,” (Q 2:83-84). D 12 E


F KISAH EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN G

Dalam apa yang sekarang dikenal sebagai kitab “Perjanjian Lama” (istilah kaum Kristen, sebagai bandingan terhadap kitab “Perjanjian Baru”, yaitu Injil menurut apa yang ada sekarang), perjanjian antara Tuhan dan Bani Isra’il itu termuat dalam kitab Keluaran, 20:2-17 dan kitab Ulangan, 5:6-22. Pada pokoknya, isi perjanjian itu, yang juga menjadi isi Sepuluh Perintah ialah: (1) Mengakui Allah, Tuhan Yang Mahaesa sebagai satu-satunya Tuhan (tawhīd), (2) Hanya menyembah kepada Allah saja, (3) Jangan menyembah patung (syirik), (4) Menyebut nama Allah dengan penuh hormat, (5) Menghormati hari Sabtu (Shabat), (6) Tidak membunuh, (7) Tidak berzina, (8) Tidak mencuri, (9) Tidak membuat kesaksian palsu, (10) Jangan tamak terhadap milik orang lain.6 Seperti disebutkan dalam ayat suci al-Qur’an yang dikutip di atas, Bani Isra’il ada yang tetap setia kepada perjanjian itu, namun banyak pula yang menyimpang. Karena itu, dan atas dasar sikap mereka yang menentang Allah itu, Allah memastikan dalam Kitab Suci-Nya bahwa mereka akan membuat kerusakan dua kali di bumi, dan akan menjadi amat congkak. Dan bila saatnya tiba mereka membuat kerusakan yang pertama, Allah melepaskan sekelompok manusia dari hamba-hamba-Nya yang gagah perkasa, dan menaklukkan Bani Isra’il serta menghancurkan tempat suci mereka, yaitu Masjid Aqsha (yang didirikan oleh Nabi Sulaiman pada sekitar abad ke-9 sebelum Masehi). Penghancuran ini terjadi, menurut para ahli tafsir dan sejarah, ketika pada sekitar abad ke-6 Bait Maqdis (Yerusalem) diserbu Nebukadnezar dari Babilonia. Kemudian setelah ratusan tahun tanpa tanah suci, sampai datangnya Raja Herod, sekitar saat-saat kelahiran Nabi Isa putra Maryam as. Herod (yang agung) membangun kembali Masjid Aqsha peninggalan Nabi Sulaiman. Namun tanah suci mereka ini pun tidak lama kemudian hancur luluh oleh Kaisar Titus dari Roma yang datang menyerbu Palestina untuk menghukum kaum Yahudi. 6

Lihat Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1960), h. 100-101 dan 239-240. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

Menurut al-Qur’an, ini adalah wujud laknat Allah kepada kaum kafir di kalangan Bani Isra’il melalui lisan (sumpah) Nabi Dawud dan Nabi Isa (Q 5:78). Setelah itu, Allah memberi peringatan kepada mereka: “Semoga saja Tuhanmu sekalian memberi rahmat kepadamu. Dan kalau kamu kembali (membuat kerusakan di bumi), maka Kami (Allah) pun akan kembali (menghukum kamu), serta kami siapkan neraka jahanam sebagai penjara untuk mereka yang kafir,” (Q 17:8).7 Karena latar belakang itu semua, kaum Yahudi akan kembali hina dan nista, seperti keadaan mereka sebelum emansipasi oleh Nabi Musa, kecuali mereka yang memelihara hubungan dengan Allah dan memelihara hubungan dengan sesama manusia (Q 3:112). Dan itulah kesimpulan semua kisah suci dalam al-Qur’an. [ ]

7

Ini adalah dalam rententan ayat-ayat suci yang menuturkan penghukuman Tuhan atas Bani Isra’il karena perbuatan mereka merusak di bumi dua kali itu, sejak dari ayat 4. D 14 E


F AHLI KITAB G

AHLI KITAB Oleh Nurcholish Madjid

Salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau Ahl al-Kitāb (baca: “ahlul-kitāb”, diindonesiakan dan dimudahkan menjadi “Ahli Kitab”). Yaitu konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti memandang semua agama adalah sama — suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataannya agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil — tapi memberi pengakuan sebatas hak masingmasing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing. Para ahli mengakui keunikan konsep ini dalam Islam. Sebelum Islam praktis konsep itu tidak pernah ada, sebagaimana dikatakan oleh Cyril Glassé, “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions”1 (... kenyataan bahwa sebuah Wahyu [Islam] menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama). Juga dampak sosio-keagamaan dan sosio-kultural konsep itu sungguh luar biasa, sehingga Islam benar-benar merupakan ajaran yang pertama kali memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia. Bertrand Russel — seorang ateis radikal yang sangat kritis kepada agama1

Cyril Glassé, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper, 1991), s.v. “Ahl al-Kitāb”. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

agama — misalnya, mengakui kelebihan Islam atas agama-agama yang lain sebagai agama yang lapang atau “kurang fanatik”, sehingga, menurut Russel, sejumlah kecil tentara Muslim mampu memerintah daerah kekuasaan yang amat luas dengan mudah, berkat konsep tentang Ahli Kitab.2 Konsep tentang Ahli Kitab ini juga mempunyai dampak dalam pengembangan budaya dan peradaban Islam yang gemilang, sebagai hasil kosmopolitisme berdasarkan tata masyarakat yang terbuka dan toleran. Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh kalangan para ahli berkenaan dengan, misalnya, peristiwa pembebasan (fath) Spanyol oleh tentara Muslim (di bawah komando Jenderal Thariq ibn Ziyad yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah bukit di pantai Laut Tengah, Jabal Thariq — diinggriskan menjadi Gibraltar), pada tahun 711. Pembebasan Spanyol oleh kaum Muslim itu telah mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah berlangsung satu abad lebih, dan kemudian selama paling tidak 500 tahun kaum Muslim menciptakan tatanan sosialpolitik yang kosmopolit, terbuka, dan toleran. Semua kelompok agama yang ada, khususnya kaum Muslim sendiri, beserta kaum Yahudi dan Kristen, mendukung dan menyertai peradaban yang berkembang dengan gemilang. Kerjasama itu mengakibatkan banyaknya terjadi hubungan darah karena (kaum Muslim lelaki dibenarkan kawin dengan wanita non-Muslim Ahli Kitab), namun tanpa mencampuri agama masing-masing.3 Keadaan yang serba2

“It was the duty of the faithful to conquer as much of the world as possible for Islam, but there was to be no persecution of Christians, Jews, or Zoroastrians — the “people of the Book”, as the Koran calls them, i.e., those who followed the teaching of a Scripture... It was only in virtue of their lack of fanaticism that a handful of warriors were able to govern, without much difficulty, vast populations of higher civilization and alien religion.” (Bertrand Russel, A History of Western Philosophy [New York: Simon and Schuster, 1959], h. 420-421). 3 “The Arab conquest of Spain in 711 had put an end to the forcible — conversion of Jews to Christianity begun by King Reccared in the sixth century. Under the subsequent 500-year rule of the Moslems emerged the Spain D2E


F AHLI KITAB G

serasi dan produktif itu buyar setelah terjadi penaklukan kembali (reconquesta) atas Semenanjung Iberia itu, yang kemudian diikuti dengan konversi atau pemindahan agama secara paksa terhadap kaum Yahudi dan Islam serta kekejaman-kekejaman yang lain.4 Jadi konsep tentang Ahli Kitab merupakan salah satu tonggak bagi semangat kosmopolitisme Islam yang sangat terkenal. Dengan pandangan dan orientasi mondial yang positif itu kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benarbenar berdimensi universal atau internasional, dengan dukungan dari semua pihak. Ini digambarkan dengan cukup jelas oleh Bernard Lewis (meskipun dia ini adalah seorang orientalis yang beragama Yahudi), sebagai berikut: Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial yang lancar terdapat di antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi, sementara menganut agama masing-masing, mereka membentuk masyarakat yang satu, dimana perkawanan pribadi, kerjasama bisnis, hubungan guru-murid dalam ilmu, dan bentuk-bentuk aktifitas bersama lainnya berjalan normal dan, sungguh, umum dimana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara. Misalnya, kita dapatkan kamus-kamus biografi pada dokter yang terkenal. Karya-karya ini, meskipun ditulis oleh orang-orang Muslim, mencakup para dokter Muslim, Kristen dan Yahudi tanpa perbedaan. Dari kumpulan besar biografi itu bahkan dimungkinkan menyusun semacam proposografi of three religions and “one bedroom”. Mohammedans, Christians, and Jews shared the same brilliant civilization, an intermingling that effected “bloodlines” even more than religious affiliations.” (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library, 1973], p. 203.) 4 “During the reconquest of Spain from Mohammedans, the soldiers of the Cross at first had difficulty recognizing the difference between Jew and Moslem, as both dressed alike and spoke the same tongue. Reconquistadores understandably killed Jew and Arab with impartial prejudice... Once Spain was safely back in the Christian column, however, a national conversion drive was launched.” (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library], 1973, h. 221). D3E


F NURCHOLISH MADJID G

dari profesi kedokteran — untuk melacak garis hidup beberapa ratus dokter praktik di dunia Islam. Dari sumber-sumber ini kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang adanya usaha bersama. Di rumah-rumah sakit dan di tempat-tempat praktik pribadi, para dokter dari tiga agama itu bekerjasama sebagai rekan atau asisten, saling membaca buku mereka, dan saling menerima yang lain sebagai murid. Tidak ada yang menyerupai semacam pemisahan yang biasa didapati di dunia Kristen Barat pada masa itu atau di dunia Islam pada masa kemudian.5

Berdasarkan fakta-fakta sejarah itulah, yang fakta-fakta itu sebagian besar masih bertahan sampai kini, banyak orang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan toleransi antar-penganut agama-agama terjamin dalam masyarakat yang berpenduduk mayoritas Islam, dan tidak sebaliknya (kecuali dalam masyarakat negaranegara modern atau maju di Barat). Dalam berita-berita seharihari jarang sekali diketemukan berita tentang masalah golongan non-Muslim di tengah masyarakat Islam. Tetapi sebaliknya, selalu terdapat kesulitan pada kaum Muslim (minoritas) yang hidup di kalangan mayoritas non-Muslim. Kenyataan itu sulit sekali diingkari, sekalipun setiap gejala sosial-keagamaan juga dapat diterangkan dari sudut-sudut pandang lain di luar sudut pandangan keagamaan semata. Sekarang marilah kita lihat bagaimana dan apa yang tersebutkan dalam al-Qur’an tentang kaum Ahli Kitab ini.

Kaum Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani

Sebutan “Ahli Kitab� dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum Muslim sendiri, 5

Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), h. 56 D4E


F AHLI KITAB G

meskipun mereka ini juga menganut kitab suci, yaitu al-Qur’an. Ahli Kitab tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Qur’an mereka disebut “kāfir”, yakni, “yang menentang” atau “yang menolak”, dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad saw. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam. Dari kalangan umat manusia yang menolak Nabi Muhammad dan ajaran beliau itu dapat dikenali adanya tiga kelompok: (1) mereka yang sama sekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang memiliki semacam kitb suci, dan, (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas.6 Tergolong kelompok yang memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah yang dalam al-Qur’an dengan tegas dan langsung disebut kaum Ahli Kitab. Kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islam), dan agama kaum Muslim (Islam) adalah kelanjutan, pembetulan, dan penyempurnaan bagi agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh-Nya kepada semua Nabi. Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Tetapi pembetulan dan penyempurnaan selalu diperlukan dari waktu ke waktu, sampai akhirnya tiba saat tampilnya Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul, karena, menurut al-Qur’an, ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah mengalami berbagai bentuk penyimpangan. Ini dapat kita pahami dari firman-firman berikut:

6

Lihat Abdul Hamid Hakim, al-Mu‘īn al-Mubīn, 4 jilid (Bukittinggi: Nusantara, 1955), jil.4, h. 44-45. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

“Dia (Allah) mensyariatkan bagi kamu, tentang agama, apa yang dipesankan kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), dan yang Kami pesankan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu, tegakkanlah olehmu semua agama itu, dan janganlah kamu berpecah-belah mengenainya. Terasa berat bagi kaum musyrik apa yang engkau (Muhammad) serukan ini,” (Q 42:13). “Wahai para Rasul, makanlah rezeki yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Aku mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini (semua) umatmu adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu sekalian, maka bertakwalah kamu kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut para Rasul itu) terpecah-belah menjadi berbagai golongan, setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka,” (Q., s. al-Mu’minūn/23:53).

Jadi kedatangan Nabi Muhammad saw. adalah untuk mendukung, meluruskan kembali, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu itu. Maka Nabi Muhammad adalah hanya salah seorang dari deretan para Nabi dan Rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat manusia. Karena itu para pengikut Nabi Muhammad saw. diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu itu serta kitab-kitab suci mereka. Rukun Iman (Pokok Kepercayaan) Islam, sekurangnya sebagaimana dianut golongan terbanyak kaum Muslim, mencakup kewajiban beriman kepada para Nabi dan Rasul terdahulu itu beserta kitab-kitab suci mereka, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an: “Katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub serta anak-turun mereka, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa, Isa ,dan para Nabi (yang lain) dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari mereka itu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (muslimūn). Barangsiapa mencari selain islām (sikap berserah diri kepada Allah) itu sebagai D6E


F AHLI KITAB G

agama, maka sama sekali tidak akan diterima dari dia, dan di akhirat dia akan tergolong mereka yang merugi,’” (Q 3:84-85).

Maka sejalan dengan pandangan dasar itu Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju kepada “kalimat kesamaan” (kalīmat-un sawā’) antara beliau dan mereka, yaitu, secara prinsipnya, menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Mahaesa atau Tawhīd. Tetapi juga dipesankan bahwa, jika mereka menolak ajakan menuju kepada “kalimat kesamaan” itu, Nabi dan para pengikut beliau, yaitu kaum beriman, harus bertahan dengan identitas mereka selaku orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslimūn). Perintah Allah kepada Nabi itu demikian: “Katakan olehmu (Muhammad): ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju kepada kalimat kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita (semua) tidak akan menyembah kecuali Allah, dan kita tidak memperserikatkan-Nya kepada apa pun juga, dan sebagian dari kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.’ Kalau mereka itu menolak, maka katakanlah [kepada mereka]: ‘Saksikanlah, bahwa sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang berserah diri (muslimūn),’” (Q 3:64).

Klaim-klaim Kaum Ahli Kitab

Sesungguhnya, sebagaimana telah diketahui dalam fakta sejarah selama ini, antara kaum Yahudi dan Nasrani tidak pernah ada kesepakatan, karena masing-masing beranggapan bahwa agama merekalah yang benar, dan yang lain salah. Ini direkam secara abadi dalam al-Qur’an, demikian: “Kaum Yahudi berkata: ‘Tidaklah kaum Nasrani itu berada di atas sesuatu (kebenaran),’ dan kaum Nasrani berkata: ‘Tidaklah kaum Yahudi itu berada di atas sesuatu (kebenaran).’ Padahal mereka memD7E


F NURCHOLISH MADJID G

baca kitab suci. Orang-orang yang tidak mengerti juga mengatakan seperti perkataan mereka. Maka Allah akan memutuskan perkara antara mereka itu kelak di Hari Kiamat berkenaan dengan hal-hal yang pernah mereka perselisihkan itu,” (Q 2:113).

Karena pandangan-pandangan yang eksklusivistik itu maka masing-masing kaum Yahudi dan Nasrani mengklaim sebagai pihak satu-satunya yang bakal selamat atau masuk surga, sedangkan yang lain bakal celaka atau masuk neraka. Ini pun dituturkan dalam al-Qur’an, sambil diingatkan dengan tegas bahwa masalah keselamatan itu tidak tergantung kepada apa pun kecuali sikap berserah diri (aslama) kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa, dan berbuat baik. Allah berfirman: “Mereka berkata: ‘Tidaklah akan masuk surga kecuali kaum Yahudi atau Nasrani.’ Katakanlah (Muhammad): ‘Berikan buktimu jika kamu memang benar.’ Sebenarnyalah, barangsiapa berserah diri (aslama) kepada Allah dan dia itu berbuat baik, maka dia akan memperoleh pahalanya di sisi Tuhannya, tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih,” (Q 2:112-113).

Sejalan dengan sikap dasar mereka itu, dan sesuai dengan pandangan mereka, maka kaum Yahudi dan Nasrani mengaku bahwa hanya merekalah golongan manusia yang mendapat petunjuk kebenaran. Dalam hal ini mereka lupa akan ajaran dasar agama kebenaran yang disampaikan Allah kepada para Nabi dan Rasul sepanjang zaman, terutama kepada Nabi Ibrahim, yaitu agama yang hanīf (kecenderungan alami yang tulus dan murni kepada kebenaran, dengan inti paham Tawhīd atau Ketuhanan Yang Mahaesa, sejalan dengan fitrah atau kejadian asal yang suci dari manusia sendiri), dan bukan agama syirik, yaitu agama yang mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu dari makhluk. Berkenaan dengan klaim kaum Yahudi dan Nasrani serta peringatan D8E


F AHLI KITAB G

akan ajaran agama yang benar itu kita baca dalam Kitab Suci demikian: “Mereka berkata: ‘Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani, maka kamu akan mendapatkan petunjuk kebenaan (hidāyah)!’ Katakanlah (hai Muhammad): ‘Tidak! Melainkan agama (millah) Ibrahim yang hanīf itulah (yang benar dan membawa hidāyah), dan dia itu tidak termasuk orang-orang yang musyrik,” (Q 2:135).

Jadi memang pada dasarnya mereka tidak mau mengakui, bahkan menolak, dan menentang Nabi Muhammad dan ajaran yang beliau bawa dari Allah, yaitu ajaran sikap berserah diri kepada Allah atau al-islām (dalam versinya yang terakhir dan sempurna).

Mereka Tidak Semuanya Sama

Sebagai kelompok masyarakat yang menolak atau bahkan menentang Nabi, kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai sikap yang berbeda-beda, ada yang keras dan ada pula yang lunak. Secara umum, penolakan mereka kepada Nabi digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum Nabi mengikuti agama mereka. Ini adalah sesuatu yang cukup logis, karena Nabi membawa agama (“baru”) yang bagi mereka merupakan tantangan kepada agama yang sudah mapan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara mereka itu masing-masing mengaku agama mereka tidak saja yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga merupakan agama terakhir dari Tuhan. Maka tampilnya Nabi Muhammad saw. dengan agama yang “baru” itu sungguh merupakan gangguan kepada mereka. Karena itu al-Qur’an memperingatkan kepada Nabi: “Tidaklah akan senang kepada engkau (wahai Muhammad) kaum Yahudi dan Nasrani itu, sehingga engkau mengikuti agama mereka. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Katakanlah (kepada mereka): ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah yang benar-benar petunjuk....,’” (Q 2:120).

Walaupun begitu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa dari kalangan kaum Ahli Kitab itu ada kelompok-kelompok yang sikapnya terhadap Nabi dan kaum Muslim adalah baik-baik saja, bahkan ada yang secara diam-diam mengakui kebenaran yang datang dari Nabi saw. Ini misalnya dituturkan berkenaan dengan sikap segolongan kaum Nasrani yang banyak memelihara hubungan baik dengan Nabi dan kaum Muslim, yang membuat mereka itu berbeda dari kaum Yahudi dan Musyrik yang sangat memusuhi Nabi dan kaum Muslim: “Sungguh engkau (Muhammad) akan dapati di antara manusia kaum Yahudi dan orang-orang yang melakukan syirik sebagai yang paling keras permusuhannya kepada kaum beriman; dan sungguh engkau akan dapati bahwa sedekat-dekat mereka dalam rasa kasih sayangnya kepada kaum beriman ialah mereka yang menyatakan, ‘Kami adalah orang-orang Nasrani.’ Demikian itu karena di antara mereka ada pendeta-pendeta dan paderi-paderi, dan mereka itu tidak sombong. Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau akan lihat mata mereka bercucuran dengan air mata, karena mereka menangkap kebenaran. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah percaya, maka catatlah kami bersama mereka yang bersaksi. Mengapalah kami tidak beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah datang, dan kami berharap Tuhan kami akan memasukkan kami beserta orang-orang yang baik.’ Maka Allah pun memberi mereka pahala, atas ucapan mereka itu, berupa surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal abadi di sana. Itulah balasan orang-orang yang baik,” (Q 5:82-85).

Bahwa kaum Ahli Kitab itu tidak semuanya sama, juga disebutkan dalam al-Qur’an tentang adanya segolongan mereka yang rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam sambil terus-menerus D 10 E


F AHLI KITAB G

beribadat, dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan amr makruf nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan. Lengkapnya, firman Allah itu adalah demikian: “Mereka (kaum Ahli Kitab) itu tidaklah sama. Dari kalangan Ahli Kitab itu terdapat umat yang teguh (konsisten), mempelajari ajaranajaran Allah di tengah malam dan beribadat. Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, melakukan amar makruf nahi munkar, dan bergegas dalam berbagai kebaikan. Mereka itu tergolong orangorang yang saleh. Apa pun kebaikan yang mereka kerjakan tidak akan diingkari (pahalanya), dan Allah Mahatahu tentang orang-orang yang bertakwa,” (Q 3:113-115).

Tentang ayat-ayat yang sangat positif dan simpatik kepada kaum Ahli Kitab itu ada sementara tafsiran bahwa karena sikap penerimaan mereka terhadap kebenaran tersebut maka mereka bukan lagi kaum Ahli Kitab, melainkan sudah menjadi kaum Muslim. Tetapi karena dalam ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman kepada Rasulullah Muhammad saw., meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari kemudian — sebagaimana agama-agama mereka sendiri sudah mengajarkan — maka mereka secara langsung ataupun tidak langsung termasuk mereka yang “menentang” Nabi, jadi bukan golongan Muslim. Namun karena sikap mereka yang positif kepada Nabi dan kepada kaum beriman, maka perlakuan kepada mereka oleh kaum beriman juga dipesan untuk tetap positif dan adil, yaitu selama mereka tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum beriman itu: “Allah tidak melarang kamu sekalian — berkenaan dengan mereka yang tidak memerangi kamu dalam hal agama dan tidak pula mengusir kamu dari tempat-tempat tinggalmu — untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah cinta kepada orangorang yang berbuat adil. Hanya saja, Allah melarang kamu sekalian — berkenaan dengan mereka yang memerangi kamu dalam hal D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

agama dan mengusir kamu dari tempat-tempat tinggalmu serta saling membantu [bersekongkol] untuk mengusir kamu — untuk berteman dengan mereka. Barangsiapa berteman dengan mereka maka orangorang itu adalah zalim,” (Q 60:8-9).

Maka meskipun al-Qur’an melarang kaum beriman untuk bertengkar atau berdebat dengan kaum Ahli Kitab, khususnya berkenaan dengan masalah agama, namun terhadap yang zalim dari kalangan mereka kaum beriman dibenarkan untuk membalas setimpal. Ini wajar sekali, dan bersesuaian dengan prinsip universal pergaulan antara sesama manusia. Berkenaan dengan inilah maka ada peringatan dalam al-Qur’an: “Kamu janganlah berbantahan dengan Ahli Kitab, melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari kalangan mereka. Dan katakanlah, ‘Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan kamu itu satu, serta kami (kita) semua kepada-Nya berserah diri,” (Q 29:46).

Demikianlah pokok-pokok keterangan dan ajaran al-Qur’an tentang kaum Ahli Kitab yang terdiri dari kaum Yahudi dan Kristen (Nasrani).

Ahli Kitab dan Syirik

Terdapat beberapa perbedaan pandangan di kalangan para ulama tentang apakah kaum Ahli Kitab itu termasuk musyrik ataukah tidak. Sebagian yang tidak terlalu besar ulama mengatakan bahwa mereka itu musyrik, dengan akibat-akibat kehukuman (legal) tertentu sebagaimana berlaku para kaum musyrik. Tetapi sebagian besar ulama tidak berpendapat bahwa kaum Ahli Kitab itu termasuk kaum musyrik. Salah seorang dari mereka yang dengan tegas D 12 E


F AHLI KITAB G

berpendapat bahwa kaum Ahli Kitab bukanlah kaum musyrik ialah Ibn Taimiyah. Ibn Taimīyah menyebut tentang adanya pernyataan dari ‘Abdu’llāh ibn ‘Umar bahwa kaum Ahli Kitab, khususnya kaum Nasrani, adalah musyrik, karena mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka ialah Isa putra Maryam. Ibn Taimiyah menolak pandangan itu, dengan argumen antara lain sebagai berikut: Sesungguhnya Ahli Kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrik. Menjadikan (memandang) Ahli Kitab sebagai bukan kaum musyrik dengan dalil firman Allah: “Sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang menjadi Yahudi, kaum Shabi’in, kaum Nasrani, dan kaum Majusi serta mereka yang melakukan syirik....,” (Q 22:17). Kalau dikatakan bahwa Allah telah menyifati mereka itu dengan syirik dalam firman-Nya, “Mereka [Ahli Kitab] itu mengangkat para ulama dan pendeta-pendeta mereka, serta Isa putra Maryam, sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah diperintah melainkan agar hanya menyembah Tuhan Yang Mahaesa yang tiada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu,” (Q 9:31), maka karena (Allah) menyifati mereka bahwa mereka telah melakukan syirik, dan karena syirik itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan (sebagai bidah) yang tidak diperintahkan oleh Allah, wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik, sebab asal-usul agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan (dari Allah) yang membawa ajaran Tauhid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan bahwa Ahli Kitab itu dengan alasan ini bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci yang berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama dengan jika dikatakan bahwa kaum Muslim dan umat Muhammad tidaklah terdapat pada mereka itu (syirik) dengan alasan ini, juga tidak ada paham ittihādīyah (monisme), rafdlīyah (paham politik yang menolak keabsahan tiga khalifah pertama), penolakan paham qadar (paham kemampuan manusia untuk memilih, dapat juga yang dimaksudkan ialah qadar dalam arti takdir), ataupun bidahbidah yang lain. Meskipun sebagian mereka yang tergolong umat D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

[Islam] menciptakan bidah-bidah itu, namun umat Muhammad saw. tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Karena itu selalu ada dari mereka orang yang mengikuti ajaran Tauhid, lain dari kaum Ahli Kitab. Dan Allah ‘azzā wa jallā tidak pernah memberitakan tentang Ahli Kitab itu dengan nama “musyrik”....7

Pandangan yang persis sama dengan yang di atas itu juga dikemukakan oleh Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manār yang terkenal, dengan elaborasi argumennya yang lebih luas dan lengkap.8 Pandangan ini penting sekali, sebab akan berkaitan dengan halhal praktis sehari-hari yang timbul dari konsekuensi kehukuman (legal) tentang kaum Ahli Kitab itu, sejak dari masalah sah-tidaknya perkawinan dengan mereka sampai kepada soal halal-haramnya makanan mereka.

Ahli Kitab di Luar Yahudi dan Nasrani?

Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah ada Ahli Kitab di luar kaum Yahudi dan Nasrani. Al-Qur’an sendiri, seperti telah diterangkan, menyebutkan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang jelas-jelas Ahli Kitab. Tetapi juga menyebutkan beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Shabi’in, yang dalam konteksnya mengesankan seperti tergolong Ahli Kitab. Digabung dengan ketentuan dalam praktik Nabi bahwa beliau memungut jizyah dari kaum Majusi di Hajar dan Bahrain, kemudian praktik Umar ibn al-Khaththab memungut jizyah dari kaum Majusi Persia serta Utsman ibn Affan memungut jizyah dari kaum Berber di Afrika Utara, maka banyak ulama yang menyimpulkan adanya golongan Ahli Kitab di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab jizyah 7

Untuk pembahasan lebih lengkap tentang argumen Ibn Taimiyah ini, lihat Ibn Taimiyah, Ahkām al-Zawāj (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1408 H / 1988 M), h. 188-190. 8 Ridla, op. cit., 6:189. D 14 E


F AHLI KITAB G

dibenarkan dipungut hanya dari kaum Ahli Kitab (yang hidup damai dalam Negeri Islam), dan tidak dipungut dari golongan yang tidak termasuk Ahli Kitab seperti kaum Musyrik (yang umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka ini). Berkenaan dengan ini ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi seperti perlakuan kepada kaum Ahli Kitab, seperti dituturkan oleh Ibn Taimiyah: ...Karena itulah Nabi saw. bersabda tentang kaum Majusi, “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab”, dan beliau pun membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain yang di kalangan mereka ada kaum Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini.9

Terhadap penuturan Ibn Taimiyah itu Dr. Muhammad Rasyad Salim memberi catatan penting yang cukup lengkap, demikian: Dalam kitab al-Muwaththa’ 1/278 (bagian zakat, bab jizyah Ahli Kitab dan Majusi), dalam hadis No. 41 dari Ibn Syihab, ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah saw. memungut jizyah dari kaum Majusi Bahrain, dan bahwa Umar ibn al-Khaththab memungutnya dari kaum Majusi Persia, dan bahwa Utsman ibn Affan memungutnya dari kaum Berber. Dan dalam hadis No. 42 bahwa Umar ibn al-Khaththab membicarakan kaum Majusi, lalu berkata, ‘Saya tidak tahu, bagaimana aku harus berbuat terhadap mereka?’ Maka Abdurrahman ibn Auf menyahut, ‘Aku bersaksi, sungguh telah kudengar Rasulullah saw. bersabda: Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab.’ Dan dalam kitab al-Bukhārī 4/96 (bagian jizyah, bab jizyah dan muwāda‘ah kepada ahl al-harb) bahwa Umar ra. tidak memungut jizyah 9

Ibn Taimiyah, Minhāj al-Sunnah, suntingan Dr. Muhammad Rasyad Salim, 9 jilid (Mu’assat Qurthubah, 1406/1986), jil. 8, h. 516. D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

dari kaum Majusi sehingga Abdurrahman ibn Auf bersaksi bahwa Rasulullah saw. memungutnya dari kaum Majusi Hajar. Dan di halaman itu juga dari Amr ibn Auf al-Anshari bahwa Rasulullah saw. mengutus Abu Ubaidah ibn al-Jarrah ke Bahrain untuk membawa jizyahnya.10

Muhammad Rasyid Ridla juga ada mengutip sebuah hadis yang di situ Alī ibn Abi Thalib menegaskan bahwa kaum Majusi adalah tergolong Ahli Kitab, demikian: Abd ibn Hamid dalam tafsirnya atas surat al-Burūj meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibn Abza, bahwa setelah kaum Muslim mengalahkan penduduk Persia, Umar berkata, “Berkumpullah kalian!” (Yakni, ia berkata kepada para Sahabat, “Berkumpullah kalian untuk musyawarah”, sebagaimana hal itu telah menjadi sunnah yang diikuti dengan baik dan kewajiban yang semestinya). Kemudian ia (Umar) berkata, “Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah Ahli Kitab sehingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan hukum yang berlaku.” Maka Ali menyahut, “Sebaliknya, mereka adalah Ahli Kitab!”.11

Rasyid Ridla membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya terhadap al-Qur’an surat al-Mā’idah/5:5, berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli Kitab dan memakan makanan mereka. Rasyid Ridla menegaskan bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat Ahli Kitab, dan dia menyebut-nyebut tidak saja kaum Majusi (Zoroastri) dan Shabi‘in, tetapi juga Hindu, Buddha, dan Konfusius (Kong Hucu). Pembahasan yang sangat menarik oleh Rasyid Ridla dapat kita ikuti dalam kitab tafsirnya, al-Manār, demikian:

10 11

Ibid., catatan kaki No. 2. Ridla, op. cit., 6:189. D 16 E


F AHLI KITAB G

Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan Shabi’in. Kaum Shabi’in bagi Abu Hanifah adalah sama dengan Ahli Kitab. Begitu pula kaum Majusi bagi Abu Tsaur, berbeda dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa mereka itu diperlakukan sebagai Ahli Kitab hanya dalam urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadis dalam hal ini, “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab, tanpa memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka.” Tetapi pengecualian ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis, namun hal itu terkenal di kalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa kedua kelompok itu adalah kelompok Ahli Kitab yang mereka kehilangan kitab suci oleh lamanya waktu. (Pendapat para ahli fiqih) itu pula yang dahulu pernah menjadi pendirian saya sebelum saya menemukan kutipan dari salah seorang kaum Salaf kita dan ulama ahli agama-agama dan sejarah dari kalangan kita, dan telah pula saya sebutkan dalam al-Manār beberapa kali. Kemudian saya temukan dalam kitab al-Farq bain al-Firāq karangan Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghdadi (wafat tahun 426 H.) dalam konteks pembahasan tentang kaum Bathiniyah: “Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zarathustra dan turunnya wahyu kepadanya dari Allah Ta‘ala, kaum Shabi’in mempercayai kenabian Hermes, Walis (?), Plato, dan sejumlah para filosof serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka katakan bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan, berita tentang akibat kematian, tentang pahala dan siksa, serta tentang surga dan neraka yang di sana ada balasan bagi amal perbuatan yang telah lewat.” Kemudian dia [al-Baghdadi] menyebutkan bahwa kaum Bathiniyah mengingkari itu semua.12

Rasyid Ridla menerangkan lebih lanjut, dengan menyebutkan bahwa pengertian “Ahli Kitab” sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya 12

Ibid., 6:185-186. D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga meliputi kaum Shabi’in dan Majusi tersebut di atas, serta kaum Hindu, Budha, dan Konfusius. Keterangan Rasyid Ridla adalah demikian: Yang tampak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agamaagama terdahulu, kaum Shabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius karena kaum Shabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula address al-Qur’an, karena kaum Shabi’in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang, dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing (ighrāb) dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi address pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur’an, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang menjadi address pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain. Sudah diketahui bahwa al-Qur’an jelas menerima jizyah dari kaum Ahli Kitab, dan tidak disebutkan bahwa jizyah itu dipungut dari golongan selain mereka. Maka Nabi saw. pun, begitu pula para khalifah ra., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi menerimanya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar, dan Persia sebagaimana disebutkan dalam dua kitab hadis yang sahih (Bukhari-Muslim) dan kitab-kitab hadis yang lain. Dan [Imam] Ahmad, al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Turmudzi serta lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan dari hadis Abdurrahman ibn Auf bahwa dia bersaksi untuk Umar tentang hal tersebut ketika Umar mengajak para sahabat untuk bermusyawaah mengenai hal itu. Malik dan al-Syafi‘i meriwayatkan dari dia (Abdurrahman ibn Auf ) bahwa ia berkata: “Aku bersaksi, D 18 E


F AHLI KITAB G

sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab.’ Dalam sanad-nya ada keterputusan, dan pengarang kitab al-Muntaqā dan lain-lainnya menggunakan hadis itu sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majusi) tidak terhitung Ahli Kitab. Tapi pandangan ini lemah, sebab penggunaan umum perkataan “Ahli Kitab” untuk dua kelompok manusia (Yahudi dan Nasrani) karena adanya kepastian asal kitabkitab suci mereka dan tambahan sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat Rasul-rasul untuk membawa berita gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia [Allah] menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al-Mīzān) agar manusia bertindak dengan keadilan. Sebagaimana juga penggunaan umum gelar “ulama” untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak ada pada orang lain.13

Demikianlah keterangan dari Rasyid Ridla tentang pengertian Ahli Kitab, sebagaimana ia dasarkan kepada berbagai sumber yang ia ketahui. Seperti sudah dikemukakan, sesungguhnya para ulama berselisih pendapat tentang hal ini, khususnya tentang golongan selain Yahudi dan Nasrani. Keterangan pemikir Islam yang amat terkenal itu kiranya akan berguna bagi kita sebagai bahan pertimbangan. Masih banyak lagi masalah yang menyangkut konsep tentang Ahli Kitab ini yang dapat kita bicarakan. Namun semoga sedikit pembahasan yang dapat kita buat di atas itu akan membantu kita memahami masalah-masalah dasar konsep itu, yang tidak diragukan lagi akan kuat sekali relevansinya dengan keadaan zaman modern dengan ciri globalisasi yang menimbulkan masalah kemajemukan ini. Pada permulaan pembahasan ini dikemukakan bahwa konsep tentang Ahli Kitab merupakan kemajuan luar biasa dalam sejarah 13

Ibid., 6:188-189. D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

agama-agama sepanjang zaman. Dan itu sekaligus membuktikan keunggulan konsep-konsep al-Qur’an dan Sunnah yang kita semakin perlu untuk memahaminya secara komprehensif dan dalam kaitan sistemiknya yang lengkap. Sebagaimana halnya dengan ajaran-ajaran prinsipil lainnya yang selalu relevan namun memerlukan penjabaran operasional dan praktis dalam konteks ruang dan waktu, maka konsep tentang Ahli Kitab menurut al-Qur’an dan Sunnah itu juga dapat dijabarkan dalam konteks zaman mutakhir guna mem beri res ponsi yang tepat dan berprinsipil kepada tantangan sosial yang timbul. Sebagai akhir pembahasan ini, patut sekali kita renungkan firman Allah kepada Nabi kita tentang sikap yang benar terhadap kaum Ahli Kitab: “Maka dari itu, serulah [mereka] dan tegaklah (dalam pendirian) sebagaimana engkau diperintahkan, serta janganlah engkau turuti keinginan mereka. Dan katakanlah (kepada mereka): ‘Aku beriman kepada yang diturunkan Allah berupa kitab suci apa pun, dan aku diperintahkan untuk berlaku adil antara kamu sekalian. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu, bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak ada perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan hanya kepada-Nya itulah tempat kembali,’” (Q 42:15). [ ]

D 20 E


F NEOSUFISME G

NEOSUFISME Oleh Nurcholish Madjid

Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (zhāhirī, lahiri) dan esoterik (bāthinī, batini) sekaligus. Tapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium (tawāzun) dalam Islam, namun kenyataannya banyak kaum Muslim yang penghayatan keislamannya lebih mengarah kepada yang lahiri (lalu disebut Ahl al-Zhawāhir) dan banyak pula yang lebih mengarah kepada yang batini (dan disebut Ahl al-Bawāthin). Kaum syariat, yaitu mereka yang lebih menitikberatkan perhatian kepada segi-segi syariat atau hukum, sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum tarekat (tharīqah), yaitu mereka yang berkecimpung dalam amalan-amalan “tarekat”, dinamakan kaum batini. Seperti dikatakan oleh al-Randi, seorang ahli kesufian dan pemberi syarah kepada kitab al-Hikām, sebuah buku teks tentang tasawuf yang terkenal, kaum Muslim dalam ibadat mereka terbagi menjadi dua: satu kelompok lebih menitikberatkan kepada “ketentuan-ketentuan luar” (ahkām al-zhawāhir, yakni, segi-segi lahiriah) dan satu kelompok lagi lebih menitikberatkan kepada ketentuan-ketentuan “dalam” (al-dlamā’ir, yakni, segi-segi batiniah).1 1

Muhammad ibn Ibrahim al-Randi, Syarh al-Hikām (Singapura & Jeddah: al-Haramayn, t.th.), h. 11. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Dalam sejarah pemikiran Islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu sempat terjadi ketegangan dan polemik, dengan sikap-sikap saling menuduh bahwa lawannya adalah penyeleweng dari agama dan sesat, atau penghayatan keagamaan mereka tidak sempurna. Dari banyak usaha merekonsiliasi antara keduanya itu, yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali adalah yang terbesar dan paling berhasil. Maka melalui pemikiran al-Ghazali, syariat dan tarekat mengalami perpaduan, dengan hubungan antara keduanya yang saling menunjang. Ajaran tarekat yang terpadu secara baik dengan ajaran syariat diakui sebagai mu‘tabarah (absah), dan yang tidak memenuhi kriteria itu dinyatakan sebagai ghayr mu‘tabarah (tidak absah). Organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) memperhatikan masalah ini, dan membentuk badan yang dinamakan Jam‘iyyah Thariqah Mu‘tabarah (Perkumpulan Tarekat Mu‘tabarah). Muktamar NU di Situbondo 1984 menetapkan bahwa salah satu ketentuan tentang paham Ahl al-Sunnah wa alJama‘ah ialah, dalam bidang tasawuf, mengikuti tarekat mu‘tabarah dengan berpedoman kepada ajaran Imam al-Ghazali, di samping kepada ajaran para tokoh kesufian Sunni yang lain.

Sufisme Baru (Neosufisme)?

Ketika Prof. Hamka menulis bukunya yang terkenal, Tasawuf Modern, beliau sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar sufisme baru di tanah air kita. Dalam buku itu terdapat alur pikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariat. Jadi sesungguhnya masih tetap dalam garis kontinuitas dengan pemikiran Imam al-Ghazali tersebut di atas. Bedanya dengan alGhazali ialah bahwa Prof. Hamka menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan D2E


F NEOSUFISME G

pengasingan diri atau ‘uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Sebagai seorang ulama yang sangat mengenal pemikiran kaum pembaru klasik seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, Prof. Hamka juga menunjukkan konsistensi pemikirannya dengan pemikiran tokoh-tokoh itu. Maka bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan bahwa Prof. Fazlur Rahman, juga seorang sarjana yang amat mendalami pemikiran Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, menyebut kedua tokoh klasik itu sebagai perintis apa yang ia namakan sebagai Neosufisme. Istilah “Neosufisme” terasa lebih netral daripada istilah “tasawuf modern”. Istilah “tasawuf modern” terasa lebih optimistik, karena “modern” acapkali berkonotasi positif dan optimis. Tapi keduanya menunjuk kepada kenyataan yang sama, yaitu suatu jenis kesufian yang terkait erat dengan syariat, atau, dalam wawasan Ibn Taimiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif. Fazlur Rahman menjelaskan sufisme baru itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir dan murāqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Gejala yang dapat disebut sebagai neosufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum Hanbali seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, sekalipun sangat memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neosufi, malah menjadi perintis ke arah kecenderungan ini. Selanjutnya, kaum neosufi juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran klaim sufisme intelektual: mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi) kaum D3E


F NURCHOLISH MADJID G

sufi atau ilham intuitif tetapi menolak klaim mereka seolah-olah tidak dapat salah (mas‘shūm), dengan menekankan bahwa kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari kalbu, yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga. Baik Ibn Taimiyah maupun Ibn Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi, Ibn Taimiyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminologi kesufian — termasuk istilah sālik, penempuh jalan keruhanian — dan mencoba memasukkan ke dalamnya makna moral yang puritan dan etos salafi.2 Jadi “sufisme baru” menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada “sufisme lama”. Sebagai misal, di bawah ini adalah kutipan dari suatu versi tentang zuhud atau asketisme, salah satu unsur amat penting dalam sufisme, berasal dari sebuah kitab dalam Bahasa Melayu tulisan Jawi (Arab Melayu): (Fasal) pada menyatakan zuhud yakni benci akan dunia maka yaitu martabat yang tinggi yang terlebih hampir kepada Haqq Ta‘ala karena manakala benci akan dunia itu melazimkan gemar akan akhirat dan gemar akhirat itulah perangai yang dikasih Haqq Ta‘ala seperti sabda Nabi saw.: tinggalkan olehmu akan dunia niscaya kasih Haqq Ta‘ala akan dikau dan jangan kau hiraukan barang sesuatu yang pada tangan manusia niscaya dikasih akan dikau oleh manusia; tinggalkan olehmu akan dunia niscaya dimasuk Allah Ta‘ala ke dalam hatimu ilmu hikmah yaitu ilmu hakikat maka ketika nyatalah kau pandang hakikat dunia ini dan nyatalah kau pandang hakikat akhirat itu hingga kau ambil akan yang terlebih baik bagimu dan yang terlebih kekal.... (Maka) yang terlebih sempurna martabat zāhid itu zuhd ‘ārifīn yaitu hina padanya dan keji padanya segala nikmat yang dalam 2

Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), h. 195. D4E


F NEOSUFISME G

dunia ini dan semata-mata berhadapan kepada Haqq Ta‘ala tiada sekali-kali berpegang hatinya kepada nikmat dunia ini dan adalah dunia ini pada hatinya seperti kotoran jua atau seperti bangkai jua tiada menghampir ia melainkan pada ketika darurat inilah zuhd yang terlebih tinggi martabatnya daripada segala makhluk tetapi adalah seperti ini sangat sedikit padanya wa ’l-Lāh-u ’l-muwāfiq.3

Pandangan tentang zuhud atau asketisme “klasik” yang pasif dan “anti dunia” itu dapat dibandingkan dengan pandangan zuhud atau asketisme “modern” seperti dikemukakan dalam sebuah risalah kecil berjudul al-Rūhānīyah al-Ijtimā‘īyah (Spiritualisme Sosial) terbitan al-Markaz al-Islami (Islamic Center), Jenewa (Swis) pimpinan Dr. Sa‘id Ramadlan. Sebagai pegangan bagi para pejuang dakwah Islam, buku kecil ini memberi petunjuk yang cukup jelas tentang apa saja yang menjadi pertanda jalan (ma‘ālim al-tharīq) spiritualisme sosial, yang secara amat ringkas isinya adalah: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al-Qur’an; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi saw. melalui Sunnah dan Sīrah (biografi) beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orangorang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadat-ibadat wajib dan sunnah, seperti sembahyang lima waktu dan tahajud. Setelah itu dikemukakan peringatan yang keras sekali terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i‘tizālīyah), demikian: Di sini kita ingin memberi peringatan tentang sesuatu yang pelik dan penting, yaitu bahwa spiritualisme sosial ini harus ada pada 3

Al-Syaikh Isma’il ibn ‘Abd al-Muththalib al-Asyi, penerjemah dan penafsir dalam bahasa Melayu, “Dā’ al-Qulūb” dalam Jam‘ Jawāmi‘ al-Mushannafāt (Singapura & Jeddah: al-Haramayn, t.th.), h. 111-112. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

para penganutnya dan orang lain. Adapun spiritualisme isolatif yang mengungkung pelakunya dari masyarakat sehingga ia tidak berhubungan dengan mereka dan mereka tidak berhubungan dengan dia, tidak pula dia memberi pelajaran kepada mereka dan dia tidak belajar dari mereka, ini adalah spiritualisme orang-orang yang lemah dan egois; spiritualisme orang-orang yang lemah, yang tidak tahan menghadapi kejahatan dan bahaya, kemudian lari ke ‘uzlah (pengucilan diri) dan berpegang kepada ‘uzlah itu; dan spiritualisme kaum egois yang hanya mencari kebahagiaan untuk diri mereka sendiri saja. Hal serupa itu, meskipun ada unsur kebaikan medium dan keluhuran tujuan di dalamnya, adalah jenis penyakit.4

Berkenaan dengan apa ajaran pokok spiritualisme sosial itu, buku kecil al-Rūhānīyah al-Ijtimā‘īyah itu mengemukan suatu nilai yang sudah secara umum telah diketahui kaum Muslim, yaitu nilai keseimbangan (mīzān atau tawāzun), sesuai dengan prinsip yang difirmankan Allah swt., “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan. Agar janganlah kamu (manusia) melanggar (prinsip) keseimbangan itu,” (Q 55:7-8). Kalau kita perhatikan firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagad raya, sehingga melanggar prinsip keseimbangan merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagad raya. Dan kalau manusia disebut sebagai “jagad kecil” atau “mikrokosmos”, maka, tidak terkecuali, manusia pun harus memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya. Selain dapat dipahami dari kutipan di atas, prinsip ini diuraikan dalam buku al-Rūhānīyah al-Ijtimā‘īyah, demikian: 4

Al-Markaz al-Islami, Al-Rūhānīyah al-Ijtimā‘īyah fī al-Islām (Jenewa: 1965), h. 53-61. D6E


F NEOSUFISME G

Jika orang dengan lurus menghadapi dirinya sendiri kemudian memenuhi hak badannya dan hak ruhnya, maka ia telah berbuat adil kepada kemanusiaannya, sejalan dengan Sunnatullah, dan hidup dengan damai di dunia dan akhirat. Jika ia cenderung hanya kepada salah satu dari dua jurusan itu, sambil berpaling dari yang lain, maka ia telah berbuat zalim kepada dirinya, dan menghadapkan dirinya itu menentang Sunnatullah. Barangsiapa menghadapkan dirinya menentang Kebenaran tentu hancur — “Engkau tidak akan mendapatkan perubahan dalam Sunnatulah,” (Q 33:62). Maka orang yang hidup di zaman sekarang, yang hanya mementingkan harta, berlomba untuk sepotong roti, tenggelam dalam urusan badani, sibuk dengan kehormatan kosong dan kemegahan palsu, menyia-nyiakan tuntutan akal dan kalbunya hanya untuk kenikmatan muspra itu, dia adalah orang yang terkecoh dari hakikat dirinya, terdinding dari inti hidup. Ia menginginkan agar Sunnatullah mengangkatnya ke alam yang lebih tinggi, namun tergelincir jatuh dari kemuliaan itu, dan tetap saja bertindak memutuskan tali hubungan tersebut. Sedangkan orang yang mengarahkan dirinya hanya untuk memenuhi tuntutan ruhnya lalu menggunakan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya untuk berdiri (shalat), sepanjang umurnya untuk merenung semata sambil mengingkari hal-hal yang baik dari hidup duniawi lalu tidak berpakaian kecuali dengan yang kasar-kasar, tidak makan kecuali yang kering kerontang dengan tujuan agar potensi hidup lahiriahnya menjadi lemah dan — menurut anggapannya — agar potensi ruhaninya menjadi hebat, dia adalah juga orang yang bodoh tentang hakikat hidup, lalai akan Sunnatullah, menyia-nyiakan hak badannya sendiri, atau menyia-nyiakan salah satu dari dua segi hidupnya. Cukup hal itu baginya sebagai kerugian dan pengingkaran terhadap perintah Allah. Diriwayatkan orang banyak bahwa Rasulullah saw. mengunjungi Abdullah ibn Amr ibn al-Ash, dan istrinya meminta belas kasihan Rasulullah saw., maka beliau bersabda: “Bagaimana keadaanmu, wahai ibu Abdullah?” D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Dijawabnya, “(Dia itu, Abdullah ibn Amr ibn al-Ash) menyendiri, sehingga ia pun tidak tidur, tidak berbuka (puasa), tidak mau makan daging, dan tidak menunaikan kewajibannya kepada keluarganya.” Beliau bertanya, “Di mana dia sekarang?” Dijawab, “Dia sedang keluar, dan sudah hampir pulang saat ini.” Beliau bersabda, “Kalau dia pulang, tahan dia untukku.” Maka Rasulullah saw. pun keluar, lalu Abdullah datang, dan Rasulullah sudah hampir pulang. Maka beliau katakan, “Wahai Abdullah ibn Amr, bagaimana itu berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu? Engkau tidak tidur!” Dijawabnya, “Dengan itu aku ingin aman dari marabahaya yang besar.” Sabda beliau, “Dan sampai kepadaku (berita) bahwa engkau tidak berbuka (puasa)!” Dijawabnya, “Dengan itu aku menginginkan sesuatu yang lebih baik di surga.” Beliau bersabda, “Dan sampai (berita) kepadaku bahwa engkau tidak menunaikan untuk keluargamu hak-hak mereka!” Dijawabnya, “Dengan itu aku menginginkan wanita yang lebih baik daripada mereka.” Maka Rasulullah saw. pun bersabda, “Wahai Abdullah ibn Amr, bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu berpuasa dan berbuka, makan daging, dan menunaikan untuk keluarganya hak-hak mereka. Wahai Abdullah ibn Amr, sesungguhnya Allah mempunyai hak atas engkau, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas engkau!” Dengan kebijakan yang mendalam itu Rasulullah saw. menggambarkan untuk kita cara hidup yang sehat dan benar, dan menjelaskan bahwa sikap berlebihan adalah tercela, biar pun mengenai sikap seorang hamba dalam kehidupan ruhaninya. Sebab Allah tidak terima dari hamba-Nya jika Sunnah-Nya diabaikan kemudian orang itu menyangka bahwa sikap tersebut membawanya kepada keridaan-Nya.5

Keterangan di atas itu serta hadis yang dikutipnya sejalan benar dengan keterangan dan penegasan Nabi saw. dalam berbagai contoh 5

Ibid., h. 4-6. D8E


F NEOSUFISME G

yang lain, di antaranya ialah beberapa hadis yang menyangkut seorang Sahabat bernama Utsman ibn Mazh‘un, dan terkait dengan ajaran beliau tentang al-hanīfīyah al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang: Istri Utsman ibn Mazh‘un bertandang ke rumah para istri Nabi saw., dan mereka ini melihatnya dalam keadaan yang buruk. Maka mereka bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi dengan engkau? Tidak ada di kalangan kaum Quraisy orang yang lebih kaya daripada suamimu!” Ia menjawab: “Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadat, dan siang harinya ia berpuasa!” Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi pun menemui dia (Utsman ibn Mazh‘un), dan bersabda: “Hai Utsman! Tidakkah padaku ada teladan bagimu?!” Dia menjawab: “Demi ayahibuku, engkau memang demikian.” Lalu Nabi bersabda: “Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur (beribadat) setiap malam?” Dia menjawab: “Aku memang melakukannya.” Nabi bersabda: “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!” Utsman ibn Mazh‘un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadat. Berita itu datang kepada Nabi saw., maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya ke pintu keluar rumah di mana ia tinggal, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanīfīyah al-samhah (semangat pencarian Kebenaran yang lapang).” Berita sampai kepada Nabi saw. bahwa segolongan Sahabat beliau menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul, dan kami pun bercerita tentang sikap menjauhi wanita dan makan daging itu. Maka Nabi pun memberi peringatan keras, D9E


F NURCHOLISH MADJID G

dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik dīn, agama, ialah al-hanīfīyah al-samhah.”6

Dari uraian dan kutipan-kutipan di atas tampak jelas apa yang dimaksud dengan sufisme baru, neosufisme atau tasawuf modern. Meskipun disebut “baru”, “neo” atau “modern” tapi sesungguhnya, seperti diargumenkan oleh tokoh-tokoh pemikir modern semisal Hamka, Fazlur Rahman, dan Sa‘id Ramadlan, serta pemikir pembaharu klasik semisal Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, sufisme “baru” ini justru menegaskan konsistensinya dengan ajaran Islam yang sahih.

Sufisme sebagai Ijtihad

Dari antara para pemikir besar Islam di kalangan Sunni, Ibn Taimiyah adalah yang paling kuat argumentasinya untuk mempertahankan tetap terbukanya pintu ijtihad sepanjang masa. Sedemikian rupa ia menegaskan pendiriannya, sehingga ia tidak jemu-jemunya mengingatkan adanya sabda Nabi bahwa orang yang berijtihad kemudian benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan yang berijtihad kemudian keliru maka ia masih akan mendapatkan satu pahala. Maka sejalan dengan itu ia senantiasa berusaha menunjukkan penghargaan kepada setiap kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh siapa pun, yang dalam pandangannya memiliki ketulusan niat. Begitu pula terhadap kaum sufi, Ibn Taimiyah, yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pelopor sufisme baru itu, tetap menunjukkan apresiasinya kepada ijtihad mereka dalam mendekati 6

Hadis-hadis ini dikutip dan dijelaskan oleh Jamal al-Din Abu al-Faraj Abdurrahman ibn al-Jawzi al-Baghdadi (wafat 597 H), Talbīs Iblīs (Kairo: Idarat al-Thiba‘ah al-Muniriyah, 1368 H), h. 219-220. D 10 E


F NEOSUFISME G

Allah melalui zikir-zikir dan wirid-wirid yang mereka ajarkan. Ibn Taimiyah memberi apresiasi ini tanpa berarti meninggalkan sikap kritisnya yang terkenal kepada sufisme populer, yang dengan praktik-praktik pemujaan kepada orang-orang suci dan kuburkubur mereka itu maka sufisme populer dalam pandangannya lebih mendekati syirik. Begitu pula terhadap cara mereka berzikir dan melakukan wirid, Ibn Taimiyah sering melancarkan kritik yang tandas sekali. Walaupun begitu, secara keseluruhan Ibn Taimiyah memandang bahwa tasawuf atau sufisme adalah sejenis ijtihad dalam mendekati Allah. Dalam suatu risalah pendeknya yang amat menarik, berjudul al-Shūfīyāt wa al-Fuqarā’, Ibn Taimiyah menjelaskan penilaian dan pendiriannya tentang sufisme sebagai berikut: Jika telah diketahui bahwa munculnya tasawuf dari kota Basrah dan bahwa di sana ada orang yang menempuh cara ibadat dan zuhud yang di dalamnya terkandung ijtihad baginya — sebagaimana di kota Kufah juga ada orang yang menempuh cara fiqih dan ilmu yang di dalamnya terkandung ijtihad baginya — lalu mereka (di Basrah) itu dikaitkan dengan pakaian lahiriah yaitu pakaian dari bahan wol (shūf) maka dikatakan bahwa seseorang seperti mereka itu adalah shūfī. Tetapi tarekat mereka tidaklah terbatasi dengan pakaian dari wol, dan mereka pun tidak mewajibkan hal itu, juga tidak menyangkutkan perkara (tarekat) mereka dengan (pakaian) itu, namun mereka dihubungkan dengan wol (shūf) karena itulah keadaan lahiriah mereka. Selanjutnya, tasawuf bagi mereka mempunyai hakikat-hakikat dan hal-hal tertentu yang telah mereka bicarakan tentang batasanbatasannya, tingkah lakunya dan akhlaknya, seperti kata setengah mereka: “Seorang sufi ialah orang yang telah terbersihkan dari kotoran, penuh pikiran, dan sama baginya emas dan batu-batuan,” dan “tasawuf ialah sikap merahasiakan makna dan meniggalkan pengakuan-pengakuan (klaim-klaim),” dan seterusnya. Kemudian mereka membawa makna sufi ke makna shiddīq (orang yang D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

benar), dan manusia paling utama setelah para Nabi ialah orangorang shiddīq, sebagaimana difirmankan Allah: “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul maka mereka itu beserta orang-orang yang mendapatkan karunia kebahagiaan dari Allah, yang terdiri dari para Nabi, para shiddīqīn, para syuhadā’ dan para orang salih, dan mereka itu sungguh baik sebagai kawan dekat,” (Q 4:69). Karena itu bagi mereka tidak ada setelah para Nabi orang yang lebih utama daripada seorang sufi. Tapi sebenarnya dia itu adalah satu jenis saja dari kaum shiddīqīn, sebab dia adalah seorang shiddīq yang mengkhususkan diri pada zuhud dan ibadat mengikuti cara yang mereka berijtihad di dalamnya, sehingga dia menjadi seorang shiddīq dalam cara ini, sebagaimana juga dikatakan tentang adanya ulama shiddīqīn dan umara shiddīqīn. Jadi seorang sufi adalah lebih khusus daripada seorang shiddīq mutlak dan lebih rendah daripada kaum shiddīqīn yang kebenarannya sempurna seperti kaum sahabat dan tābi‘ūn serta para pengikut mereka. Dan jika kaum zuhud dan ibadat dari orang-orang Basrah itu disebut kaum shiddīqīn maka sama halnya dengan para ahli fiqih dari kalangan orang-orang Kufah, juga merupakan kaum shiddīqīn, semuanya sesuai dengan jalan yang ditempuhnya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya menurut ijtihad masing-masing. Dan mereka itu dapat saja merupakan orang-orang shiddīq menurut zaman mereka, sehingga menjadi orang shiddīq paling sempurna di zaman itu, namun seorang shiddīq di zaman pertama adalah lebih sempurna daripada mereka. Kaum shiddīqīn itu bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Karena itu dapat ditemukan pada masing-masing mereka itu jenis kelakuan dan ibadat yang benar, baik dan unggul, meskipun orang lain dalam jenis kelakuan dan ibadat yang lain adalah lebih sempurna dan lebih unggul daripada dia. Karena pada mereka terjadi banyak ijtihad dan perselisihan, maka manusia pun berselisih pula tentang tarekat mereka. Sekelompok orang mencela kaum sufi dan tasawuf, dan berpendapat bahwa mereka ini adalah para pembuat bidah yang keluar dari Sunnah. Pendapat D 12 E


F NEOSUFISME G

serupa itu dikutip dari sebagian imam-imam, sebagaimana telah diketahui, kemudian sekelompok ahli fiqih dan kalam mengikuti jejak mereka. Dan kelompok lain berlebihan mengenai kaum sufi itu, dan menganggap bahwa mereka adalah manusia paling utama setelah para Nabi. Kedua kelompok yang ekstrem itu tercela. Yang benar ialah bahwa mereka kaum sufi itu adalah orang-orang yang berijtihad dalam taat kepada Allah, sebagaimana halnya orang lain yang taat kepada Allah juga berijtihad. Di antara mereka ada yang mendahului dalam kebenaran (sābiq), yaitu orang yang maju, yang menjadi dekat (kepada Allah) sesuai dengan ijtihadnya. Di antara mereka ada yang sedang (muqtashid), yang termasuk “golongan kanan” (ashhāb al-yamīn). Dan dalam masing-masing kelompok itu ada yang berijtihad kemudian membuat kekeliruan, di antaranya ada yang berdosa lalu bertobat atau tidak bertobat. Dan orang-orang yang mengaku tergolong kaum sufi itu ada yang zalim kepada diri sendiri dan ingkar kepada Tuhannya. Di antara orang-orang yang mengaku diri kaum sufi itu ada yang pembuat bidah dan kezindikan (penyelewengan keagamaan), yang menurut para ahli di kalangan ahli tasawuf sendiri itu tidaklah termauk kaum sufi, seperti al-Hallaj, misalnya. Sebab kebanyakan para tokoh tarekat mengingkarinya dan tidak memasukkannya ke dalam tarekat, seperti (pendapat) al-Junayd Muhammad dan lain-lain, menurut yang disebutkan oleh Syaikh Abu Abdurrahman al-Sullami dalam (kitab) Thabaqāt al-Shūfīyah, juga disebutkan oleh al-Hafizh Abu Bakr al-Khathib dalam (kitab) Tārīkh Baghdād. Begitulah asal-usul tasawuf. Selanjutnya, tasawuf itu bercabangcabang dan bermacam-macam. Maka kaum sufi ada tiga golongan: kaum sufi hakikat, kaum sufi rezeki, dan kaum sufi formalitas. Kaum sufi hakikat ialah mereka yang telah kita gambarkan tadi. Sedangkan kaum sufi rezeki ialah mereka yang menerima wakaf seperti (dalam) khanikah-khanikah (rumah-rumah pondokan sufi). Mereka ini tidak harus dari kalangan hakikat, sebab hal ini sulit bagi mereka; dan para tokoh hakikat yang besar tidak terikat dengan ketentuan khanikah-khanikah, tetapi mereka diharuskan memenuhi tiga syarat: D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

(pertama), kelurusan dalam syariat sehingga mereka itu menjalankan ibadat-ibadat wajib dan menjauhi hal-hal yang terlarang; (kedua), bertingkah laku sopan menurut ajaran kesopanan para ahli tarekat, yang dalam banyak hal kesopanan itu adalah juga kesopanan menurut syariat; sedangkan kesopanan bidah yang dibuat-buat maka tidak perlu diperhatikan; (ketiga), tidak dibenarkan seorang pun dari mereka terlalu memperhatikan kemewahan duniawi; jadi orang yang kerjanya hanya mengumpulkan harta, atau tidak berakhlak dengan akhlak yang terpuji dan tidak beradab dengan adab syariat, atau orang itu fasiq, maka baginya tidak ada hak untuk termasuk golongan tersebut. Adapun kaum sufi formalitas, mereka ialah orang-orang yang merasa cukup dengan sebutan (sebagai kaum sufi) saja, sebab yang penting bagi mereka ialah pakaian dan sopan santun buatan saja, dan seterusnya. Mereka ini dalam sufisme sama kedudukannya dengan orang yang merasa cukup dengan mengenakan baju uniform ahli ilmu (sarjana) atau ahli jihad, atau (merasa cukup) dengan (meniru) apa pun ucapan dan tingkah laku mereka, sehingga orang yang tidak tahu tentang keadaan yang sebenarnya menyangka bahwa orang itu termasuk golongan tersebut, padahal tidak.7

Jadi, singkatnya, menurut Ibn Taimiyah, yaitu tokoh pemikir pembaru yang disebut Fazlur Rahman sebagai pelopor neosufisme, dalam tasawuf ada unsur-unsur yang baik, yang merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan mendekat kepada-Nya, selain juga pada sebagian kaum sufi sendiri ada hal-hal yang merupakan hasil bidah. Hal ini sama saja dengan bidang kehidupan keagamaan lainnya di kalangan kaum Muslim: sebagian berasal dari Kitab dan Sunnah dengan kemungkinan terjadi ijtihad dalam pemahaman dan pengamalannya, sebagian lagi adalah hasil penambahan yang tidak sah kepada agama, yaitu bidah. 7

Ibn Taimiyah, al-Shūfīyah wa al-Fuqarā’, editing dan anotasi oleh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla (Kairo: al-Manār, 1348 H), h. 17-22. D 14 E


F NEOSUFISME G

Masalah Zikir

Semua bentuk sufisme mengajarkan tentang zikir (dzikr), yaitu ingat kepada Allah swt. Dalam al-Qur’an banyak gambaran tentang kaum beriman yang dikaitkan dengan zikir, seperti, misalnya, bahwa mereka itu ialah “...yang ingat kepada Allah baik ketika berdiri, ketika duduk, dan ketika berada pada lambung-lambung mereka...,” (Q 3:191), dan bahwa mereka itu “...menjadi tenang jiwanya karena ingat kepada Allah, dan sesungguhnya dengan ingat kepada Allah maka jiwa menjadi tenang,” (Q 13:28). Juga diajarkan bahwa jika kita ingat kepada Allah, maka Allah pun “ingat” kepada kita (lihat Q 2:152). Lalu ada peringatan agar jangan sampai kita lupa akan Allah, sebab Allah pun akan membuat kita lupa akan diri kita sendiri, yakni, kita menjadi manusia yang tidak integral, tidak utuh (lihat Q 59:19). Sekarang, bagaimana kita mengingat Allah atau melakukan zikir? Kaum sufi mengajarkan berbagai “teknik” berzikir. Dengan sendirinya lafal “Allah” adalah yang paling banyak disebut dan digunakan. Demikian pula lafal-lafal lain, khususnya dari al-Asmā’ al-Husnā seperti al-Ghafūr, al-Wadūd, al-Lathīf, al-Qawīy, dan seterusnya, masing-masing dengan penghayatan mendalam akan maknanya seperti dijelaskan dalam buku-buku tentang nama-nama Allah itu. Tetapi dalam pandangan kaum sufi baru, sekurang-kurangnya menurut Ibn Taimiyah, zikir dengan “nama tunggal” (ism mufrad) tidaklah dianjurkan. Menurut petunjuk Nabi saw. sendiri, tegas Ibn Taimiyah, zikir yang paling utama ialah kalimat lengkap lā ilāh-a illā ’l-Lāh, karena di situ terkandung pernyataan lengkap, yaitu peniadaan jenis penyembahan kepada sesuatu apa pun, kecuali kepada Allah sebagai satu-satunya yang boleh, berhak, dan harus disembah. Tambahan lagi, menurut sebuah hadis sahih Nabi saw. bersabda: Sebaik-baik ucapan sesudah al-Qur’an ada empat, dan semuanya juga berasal dari al-Qur’an: Subhān-a ’l-Lāh (Mahasuci Allah), alD 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

Hamd-u li ’l-Lāh (Segala puji bagi Allah), Lā ilāh-a illā ’l-Lāh (Tiada suatu Tuhan selain Allah — Tuhan yang sebenarnya), dan Allāh-u Akbar (Allah Mahabesar), dan tidak mengapa bagimu mana saja dari kalimat-kalimat itu yang kau mulai (menyebutkannya).8

Dengan zikir dalam kalimat lengkap dan bermakna (kalām-un tāmm-un mufīd-un) maka, menurut Ibn Taimiyah, seseorang lebih terjamin dari segi imannya, karena kalimat serupa itu adalah aktif, menegaskan makna dan sikap tertentu yang positif dan baik. Sedangkan zikir dengan lafal tunggal belumlah tentu demikian. Lebih menarik lagi, Ibn Taimiyah kemudian memperluas lingkungan makna dan semangat zikir kepada Allah itu sehingga meliputi semua aktivitas (bukan pasivitas) manusia yang membuatnya dekat kepada Allah seperti mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta menjalankan amar makruf nahi munkar.9 Sebagai penegasan, perlu kita tekankan bahwa “sufisme baru”, “neosufisme” atau “tasawuf modern”, jika memang absah disebut demikian, adalah sebuah esoterisisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, tapi jika hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik-tolak untuk pelibatan diri dan aktivitas segar lebih lanjut. Pengalaman metafisis pribadi seperti kasyf adalah absah, namun bersifat pribadi dan tidak berlaku untuk orang lain. Juga tidak boleh diklaim sebagai mesti benar, sebab kebenaran suatu pengalaman kasyf adalah sebanding dengan kebersihan hati yang bersangkutan. Pengalaman kasyf merupakan sumber kebahagiaan pribadi yang tidak ada taranya, namun hal itu tidak dapat disertai orang lain, atau orang lain tidak dapat disertakan di dalamnya. 8

Mushthafa Hilmi, Ibn Taimiyah wa al-Tashawwuf (Iskandaria, Mesir: Dar al-Da‘wah, 1403/1982), h. 515. 9 Ibid., h. 515-516. D 16 E


F NEOSUFISME G

SuďŹ sme baru mengharuskan praktik dan pengamalannya tetap dalam kontrol dan lingkungan ajaran Kitab dan Sunnah. Tetapi suďŹ sme baru menganjurkan dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengalamannya yang lebih mendalam, yang tidak terbatas hanya kepada segi lahiri belaka. [™]

D 17 E


F NEOSUFISME G

TAREKAT Oleh Nurcholish Madjid

Adanya tarekat-tarekat kesufian di tanah air kita boleh dikatakan merupakan salah satu gejala keagamaan Islam yang menonjol. Tidak semua negeri Islam mempunyai gejala serupa. Republik Turki dan Kerajaan Saudi Arabia merupakan negeri-negeri yang melarang adanya tarekat kesufian, meskipun dengan alasan yang sangat berbeda. Turki melarangnya karena tarekat dipandang sebagai gejala kebodohan umum dan tidak sesuai dengan sekularisme ajaran Kemal Attaturk, sedangkan Saudi Arabia melarangnya karena dianggap penyimpangan atau bidah dari ajaran yang benar. Selain kedua negara itu boleh dikatakan semua negara Islam mengizinkan atau membiarkan (dengan sikap tak peduli) adanya tarekat-tarekat. Kita dapat sebutkan bahwa negeri kita termasuk yang terakhir itu. Tentang mengapa di Indonesia banyak berkembang tarekat, tentu terkait dengan teori yang telah umum diterima, yaitu bahwa Islam datang ke kawasan ini melalaui gerakan kesufian dalam tarekat-tarekat. Jika dikaitkan dengan fakta sejarah bahwa Islam berkembang pesat sejak jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit pada sekitar awal abad ke-15 (hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511), maka peranan gerakan kesufian dalam mengembangkan dan mengukuhkan Islam di negeri kita mencocoki gejala umum di mana-mana dalam Dunia Islam. Demikian pula jika diingat bahwa tokoh-tokoh keagamaan masa lalu banyak disebut “wali”, maka adanya peranan yang besar dari kaum sufi itu juga merupakan keterangan yang dapat diterima D1E


F NURCHOLISH MADJID G

tentang fakta itu. Dengan begitu maka adanya corak kesufian yang kuat, yang melembaga dalam tarekat-tarekat, dalam penampilan keagamaan Islam di tanah air kita adalah bagian dari fakta sejarah masuk dan berkembangnya Islam di kawasan ini.

Kesufian Ditelaah Kembali

Meskipun masalah kesufian sudah banyak dibahas, termasuk dalam beberapa tulisan yang pernah kami tulis dalam seri KKA (Klub Kajian Agama) Paramadina, namun untuk kelengkapan pembahasan di sini ada baiknya kita sedikit mengungkap lagi makna dan hakikat tasawuf. Sebab tarekat tidak lain adalah bentuk kelembagaan praktik dan gerakan kesufian. Sebagai suatu bentuk wawasan keagamaan esoterik atau batini, tasawuf atau sufisme sangat menekankan segi keruhanian dalam penghayatan agama Islam. Ini berarti bahwa tasawuf merupakan “faktor pengimbang” bagi fiqih yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri, bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pembahasan rasional-dialektis, dan bagi filsafat yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih daripada kalam. Dari sudut pandangan lain, tasawuf juga tampak sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah atau material yang mewah dan menyimpang dari ukuran kewajaran. Ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari latar belakang sosial-ekonomi dan politik serta budaya bagi lahirnya orientasi kesufian yang sangat kuat justru di zaman keemasan Islam pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid. Agaknya gejala ini juga dapat ditelusuri sejak masa Umayyah (di Damaskus) yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan oposisi suci (pious opposition) di kalangan tertentu, khususnya di Basrah, Irak. Di zaman Harun al-Rasyid kota Basrah menjadi saingan kota Kufah dalam tradisi intelektual Islam (kira-kira mirip dengan persaingan antara tradisi intelektual Oxford dan Cambridge di Inggris). Jika Kufah banyak melahirkan ahli-ahli D2E


F NEOSUFISME G

hukum (al-fuqahā’ — para ahli fiqih) yang terkenal, Basrah banyak menampilkan “orang-orang suci” (al-nussāk — para ahli nusk atau ibadat; atau al-zuhhād — para ahli zuhud atau asketik). Ada indikasi bahwa persaingan itu cukup tajam, dengan masingmasing pihak mengaku lebih benar atau malah paling benar daripada lainnya. Seorang tokoh gerakan oposisi suci di zaman lahirnya gerakan asketis itu ialah al-Hasan al-Bashri (Hasan dari Basrah) yang terkenal. Para sufi atau kaum zuhhād dan nussāk tersebut, menurut Ibn Taimiyah, adalah kelompok kaum Muslim yang mengikuti teladan al-Hasan al-Bashri dalam ijtihad mencapai kesucian batin dengan menekankan zuhd (“zuhud”, asketisme) dan nusk (“nusuk”, dharmabakti).

Makna Tarekat

Perkataan “tarekat” (tharīqah) sendiri secara harfiah berarti “jalan”, sama dengan arti perkataan-perkatan “syarī‘ah”, “sabīl”, “shirāth”, dan “manhaj”. Dalam hal ini yang dimaksud ialah jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan rida-Nya, dengan menaati ajaranajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti “jalan” itu terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an. Mengenai perkataan “tharīqah” terdapat dalam: “Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas tharīqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah-ruah,” (Q 72:16). Jadi dengan menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten, manusia dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada terkira. Hidup bahagia itu ialah hidup sejati, yang dalam ayat suci tersebut diumpamakan dengan air yang melimpah-ruah. Dalam literatur kesufian, air karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” (mā’ al-hayāt). Inilah yang secara simbolik dicari oleh para pengamal tarekat, yang wujud sebenarnya tidak lain ialah “pertemuan” dengan Tuhan dengan rida-Nya, seperti dapat dipahami dari firman Allah: “Maka barangsiapa D3E


F NURCHOLISH MADJID G

mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, hendaknya ia berbuat kebaikan dan hendaknya janganlah dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia mempersekutukan-Nya dengan apa pun juga,” (Q 18:110). Harapan kepada rida Allah itu juga dicerminkan dalam sebuah wirid tarekat yang berbunyi: “Ilāhī Anta maqshūdī wa ridlā-Ka mathlūbī” (Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuanku, dan rida-Mulah yang kucari). Penggunaan istilah “tharīqah” dalam arti persaudaraan kesufian (shūfī brotherhood) adalah hasil perkembangan makna semantik perkataan itu, sama dengan yang terjadi pada perkataan “syarī‘ah” untuk ilmu hukum Islam (juga dapat disebut “fiqh” dalam pengertian yang sedikit lebih sempit — sementara makna “fiqh” itu menurut asalnya ialah pemahaman agama secara keseluruhan, tidak terbatas hanya kepada bidang hukum dan peribadatan semata). Malahan istilah “Ilmu Tauhid” pun secara semantik mencakup semua cabang pembahasan dalam sistem keimanan, tidak terbatas hanya kepada pembahasan tentang Kemahaesaan Tuhan saja. Dengan menggunakan istilah “tharīqah” untuk persaudaraan kesufian itu, maka sekaligus ditunjukkan sumber pengesahan ajarannya dalam Kitab Suci, sama halnya dengan penggunaan istilah-istilah lain dalam ilmu keagamaan Islam tradisional.

Organisasi Tarekat

Setiap ajaran esoterik atau batini tentu memiliki segi-segi eksklusif. Jadi tidak dapat dibuat untuk orang umum. Segi-segi eksklusif itu menyangkut hal-hal yang “rahasia”, yang bobot keruhaniannya yang berat membuatnya sukar dimengerti oleh kaum awam (al‘awāmm, orang umum), atau mudah menimbulkan salah paham pada mereka. Karena itu segi-segi eksklusif tersebut seyogyanya tidak dipahami seseorang melalui kegiatan pribadinya semata, melainkan dipahami dari seorang guru pembimbing (mursyid) yang sudah diakui kewenangannya. D4E


F NEOSUFISME G

Seorang mursyid sendiri memperoleh kewenangannya mengajarkan tarekat melalui pelimpahan kewenangan (Arab: ijāzah, pemberian wewenang) dengan baiat dan talqīn dari gurunya, dan guru itu memperolehnya dari guru sebelumnya, sedemikian rupa sehingga rangkaian guru-murid itu menghasilkan silsilah tarekat. Sebagai misal, tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang sangat populer di Indonesia, dengan contoh yang dipimpin oleh almarhum K.H. Musta‘in Ramli dari Pondok-Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang, penjelasan sisilahnya adalah sebagai berikut: Adapun silsilah kedua tarekat (Qadriyah dan Naqsyabandiyah) itu ialah bahwa sesungguhnya bahwa al-Faqīr ilā l-Lāh-i Ta‘ālā al-Khabīr Muhammad Ramli Tamim, Peterongan Jombang, telah memperoleh talqīn dan baiat untuk kedua tarekat tersebut dari Kiai Muhammad Khalil, Rejoso, Jombang. Kiai Khalil sendiri memperoleh talqīn dan baiat dari Syaikh Ahmad Khathib Sambas ibn Abd al-Ghaffar yang ‘ālim dan ‘ārif bi ’l-Lāh (telah mempunyai makrifat kepada Allah) yang berdiam di negara Makkah al-Musyarrafah kampung Suq al-Lail.1

Kemudian disajikan daftar lengkap silsilah itu demikian: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Muhammad Musta‘in Ramli Utsman al-Ishaqi Muhammad Ramli Tamim Muhammad Khalil Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura Abdul Karīm Ahmad Khathib Sambas ibn Abd al-Ghaffar Syamsuddin

1

Muhammad Ramli Tamim (dan Muhammad Utsman Nadi), Tsamrat-u ’l-Fikrīyah (Rejoso, Jombang: Ahl al-Thariqatain al-Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah, tanpa tahun), h. 24. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.

Murad Abd al-Fattah Kamal al-Din Utsman Abd al-Rahim Abu Bakr Yahya Husam al-Din Waliy al-Din Nur al-Din Zain al-Din Syaraf al-Din Syams al-Din Muhammad al-Hattak Abd al-‘Aziz Sayyid al-Awliya’ wa Quthb al-Awliya’ Sayyiduna al-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani Abu Sa‘id al-Mubarak al-Mahzum Abu al-Hasan ‘Ali al-Hakari Abu al-Faraj al-Tharthusi Abd al-Wahid al-Tamimi Abu Bakr al-Syibli Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi Sari al-Saqathi Ma‘ruf al-Kurkhi Abu al-Hasan ‘Ali ibn Musa al-Ridla Musa al-Kazhim Ja‘far al-Shadiq Muhammad al-Baqir Imam Zain al-‘Abidin Sayyid al-Syahid Sayyiduna al-Husain ibn Sayyidatina Fathimah al-Zahra’ Sayyiduna ‘Ali ibn Abi Thalib

D6E


F NEOSUFISME G

40. Sayyid al-Mursalīn wa Habīb Rabb al-‘Ālamīn wa Rasūluhū ilā kāffat al-Khalq ajma‘īn, Sayyiduna Muhammad saw. 41. Sayyiduna Jibril as. 44. Rabb al-Arbāb wa Mu‘thī al-Riqāb, huwa Allah swt.2

Selanjutnya, untuk mengikat tali hubungan batin dengan mursyid itu seorang murid (al-murīd, penuntut atau pencari kebenaran) melakukan baiat atau janji setia kepada guru pembimbing. Termasuk janji setia untuk tidak membagi pengetahuan esoteriknya itu kepada orang lain secara tidak sah dan tanpa perkenan guru pembimbing.

Masalah Keabsahan Tarekat

Jadi organisasi tarekat berpusat kepada hadirnya pribadi seorang mursyid. Seorang mursyid dalam menjalankan tugasnya mengambil baiat dari para (calon) murid dan membimbingnya dibantu oleh beberapa wakil yang biasa disebut khalifah atau badal, sesuai dengan martabatnya. Dengan begitu maka suatu tarekat tercegah dari kemungkinan mengalami gerak sentripetal sehingga menimbulkan kesesatan yang tidak dikehendaki. Dan karena esoterisisme senantiasa rawan kepada kemungkinan penymipangan (antara lain karena banyak sekali berurusan dengan intuisi atau cita-rasa pribadi yang mendalam, yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai “dzawq”). Pengalaman dalam sejarah agama-agama, termasuk Islam sendiri, menunjukkan bahwa esoterisisme yang tak terkendali dapat menjadi sumber kesesaatan umum yang mengacaukan masyarakat. Karena itu organisasi-organisasi Islam semisal NU (Nahdlatul Ulama) menetapkan kriteria tertentu untuk dapat disahkannya suatu tarekat. Pada pokoknya suatu tarekat absah jika ia tidak menyimpang dari syariat. Ini tentu saja merupakan kelanjutan dari pemikiran al-Ghazali (wafat tahun 1111 Masehi), juga pemikiran 2

Ibid., h. 25-26. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

al-Qusyairi sebelumnya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah Islam telah mencoba “mendamaikan” antara orientasi lahiri disiplin syariat dan orientasi batini disiplin tasawuf. Dalam peristilahan kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dari kalangan Nahdlatul Ulama, tarekat yang absah dan yang secara syariat dapat dipertanggungjawabkan itu disebut “tharīqah mu‘tabarah”. Di negeri kita telah terdaftar sekitar empat puluh tarekat yang dipandang absah, dan tergabung dalam perkumpulan yang disebut “Jam‘iyah Thariqah Mu‘tabarah”. Di luar Nahdlatul Ulama, organisasi sosial-keagamaan yang memperhatikan dunia tarekat antara lain ialah Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat dan Jam‘iyah Washliyah di Sumatera Utara. Dengan adanya perkumpulan tarekat mu‘tabarah itu maka tarekat-tarekat di Indonesia dapat sejauh mungkin dihindarkan dari penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat. Dan dengan berpegang kepada syariat maka tarekat-tarekat itu secara lahiriah dapat “diawasi”. Namun sudah tentu hal ini tidak sepenuhnya menjamin tercegahnya penyimpangan-penyimpangan atas nama kegiatan keruhanian. Berkali-kali masyarakat dihentakkan oleh berita tentang adanya tindakan a-sosial atau a-moral yang terjadi atas nama suatu ajaran keruhanian tertentu (sebagai bandingan, di Amerika pernah muncul gerakan Baghwan Shri Rajneesh yang mengajarkan pendekatan kepada Tuhan melalui hubungan seks bebas). Biasanya penyimpangan serupa itu terjadi dalam gerakangerakan kultus, bukannya dalam tarekat, dan karena itu gerakan tersebut tidak tergabung dalam suatu perkumpulan tarekat yang sah. Namun tidak urung adanya ekses negatif seperti itu telah mengundang adanya generalisasi terhadap tarekat atau gerakan kesufian sebagai negatif. Sikap negatif secara pukul rata ini jelas tidak dibenarkan, sebagaimana sikap positif secara pukul rata (tanpa penilaian kritis atas kasus-kasus spesifiknya) juga tidak dapat dibenarkan. Bahkan Ibn Taimiyah, seorang tokoh yang dikenal sebagai sangat berat berorientasi kepada syariat yang serba lahiri itu, dan yang juga dikenal sangat gigih menentang dan D8E


F NEOSUFISME G

memberantas praktik-praktik kesufian populer — seperti kebiasaan orang berziarah ke makam-makam dengan niat meminta sesuatu, misalnya — masih merasa perlu memperingatkan orang untuk bersikap adil kepada tasawuf dan kegiatan persaudaraan kesufian. Polemik dan kontroversi antara yang pro dan kontra tarekat khususnya atau kesufian umumnya dipandang oleh Ibn Taimiyah sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, “Kaum Yahudi berkata, ‘Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,’ dan kaum Kristen berkata, ‘Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya,’” (Q 2:113). Dan tentang gerakan kesufian itu sendiri Ibn Taymiyyah mengatakan demikian: Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum fiqih, jika melihat kaum sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqīr tidak menganggap apa-apa kepada syariat dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada syariat dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah.3

Ibn Taimiyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya, juga tidak hendak merendahkan kaum sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam syariat. Karena itu, Ibn Taimiyah mengatakan:

3

Ibn Taimiyah, Iqtidlā’ al-Shirāth al-Mustaqīm (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.),

h. 10. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah haqq. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah bāthil.4

Tarekat sebagai Ijtihad

Dari kutipan-kutipan itu dapat dirasakan betapa persimpangan jalan antara “kaum kebatinan” (ahl al-bawāthin) dan “kaum kezahiran” (ahl al-zhawāhir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan? Sebagaimana telah dikemukakan, usaha-usaha menyelaraskan antara keduanya itu telah banyak dilakukan para ulama terdahulu. Dapat dikatakan bahwa tarekat seperti yang sekarang ada merupakan hasil dari usaha penyelarasan itu, sehingga sesungguhnya tidak perlu terlampau dikhawatirkan. Seperti dikatakan Ibn Taimiyah, kita harus secara kritis dan adil melihat perkaranya masalah-demi-masalah, dan hendaknya tidak melalukan penilaian berdasarkan generalisasi yang tidak ditopang oleh fakta. Sebab tasawuf dengan segala manifestasinya dalam gerakan-gerakan tarekat itu, pada prinsipnya adalah hasil ijtihad dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebagai hasil ijtihad, suatu usaha pendekatan diri kepada Allah dapat benar dan dapat pula salah, dengan pahala ganda bagi yang benar dan pahala tunggal bagi yang salah. Maka tidak dibenarkan sikap prokontra yang bernada kemutlak-mutlakan. Ibn Taimiyah memberi keterangan yang cukup menarik tentang hal ini: Karena banyak terjadi ijtihad dan pertikaian pendapat di kalangan mereka (kaum sufi) itu, manusia pun bertikai tentang tarekat mereka. Satu golongan mencela kaum sufi dan tasawuf, dan me4

Ibid. D 10 E


F NEOSUFISME G

mandang bahwa mereka itu adalah kaum pembuat bidah dan keluar dari Sunnah. Seperti diketahui, pernyataan serupa itu dikutip dari sekelompok imam-imam (tokoh-tokoh agama), kemudian diikuti oleh sementara ahli fiqih dan kalam. Segolongan lagi berlebihan tentang mereka (kaum sufi) itu, dan menganggap bahwa kaum sufi adalah manusia terbaik dan paling sempurna sesudah para Nabi. Kedua ujung (ekstremitas) dari pandangan yang wajar itu tercela. Yang benar ialah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berijtihad dalam ketaatan kepada Allah, sebagaimana orang-orang yang taat kepada Allah dari kalangan lain juga berijtihad. Maka dari mereka ada yang maju dan menjadi dekat (kepada Allah) sejalan dengan ijtihadnya, ada juga yang sedang-sedang saja dan termasuk golongan kanan (ahl al-yamīn). Kemudian dari kedua pihak itu ada yang mungkin melakukan ijtihad dan membuat kekeliruan, lalu (yang keliru dan sadar) ada yang bertobat atau tidak bertobat. Dari kalangan mereka yang menisbatkan dirinya dengan kaum sufi ada yang zalim terhadap dirinya sendiri dan melalukan maksiat kepada Tuhannya, dan sungguh ada pula dari kalangan yang menisbatkan diri kepada mereka itu suatu kelompok kalangan pembuat bidah dan zandaqah (penyimpangan keagamaan), yang bagi kalangan ahli tasawuf yang muhaqqiqūn (mereka yang mendalam dalam hakekat) tidaklah termasuk mereka (kaum sufi), seperti al-Hallaj, misalnya.5

Sekadar sebagai contoh konkret ijtihad dalam mendekatkan diri kepada Allah itu ialah tehnik zikir yang dikembangkan oleh tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah ialah yang dapat kita baca dari sebuah kitab demikian: 1

Membaca surat al-Fātihah untuk Nabi saw., kemudian untuk arwah para guru pemegang silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah, khususnya untuk Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dan Syaikh

5

Ibn Taimiyah, al-Shūfīyāt wa al-Fuqarā’, suntingan Sayyid Muhammad Rasyid Ridla (Cairo: 1384), h. 19-21. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Junaid al-Baghdadi, lalu untuk arwah para bapak dan ibu kita dan sekalian kaum muslim dan muslimat serta mukmin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. 2 Membaca istighfar. 3 Membaca shalawat kepada Nabi saw. 4 Memusatkan hati (pikiran) kepada Allah dengan memohon kemurahan karunia-Nya agar dapat makrifat kepada-Nya melalui para guru tarekat, dan dengan menghadirkan rupa guru bersangkutan. 5 Zikir “Allāh, Allāh” sambil memusatkan pikiran kepada “lathīfat al-qalb” yaitu “halusnya hati” yang terletak pada susu kiri sekira jarak dua jari, disertai merenungkan dalam-dalam makna nama Allah yang dizikirkannya itu. 6 Kemudian menempelkan lidah ke langit-langit mulut sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala. 7 Selanjutnya, dengan izin guru pindah ke “lathīfat al-rūh” yaitu “halusnya ruh” di bawah susu kanan sekira jarak dua jari sambil berzikir seperti nomor 5. 8 Lalu, dengan izin guru lagi, pindah ke “lathīfat al-sirr”, yaitu “halusnya rasa” pada susu kiri sekira jarak dua jari ke arah dada. 9 Dan dengan izin guru lagi, dilanjutkan ke “lathīfat al-khafīy”, yaitu “halusnya hal tersamar” pada susu kanan sekira jarak dua jari ke arah dada. 10 Setelah itu, dengan izin guru, diteruskan ke “lathīfat al-akhfā”, yaitu “halusnya hal yang paling tersamar”, terletak di tengah dada. 11 Jika zikir itu dapat dijalankan dengan mantap, lalu dengan izin guru dilanjutkan dengan “lathīfat al-nafs”, yaitu “halusnya otak” yang terletak di tengah antara dua mata dan dua alis mata. 12 Selanjutnya, juga dengan izin guru, ialah zikir “lathīfat al-qālib”, yaitu “halusnya seluruh badan” sejak dari kepala sampai ujung kedua kaki. D 12 E


F NEOSUFISME G

13 Selesai semua itu, kemudian membaca “Ilāhī, Anta Maqshūdī wa ridlā-Ka mathlūbī, a‘thinī mahabbata-Ka wa ma‘rifata-Ka” (Oh Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan rida-Mu-lah yang aku cari. Anugerahilah aku cinta-kasih-Mu dan makrifat-Mu).6

Masa Depan Tarekat

Dapatkah kita memperkirakan masa depan tarekat di Indonesia? Sudah tentu, seperti halnya dengan di Saudi Arabia dan Turki — dengan alasan yang bertolak belakang seperti telah disinggung di atas — tarekat dapat hilang dari bumi Indonesia, oleh sesuatu sebab, baik sosial, politik, keagamaan, dan lain-lain. Tetapi, seperti terbukti pada kasus Turki (berkat “demokrasi”), memberantas tarekat bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, menghunjam dalam permasalahan tarekat itu, seperti halnya dalam paham dan gerakan keruhanian lainnya, ialah kebutuhan manusia kepada sesuatu yang lebih tinggi daripada kehidupan material. Dengan tarekat — atau, lebih umum lagi, tasawuf — manusia dilatih untuk mampu “mentrasendenkan” dirinya di atas kehidupan kebendaan, dan diarahkan kepada jalan yang memberinya kemampuan mengapresiasi kebahagiaan keruhanian. Dari sudut pandang itu, maka masa depan tarekat di Indonesia akan dengan sendirinya sangat tergantung kepada seberapa jauh ia mampu menyediakan jawaban-jawaban spiritual bagi kebutuhan manusia modern (dengan ciri dominan kehidupan serba-material dan lahiri). Bersamaan dengan itu, manusia modern adalah — untuk baik atau untuk buruknya — manusia yang kritis, serbarasional, dan, bergandengan itu, cenderung lebih berpikir menurut kerangka pandangan yang lebih menekankan masalah fungsional 6

Mushlih Abdurrahman al-Marāqī (dari Meranggen, Demak), Hādzihī al-Futūhāt al-Rabbānīyah fī al-Tharīqah al-Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah (Semarang: Taha Putra, 1382/1963), h. 40-43. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

dan substansial daripada masalah formal, lambang-lambang, atau upacara-upacara. Ini tidak berarti formalitas, lambang-lambang, dan upacara-upacara itu akan hilang, sebab tampaknya manusia tidak akan mampu hidup tanpa semuanya itu. Persoalannya hanyalah dari segi tekanan, kurang dan lebih. Ditinjau dari sudut ini, tarekat sebagai suatu bentuk mata air keruhanian, mungkin akan mengalami perubahan segi-segi lahiriahnya — mislanya masalah pengorganisasian dan struktur hubungan fungsional antara mursyid dan murid. Namun hampir dapat dipastikan bahwa inti ajaran keruhaniannya akan tetap bertahan, dalam satu dan lain bentuk. Sebagai bandingan untuk sudut pandang ini kita hanya harus melihat negara-negara maju, seperti Amerika. Jika gejala menjamurnya gerakan spiritual di sana (termasuk kultus-kultus) merupakan indikasi, maka betapapun majunya suatu masyarakat di bidang kehidupan “modern” (baca: material) ternyata masih tetap memberi tempat kepada gerakan keruhanian, apa pun bentuknya, yang sehat dan yang sakit, yang lurus dan yang menyimpang, yang benar dan yang sesat. Sebab kebutuhan keruhanian merupakan kenyataan esensial tentang kemanusiaan, yang menurut al-Qur’an merupakan kelanjutan perjanjian primordial kita dengan Tuhan. Sebelum kita akhiri pembahasan ini, ada baiknya kita merenungkan, bahwa setelah Rasulullah saw. berhasil membebaskan Makkah dari kaum musyrik, turunlah surat al-Nashr (“Idzā Jā’a”), demikian: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Jika telah tiba kepada engkau (Muhammad) kemenangan Allah dan pembebasan-Nya, Dan engkau lihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, Maka bertasbihlah engkau dengan memuji Tuhanmu, dan beristighfarlah engkau kepada-Nya! Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat,” (Q 110:1-3). D 14 E


F NEOSUFISME G

Jadi, setelah memperoleh kemenangan terakhir dengan takluknya Makkah dan orang pun berduyun-duyun menyatakan diri mereka sebagai orang-orang Muslim, Nabi kita dipesan oleh Tuhan agar meningkatkan kehidupan keruhanian beliau, dengan banyak zikir, bertasbih untuk memahasucikan Tuhan dan dengan memuji-Nya, sambil mohon ampun atas segala kesalahan yang ada. Dengan perkataan lain, Nabi kita dipesan untuk meningkatkan kehidupan religiusnya, agar lebih-lebih lagi, bagi beliau, mencapai tingkat yang bertambah tinggi. Dan untuk kita semua kaum beriman, Allah swt. memperingatkan, “Belumkah sampai saatnya bagi kaum beriman untuk menjadi khusyuk jiwa mereka dengan zikir kepada Allah dan (dengan merenungkan) kebenaran yang telah diturunkan?!,� (Q 57:16). Firman suci itu jelas merupakan peringatan kepada kita semua agar menyediakan waktu bagi kita untuk senantiasa ingat kepada Allah dan kebenaran yang diturunkan-Nya, dan janganlah kita sibuk hanya dengan kegiatan sehari-hari yang sekiranya membuat kita lupa akan Allah. Mungkin saja berkaitan dengan inilah kita dapat melihat potensi gerakan-gerakan tarekat (yang mu‘tabarah) untuk mampu menyajikan kepada masyarakat jalan dan cara melaksanakan peringatan Allah ini. [™]

D 15 E


F MESIANISME G

MESIANISME Oleh Nurcholish Madjid

Mesianisme adalah suatu paham menantikan datangnya seorang “mesiah” yang bakal menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi. Perkataan “mesiah” sendiri berasal dari bahasa Ibrani, “messiah” yang merupakan padanan atau cognate perkataan Arab al-masīh. Dari sudut tinjauan kesejarahan, mesianisme sebagai unsur paham keagamaan yang kuat muncul pertama-tama di kalangan bangsa Yahudi ketika mereka mengalami masa perbudakan (“era of captivity”) di Babilonia pada sekitar tujuh abad sebelum Masehi. Perbudakan itu sendiri adalah akibat kekalahan mereka menghadapi serbuan tentara Nebukadnezar yang menghancurkan negeri mereka, Samaria dan Judea, di Kana’an (Palestina Selatan) dan Yerusalam (al-Quds, Bait Maqdis), ibukota mereka. Kaum Yahudi yang kalah itu kemudian diboyong ke lembah Mesopotamia untuk kerja paksa. Dalam keadaan tak mampu menolong diri sendiri itu, kaum Yahudi secara putus asa menengadah ke langit, memohon pembebasan oleh Tuhan. Karena merasa sebagai “manusia pilihan” (the chosen people), mereka pun yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan doa mereka, dan dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai juru selamat. Utusan itu akan tampil sebagai seorang mesiah, seorang pemimpin agama. Jadi lama-kelamaan sikap jiwa menantikan juru selamat dari langit itu tumbuh menjadi permanen dalam bentuk kepercayaan keagamaan.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Sebetulnya perkataan “mesiah” atau, seperti jelas sekali dari padanannya dalam bahasa Arab, “al-masīh” mengandung arti yang cukup sederhana. Secara harfiah, al-masīh berarti “orang yang diusapi” (Inggris, “the annointed one”), seperti kaum Muslim dalam wudu “mengusap kepala” (mash al-ra’s — perhatikan perkataan Arab “mash” itu seperti tercantum dalam al-Qur’an pada ayat tentang wudu) (Q 5:6). Pengusapan kepala ini di kalangan kaum Yahudi (atau Bani Isra’il) merupakan bagian penting dari upacara pengangkatan seseorang menjadi pemimpin agama. Maka setiap pemimpin atau pemuka agama, yang pada kaum Yahudi juga sekaligus penguasa duniawi atau raja (seperti Nabi Dawud, misalnya) adalah seorang “messiah”.1 Karena itu, sebagai seorang yang berasal dari kalangan Bani Isra’il, Nabi Isa putra Maryam bergelar al-Masih, yang menandakan pengakuan masyarakat kepadanya sebagai seorang pemimpin agama terkemuka. Jadi gelar al-Masih itu, dalam sistem keagamaan yang berakar dalam kebiasaan kalangan Yahudi, sesungguhnya tidaklah secara khas hanya untuk Nabi Isa putra Maryam, melainkan juga untuk para pemimpin agama di kalangan kaum Yahudi saat itu; hanya saja Nabi Isa, seperti juga disebutkan dalam al-Qur’an, adalah al-Masih “par excellence” yang kemudian berkembang dengan maknanya yang khas Kristen. Kembali ke bangsa Yahudi dalam masa pengasingan di Babilonia, yang sesungguhnya mereka nanti-nantikan dahulu itu ialah tampilnya seorang pemimpin keagamaan yang kuat dan mampu membebaskan mereka dari belenggu perbudakan yang mereka derita. Mereka kemudian memang dibebaskan, bukan oleh seorang “mesiah”, melainkan oleh bangsa Persia yang berperang melawan Babilonia, dan kaum Yahudi berjasa ikut mengalahkan Babilonia itu. Mengingatkan kita kepada bangsa Inggris yang setelah menang Perang Dunia Kedua membalas “jasa” kaum Zionis Yahudi dengan memberi kemudahan kepada mereka untuk kembali ke Palestina 1

Lihat Michael Baigent, et. al., The Messianic Legacy (London: Corgi Book, 1991), h. 41. D2E


F MESIANISME G

(dan mendirikan “Israel”), bangsa Persia masa dinasti Achaemenid juga mengizinkan kaum Yahudi kembali dari Babilonia ke Palestina. Maka tidak heran bahwa ada kalangan kaum Yahudi saat itu yang menganggap bahwa bangsa Persia itulah “juru selamat” atau Mesiah mereka. Tapi karena yang memimpin kaum Yahudi kembali ke Palestina itu adalah seorang nabi mereka yang bernama Uzair, maka dari kalangan mereka ada juga yang memandang bahwa Uzair itulah “juru selamat” mereka. Al-Qur’an menyebutkan tokoh Uzair ini telah secara keliru dipandang oleh sekelompok kaum Yahudi sebagai “anak Allah” — “ibn al-Lāh” — dibaca, “ibn-u ’l-Lāh” (Q 9:30).

Mesianisme dalam Islam

Meskipun tidak terlalu merata, paham yang mesianistik juga ada dalam kalangan kaum Muslim. Tentang asal-usul paham ini para ulama sejarah mengemukakan beberapa pandangan yang berbeda. Tapi umumnya berpendapat bahwa mesianisme dalam Islam berasal dari paham sekitar bakal turunnya Nabi Isa al-Masih dan Imam Mahdi (al-Imām al-Mahdī, artinya, pemimpin yang mendapat hidayah atau petunjuk Ilahi). Mengenai bakal turunnya Isa al-Masih (yang dari proses pengalihannya ke bahasa Yunani kita mendengar nama Yesus Kristus dalam bahasa kita), memang banyak kaum Muslim yang percaya, baik Sunni maupun Syi’i. Tetapi mengenai bakal turunnya Imam Mahdi, kepercayaan di kalangan kaum Syi’i lebih kuat dan merata daripada di kalangan kaum Sunni. Dan menurut para ahli, seperti seorang sarjana Syi’ah dari Amerika, Abdulaziz Sachedina, mesianisme Islam memang mewujud nyata dalam paham tentang bakal turunnya Imam Mahdi atau, singkatanya, dalam “Mahdisme”.2 2

Abdulaziz A. Sachedina, Islamic Messianism, the Idea of the Mahdi in Twelfer Shi’ism (Albany, New York: State University of New York Press, 1981), h. 180. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Sebutan seseorang sebagai al-mahdī (orang yang mendapat hidayah Ilahi) agaknya mula-mula muncul sebagai sebutan kehormatan, khususnya untuk para anggota Ahli Bait (Keluarga Nabi) dari garis keturunan Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah. Ada indikasi bahwa kedua putra Ali dan Fathimah, yaitu Hasan dan Husein (al-Hasan dan al-Husayn) sejak dari semula sudah digelari sebagai al-Mahdi. Ini cukup logis, baik dari sudut pandang kaum Sunni maupun, lebih-lebih lagi, kaum Syi’i, mengingat kedua cucunda Nabi itu dihormati sebagai tokoh-tokoh yang telah menempuh hidup di bawah bimbingan Allah. Di kalangan kaum Syi’i, Mahdisme merupakan salah satu pandangan keagamaan yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada di kalangan kaum Sunni. Bahkan dapat dikatakan bahwa Mahdisme hampir-hampir identik dengan Syi’isme, baik kalangan Syi’ah Istna ‘Asyariyah (juga disebut Syi’ah Ja‘fariyah atau Musawiyah) maupun kalangan Syi’ah Sab’iyah (lebih umum dikenal dengan sebutan Syi’ah Isma’iliyah). Namun ada yang melacak bahwa paham tentang Imam Mahdi itu asal mulanya timbul di kalangan kaum Kaysaniyah, yaitu para pengikut Muhammad ibn al-Hanafiyah, seorang keturunan Ali dari istrinya yang berasal dari wanita suku Bani Hanifah. (Maka cukup menarik untuk diperhatikan bahwa tokoh putra Ali ibn Abi Thalib yang bernama Muhammad ini tidak disebut “ibn Ali”, melainkan “ibn al-Hanafiyah” yang merujuk kepada ibunya; dengan begitu ia ditegaskan sebagai bukan keturunan Nabi saw., karena keturunan beliau hanya ada dari kerturunan putri beliau, Fathimah). Setelah Muhammad ibn al-Hanafiyah meninggal, para pengikutnya percaya bahwa ia menghilang dalam persembunyian di Gunung Rawdlah di Arabia barat-laut, kawasan antara Yanbu’ dan Madinah. Mereka percaya bahwa tokoh itu kelak akan muncul kembali untuk menegakkan keadilan di bumi, sebagai Imam Mahdi. Saat sekarang ini, dalam kepercayaan para pengikutnya, Muhammad ibn al-Hanafiyah adalah seorang Imam yang masih dalam persembunyian (al-Imām al-Ghā’ib), sekaligus Imam yang dinantikan (al-Imām al-Muntazhar). D4E


F MESIANISME G

Jika kita perhatikan lebih lanjut, sama dengan mesianisme kaum Yahudi dalam masa perbudakan dahulu, mesianisme dalam Islam seperti dianut oleh kaum Kaysaniyah tersebut adalah akibat situasi diri kelompok yang tertindas atau terzalimi. Pada kaum Kaysaniyah, kezaliman itu datang dari rezim Bani Umayyah di Damaskus yang memang secara tidak masuk akal menindas para keturunan Ali ibn Abi Thalib dan kelompok pengikutnya (disebut syī‘at ‘Alī, artinya, “Partai Ali”, sebagai bandingan bagi berbagai syī‘at yang lain, yang saat itu bermunculan). Muhammad ibn al-Hanafiyah mencoba menentang kezaliman kaum Umawi, namun gagal. Tetapi perjuangan itu dilanjutkan oleh para pengikutnya, kaum Kaysani, yang kemudian diteladani oleh kalangan para pendukung syī‘at ‘Alī yang lain. Yang patut diperhatikan di sini ialah bahwa kegigihan dan ketabahan mereka berjuang melawan kezaliman kaum Umawi itu ditopang oleh kepercayaan dan penantian yang mendalam kepada Imam Mahdi tadi. Pola perjuangan ini kelak memperoleh refleksi dan replikanya dalam banyak pergerakan politik dengan pimpinan seorang tokoh yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Kegigihan dan keuletan kaum Mahdi di zaman dini Islam itu, khususnya sebagaimana hal itu berkembang di kalangan kaum Syi’i, telah membuahkan hasil, berupa tumbangnya rezim Bani Umayyah di Damaskus, melalui Revolusi Abbasiyah. (Hanya saja cukup ironis bagi kaum Syi’i, karena rezim Abbasiyah di Baghdad — seakan-akan membenarkan adagium bahwa revolusi sering memakan anaknya sendiri — akhirnya juga menindas para pengikut Ali itu dan menerapkan ideologi keagamaan yang kurang lebih sama dengan ideologi rezim Umawiyah). Dari proses pertumbuhannya itu kita dapat melihat hubungan antara mesianisme dengan suatu bentuk tertentu gerakan politik. Mesianisme menjadi sumber kekuatan dan semangat perjuangan bagi kaum tertindas, karena dengan mesianisme itu mereka tidak pernah kehilangan harapan kepada suatu bentuk pertolongan dari langit. Oleh karena itu, dari suatu sudut tinjauan tertentu, mesianisme berkembang dan tumbuh kuat terutama di kalangan massa D5E


F NURCHOLISH MADJID G

yang tertindas. Ia menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang dengan amat sangat mendambakan kebebasan dan keadilan. Di kalangan masyarakat Islam, segi itu membantu menjelaskan mengapa mesianisme muncul dan tumbuh dengan kuat pada kaum Syi’i. Pada mulanya, paham Syi’ah memiliki ciri khas kearaban, sebab memang para pendukung Ali terdiri dari orang-orang Muslim Arab sendiri, sementara kaum Muslim non-Arab, khususnya orangorang Persi, belum banyak berarti baik dari segi jumlah maupun dari segi peran. Maka kecenderungan berorientasi kepada Ahli Bait melawan kaum Umawi adalah terutama kuat di kalangan orang-orang Arab sendiri. Dan karena peran kaum Muslim nonArab belum berarti, maka kecenderungan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari konflik politik intern orang-orang Muslim Arab. Tetapi ketika rezim Bani Umayyah makin kuat tampil dengan sistem kekuasaan politik yang banyak berwarnakan kearaban atau nasionalisme Arab (antara lain dicerminkan dalam politik Arabisasi yang menghasilkan kenyataan sekarang bahwa hampir seluruh Timur Tengah menjadi Arab), maka sedikit demi sedikit kaum Muslim non-Arab yang mulai tumbuh dan berkembang mulai merasakan kezaliman pemerintahan Damaskus itu. Dalam usaha menggalang kekuatan untuk melawan dan kalau dapat menghancurkan Bani Umayyah, kaum Muslim non-Arab mencari dukungan kepemimpinan dari kalangan kaum Muslim Arab sendiri yang menjadi lawan rezim Arab Damaskus. Dan pilihan itu secara amat logis jatuh kepada kaum Syi’i yang dengan kuat berpusar sekitar wibawa dan ketokohan para keturunan Nabi saw., yaitu Ahli Bait. Salah seorang tokoh besar Ahli Bait itu ialah Ja‘far al-Shadiq yang tampil pada penghujung masa rezim Bani Umayyah dan permulaan rezim Abbasiyah (lahir 80 H/699 M dan wafat 148 H/ 56 M). Masyarakat Islam non-Arab menokohkan Ja‘far dalam perjuangan mereka melawan nasionalisme Arab rezim Damaskus, namun Ja‘far tampil lebih sebagai seorang sarjana besar daripada D6E


F MESIANISME G

lainnya, dan tidak tertarik kepada politik. Ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama, dan membaktikan hidupnya sebagai seorang imam atau pemimpin yang besar di bidang keilmuan dan keruhanian yang sangat berwibawa, baik di kalangan kaum Syi’i maupun kalangan kaum Sunni. Kaum Syi’i memandang Ja‘far sebagai Imam yang keenam (setelah Ali ibn Abi Thalib, al-Husayn, al-Hasan, Ali ibn al-Husayn, dan Muhammad al-Baqir), namun ia juga menjadi guru besar bagi banyak tokoh Islam bukan Syi’i yang pemikiran mereka berpengaruh secara mendalam pada umat Islam di seluruh dunia sampai hari ini. Salah seorang dari mereka ialah Ahmad al-Syaibani, guru Imam al-Syafi‘i (yang mazhabnya merupakan anutan masyarakat Muslim Indonesia). Karena Ja‘far al-Shadiq tidak tertarik kepada politik, maka usaha mencari kepemimpinan perjuangan melawan rezim Damaskus dialihkan kepada putra pertamanya, Isma’il, yang tentunya akan menggantikan ayahandanya kalau saja dia tidak meninggal terlalu cepat (145 H/762 M), tiga tahun sebelum ayahandanya sendiri wafat. Segolongan penganut madzhab Syi’ah yang amat kuat berpegang kepada pandangan bahwa seorang Imam bukanlah manusia biasa melainkan memiliki kualitas Ilahi dan mereka percaya bahwa Isma’il putra Ja‘far itu adalah pemegang garis wasiat keimaman yang sah, dan Imam selanjutnya harus diangkat dari keturunannya. Putra Isma’il yang mereka angkat sebagai imam (yang ketujuh) ialah Muhammad (ibn Isma’il). Setelah imam ini meninggal, para pengikutnya terpecah. Sebagian berkepercayaan bahwa Muhammad ibn Isma’il itu adalah imam yang terakhir, tidak ada lagi imam sesudahnya. Imam ketujuh ini tidaklah mati, melainkan tetap hidup dan kelak di Hari Kiamat akan kembali ke dunia, sebagai jurus selamat. Jadi mereka juga menganut suatu jenis mesianisme. Mereka inilah yang kemudian disebut golongan Syi’ah Isma’iliyah atau Syi’ah Tujuh. Menjelang akhir abad ke-3 Hijri (ke-9 Masehi), mereka ini dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama Hamdan Qarmath, karena itu mereka juga disebut kaum Qaramithah. Salah satu “reputasi” kaum Qaramithah D7E


F NURCHOLISH MADJID G

ialah keberhasilan mereka menguasai Arabia sebelah timur pada Teluk Persia, dan pernah menaklukkan Makkah, menghancurkan Ka‘bah dan membawa lari batu hitam (hajar aswad) ke negeri mereka, dan dapat dikembalikan ke tempat asalnya di Ka‘bah hanya setelah bertahuan-tahun mereka sembunyikan! Pecahan lainnya dari cabang golongan Syi’ah ini ialah mereka yang menganggap bahwa Muhammad ibn Isma’il bukanlah imam terakhir, dan mereka mengangkat salah seorang putranya sebagai pengganti dan penerus keimaman. Tapi karena para imam itu hidup dalam suasana kerahasiaan yang hampir sempurna, bahkan nama-nama mereka pun tidak diungkapkan, maka perbedaan antara kedua sub cabang Syi’ah ini tidaklah tampak nyata, sampai saatnya seorang imam yang ada itu tampak ingin merealisasikan dan melembagakan keimamannya secara terbuka. Konflik terjadi, dan mereka saling menghancurkan. Kaum Qaramithah lama kelamaan sirna, namun lawannya dalam kelompok, yang kelak disebut kaum Fathimi (agaknya juga dimaksudkan sebagai nisbat kepada Fathimah putri Nabi), berhasil menguasai Mesir dan memerintah dengan gemilang, dengan peninggalan yang monumental sampai sekarang, yaitu kota Kairo (“Kemenangan”) dan Masjid-Universitas al-Azhar (perkataan Arab “al-azhār” adalah bentuk maskulin dari kata sifat feminin “al-zahrā’” [artinya, “yang bersinar terang”], yaitu gelar kehormatan untuk Fathimah putri Nabi; jadi masjid-universitas itu dinamakan demikian sebagai monumen untuk memperingati dan menghormati Fathimah selaku leluhur Ahli Bait). Mesianisme sebagai gerakan politik juga efektif pada kaum Fathimi, dan tokoh pendiri Dinasti Fathimiyah di Mesir, Ubaidillah, juga bergelar sebagai al-Mahdi. Dan dari kalangan kaum Syi’i Fathimi ini kelak muncul kaum Druz (yang kini banyak tinggal di daerah pegunungan Libanon). Kelompok ini terbentuk pada masa kekuasaan seorang Khalifah Dinasti Fathimiyah yang bernama Hakim (386-411 H/996-1021 M). Karena suatu sebab yang tidak seluruhnya jelas — antara lain diduga karena sebagian kaum Isma’ili percaya bahwa Tuhan menitis pada manusia — kaum D8E


F MESIANISME G

Druz ini mengembangkan paham yang akhirnya menuhankan Khalifah Hakim. Kembali ke arus utama paham Syi’ah, kelompok pecahan yang lain, yang lebih besar dan lebih berpengaruh daripada kaum Isma’ili atau Syi’ah Tujuh, ialah kaum Ja‘fari, atau Musawi, atau Syi’ah Duabelas, yaitu mereka yang sekarang ini antara lain memerintah di Iran. Berbeda dari kaum Isma’ili, mereka ini tidak menganggap bahwa seorang imam harus dari garis keturunan Isma’il ibn Ja‘far itu. Maka sesudah Ja‘far selaku imam keenam dan karena kematian Isma’il selaku anak pertama, mereka mengangkat saudara seayah Isma’il, yaitu Musa al-Kazhim selaku Imam ketujuh (wafat 183 H/799-800 M). Dari situ mereka kemudian juga dikenal sebagai kaum Musawi atau Syi’ah Musawiyah (seperti nisbat pemimpin Revolusi Iran, al-Imam al-Khumayni al-Musawi). Setelah Musa, imam kedelapan ialah Ali al-Ridla (wafat 202 H/817-18 M), kemudian digantikan oleh Muhammad al-Jawad sebagai imam kesembilan (wafat 220 H/835 M), disusul oleh Ali al-Hadi sebagai imam kesepuluh (wafat 254 H/868 M), lalu Hasan al-Askari sebagai imam kesebelas (wafat 260 H/873-74 M), dan, sebagai imam keduabelas dan terakhir ialah Muhammad yang bergelar al-Mahdi (menghilang 260 H/87374 M, hanya selang beberapa waktu setelah wafat ayahandanya, imam kesebelas tadi). Nama golongan ini sebagai Syi’ah Duabelas adalah karena kepercayaan mereka bahwa imam terakhir ialah imam yang keduabelas itu. Menghilangnya imam yang keduabelas itu, menurut kaum Syi’ah ini, adalah masa kegaiban (ghaybah). Unsur doktrinal tentang ghaybah ini merupakan hal yang amat penting dalam sistem mesianisme kaum Syi’i.3 Sebagai penutup, perlu kita perjelas bahwa Mahdisme merupakan suatu bentuk ekspresi keagamaan yang mengandung makna banyak segi. Berkali-kali dalam sejarah Islam (dan non-Islam) 3

Ibid., h. 78 D9E


F NURCHOLISH MADJID G

muncul gerakan mesianisme dengan motif-motif dan tujuan-tujuan politik. Paling menonjol di antaranya dalam sejarah Islam — juga yang amat sukses — ialah gerakan politik dan pembaruan keagamaan pimpinan Ibn Tumart (470-525 H/1077-1130 M) dari Dinasti Muwahhidin di Maghrib. Ibn Tumart mengaku dan menyatakan dirinya sebagai seorang al-Mahdi. Kemudian di Sudan pernah tampil seorang tokoh pahlawan bangsa yang juga mengaku sebagai al-Mahdi, yaitu Muhammad Ahmad ibn Abdullah (12591303 H/1843-1885 M). Gerakan Mahdisme Sudan ini pun cukup berhasil, sekurang-kurangnya dikenang dan diakui oleh rakyat Sudan sebagai gerakan heroik dan patriotik. Mengakhiri pembahasan ini, kami kutipkan sebuah kesimpulan tentang Mahdisme atau mesianisme Islam dari sarjana modern Islam Syi’ah dari Amerika demikian: The idea of al-Mahdi has, as a result, enabled the Imamites to give full rein to their hagiographical imagination. In many cases, some of the traditions concerning the birth of the Imamite Mahdi and his reappearance reflect Shi‘i piety, its hopes, disappointments, and aspirations for a prosperous future. For the believers in the Imamate of the twelfth Imam, neither his ghayba nor the delay in his reappearance as the only true Mahdi seemed unusual.4 (Ide tentang al-Mahdi, sebagai akibatnya, memungkinkan kaum Syi’ah Imamiyah untuk memberi kekuasaan penuh kepada imajinasi mereka tentang riwayat hidup orang-orang suci [hagiography]. Dalam banyak kasus, sebagian dari tradisi mengenai lahirnya Mahdi dari Syi’ah Imamiyah dan kemunculannya kembali merefleksikan kesalehan, harapan, kekecewaan, dan aspirasi golongan Syi’ah untuk suatu masa depan yang makmur. Bagi mereka yang berkepercayaan tentang keimaman dari imam yang keduabelas, tidaklah kegaibannya

4

Ibid., h. 182 D 10 E


F MESIANISME G

ataupun kemunculannya yang tertunda sebagai satu-satunya Mahdi yang sejati itu dipandang aneh).

Melihat itu semua, sama halnya dengan paham-paham yang lain, paham tentang Mahdi itu, apa pun bentuknya, mempunyai fungsi tersendiri dalam masyarakat. Maka tidak heran bahwa kaum Muslim, diambil secara keseluruhan, banyak yang menganut Mahdisme, dan sebagian lagi yang juga sangat banyak tidak menganut ataupun memercayainya. Masing-masing dengan argumennya sendiri, termasuk argumen dari sumber-sumber suci, seperti hadis atau ayat suci al-Qur’an melalui suatu penafsiran atau interpretasi. Jadi Mahdisme adalah sesuatu yang diperselisihkan, alias khilÄ ďŹ yah. Karena itu sebaiknya, atau malah seharusnya, tidak perlu menjadi bahan pertentangan yang mengganggu ukhuwah Islamiyah. [™]

D 11 E


F KULTUS G

KULTUS Oleh Nurcholish Madjid

Kita mulai pembahasan ini dengan ucapan syukur kepada Allah bahwa agaknya negeri dan masyarakat kita relatif masih bebas dari gejala gerakan kultus. Setidak-tidaknya jika kita bandingkan dengan banyak negara lain, lebih-lebih dengan negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat. Beberapa negara Asia pun banyak yang menunjukkan gejala adanya gerakan kultus yang cukup mengkhawatirkan, seperti India, misalnya. Tapi belum lama ini masyarakat kita dikejutkan oleh peristiwa Haur Koneng yang memakan korban beberapa orang tewas, sipil dan militer. Koran-koran banyak menyebutkan kelompok Haur Koneng di Majalengka itu sebagai “aliran sesat”, sekalipun ada pula yang membantahnya dan memandang peristiwa tersebut sebagai tidak lebih daripada kriminalitas biasa. (Lihat, antra lain dari koran Republika tanggal 30 dan 31 Juli, 1 dan 5 Agustus 1993, Pelita tanggal 30 dan 31 Juli, 2 dan 5 Agustus 1993, dan Kompas tanggal 30 dan 31 Juli, 1, 2 dan 5 Agustus 1993). Sementara Haur Koneng diperselisihkan apakah merupakan “aliran sesat” atau bukan, peristiwa Waco di Texas diketahui dengan pasti besangkutan dengan sebuah kultus yang menamakan dirinya “Ranting Daud” (Branch Davidian). Dan sementara Haur Koneng melibatkan kalangan masyarakat bawah yang miskin, Ranting Daud mencatat di antara para anggotanya orang-orang yang sangat mampu, dari banyak negeri, di luar Amerika Serikat sendiri.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Mungkin sekali penilaian bahwa peristiwa Haur Koneng hanya sebuah kriminalitas biasa adalah benar adanya. Dan mungkin sekali benar pula bahwa peristiwa di Majalengka itu lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan sosial-ekonomi (untuk tidak menyebutnya ketidakadilan sosial) yang menyebabkan orang-orang yang tidak mampu itu putus asa dan “lari� ke suatu paham tertentu sebagai cara menyatakan diri dan nasib mereka. Karena itu penyelesaian persoalannya secara asasi mungkin terletak dalam penyelesaian persoalan kesenjangan sosial itu sendiri. Namun tidak demikian halnya dengan peristiwa Waco. Masalah kesenjangan sosial tidak relevan bagi mereka (karena banyak dari mereka yang terlibat itu adalah orang-orang yang mampu), dan akar persoalannya harus dicari pada faktor-faktor lain. Dan faktor-faktor itu ialah hal-hal yang berakar dalam berbagai kenyataan tentang kultus (Inggris: cult).

Pengertian Kultus

Jika Haur Koneng tidak dapat dinamakan sebuah kultus dan hanya merupakan peristiwa kriminal biasa, dan jika di negeri kita memang belum atau tidak ada gejala yang dapat dinamakan kultus, kita semua patut bersyukur. Sebab kultus adalah gejala yang amat merugikan masyarakat, dan tidak jarang malah membahayakan. Dorongan untuk membicarakan masalah ini adalah perlunya membuat antisipasi, mengingat negeri kita sama sekali tidak kebal dari pengaruh keadaan di dunia pada umumnya, termasuk pengaruh kultus. Bahkan kita dapat mengingat kembali peristiwa-peristiwa The Children of God dan Jehovah Witnesses, dua contoh kultus dari Amerika, yang kehadirannya di tengah masyarakat kita dahulu dirasakan sangat mengganggu, yang kemudian dilarang. Masalah kultus ini sekarang telah menjadi sasaran kajian ilmiah yang melibatkan berbagai disiplin, khususnya antropologi, sosiologi agama, teologi, psikologi, dan lain-lain. Kajian-kajian itu D2E


F KULTUS G

telah menghasilkan banyak bahan bacaan, termasuk yang berupa buku-buku, antara lain Cults that Kill, Probing the Underworld of Occult Crime oleh Larry Kahaner (New York, Warner Books, 1989), Cults, Converts, and Charisma oleh Thomas Robbins (London, Sage Publications, 1988), Fanaticism, a Historical and Psychoanalytical Study, oleh André Haynal dan lain-lain (New York, Schocken Books, 1980), Cults in America oleh Willa Appel (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1983), The Guru Papers, Masks of Authoritarian Power oleh Joel Kramer dan Diana Alstad (Berkeley: North Atlantic Books, 1993), dan Massacre at Waco, Texas, The Shocking True Story od Cult Leader David Koresh and the Branch Davidians oleh Clifford L. Linedecker (New York: St Martin’s Press, 1993). Kesemua buku itu dalam kajiannya tentang kultus mengarah kepada pencirian umum gejala penyimpangan keagamaan itu sekitar hal-hal berikut: 1. Kultus sebagai bentuk pemujaan selalu berpusat kepada otoritas pribadi sang pemimpin. Ia mencekam para pengikutnya sehingga tumbuh mind set kepatuhan, ketundukan, dan ketergantungan kepadanya yang sangat kuat. 2. Karena itu kultus selalu membentuk sebuah komunitas “orang yang percaya” dengan pola organisasi yang ketat, yang sedikit sekali memberi kemungkinan anggotanya untuk keluar. 3. Gabungan antara otoritarianisme sang pemimpin dengan pola keorganisasian yang ketat itu menghasilkan sebuah gerakan penuh rahasia (cabbalistic), yang menganut pandangan perlunya menjaga “kesucian” kelompok dengan menghindar dari kontak dengan pihak lain, khususnya kontak yang bersangkutan dengan masalah ajaran. Kontak dengan pihak lain dipandang sebagai sumber “polusi” kepada kemurnian ajaran mereka. 4. Maka tidak heran bahwa banyak kultus yang kemudian mengembangkan pandangan-pandangan dan sikap-sikap anti sosial, sejak dari penolakan membayar pajak (seperti kasuskasus Moonisme dan kelompok Bhagwan Shri Rajneesh) D3E


F NURCHOLISH MADJID G

sampai kepada penggunaan kekerasan semisal pembunuhan (seperti kasus Satanisme dan New Nation). 5. Karena faktor-faktor tersebut itu semua, maka kejahatan oleh kultus sulit sekali dilacak dan diatasi. Beberapa anggota polisi di Amerika yang terlibat langsung dalam usaha mengatasi masalah ini menggambarkan masalah kejahatan kultus sebagai berikut: Occult crime may be the most difficult area of police work today. You won’t find simple cases with obvious suspects. You find bits and pieces, evidence that goes nowhere, testimony that is always suspect and crimes so bizarre and disgusting that even most police officers don’t want to believe it exists.1 (Kejahatan okultisme mungkin merupakan bidang yang paling sulit dalam tugas kepolisian hari ini. anda tidak mendapatkan kasus sederhana dengan tersangka yang jelas. Anda akan dapati sedikit demi sedikit, bukti yang menemui jalan buntu, kesaksian yang selalu mencurigakan dan kejahatan demikian liar dan menjijikkannya sehingga bahkan kebanyakan opsir polisi pun tidak mau memercayai bahwa hal semacam itu ada). Where all these occult religions go bad is when people aren’t satisfied to live within the environment they have created. It’s not enough to have power over themselves. They want to control the heavens and each other. As the need for more power grows, occult crime increases. It attracts people who aren’t satisfied; they want more power. The more powerful you are, the more people you have power over, and the more powerful you become in turn.2

1

Sandi Gallant, Kepolisian San Francisco, California, Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Larry Kahaner dalam Cults that Kill, Probing the Underworld of Occult Crime (New York: Warner Books, 1989), h. xiii. 2 Cleo Wolson, Kepolisian Denver, Colorado, Amerika Serikat, Ibid. D4E


F KULTUS G

(Semua agama okultisme ini berkembang menjadi buruk ketika orang tidak lagi puas untuk hidup dalam lingkungan yang mereka ciptakan sendiri. Tidak cukup hanya mempunyai kekuasaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka ingin mengontrol langit dan juga sesamanya. Jika kebutuhan kepada kekuasaan yang lebih banyak itu tumbuh, maka bertambah pula kejahatan okultisme. Ia menarik orang-orang yang tidak puas; mereka menginginkan kekuasaan yang lebih banyak. Semakin Anda berkuasa, semakin banyak banyak orang yang dapat Anda kuasai, dan pada urutannya Anda pun semakin berkuasa).

6. Banyak dari kultus-kultus yang mengajarkan pandangan dunia yang bersemangat apokaliptik (dunia akan segera binasa atau kiamat), kadang-kadang dengan ramalan yang pasti tentang kapan hal itu bakal terjadi (seperti pada kasus ajaran Jame Jones dari kultus People’s Temple). Karena itu banyak ajaran kultus yang juga mengandung “alarmisme”, yaitu peringatan terhadap bahaya zaman yang bobrok, dan janji keselamatan yang pasti kepada siapa saja yang mau bergabung dengan kelompok mereka. 7. Pandangan apokaliptik dan alarmisme biasanya bergandengan dengan messianisme atau mileniarisme, yaitu pandangan hidup yang disemangati oleh penantian yang penuh percaya akan datangnya juru selamat dari langit (gaib, meskipun tampil dalam bentuk manusia). (Misalnya, gerakan mBah Suro di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur pada saat-saat berakhirnya Orde Lama memiliki ciri kultus yang sangat kuat, dengan semangat mesianisme dan mileniarisme rakyat di kalangan orang Jawa yang sudah terkenal, yaitu paham dan harapan akan tampilnya “Ratu Adil”). Bergitulah secara garis besar ciri-ciri kultus. Dari situ tampak jelas bahwa inti dari kultus, sebagaimana perkataan “kultus” itu sendiri sudah menunjukkan, ialah otoritarianisme seorang tokoh D5E


F NURCHOLISH MADJID G

pemimpin, ketaatan dan ketergantungan para pengikut kepadanya, dan, akibatnya, perampasan kemerdekaan dan kebebasan pribadi.

Iman sebagai Penangkal Kultus

Secara singkatnya, untuk menanggulangi kemungkinan bahaya kultus itu tidak lain kita harus menempuh hidup beriman secara benar. Beberapa ajaran pokok agama kita dapat dengan ringkas kita jadikan pangkal tolak di sini. Syahadat pertama, “Tiada Tuhan selain Allahâ€?, sebagai kemestian utama dan pertama seseorang menerima Islam. Rumus syahadat itu terdiri dari nafy (peniadaan) dan itsbÄ t (pengukuhan), yaitu peniadaan suatu tuhan atau sesembahan apa pun, secara mutlak, dan pengukuhan adanya satu sesembahan Tuhan saja, yaitu Allah, Tuhan yang sebenarnya, Yang Mahaesa. Mengapa rumus syahadat itu dimulai dengan rangkaian kata negatif atau peniadaan, adalah karena manusia, secara alaminya, memiliki kecenderungan dan hasrat untuk memuja, menyembah, dan tunduk kepada sesuatu. Sebab dengan sikap memuja, menyembah dan tunduk itu ia meraih rasa ketenteraman dan kepastian (betapapun kelak ternyata palsu), karena dengan begitu ia dapat menggantungkan diri dan pasrah kepada sasaran pemujaannya itu. Dari segi psikologi, ini adalah peringanan beban hidup yang besar sekali. Tetapi persoalannya ialah bahwa setiap sikap pemujaan, penyembahan, dan penundukan diri dengan sendirinya mengandung arti penyerahan kebebasan, sebagian atau seluruhnya, dari yang bersangkutan. Dan ini, seperti dibuktikan dalam banyak kasus kultus di luar negeri, dapat berakhir dengan hilangnya kebebasan itu sama sekali, dengan akibat peniadaan harkat dan martabat pribadi, serta penindasan. Karena itu manusia harus menempuh proses pembebasan diri dari kungkungan sasaran pemujaan, penyembahan dan ketundukan itu, dengan mengucapkan kalimat nafy atau peniadaan pada bagian pertama kalimat syahadat. D6E


F KULTUS G

Tetapi akan merupakan kemustahilan sama sekali jika orang berhenti pada kalimat peniadaan itu. Sebab hidup tanpa percaya kepada sesuatu adalah mustahil. Manusia tidak mungkin hidup bagaikan biduk yang lepas di tengah samudera, atau layang-layang yang tanpa tambatan di tengah badai. Manusia perlu kepercayaan, dan perlu meyakini sesuatu yang dapat dijadikan tambatan hidupnya, dan yang dapat merupakan “ground zero” dari mana segala sesuatu memancar dan berasal. Sasaran pemujaan seperti itu haruslah suatu Wujud yang benar-benar tidak terjangkau, sehingga tidak merupakan sekadar mitos belaka. Sebab pemujaan kepada suatu wujud yang sekadar berupa mitos (karena ditarik dari sesama manusia ataupun alam sekitar) suatu masa, lambat atau cepat, tentu akan runtuh dan akan menjadi tidak absah lagi sebagai sasaran pemujaan, penyembahan, dan ketundukan diri. Dan sasaran pemujaan itu tidak boleh membelenggu, melainkan justru harus membebaskan. Sasaran pemujaan itu tidak semata-mata menguasai manusia, tapi lebih-lebih lagi juga mencintainya. Itulah Allah, Tuhan Yang Mahaesa, yang sekaligus serba Mahatinggi sehingga tidak mungkin terjangkau manusia dan yang serba Mahahadir sehingga selalu dekat kepada manusia. Pandangan dasar itu dapat dipahami lebih gamblang lagi dari berbagai firman Allah dalam Kitab Suci al-Qur’an, antara lain: “Dan mereka yang menjauhi thāghūt dari menyembahnya, serta kembali kepada Allah, bagi mereka adalah kabar gembira (kebahagiaan). Maka berilah kabar gembira (hai Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku! Yaitu mereka yang mau mendengarkan perkataan (pendapat), lalu mengikuti yang terbaik daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berpikiran mendalam,” (Q 39:17 18).

Jika kita renungkan lebih mendalam, firman Allah itu menjelaskan bahwa kabar gembira akan didapatkan oleh seseorang yang, pertama, mampu menghindar dan membebaskan diri dari D7E


F NURCHOLISH MADJID G

kemungkinan menyembah, memuja, atau berserah diri kepada thāghūt. Para ulama ada yang mengartikan atau menerjemahkan perkataan thāghūt sebagai “berhala” (Lihat A. Hassan, Al-Furqān). Dan pengertian “berhala” ialah setiap sasaran sesembahan, pujaan, dan ketundukan selain Allah, Tuhan Yang Mahaesa. Jadi yang termasuk berhala ialah bisa juga sesama manusia sendiri, seperti hakikatnya dicerminkan dalam diri para pemimpin kultus di Amerika semacam David Koresh, James Jones, Sung Hung Moon, dan lain-lain. Dalam al-Qur’an, tokoh yang sering dituturkan sebagai epitom thāghūt ialah Fir‘aun dari Mesir kuna. Perintah Allah kepada Nabi Musa untuk menyampaikan seruan Tuhan kepada Fir‘aun disertai keterangan bahwa Fir‘aun adalah seorang yang thaghā (berperangai dan bertindak sebagai thāghūt), yaitu menciptakan susunan kemasyarakatan yang tiranik. Manusia harus menjauhi dan membebaskan diri dari setiap tiran atau thāghūt sebagai pangkal tolak pertama menuju kebahagiaan. Inilah salah satu makna terpenting kalimat nafy dalam syahadat pertama, yang intinya ialah pembebasan diri dari setiap bentuk kepercayaan yang membelenggu. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa syahadat pertama itu adalah “pembebasan diri dari semua kepercayaan yang palsu” (barā’ah min al-mu‘taqadāt al-fāsidah). Kedua, untuk memperoleh kebahagiaan itu orang harus kembali kepada Allah, yaitu mempunyai sistem keimanan yang benar kepada Wujud Yang Mahabenar, Tuhan Yang Mahaesa (Ahad), tempat menambatkan harapan (al-Shamad), yang tidak mitologis (seperti mempunyai anak atau diperanakkan), dan yang tidak terjangkau oleh akal manusia karena tidak semisal dengan apa pun, yaitu sifat-sifat Tuhan (sebagaimana diringkaskan dan dipadatkan dalam al-Qur’an, surat al-Ikhlāsh). Dalam cakupan ini seluruh pembahasan tentang iman dan tauhid adalah relevan, yang sudah sering kita lakukan. Ketiga, merupakan rangkaian dengan dua hal di atas ialah sikap terbuka kepada ide-ide, pikiran-pikiran, dan ajakan-ajakan antara sesama manusia secara kritis dan penuh pertimbangan, kemuD8E


F KULTUS G

dian bersedia mengikuti mana dari semuanya itu yang terbaik. Para ulama semuanya sangat menyadari masalah ini, sehingga A. Hassan, misalnya, menegaskannya dengan memberi tafsir atau catatan: “Yaitu orang-orang yang suka mendengarkan ajakan, lalu menimbang, lantas mengambil mana yang terbaik, bukan menolak dengan buta tuli”3 (tapi juga bukan mengikuti dengan buta-tuli — NM). Sikap kritis sehingga merasa perlu menimbang-nimbang sehingga dapat diketahui mana yang terbaik itu adalah akibat langsung dari pandangan dasar bahwa tidak mungkin manusia itu pasti benar belaka, sebagaimana juga tidak mungkin manusia itu salah atau keliru belaka. Dengan perkataan lain, di sini ditekankan paham kenisbian manusia: bisa benar dan bisa salah, sehingga harus selalu ada pendekatan kritis. Dan patut sekali diperhatikan bagaimana firman Allah itu menjelaskan bahwa menjauhi tirani, kembali kepada Allah dan sikap terbuka kepada ide-ide sesama manusia adalah pertanda adanya hidayah dari Allah, juga pertanda bahwa orang bersangkutan adalah tergolong mereka yang berpikiran mendalam (ulū al-albāb). Pembahasan singkat tentang persoalan kultus ini akan kita akhiri dengan menegaskan bahwa sesungguhnya ajaran Islam secara built-in pasti memagari dan melindungi seorang Muslim dari bahaya kultus serta bahaya kepercayaan palsu apa pun, asalkan ia mampu menangkap makna dasar yang dinamis dari sistem keimanannya. Yang sangat pas dengan masalah ini ialah sebuah firman Allah, tidak begitu berbeda dalam pengkalimatannya dari yang terdahulu, namun ringkas dan padat: “Maka barangsiapa menolak thāghūt dan beriman kepada Allah maka ia sungguh telah berpegang kepada tali yang kukuh, yang tidak akan lepas,” (Q 2:256). [ ]

3

A. Hassan, al-Furqān, h. 905 (catatan No. 3406). D9E


F ATEISME G

ATEISME Oleh Nurcholish Madjid

Secara politik-formal, mungkin juga dapat dikatakan legal-formal, negara kita tidak membenarkan adanya ateisme. Pada saat sekarang, setelah Orde Baru sejak 1966, ateisme dipandang sebagai “musuh” negara, dan seorang warga negara tidak dibenarkan menganut ateisme atau mengaku sebagai ateis. Setidaknya itulah yang dapat kita katakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku sekarang. Ketentuan-ketentuan itu, sebagaimana semua kita telah mengetahui, adalah akibat pengalaman pahit hidup dengan kaum komunis yang tampil secara politik melalui PKI. Bagi banyak orang, adalah truisme belaka bahwa kaum komunis adalah ateis, dan bahwa ateisme telah menjerumuskan mereka ke lembah praktik-praktik tak-bermoral di bidang politik, terutama dalam usaha meraih kekuasaan. Bahkan dalam mengikuti proses politik yang legal-konstitusional (yang damai dan wajar) seperti ambil bagian dalam pemilihan umum (1955) pun kaum komunis tampil dengan sikap-sikap yang tidak jujur dan licik, seperti klaim mereka bahwa lambang “palu arit” adalah lambang Partai Komunis Indonesia dan “orang yang tidak berpartai.” Dengan kelicikan itu PKI keluar sebagai partai keempat terbesar di negeri kita, setelah PNI, Masyumi, dan NU (Nahdlatul Ulama). Pembahasan dalam makalah ini akan dicoba-arahkan kepada pengertian yang lebih mendasar tentang hakikat ateisme, dan apa maknanya sebagai problematika keberagamaan zaman modern. Seperti halnya dengan paham-paham kefilsafatan, ateisme adalah D1E


F NURCHOLISH MADJID G

sesuatu yang abstrak, yang belum tentu terdapat pada mereka yang tergabung dalam kelompok formal ateis seperti partai komunis. Kenyataannya, banyak aktivis PKI, misalnya, ketika menghadapi kematian (seperti ketika hendak dieksekusi), sempat atau meminta kesempatan untuk melakukan ibadat keagamaan tertentu menurut keyakinannya, seperti membaca surat Yāsīn bagi yang yakin kepada Islam. Sebaliknya, sebagai filsafat, belum tentu ateisme tidak terdapat pada perorangan yang resminya menganut suatu agama. Sebab selalu ada orang yang secara lahiriah menyatakan diri menganut suatu agama dengan tulus karena ia meyakini kebenaran ajaran agama itu untuk berbuat baik kepada sesama manusia, namun serentak dengan itu ia menolak atau tidak percaya kepada konsep formal ketuhanan agama tersebut. Orang seperti itu disebut sebagai menerapkan “kesalehan tanpa iman” (piety without faith), suatu gejala yang cukup umum di negeri-negeri Barat. Karena persoalan seperti tersebut itu, atau persoalan sebaliknya (yaitu persoalan pengakuan percaya kepada Tuhan namun tanpa dibarengi berbuat baik, malah berperangai jahat), maka tentu akan berfaedah sekali jika kita dapat membicarakan perkara ateisme sebagai suatu tantangan bagi keberagamaan zaman modern ini. Kita akan coba melihat apa hakikat ateisme itu, tidak saja dari sejarahnya (biar pun kita batasi hanya di zaman modern ini saja), tapi juga dilihat dari sudut pandang Islam. Justru bagian ini akan kita beri porsi lebih banyak, mengingat dari situ kita dapat memperkirakan bagaimana sebaiknya kita menyikapi ateisme itu.

Apa itu Ateisme?

Pengertian “ateisme” sendiri sesungguhnya dapat bermacam-macam. Meskipun di negeri kita pandangan hidup itu sangat erat dikaitkan dengan komunisme, namun sesungguhnya penganut ateisme — atau, lebih tepatnya, mereka yang mengaku sebagai ateis — tidak terbatas hanya kepada kaum komunis. Komunisme menjadi amat D2E


F ATEISME G

penting sebagai gerakan yang ateis karena sistem doktrinnya yang lengkap dan rapi, serta gerakannya yang mendunia. Pada dasarnya, ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan, yaitu suatu wujud yang mutlak, mahatinggi, atau transendental. Bagi kaum ateis, yang ada ialah alam kebendaan, dan kehidupan pun terbatas hanya dalam kehidupan duniawi ini saja. Kehidupan ruhani serta alam setelah kematian adalah khayal manusia yang tidak terbukti kebenarannya, karena itu juga mereka tolak. Dalam al-Qur’an disebutkan adanya kelompok manusia, yang firman itu kemudian ditafsirkan sebagai sebuah acuan kepada kaum ateis Arabia, yaitu firman Allah: “Pernahkah engkau lihat orang yang menjadikan keinginannya (hawānya) sebagai sesembahan (Tuhan, Ilāh)-nya, dan Allah, atas pengetahuan (tentang orang itu) menyesatkannya serta memateri pendengaran dan kalbunya dan memasang penghalang pada pandangannya. Maka siapa yang akan dapat memberinya petunjuk sesudah Allah?! Apakah kamu sekalian tidak merenungkan? Mereka (orang serupa itu) berkata: ‘Ini tidak lain hanyalah hidup duniawi kita belaka, (di dunia itu) kita mati dan hidup, dan tidak ada yang bakal menghancurkan kita kecuali masa.’ Tentang semua hal itu mereka tidaklah mempunyai pengetahuan. Mereka hanyalah menduga-duga saja,” (Q 45:23-24).

Ateisme dalam sistem ajaran Komunis merupakan suatu bentuk ateisme falsafi. Ia merupakan bagian dari suatu sistem ajaran yang lebih menyeluruh: di satu pihak ateisme menjadi dasar pandangan hidup komunis, dan di pihak lain — tergantung perspektif atau sudut pandangnya — ateisme adalah konsekuensi logis dari pandangan hidup komunis itu. Menurut Avanasyev, seorang ahli teori Marxisme dari Uni Soviet (kini Rusia), ateisme seperti yang dikembangkan dalam komunisme telah dimulai oleh Benedict Spinoza (1632-1677), seorang pemikir keturunan Yahudi yang hidup di Negeri Belanda. Spinoza merumuskan doktrin kesatuan material dunia. Dengan menolak dualisme ruhani-jasmani, ia D3E


F NURCHOLISH MADJID G

mengatakan hanya ada satu substansi, yaitu wujud alam kebendaan, yang menjadi dasar semua obyek di jagad raya. Substansi itu kekal dan abadi, dan menempati ruang yang tidak terbatas. Spinoza adalah seorang ateis paling terkemuka pada abad ke-17. Ia tidak hanya mengkritik agama. Lebih jauh, ia berusaha membuktikan kepalsuan agama dan menunjukkan perannya yang reaksioner. Tesis Spinoza bahwa alam menjadi sebab bagi eksistensinya sendiri menyingkirkan pengertian “Tuhan” dari alam dan merupakan substansiasi falsafi bagi ateisme.1 Di tangan para ideolog komunis (atau Marxis-Leninis), ateisme falsafi itu menjadi dasar bagi pengembangan paham kebendaan historis (materialisme historis). Sebagai gejala zaman modern, ateisme merupakan akibat langsung dan tidak langsung dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ini terutama berkenaan dengan ateisme praktis, yang barangkali tidak begitu falsafi. Dalam pengertian ini, ateisme dapat disebut sebagai pandangan sebagian besar orang modern (terutama di Barat), khususnya jika yang dimaksud dengan ateisme ialah sikap tidak peduli kepada ada-tidaknya Tuhan. Sebab bagi mereka ini, persoalan ada-tidaknya Tuhan tidaklah demikian relevan dengan makna hidup dan kejelasan tentang eksistensi manusia. Konsep tentang adanya “Tuhan” tidak lagi diperlukan untuk menjawab pertanyaan, mengapa manusia hidup, dan bagaimana manusia harus menempuh hidupnya sehari-hari? Semuanya dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan. Di masa lalu, ketika semua segi kehidupan manusia masih dengan “utuh” tercakup dalam lingkup keagamaan, kepercayaan tentang adanya “Tuhan” memang diperlukan. Maka bidang-bidang garapan manusia yang sekarang dianggap sebagai bidang-bidang keilmuan belaka, seperti kedokteran, astronomi, kesenian, dan pendidikan, dahulu selalu dikaitkan dengan agama atau keperca1

V. Avanasyev, Marxist Philosophy (Moscow: Progress Publishers, 1965),

h. 28. D4E


F ATEISME G

yaan kepada Tuhan. Tapi, menurut mereka, di zaman modern, ketika sebagian besar bidang kehidupan itu, jika tidak semuanya, dapat ditempuh, diterangkan, dan diberi makna dari sumber keterangan ilmiah, maka “Tuhan” tidak lagi diperlukan. Ibaratnya, dahulu orang mungkin harus berdoa agar rumahnya tidak disambar petir, berdasarkan anggapan bahwa petir adalah sesuatu yang disangkutkan dengan murka Tuhan. Sekarang, ketika diketahui secara ilmah bahwa petir adalah gejala listrik dan dapat ditangkal dengan alat tertentu (penangkal petir), orang pun berhenti berdoa, dan peranan Tuhan pun tersingkir, setidaknya “Tuhan” yang “personal”, yang dengan aktif berperan mencampuri hidup manusia seperti menyelamatkan, mencelakakan, memaafkan, mengutuk, dan seterusnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi membuktikan bahwa semuanya itu adalah kepercayaan palsu belaka. Maka “Tuhan” dinyatakan telah mati, dan terkenallah ucapan Nietzsche, seorang filosof Eropa modern: “Kejadian paling akhir — bahwa ‘Tuhan telah mati,’ bahwa kepercayaan kepada Tuhan-nya Kristen menjadi tidak bisa dipertahankan lagi — sudah mulai membayangi seluruh Eropa”.2

Ateisme Polemis dan Ateisme Terselubung

Di samping ateisme falsafi, bentuk lain dari pandangan yang menyangkal adanya Tuhan ialah — kita sebut saja — “ateisme polemis“. Dalam membicarakan ateisme ini pesoalan ateisme polemis juga patut kita telaah. Tapi ini bukan benar-benar ateisme, melainkan ateisme sebagai label yang digunakan untuk menuduh orang lain sebagai kafir, murtad, menyimpang dari agama yang benar, dan seterusnya. Ateisme yang dituduhkan para tokoh agama kepada orang atau kelompok lain yang berlawanan atau sekadar 2

Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays (New York: 1977), h. 60. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

berbeda dengan diri mereka dalam paham keagamaan adalah jenis ateisme ini. Jadi ini adalah jenis ateisme polemis, yang digunakan dengan efek pengucilan atau “eks-komunikasi” kepada orang lain. Berkenaan dengan ateisme polemis ini, cukup menarik menelaah sejarah bahwa hampir semua agama (yang baru) di masa lalu selalu membawa akibat tokoh dan pengikutnya dituduh sebagai ateis. Misalnya, sekalipun jelas agama-agama Yahudi dan Kristen mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan, namun dahulu dituduh sebagai penyebar ateisme oleh orang-orang Romawi, sebab kaum Yahudi dan Kristen menolak berhala mereka, termasuk menolak pandangan bahwa raja mereka adalah seorang dewa. Kaum Kristen Ortodoks juga menggunakan cap ateisme ke alamat kelompokkelompok Kristen lain yang menolak Trinitas. Dalam sejarah Islam pun terjadi hal serupa. Sudah sejak masamasa cukup dini dari perkembangan pemikiran Islam, banyak kelompok Islam yang saling menuduh sebagai kafir, murtad, atau zindiq. Istilah “zindiq” inilah yang kira-kira merupakan padanan istilah ateis dalam literatur Islam, sedangkan padanan untuk ateisme ialah “zandaqah”. Istilah-istilah yang polemis ini, misalnya, terdapat dalam berbagai karya al-Ghazali, antara lain risalahnya, Fayshāl al-Tafriqah bayn al-Īmān wa al-Zandaqah (Pembedaan yang jelas antara Iman dan Ateisme).3 Barangkali yang lebih rumit ialah mengenali dan menentukan ateisme “tidak resmi” atau “terselubung.” Yaitu sikap yang pada hakikatnya menolak adanya Tuhan, atau tidak menyadari adanya Tuhan, namun sikap itu tampak pada mereka yang secara “resmi” dan “terbuka” menyatakan diri percaya (“beriman”) kepada Tuhan, bahkan mungkin secara lahiriah beragama dengan kuat. Orang yang kita perbincangkan ini tentu saja akan menolak keras jika disebut “tidak percaya kepada Tuhan” alias “ateis”. Dan memang 3

Lihat terjemahnya dalam buku kami, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). D6E


F ATEISME G

secara resminya mereka bukanlah ateis, lagi pula kita sesama manusia tidak dibenarkan menilai keimanan seseorang. Namun mereka dapat disebut sebagai penganut “ateisme terselubung” atau “tersamar”, yaitu jika ditilik dari tingkah laku dan perangainya yang jelas tampak tidak memperhitungkan adanya Tuhan yang selalu mengawasinya. Sekalipun dalam praktik kita sungguh harus berhati-hati untuk tidak dengan mudah menilai seseorang sebagai “tidak beriman” alias “ateis” tadi, namun sumber-sumber suci justru menunjukkan adanya kemungkinan orang secara resmi dan terbuka mengaku beriman namun kenyataanya dalam tingkah-laku tidak mencerminkan keimanannya itu. Sumber-sumber suci itu misalnya ialah sabda-sabda Nabi saw. dalam beberapa hadis berikut: (1) Nabi bersabda: “Demi Allah orang itu tidak beriman! Demi Allah orang itu tidak beriman.” Beliau ditanya: “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari ucapan tak terkendalinya!” Beliau ditanya lagi: “Apa itu ucapan tak terkendalinya?” Beliau jawab: “Ucapannya yang jahat dan menyakitkan.” (2) Tidaklah penzina berzina, pada saat berzina itu dia beriman; tidaklah orang meminum khamar, pada saat ia meminumnya itu dia beriman; tidaklah pencuri mencuri, pada saat ia mencuri itu dia beriman; dan tidaklah orang berteriak keras sehingga menakutkan orang banyak itu dia beriman. (3) Demi Dia (Allah) yang diriku ada di tangan-Nya, kamu sekalian tidaklah akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sehingga kamu saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang kalau kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkan salam-perdamaian antara sesamamu!4 4

Ketiga hadis itu dikutip oleh Ibn Taimiyah dalam al-Īmān, editing oleh Dr. Muhammad Khalil Harras (Kairo: Dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, t.th.), h. 12-13. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Jadi Nabi saw. menegaskan bahwa orang yang jahat kepada tetangga itu “tidak beriman”, alias “kafir”, dapat juga dinamakan “ateis.” Demikian pula keadaan seseorang pada saat melakukan kejahatan, oleh Nabi saw. disebut sebagai “tidak beriman,” dan orang yang tidak mencintai sesamanya juga disebut “tidak beriman”. Ini memang dapat ditafsirkan sebagai “tidak beriman” atau “kafir” tidak dalam arti tidak beragama atau menolak adanya Tuhan dan ingkar kepada-Nya. Sama dengan orang yang tidak bersyukur kepada Allah atas suatu karunia-Nya adalah juga “kafir” atau “melakukan kekafiran” (banyak dinyatakan dalam kata kerja Arab “kafara” atau “yakfuru”), sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci (lihat, misalnya, Q 14:7). Itu semua secara spiritual bisa gawat, karena sebagaimana islām menghasilkan salām (damai) dan salāmah (keselamatan), dan ihsān menghasilkan hasanah (kebahagiaan, kesejahteraan), maka īmān menghasilkan amn (rasa aman) dan amānah (kualitas dapat dipercaya, mempunyai kredibilitas). Tapi, menurut ajaran agama, itu semua dapat terwujud jika iman tidak tercampur dengan kejahatan atau kezaliman, sebagaimana difirmankan dalam Kitab Suci: “Mereka yang beriman dan tidak mengacaukan iman mereka dengan kezaliman, bagi mereka itulah rasa aman,” (Q 6:82). Dengan kata lain, dampak iman yang dikacaukan oleh kejahatan seperti menyakiti tetangga, melanggar ketentuan-ketentuan etika dan moralitas, menumbuhkan kebencian kepada sesama, dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di atas adalah sama dengan dampak ateisme atau sikap hidup tanpa iman, yaitu hilangnya atau kosongnya ruhani dari kebahagiaan yang dicarinya. Maka Nabi saw. menamakan mereka itu tidak beriman. Apalagi jika hal ini dihubungkan dengan berbagai penegasan Nabi sendiri bahwa beliau diutus Allah hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi, dan bahwa keluhuran budi itulah, sesudah takwa kepada Allah yang melandasinya, yang paling banyak membawa manusia kepada kebahagiaan. D8E


F ATEISME G

Dari Ateisme ke Deisme

Dalam penggunaannya secara polemis, seringkali “ateisme” juga dituduhkan kepada mereka yang menganut “deisme”. Ini terutama banyak dilakukan oleh para pemimpin agama, di Barat tentunya. Padahal sesungguhnya deisme bukanlah ateisme, justru sebaliknya. Meskipun barangkali tidak sampai kepada taraf “teisme”, yaitu paham Ketuhanan menurut agama, “deisme” adalah pandangan yang didasarkan kepada pengakuan akan adanya Tuhan. Hanya saja, berbeda dengan “teisme”, Tuhan menurut “deisme” lebih mirip dengan hukum alam yang tidak bersifat pribadi (impersonal). Berbeda dengan kaum teis dalam agama-agama, kaum deis tidak mempercayai adanya Tuhan yang “aktif ” mencampuri urusan manusia. Segi ini merupakan titik perbedaan atau pertentangan antara “deisme” dan “teisme”. Salah seorang penganut deisme yang terkenal dan pengaruhnya membekas amat mendalam pada kehidupan politik zaman modern ialah seorang bapak-pemikir negara Amerika Serikat, Thomas Jefferson (1743-1826). Sebagai seorang deis, Jefferson menolak konsep Ketuhanan agama-agama formal yang ia kenal di negerinya saat itu (khususnya Yahudi dan Kristen). Mungkin ia akan menolak juga konsep-konsep Ketuhanan menurut berbagai agama yang lain, kalau seandainya ia mengetahui itu semua. Maka ketika ia menyusun dokumen Deklarasi Kemerdekaan Amerika, sebagai seorang deis ia memasukkan ide-ide Ketuhanan dalam deklarasi itu, namun “Tuhan” tidak dalam artian agama Kristen, melainkan “Tuhan” yang lebih “alami.” Karena itu ia menggunakan ungkapan-ungkapan, dalam bahasa Inggris, “Laws of Nature” dan “Nature’s God”, selain istilah “divine Providence”. Dan ia tidak menggunakan ungkapan dan jargon Ketuhanan khas Kristen, seperti, misalnya, “Jesus the Lord”, “the Savior”, “the Redeemer”, dan sebagainya. Jadi Jefferson bukanlah seorang Kristen atau Yahudi, juga bukan seorang penganut ateisme. Sekalipun begitu, ia adalah seorang yang sangat percaya kepada ajaran-ajaran etis agama, terutama Kristen. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Ia mengagumi ajaran-ajaran akhlak Nabi Isa al-Masih sebagai yang paling mulia dan sempurna sepanjang masa, tapi serentak dengan itu ia menolak berbagai kepercayaan sekitar pribadi Nabi itu, yang kepercayaan tersebut ia nilai palsu, tidak masuk akal atau bodoh. Kutipan dari beberapa pernyataannya tentang Isa al-Masih terbaca demikian: I should proceed to a view of the life, character, and doctrines of Jesus, who sensible of the incorrectness of his forebears’ ideas of the Deity, and of morality, endeavored to bring them to the principles of a pure deism, and juster notions of the attributes of God, to reform their moral doctrines to the standard of reason, justice, and philantropy, and include the belief of a future state. This view would purposely omit the question of his divinity, and even his inspiration. To do him justice, it would be necessary to remark the disadvantages his doctrines had to encounter, not having been committed to writing by himself, but by the most unlettered of men, by memory, long after they had heard them from him, when much was forgotten, much misunderstood, and presented in every paradoxical shape. Yet such are the fragments remaining as to show a master workman, and that his system of morality was the most benevolent and sublime probably that has been ever taught, and consequently more perfect than those of any of the ancient philosophers. His character and doctrines have received still greater injury from those who pretend to be his special disciples, and who have disfigured and sophisticated his actions and precepts, from views of personal interest, so as to induce the unthinking part of mankind to throw off the whole system in disgust, and to pass sentence as an imposter on the most innocent, the most benevolent, and the most eloquent and sublime character that ever has been exhibited to man.5 5

F. Forrester Church, “The Gospel according to Thomas Jefferson”, pengantar untuk buku Thomas Jefferson, The Jefferson Bible, The Life and Morals of Jesus of Nazareth (Boston: Beacon Press, 1989), h. 9-10. D 10 E


F ATEISME G

We find in the writings of (Jesus’) biographers matter of two distinct descriptions. First, a groundwork of a vulgar ignorance, of things impossible, of superstitions, fanaticisms and fabrications. Intermixed with these, again, are sublime ideas of the Supreme Being, aphorisms, and precepts of the purist morality and benevolence, sanctioned by a life of humility, innocence, and simplicity of manners, neglect of riches, absence of worldly ambition and honors, with an eloquence and persuasiveness which have not been surpassed.6

Dari kutipan itu Jefferson ternyata tetap tidak dapat melepaskan diri dari ajaran Kristen, meskipun ia terapkan sikap pilih-pilih terhadap berbagai unsur ajaran agama itu. Ia pun menulis sebuah “Bibel” atau “Kitab Suci”, dan kelak dinamakan The Jefferson Bible, yang isinya tidak lain ialah pilihannya sendiri dari bagian-bagian Kitab Injil yang empat (Matius, Lukas, Markus, dan Yohannes), yaitu bagian-bagian yang menurut pendapatnya “masuk akal” dan mencerminkan keagungan Isa al-Masih sebagai pengajar akhlak yang mulia. Dari pemahamannya yang khas itulah ia mendapatkan berbagai ilham bagi pandangan-pandangan politiknya, antara lain yang kini menjadi warisan umat manusia, selain Deklarasi Kemderdekaan Amerika, ialah dokumen penting tentang prinsip kebebasan beragama (Bill for Establishing Religious Freedom) yang disahkan oleh Majelis Umum (General Assembly) Virginia pada tahun 1786, dan yang kemudian menjadi undang-undang yang pertama dari jenisnya di Amerika Serikat. Tapi karena penolakannya kepada segi-segi tertentu ajaran mapan agama Kristen, maka ia mendapat cap sebagai ateis, yang cap itu sempat menyulitkan posisinya sewaktu melakukan kampanye untuk kursi kepresidenan Amerika Serikat (Thomas Jefferson adalah Presiden AS yang ketiga). Deisme Thomas Jefferson ini kita angkat karena relevan bagi pembahasan kita tentang ateisme. Yaitu bahwa ateisme dan deisme, sekalipun di satu sisi berlawanan, namun di sisi lain memiliki 6

Ibid., h. 29. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

persamaan. Yaitu persamaan dalam penolakannya kepada agamaagama formal. Secara gampangnya, baik ateisme maupun deisme adalah gejala pemberontakan kepada agama-agama mapan, dan masing-masing menyangkut masalah yang sungguh amat penting untuk kita kaji lebih lanjut. Ini terutama mengenai deisme, karena dalam deisme ada hal-hal yang cukup positif. Pertama, seperti dicerminkan dalam pandangan Jefferson, kaum deis sangat percaya kepada ukuran-ukuran budi pekerti yang luhur. Kedua, mereka percaya kepada adanya agama yang alami (istilah al-Qur’an, fithrī ), yang merupakan bentuk asli dan primordial agama umat manusia, namun kemudian mengalami berbagai penyimpangan sehingga Tuhan (Deo, Deva, Dos, Theo, God, Gott, Ilāh, Ill, El, Al) memilih dan mengangkat di antara manusia sendiri sebagai utusan guna meluruskan mereka dari penyimpangan itu dan membimbing mereka kembali ke agama yang alami, fitri, lurus, wajar, dan benar. Karena itu bagi sebagian kaum penganut deisme di Barat (baca: dalam lingkungan Yahudi-Kristen) melihat permasalahan dalam agama Kristen berkenaan dengan sejarah universal agama-agama, dikatakan, The role of Christianity in the universal history of religion became problematic. For many religious deists the teachings of Christ were not essentially novel but were in reality as old as creation, a republication of primitive monotheism. Religious leaders had arisen among many peoples — Socrates, Buddha, Mohammed — and their mission had been to effect the restoration of the simple religious faith of early man.7

Sekarang bandingkanlah pandangan itu dengan sistem keimanan Islam yang mewajibkan seorang Muslim untuk beriman kepada semua Nabi dan Kitab Suci, dan dengan penegasan Allah swt. yang ditujukan kepada Nabi kita, Muhammad saw.: 7

Lihat Britannica, s.v. “Deism”. D 12 E


F ATEISME G

“Katakanlah (olehmu, wahai Muhammad): ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat (yang terjadi) terhadapku dan tidak (pula) terhadap kamu sekalian. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pembawa kejelasan,” (Q 46:9).

Ateisme dan Monoteisme

Apakah mungkin ateisme berkembang dan mendorong penganutnya, dalam lingkup kesejarahan yang panjang, barangkali, menuju kepada monoteisme? Secara common sense rasanya hal itu “jauh panggang dari api.” Tapi marilah kita coba lihat apa yang mungkin dapat terjadi. Telah disinggung bahwa baik ateisme maupun deisme, dari sisi tertentu, dapat dipandang sebagai jenis pemberontakan kepada agama-agama mapan. Dengan kata lain, ateisme dan deisme adalah gejala ketidakpuasan terhadap agama-agama yang ada. Jika sudut penglihatan ini benar, kita dapat segera berasosiasi dengan konsep “negasi-afirmasi” atau “al-nafy wa al-itsbāt” dalam kalimat persaksian pertama Islam. Konsep yang amat terkenal dalam sistem keimanan Islam ini telah menjadi bahan pembahasan para pemikir Muslim sejak masa-masa awal sejarah pertumbuhan agama itu sampai sekarang. Dalam suatu penjabaran kembali, jelas sekali bahwa konsep “negasi-affirmasi” menunjukkan kemustahilan seseorang mencapai iman yang benar kecuali jika ia telah melewati proses pembebasan dirinya dari kepercayaan-kepercayaan yang ada. Sebab sesungguhnya persoalan umat manusia — yang dengan mudah dapat dibuktikan secara empirik — bukanlah bahwa mereka tidak percaya kepada suatu “tuhan”. Justru sebaliknya, naluri primordial manusia ialah percaya kepada Tuhan. Namun karena tidak terbimbing dengan benar maka naluri itu tumbuh dan berkembang D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

secara sesat, dan tersalurkan ke arah kepercayaan kepada Tuhan secara berlebihan, yaitu politeisme atau syirik. Padahal politeisme atau syirik, terbukti dari gejala mitologi, merenggut kebebasan manusia dan membuatnya terbelenggu sedemikian rupa sehingga tidak mampu melihat alam dan kehidupan sekelilingnya secara benar sesuai dengan design atau Sunnatullah. Maka persoalan manusia yang paling pokok ialah bagaimana membebaskan mereka dari kepercayaan kepada “tuhan-tuhan” yang hampir semuanya besifat mitologis itu, kemudian memperoleh bimbingan kepada kepercayaan kepada “yang benar-benar Tuhan”, yaitu, dalam bahasa Arab, Allāh (Al-Lāh, berasal dari kata-kata Al-Ilāh, yaitu Ilāh dengan lām ta‘rīf — definite article — “Al”), yang menghasilkan pengertian “Tuhan itu”, “Tuhan yang sebenarnya”, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, yang Mutlak, Transenden, tak terjangkau, tak terpahami Hakikat-Nya (“Tiada sesuatu apa pun yang setara dengan Dia,” [Q 46:9] dan “Tiada sesuatu apa pun yang sebanding dengan Dia,” [Q 112:4]) dan seterusnya.8 Dengan begitu manusia terbebaskan dari kepercayaan yang tidak saja palsu tapi juga membelenggu, kemudian dia dapat meningkat kepada kepercayaan yang benar, yang memberi ruang tak terhingga untuk berproses dan terus berproses menuju sejauh-jauh dan setinggi-tinggi tingkat kesempurnaan spiritual pribadi. Adalah dampak kebebasan dari belenggu kepercayaan palsu atau syirik itu yang memberi seseorang rasa kebahagiaan pertama, dan yang di atasnya ia dapat membangun susunan kebahagiaan yang tiada habis-habisnya, menuju ke arah, sekalipun tak bakal mencapai, Yang Mutlak Sempurna. Berkenaan dengan proses pembebasan ini Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ayat suci yang artinya “Tiada Tuhan selain Engkau,” (Q 21:87) mengandung makna pembebasan dari (segala sesuatu) selain Allah, yang terdiri dari “tuhan-tuhan” palsu, baik hal itu diperkirakan 8

Mengenai pembahasan tentang makna “Allah” itu, lihat antara lain, yang cukup lengkap dan lebih dari memadai, Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, t.th.), juzu’ 1 D 14 E


F ATEISME G

sebagai keinginan diri-sendiri (hawā al-nafs) atau ketaatan kepada sesama makhluk, atau lainnya.9 Uraian di atas itu hampir-hampir menuju kesimpulan bahwa ateisme adalah “proses” menuju iman yang benar. Keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Tapi karena pada dasarnya persoalan manusia bukanlah persoalan tidak percaya kepada Tuhan atau menolak adanya Tuhan, melainkan persoalan kepercayaan kepada “tuhan-tuhan” palsu dan kelewat banyak (lebih dari satu Tuhan, politeisme), maka tema-tema al-Qur’an yang dominan, yang dapat dikatakan terdapat pada lembaran-demi-lembaran mushaf, ialah penegasan bahwa Tuhan adalah Mahaesa, dan bahwa manusia harus membebaskan diri dari kepercayaan dan praktik yang memperserikatkan Tuhan Yang Mahaesa itu dengan sesuatu apa pun juga. Tema dominan al-Qur’an ialah memberantas paham tuhan banyak (politeisme, syirik), dan mengajarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (monoteisme, tawhīd). Sejauh-jauh pembahasan tentang mereka yang ateis atau tidak percaya kepada Tuhan, atau lebih tepatnya mereka yang percaya kepada kemutlakan waktu, dalam al-Qur’an hanya terdapat ayat suci yang telah dikutip terjemahnya di depan. (Karena salah satu kata-kata untuk “waktu” dalam bahasa Arab ialah “dahr”, sebagaimana terdapat dalam ayat yang telah dikutip itu, maka mereka yang menunjukkan kecenderungan ateistik disebut kaum Dahrīyūn, dan paham mereka disebut dahrīyah). Tetapi berbeda dengan pembahasan tentang kaum ateis ini, pembahasan tentang kaum musyrik hampir terdapat pada setiap lembar halaman Kitab Suci itu. 9

Yang dirujuk oleh Ibn Taimiyah ini adalah penuturan Allah akan pengalaman Nabi Yunus yang kecewa dan marah kepada kaumnya (jadi boleh dikata menuruti atau tunduk kepada nafsunya sendiri), kemudian pergi, namun mengalami kegelapan dalam “perut ikan”. Dalam keadaan itulah ia bertobat, dan berseru, “Tiada suatu Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh aku tergolong mereka yang zalim.” Lalu Nabi Yunus pun diampuni Tuhan Yang Mahaesa itu D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

Lebih lanjut, ateisme adalah suatu paham yang “mewah”, dalam arti bahwa ateisme yang sebenarnya, yang “murni”, memerlukan kemampuan berpikir abstrak yang cukup tinggi. Itu pun dengan praanggapan bahwa ateisme adalah sebuah paham yang rasional. Dalam kenyataannya tidaklah demikian. Jika kita lihat secara empirik umumnya mereka yang mengaku ateis, khususnya kaum komunis — karena paling sistematik dalam penyusunan segi-segi konseptualnya — kita dapatkan bahwa mereka sama sekali secara kenyataan bukanlah orang-orang ateis. Hampir semua mereka itu justru politeis. Tampak sekali jarak antara ateisme dan politeisme sangat kecil, malah boleh dikata keduanya itu berhimpitan. Keterangannya ialah bahwa ateisme “konfesional” (confessional ateism, yaitu ateisme melalui pengakuan atau persaksian — misalnya, melalui upacara janji setia semacam “baiat” atau pembacaan “syahadat”, seperti pada gerakan komunis) telah berkembang menjadi padanan fungsional agama (functional-equivalent of religion). Artinya, ateisme telah tumbuh dengan fungsi-fungsi yang sama dengan agama, malah agama politeis, lengkap dengan kelembagaankelembagaannya seperti obyek kesucian, ritus-ritus, dan sakramensakramennya. Jadi agaknya ateisme adalah suatu hal yang mustahil, atau terlampau sulit ditegakkan, dan setiap usaha menegakkannya akan menjerumuskan manusia kepada arah kebalikannya sama sekali, yaitu politeisme. Masyarakat-masyarakat komunis, baik yang sudah runtuh maupun yang kini masih berdiri tegak, membuktikan semuanya itu. Oleh karena itu cukup dapat dibenarkan jika ateisme itu, dari sudut Islam, adalah pada hakikatnya bentuk lain politeisme. Dan firman Allah tentang kaum ateis atau Dahrīyūn yang telah dikutip di atas dimulai dengan gambaran tentang adanya orang-orang yang mengangkat hawā atau keinginan dirinya sendiri sebagai Tuhan. Dalam bahasa yang lebih tegas, sesungguhnya kaum ateis itu tidak lain adalah orang-orang yang memutlakkan dirinya sendiri, baik dalam bentuk pikirannya, pahamnya, pandangan atau pendapat pribadinya, dan seterusnya. Jika ini kita balik, maka orang yang D 16 E


F ATEISME G

beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa (seharusnya!) adalah orang yang tidak memutlakkan dirinya sendiri, baik dalam bentuk pikiran, paham, pandangan atau pendapat pribadi, dan seterusnya. Kaum beriman (seharusnya!) adalah orang-orang yang berpandangan jujur, obyektif (bebas dari kemauan dan dikte hawā-nya sendiri), cukup rendah hati untuk tidak mengklaim kemutlakan karena kesadaran dan pengakuan bahwa yang memiliki kemutlakan ialah satu-satunya Yang Mutlak sendiri, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. (Sikap seorang mukmin ini antara lain dilambangkan dalam ucapan sehari-hari, Wa ’l-Lāh-u a‘lam-u bi ’l-shawāb — “Wallāhu a‘lamu bishshawāb” — , Allah yang lebih mengetahui yang benar, sejalan dengan peringatan dalam Kitab Suci, “Kami (Allah) mengangkat derajat siapa pun yang Kami kehendaki. Dan di atas setiap orang yang berilmu, ada Dia Yang Maha Berilmu,” (Q 12:76).

Ateisme: Suatu Kegagalan

Karena itu semua maka persoalan sebenarnya ateisme ialah persoalan kecongkakan manusia yang hendak mengandalkan dirinya sendiri — dalam hal ini akal dan ilmu pengetahuannya — untuk “memahami” Tuhan. Dari sudut pandangan keagamaan (Islam), pendekatan demikian itu pasti gagal, dan wajar sekali jika mereka berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Kegagalan itu bermula dari keterbatasan akal manusia, khususnya akal manusia modern, yaitu akal yang hampir apriori membatasi diri hanya kepada halhal empirik secara materialistik. Berkenaan dengan peran akal itu agaknya Bertrand Russel, seorang ateis yang sengit dan radikal, cukup jujur ketika mengatakan bahwa membuktikan ada-tidaknya Tuhan itu, secara rasional, adalah sama mudahnya. Maksudnya, secara rasional mudah dibuktikan Tuhan itu ada, tapi secara rasional pula mudah dibuktikan Tuhan itu tidak ada. Dan Russel memilih untuk membuktikan dengan mudah bahwa Tuhan itu tidak ada! Jadi kalau kita perhatiD 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

kan contoh ateisme Russel ini, sikap tidak memercayai adanya Tuhan adalah pilihan subyektif, karena sebenarnya ia dapat memilih untuk memercayainya, namun tidak ia lakukan. Inilah salah satu bentuk “hawā” seperti disebutkan dalam rangkaian ayat kaum Dahrīyūn di atas. Dari situ kita dapat melihat logikanya, mengapa seorang ateis akhirnya “menyembah” pikirannya sendiri. Berbeda dengan orang yang percaya kepada Tuhan secara benar (ber-īmān) yang tidak mungkin memutlakkan diri sendiri, karena sikap itu akan melahirkan kontradiksi terminologi (sebagaimana hal itu telah dicoba jabarkan di atas). Sesungguhnya dorongan subyektif yang disebut dalam bahasa Arab “hawā” itu tidaklah selalu negatif. Meskipun jika lepas kendali akan membawa bencana, namun sebenarnya “hawā” itu kita perlukan untuk dapat bertahan hidup (survive). Karena itu dalam al-Qur’an, berkaitan dengan penuturan tentang tokoh wanita Mesir yang menggoda Nabi Yusuf, dikatakan bahwa “hawā” itu jika dilepaskan akan membawa kerusakan, kecuali yang dirahmati Tuhan (Q 12:53),10 yaitu “hawā” sebagai sumber dorongan jiwa yang dibimbing dengan hati nurani karena iman kepada Allah. Termasuk “hawā” yang tak terbimbing dengan baik, yang sesat, yang membawa kepada kehancuran ialah akal pikiran yang membatasi diri hanya kepada segi-segi empirik lahiriah dan materialistik dari alam dan wujud keseluruhan, seperti tampak pada kecenderungan berpikir “ilmiah” orang “modern”. Dalam penerapannya kepada masalah usaha “mencari” dan “memahami” Tuhan, dorongan berpikir yang hanya membatasi diri kepada kenyataan lahiriah itu justru menjadi tabir penghalang atau hijāb dari Tuhan Yang Mahaesa. Karena sikap memutlakkan kenyataan lahiri dan mengingkari kenyataan batini, maka paling jauh yang dapat ditangkap hanyalah “Tuhan” dalam arti lahiri, yaitu Tuhan 10 Keterangan tentang “hawā” ini diberikan oleh Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ubbad al-Hanbali al-Najdi dalam kitabnya, Dawā’ al-Qulūb al-Muqarrib li Hadlrat ‘Allām al-Ghuyūb (Riyadl: Maktabat al-Tawfiq, t.th.), h. 172-174 D 18 E


F ATEISME G

yang oleh Russel dikatakan mudah dibuktikan akan adanya secara rasional. Tapi pengertian “Tuhan” seperti itu tidak mempunyai makna apa-apa kecuali makna berupa pengetahuan tentang suatu Wujud mutlak dalam kategori-kategori rasionalnya saja. Dan karena pengetahuan serupa itu tidak membawa manfaat yang berarti — bahkan, sepanjang perhatian Russel, banyak orang yang mengaku percaya kepada adanya Tuhan tapi justru memperlihatkan kelakuan yang sangat mengecewakan atau merugikan sesama manusia — maka jika membuktikan tidak adanya Tuhan pun mudah, orang tergoda untuk memilih tidak percaya kepada Tuhan saja, dan menjadi ateis. Itulah sikap filosof Inggris Bertrand Russel.

Jawaban Islam?

Ditinjau dari sudut pandangan Islam, Russel tentu saja gagal “menemukan” Tuhan, karena secara apriori ia membatasi pikirannya kepada yang lahir. Padahal Tuhan adalah Wujud Lahiri dan Batini sekaligus (Q 57:3). Sebagai Wujud Lahiri, Tuhan tampak di manamana, dalam seluruh dan setiap ciptaan-Nya. Maka banyak ahli tafsir al-Qur’an yang dari pandangan itu memahami mengapa Allah memerintahkan manusia memperhatikan gejala alam di sekitarnya. Barangkali segi inilah yang jelas terlihat oleh Russel, sehingga ia mengatakan bahwa membuktikan adanya Tuhan itu mudah. Tetapi karena ia gagal “melihat” Tuhan sebagai Wujud Batini, maka kehadiran Tuhan secara rasional melalui manifestasi lahiriah-Nya itu pun tertutup kembali, dan ia kemudian memutuskan untuk tidak percaya kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal itu, para pemikir sufi mengatakan bahwa akal atau rasio memang justru dapat menjadi penutup atau hijāb yang menghalangi manusia dari Tuhannya. Untuk dapat beriman kepada Tuhan secara utuh, orang harus tidak hanya menggunakan akal atau rasionya semata. Meskipun penggunaan rasio itu diperlukan — dan sudah dilaksanakan oleh para ahli kalam Islam D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

— namun bila benar-benar dikehendaki berfungsinya keimanan itu dalam kehidupan yang lebih mendalam, mutlak diperlukan adanya apresiasi kepada Tuhan sebagai Kenyataan atau Wujud Batini. Cobalah kita renungkan keterangan yang relevan dari seorang ahli filsafat kesufian ini: Kamu janganlah mencari bukti (untuk adanya Tuhan) dari luar, sebab kamu akan memerlukan tangga-tangga (yang sulit). Carilah al-Haqq (Kebenaran Ilahi) itu dari esensimu sendiri menuju esensimu sendiri, maka engkau akan menemukan Kebenaran itu lebih dekat kepadamu daripada esensimu sendiri itu... “(Kebenaran) itu adalah Cahaya yang ditempatkan dalam hati, yang asalnya ialah Cahaya yang turun dari Khazanah Kegaiban.”... (Kebenaran itu) mempersaksikan Diri-Nya kepada engkau sebelum Dia meminta engkau mempersaksikan-Nya, maka hal-hal yang lahiri menampakkan keilahian-Nya, dan kalbu serta kerahasiaan hati membuktikan Kemahaesaan-Nya. Ini tidak lain adalah sama dengan yang difirmankan (Tuhan) Yang Mahabenar (dalam sebuah hadis qudsi berkenaan dengan hakikat keikhlasan): “Keikhlasan adalah salah satu dari banyak rahasia-Ku, yang aku percayakan kepada kalbu salah seorang dari para hamba-Ku yang Kukasihi, yang malaikat pun tidak dapat meniliknya sehingga akan mencatatnya, dan setan pun tidak dapat melongoknya sehingga akan merusaknya.” Demikian pula rahasia Ketuhanan yang dititipkan Allah dalam diri manusia, yang tidak tahu hakikatnya kecuali Dia Yang Mahasuci. Kalau demikian halnya maka mengajar dan belajar tidaklah berguna baginya, tetapi yang berguna ialah mengekspos diri kepada dorongan-dorongan Kebenaran dengan bukti-bukti kejujuran dalam ucapan, perbuatan, dan tingkah laku. (Sabda Nabi saw.) “Barangsiapa berbuat menurut yang diketahuinya (ilmunya) maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang sebelumnya ia tidak mengetahuinya.” Jadi ilmunya adalah dari Tuhannya untuk kalbunya, dan itulah ilmu yang paling utuh dan agung.... Ilmu kita tidaklah diambil melalui analogi, juga tidak dari penalaran atau kekuatan otak dan kutipan-kutipan (dari bahan bacaan), melainkan ia meruD 20 E


F ATEISME G

pakan sebuah titik dari Kebenaran yang menyingkapkan dari kalbu rasa kebahagiaannya, dan suatu cahaya dari Kebenaran itu yang berkasnya memancar dalam alam-alam hakikat sehingga yang gaib pun tampak dalam pandangan kenyataan, dan yang masih menjadi musykil pun tidak lagi memerlukan penjelasan; bahkan seandainya penutup itu tersingkapkan tidaklah akan menambah keyakinan bagi pemiliknya. Inilah yang dimaksudkan (oleh Nabi saw.) dalam sabda beliau, “Abu Bakr tidaklah melakukan renungan (tafakur) dengan banyak sembahyang dan puasa, melainkan dengan sesuatu yang terhunjam mendalam dalam dadanya.” Sekalipun begitu sesuatu yang terhunjam mendalam dalam dadanya itu diketahui asalnya, yaitu pemahaman hakikat dalam keyakinan dan iman sampai batas berhadap-hadapan dan penyaksian.11

Maka yang telah dilakukan oleh kaum ateis adalah percobaan “memahami” Tuhan hanya dari satu sisi, yaitu sisi lahiriahnya. Ini adalah berarti sikap menurunkan Tuhan menjadi hanya setingkat kenyataan-kenyataan kebendaan yang empiris, jadi dapat pula disebut bahwa ateisme itu sendiri adalah bentuk kemusyrikan, sebagaimana telah disinggng. Sebab salah satu wujud nyata kemusyrikan ialah mendegradasi Tuhan Yang Mahasuci menjadi sama dengan benda-benda “profan” sehari-hari, di samping adanya bentuk kemusyrikan yang berupa pengangkatan obyek-obyek “profan” ke tingkat kesucian yang mengarah kepada Wujud Ilahi. Berkenaan dengan dampak ilmu pengetahuan yang dapat mendorong kepada ateisme sebagaimana telah dibahas di bagian terdahulu, agaknya umat Islam tidaklah perlu terlalu khawatir. Jika pengertian umat atau komunitas diambil secara keseluruhan, umat Islam adalah yang pertama dalam sejarah umat manusia yang benar-benar memiliki wawasan keilmuan yang bebas dari mitologi. 11

Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ajibah al-Hasani, Al-Futūhāt al-Ilāhīyah fī Syarh al-Mabāhits al-Ashlīyah (diterbitkan pada Hāmisy Kitāb Īqāzh al-Himam fī Syarh al-Hikam) (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 46-47. D 21 E


F NURCHOLISH MADJID G

Memang benar dalam zaman kejayaan Islam, ilmu pengetahuan seperti kedokteran, ilmu alam, kimia, dan lain-lain sangat erat terkait dengan agama. Justru hal ini merupakan segi kekuatan Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Tetapi berbeda dengan hubungan ilmu pengetahuan dengan agama pada umat-umat yang lain, yang ada dalam peradaban Islam bukanlah hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama secara magis-mitologis (seperti menolak kebakaran dengan sebuah benda “keramat”), tetapi hubungan yang ada ialah hubungan ilmiah. Yaitu hubungan yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua yang ada di sekeliling manusia ini berjalan menurut hukum-hukum yang ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta, yang dalam peristilahan al-Qur’an disebut sunatullah (sunnat-u ’l-Lāh) untuk pola-pola hukum yang menguasai hidup sosial manusia atau sejarah, dan taqdirullah (taqdīr-u ’l-Lāh) untuk pola-pola hukum yang menguasai wujud kebendaan. Ini jelas sekali menjadi dasar pemikiran para ilmuwan Muslim, baik yang bergerak di bidang “ilmu eksakta” seperti al-Biruni, al-Khawarizmi (penemu logaritma, algorizm), Ibn Haytsam, dan lain-lain, maupun yang bergerak di bidang ilmu-ilmu sosial seperti, yang paling terkemuka, Ibn Khaldun. Tentang yang tersebut akhir ini, Ibn Khaldun, sedemikian ilmiah dan obyektifnya dalam memandang dan menafsirkan gejala sejarah, sehingga kadang-kadang tidak segan-segan menunjukkan kelemahan umat atau bangsanya sendiri (Arab). Namun ia konsisten atau istiqāmah dengan etos intelektualnya, tanpa ketabuan dan takhayul, sehingga ia sekarang diakui seluruh dunia ilmu pengetahuan modern sebagai bapak sebenarnya bagi lmu-ilmu sosial. Etos keilmuan Islam yang bebas dari mitologi itu juga diakui dan dibenarkan oleh para sarjana modern Barat. Salah seorang dari mereka, yaitu George F. Kellner, mengatakan: In every civilization certain men have sought the causes of phenomenal change in nature itself rather in human or superhuman volition. But until the Arabs inherited Greek natural philosophy and Chinese D 22 E


F ATEISME G

alchemy and transmitted them to the West, there was no single body of natural knowledge that passed from one civilization to another. On the contrary, in every civilization the study of nature took its own path. Greek and Chinese philosophers explained much the same physical world very differently.... Most of these achievements were first absorbed by Islam, which from 750 A.D. to the late Middle Ages stretched from Spain to Turkestan. The Arabs unified this vast body of knowledge and added to it.12 (Dalam setiap peradaban orang-orang tertentu mencari sebab-sebab perubahan gejala alam dalam alam itu sendiri, dan tidak dalam kemauan manusia atau makhluk supra-manusia [seperti dalam mitologi]. Tetapi sampai dengan saatnya orang-orang Arab [Muslim] mewarisi filsafat alamiah Yunani dan ilmu kimia Cina yang kemudian meneruskannya ke Barat, belum pernah ada sosok utuh ilmu pengetahuan alamiah yang diteruskan dari satu peradaban ke peradaban yang lain. Sebaliknya, dalam setiap peradaban kajian tentang alam menempuh jalannya sendiri-sendiri. Para filosof Yunani dan Cina menerangkan dunia fisik yang sama dengan cara yang sangat berbeda.... Sebagian besar hasil capaian ini mula-mula diserap oleh Islam, yang dari tahun 750 hingga akhir Abad Pertengahan terbentang sejak dari Spanyol sampai ke Turkistan. Bangsa Arab (Muslim) menyatukan sosok ilmu pengetahuan yang luas ini kemudian memberi tambahan kepadanya.

Etos keilmuan yang tinggi itu adalah akibat langsung sistem keimanan Islam yang berintikan tauhid, yang tidak membenarkan Islam memitoskan dan memitologikan alam dan gejala alam. Dengan tauhid seorang Muslim dididik untuk menyadari dirinya sebagai manusia, makhluk Allah yang paling mulia, yang tidak ada 12

George F. Kneller, Science as a Human Endeavor (New York: Columbia University Press, 1978), h.3-4. D 23 E


F NURCHOLISH MADJID G

lagi makhluk di atasnya. Karena itu manusia harus memandang ke atas hanya kepada Khaliknya, yaitu Allah, Tuhan Yang Mahaesa, kemudian memandang sesamanya dalam hubungan hak dan kewajiban yang sama (egalitarianisme), dan memandang kepada alam sekitarnya “ke bawah” (tanpa berarti sikap menghina). Maka alam sekelilingnya, baik yang material maupun yang sosial, menjadi medan yang terbuka untuk diteliti dan dipahami hukum-hukumnya, dalam rangka memahami sunatullah dan taqdirullah tersebut di atas. Setiap mitologisasi kepada alam akan mendorong manusia kepada syirik, menutup diri dari kesadaran akan Hadirat Tuhan Yang Mahaesa, dan dunia sekelilingnya pun menjadi tertutup, tampak penuh misteri. Inilah takhayul, kenyataan yang tidak ada, yang merupakan hasil angan-angan atau khayal. Istilah lain dalam Islam untuk takhayul itu ialah khurafat dan khuaza‘balāt, dan semua istilah itu menekankan segi kepalsuan pandangan serupa itu. Karena itu tidak aneh, mungkin di luar kesadaran orang-orang Islam sendiri, para sarjana modern Barat sendiri yang mengatakan bahwa hanya sejak zaman Islam itulah ilmu pengetahuan melahirkan teknologi untuk mempermudah hidup sehari-hari. Tidak kurang dari Bertrand Russel, seorang ateis radikal yang telah diperbincangkan di atas, yang mengatakan bahwa: Science, ever since the time of the Arabs, has had two functions: (1) to enable us to know things, and (2) to enable us to do things. The Greeks, with the exception of Archimedes, were only interested in the first of these. They had much curiosity about the world, but, since civilized people lived comfortably on slave labour, they had no interest in technique.13 (Sains, sejak masa bangsa Arab, telah mempunyai dua fungsi: [1] untuk memungkinkan kita mengetahui banyak hal, dan [2] untuk memungkinkan kita melakukan banyak hal. Orang-orang Yunani, 13

Bertrand Russel, The Impact of Science on Society (London: Unwin Paperbacks, 1985), h. 29. D 24 E


F ATEISME G

kecuali Archimedes, hanya tertarik kepada bagian pertama [dari dua fungsi] itu. Mereka punyai minat banyak tentang dunia, tetapi, karena orang beradab hidup enak aras kerja budak, mereka tidak punya minat kepada teknik.)

Memang umat Islam sekarang sedang ketinggalan zaman di bidang sains dan teknologi. Tetapi yang amat penting hendak ditekankan di sini ialah bahwa Islam membuktikan, dan akan mampu membuktikan lagi, kesatuan organik dan harmonis antara ilmu pengetahuan dan iman, sehingga kebahagiaan yang dihasilkannya pun tidak pincang, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Karena itu, agaknya umat Islam tidak perlu khawatir terhadap zaman modern, sains dan teknologi, ateisme, deisme, dan sebagainya, sebab sistem ajaran Islam, bila dipahami dan dijalankan secara benar, memiliki tatacara melekat (built-in mechanism) untuk menangkal segi-segi negatif itu semua, dan mempunyai potensi untuk memberi itu semua bimbingan yang benar. Sangat banyak yang dapat kita perbincangkan tentang ateisme sebagai problema keagamaan di zaman modern, dan begitu luas implikasinya yang harus ditangani. Namun umat Islam, dengan anggapan memiliki pengertian yang utuh dan benar tentang ajaran agamanya sendiri, boleh merasa aman dan tenteram menghadapi tantangan ateisme, baik yang falsaďŹ , yang praktis dan populer, yang polemis dan yang terselubung. Sebab Islam memiliki potensi untuk mampu mengatasi hal itu semua. Namun hal itu tidaklah berarti kaum Muslim dibenarkan bersikap pasif dan hanya menunggu semuanya itu selesai secara otomatis hanya karena kebetulan mereka beragama Islam. Banyak sekali yang harus dibenahi, khususnya yang berkaitan dengan usaha pengubahan sikap mental masyarakat Islam akibat lamanya zaman berjalan sejak masa-masanya yang otentik dan kreatif. Jika sejarah merupakan sumber petunjuk dan pelajaran — dan memang begitu al-Qur’an mengajarkan kepada kita — maka kenyataannya ialah bahwa umat Islam telah mengalami jatuh-bangun silih-berganti, D 25 E


F NURCHOLISH MADJID G

sama dengan sejarah umat lain mana pun juga, karena sejarah itu memang diatur dan dikuasai oleh sunatullah yang obyektif, immutable, dan tidak tunduk kepada kemauan manusia. Tesis yang biasanya diajukan oleh para pemikir Islam yang kemudian cenderung diterima oleh semua orang Muslim ialah bahwa umat Islam maju karena setia kepada agamanya dan mundur karena meninggalkan agamanya. Muhammad Abduh, seorang pemikir dan pembaru Islam di zaman modern ini, terkenal dengan ucapannya bahwa “Islam tertutup oleh kaum Muslim”. Banyak orang Islam setuju dengan ucapan Abduh itu, dan ikut mengulang-ulanginya di hampir setiap kesempatan. Tapi benarkah kita benar-benar mengerti apa yang dimaksudkannya itu? Lebih penting lagi, benarkah kita tahu dan berbuat sesuatu untuk menangkal apa yang dikhawatirkan Abduh di balik ucapannya itu, yaitu kemunduran? Kecuali tindakan tambal-sulam yang kini tampak di seluruh dunia Islam, dapat dikatakan bahwa kaum Muslim masih tetap dalam kondisi seperti dikatakan oleh Muhammad Abduh, yaitu, kita para penganut Islam telah dan masih bertindak menutupi agama kita sendiri, melalui pemahaman kita yang masih belum tepat (yang telah dimakan oleh perjalanan sejarah selama 15 abad), dan melalui amalan lahiriah kita yang telah menfosil dalam tingkah laku keseharian yang sering tanpa makna. Jadi, dengan melihat apa yang menjadi tantangan ateisme akibat sains dan teknologi ini, sementara benar umat Islam tidak perlu khawatir, namun mereka dihadapkan kepada kerja-kerja besar yang tidak akan ada habisnya. Namun tetap juga harapan kita kepada Allah, dengan menghayati sepenuhnya ajaran-Nya sendiri: “...Jika kamu sekalian (kaum beriman) menderita, maka mereka (orang lain) itu pun menderita juga, namun kamu berharap dari Allah sesuatu yang mereka itu tidak berharap,” (Q 4:104). Dan memang itulah bekal kita menempuh hidup dunia-akhirat: harapan kepada Allah Yang Mahakasih (al-Rahmān) dan Mahasayang (al-Rahm). [ ] D 26 E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI Oleh Nurcholish Madjid

Tiga agama Semitik, juga disebut agama Ibrahimi (Abrahamic religions), yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, mendukung kisah yang hampir sama sekitar Adam, tetapi menginterpretasikannya secara berbeda. Bagi agama-agama Islam dan Yahudi, kisah Adam itu, sungguh pun amat penting, tidak lah menjadi fondasi pandangan teologis yang paling pokok. Agama Kristen, sebaliknya, mendapati kisah Adam itu mencakup bagian yang menjadi tiang pancang teologinya, yaitu khususnya bagian tentang jatuhnya Adam dari surga ke bumi. Inilah yang disebut “Doktrin Kejatuhan” (Doctrine of Fall) yang amat penting dalam sistem kepercayaan Kristen. Islam juga mengakui adanya kejatuhan (Arab: hubūth) Adam dari surga, namun tidak menjadikannya pangkal ataupun bagian dari sistem keimanannya yang pokok. Ini tidak berarti bahwa kisah itu tidaklah penting. Kenyataannya bahwa kisah itu dituturkan dalam al-Qur’an dengan sendirinya menunjukkan makna penting yang terkandung di dalamnya, dengan harapan bahwa kaum beriman dapat menarik pelajaran dari “seberang” (i‘tibār) kisah itu, sesuai dengan maksud dan tujuan semua kisah suci. Kita akan mencoba melihat bagaimana para ulama, khususnya ahli tafsir al-Qur’an, menerangkan makna kejadian dari kisah sekitar Adam itu.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Kisah Sekitar Adam dalam Perjanjian Lama

Dalam Perjanjian Lama, kisah yang merupakan sebuah drama kosmis itu terdapat dalam Kitab Kejadian (Yunani: Genesis; Arab: Takwīn), yaitu bagian pertama dari kitab suci Yahudi dan Kristen. Rukun Iman mewajibkan setiap orang Muslim untuk percaya dengan kitab-kitab suci, yang selain al-Qur’an meliputi pula Taurat, Zabur, dan Injil. Ketiga kitab suci selain al-Qur’an ini oleh agama Kristen dirangkum menjadi satu dalam dua bagian, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi Nabi saw. memperingatkan agar dalam berhubungan dengan kaum Ahli Kitab (dalam hal ini Yahudi atau Kristen), berkenaan dengan masalah agama, kaum Muslim tidak langsung membenarkan atau mendustakannya. Sebab, menurut Nabi saw., boleh jadi kita membenarkannya tapi ternyata keliru, dan boleh jadi kita mendustakannya namun ternyata benar.1 Maka dari itu, sekadar untuk pengetahuan dan bahan perbandingan (tanpa langsung membenarkan atau mendustakan), di sini dikutip bagaimana Kitab Kejadian menuturkan kisah tentang Adam itu. 2:15 Maka diambil oleh Tuhan Allah akan manusia, ditaruhnya dalam taman Eden, supaya diusahakannya dan diperlihatkannya akan dia. 16 Maka berfirmanlah Tuhan Allah kepada manusia, katanya: Adapun buah-buah segala pohon yang dalam taman ini boleh engkau makan sesukamu. 1

Peringatan untuk tidak membenarkan atau mendustakan kaum Ahli Kitab ini terdapat dalam sebuah hadis sahih, dikutip oleh Ibn Taimiyah demikian: Dalam hadis sahih dari Nabi saw., “Jika Ahli Kitab bertutur kepadamu maka janganlah kamu benarkan dan jangan pula kamu dustakan. Mungkin mereka menuturkan sesuatu yang palsu lalu kamu benarkan, mungkin juga mereka menuturkan sesuatu yang benar lalu kamu dustakan”. Lihat Ibn Taimiyah, Iqtidlā’ al-Shirāth al-Mustaqīm li Mukallafāt Ashhāb al-Jahīm, suntingan Dr. Nashir ibn Abd al-Karim al-‘Aql, dua jilid, cetakan pertama, tanpa keterangan tentang badan penerbit dan tempatnya, 1404 H., jilid kedua, h. 812. D2E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

17 Tetapi buah pohon pengetahuan akan hal baik dan jahat itu janganlah engkau makan, karena pada hari engkau makan daripadanya engkau akan mati. 18 Dan lagi berďŹ rmanlah Tuhan Allah demikian: Tiada baik manusia itu seorang-orangnya, bahwa Aku hendak memperbuat akan dia seorang penolong yang sejodoh dengan dia. 19 Karena setelah dijadikan Tuhan Allah akan segala binatang yang di atas bumi dan segala unggas yang di udara daripada tanah, maka didatangkannya sekaliannya itu kepada Adam, hendak melihat bagaimana dinamai Adam akan dia, maka sebagaimana dinamai Adam akan segala nyawa yang hidup itu, begitu juga akan jadi namanya. 20 Lalu dinamai oleh Adam akan segala binatang yang jinak dan akan segala unggas yang di udara dan akan segala margasatwa, akan tetapi bagi manusia tiada didapatinya akan seorang penolong yang sejodoh dengan dia. 21 Maka didatangkan Tuhan Allah atas Adam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia. Maka diambil Allah sebilah tulang rusuknya lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. 22 Maka daripada tulang yang telah dikeluarkannya dari dalam Adam itu, diperbuat Tuhan seorang perempuan, lalu dibawanya akan dia kepada Adam. 23 Maka kata Adam: Bahwa sekarang tulang ini daripada tulangku dan daging ini daripada dagingku; maka ia akan dinamai perempuan, sebab ia telah dikeluarkan dari dalam orang laki-laki adanya. 24 Maka sebab itulah tak dapat tiada orang akan meninggalkan ibubapanya dan berdamping pada istrinya, maka keduanya itu menjadi sedaging jua adanya. 25 Hata, maka keduanya pun bertelanjang tubuhnya, baik Adam baik Hawa, maka tiada malu ia. 3: 1 Sebermula, maka ular itu terlebih cerdik daripada segala binatang di atas bumi yang telah dijadikan Tuhan Allah. Maka kata ular

D3E


F NURCHOLISH MADJID G

kepada perempuan itu: Barangkali ďŹ rman Allah begini: Jangan kamu makan buah-buah segala pohon yang dalam taman ini? 2 Maka sahut perempuan itu kepada ular: Boleh kami makan buahbuah segala pohon yang dalam taman ini. 3 Akan tetapi akan buah pohon yang di tengah taman itu adalah ďŹ rman Allah: Jangan engkau makan atau jamah akan dia, supaya jangan engkau mati. 4 Lalu kata ular kepada perempuan itu: Niscaya tiada kamu akan mati. 5 Melainkan telah diketahui Allah akan hal, jika engkau makan buah itu tak dapat tiada pada ketika itu juga celiklah matamu dan engkau jadi seperti Allah, sebab mengetahui baik dan jahat. 6 Maka dilihat oleh perempuan itu, bahwa buah pohon itu baik akan dimakan dan sedap kepada pemandangan mata, yaitu sebatang pohon asyik akan mendatangkan budi, maka diambilnya daripada buahnya, lalu dimakannya, serta diberikannya pula kepada lakinya, maka ia pun makanlah. 7 Lalu keduanya pun celiklah matanya diketahuinyalah akan hal ia bertelanjang, lalu disematnya daun pokok ara, diperbuatnya cawat. 8 Maka kedengaranlah kepada mereka itu suara Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman pada masa angin silir, maka Adam dan Hawa pun menyembunyikan dirinya dari hadirat Tuhan Allah dalam belukar taman itu. 9 Maka Tuhan Allah berseru akan Adam, katanya: Di manakah engkau? 10 Maka sahut Adam: Bahwa kudengar suaramu dalam taman, maka takutlah aku, karena aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi. 11 Maka ďŹ rman Allah: Siapa gerangan memberi tahu engkau, bahwa engkau telanjang? Sudahkah engkau makan daripada pohon, yang telah kupesan jangan engkau makan buahnya?

D4E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

12 Maka sahut Adam: Adapun perempuan yang telah Tuhan karuniakan kepadaku itu, ia itu memberikan daku buah pohon itu, lalu kumakan. 13 Maka ďŹ rman Tuhan Allah kepada perempuan itu: Apakah ini yang telah kau perbuat? Maka sahut perempuan itu: Si ular itu menipukan daku, lalu aku makan. 14 Maka ďŹ rman Tuhan Allah kepada ular itu: Sebab telah engkau berbuat yang demikian maka terkutuklah engkau daripada segala binatang yang jinak dan daripada segala binatang hutan, maka engkau akan menjulur dengan perutmu, dan engkau pun akan makan lebu tanah sepanjang umur hidupmu. 15 Maka Aku akan mengadakan perseteruan antaramu dengan perempuan ini, dan antara benihmu dengan benihnya; maka ia akan meremukkan kepalamu dan engkaupun akan mematukkan tumitnya. 16 Maka ďŹ rman Tuhan kepada perempuan itu: Bahwa Aku akan menambahi sangat kesusahanmu pada masa engkau mengandung, maka dengan kesusahan pun engkau akan beranak, dan engkau akan takluk kepada lakimu dan ia pun akan memerintahkan dikau. 17 Lalu ďŹ rman Allah kepada Adam: Bahwa sebab telah engkau mendengar akan kata binimu serta sudah makan buah pohon, yang telah kupesan kepadamu jangan engkau makan dia, maka terkutuklah bumi itu karena sebab engkau, maka dengan kesusahan engkau akan makan hasilnya seumur hidupmu. 18 Maka bumi itu akan menumbuhkan bagimu duri dan unak, dan sayur-sayuran di ladang akan menjadi makananmu. 19 Maka dengan berpeluh mukamu engkau akan makan rezekimu sehingga engkau kembali pula kepada tanah karena daripadanya engkau telah diambil; bahwa abulah adamu, maka kepada abu pun engkau akan kembali juga.2 2

Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1960), h. 8-10. (Dikutip dengan perubahan ejaan lama ke ejaan baru Bahasa Indonesia). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Penuturan al-Qur’an tentang Kisah Adam

Jelas sekali ada bagian-bagian dari kisah itu yang bersesuaian dengan kisah dalam Kitab Suci al-Qur’an, dan ada pula yang berbeda. Garis besar kisah itu memiliki persamaan, namun beberapa rincian sama sekali berbeda atau tidak terdapat dalam al-Qur’an. Misalnya, menurut al-Qur’an yang tergoda oleh setan itu adalah sekaligus Adam dan istrinya bersama-sama, dan setan yang menggodanya tidak dilukiskan sebagai seekor ular. Karena Adam dan Hawa melakukan pelanggaran secara bersama, maka beban akibat buruknya pun dipikul bersama, tanpa salah satu menanggung lebih daripada yang lain. Maka dalam al-Qur’an tidak ada semacam kutukan kepada kaum perempuan akibat tergoda itu, seperti kutukan bahwa perempuan akan mengandung dan melahirkan dengan sengsara dan akan ditundukkan oleh kaum lelaki, suami mereka. Juga dengan sendirinya tidak ada kutukan kepada binatang ular. Dalam al-Qur’an, drama kosmis yang menyangkut kejatuhan Adam itu dituturkan dengan pembukaan bahwa Allah memberi tahu para malaikat tentang telah ditunjuknya seorang manusia, yaitu Adam, sebagai khalifah di bumi. Para malaikat mempertanyakan, mengapa manusia yang ditunjuk sebagai khalifah, padahal ia bakal membuat kerusakan di bumi dan banyak menumpahkan darah, sementara mereka sendiri (para malaikat), selalu bertasbih memuji Allah dan menguduskan-Nya. Allah menjawab bahwa Dia mengetahui hal-hal yang para malaikat itu tidak tahu. Kemudian Allah mengajari Adam segala nama dari obyekobyek yang ada. Lalu obyek-obyek itu diketengahkan kepada para malaikat, dan Allah berfirman kepada mereka dengan maksud menguji, agar mereka menjelaskan nama obyek-obyek itu. Para malaikat tidak sanggup, dan mengaku tidak tahu apa-apa kecuali yang diajarkan Allah kepada mereka. Kemudian Adam diperintah Allah untuk menjelaskan nama obyek-obyek itu, dan Adam pun melakukannya dengan baik. Maka Allah berfirman kepada para D6E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

malaikat, menegaskan bahwa Dia mengetahui hal-hal yang mereka tidak ketahui. Setelah terbukti keunggulan Adam atas para malaikat, Allah memerintahkan mereka untuk bersujud kepada Adam. Mereka semua pun bersujud, kecuali Iblis. Ia ini besikap menentang (abā) dan menjadi sombong (istakbar), sehingga ia pun tergolong kelompok yang ingkar (kāfir). Drama pun berlanjut, dengan perintah Allah kepada Adam dan istrinya, Hawa, untuk tinggal di surga (jannah, kebun) dan menikmati segala makanan yang ada di sana sesuka hati. Namun keduanya dipesan agar tidak mendekati sebuah pohon tertentu. Jika mereka mendekatinya, maka mereka akan tergolong orang-orang yang berdosa (zhālim). Tetapi setan menggoda mereka berdua (azallahumā, membuat mereka tergelincir), dan Allah pun memerintahkan keduanya keluar dari surga. Allah berfirman kepada Adam dan istrinya, serta kepada setan yang menggodanya, agar semuanya turun (ke bumi). Mereka akan saling bermusuhan, dan di bumilah mereka akan tinggal dan bersenang-senang sejenak sampai saat tertentu, yaitu saat kematian perorangan atau kiamat besar tiba. Kemudian Adam berusaha mendapatkan (talaqqā) pelajaranpelajaran (kalimāt) dari Tuhan, lalu Tuhan pun mengampuninya, sebab Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Namun Tuhan tetap menegaskan bahwa mereka semua harus turun dari surga, sambil dijanjikan bahwa siapa saja dari mereka yang mendapatkan petunjuk dari Dia serta mengikutinya maka mereka tidak perlu takut dan tidak perlu khawatir. Sedangkan mereka yang ingkar kepada ajaran-ajaran Tuhan, mereka akan menjadi penghuni neraka, dan kekal di dalamnya.3 Di tempat lain dalam Kitab Suci, penuturan drama kosmis itu dimulai tidak dengan pemberitahuan Allah kepada para malaikat 3

Penuturan tentang drama kemanusiaan dan kosmis yang amat terkenal ini dapat kita baca selengkapnya dalam Q 2:30-39. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

bahwa Dia telah mengangkat seorang khalifah di bumi, melainkan bahwa Dia telah menciptakan manusia dari tanah liat yang hitam dan yang dibuat dalam bentuk tertentu. Kemudian setelah Allah menyempurnakan bentuk itu dan meniup ke dalamnya sesuatu dari Ruh-Nya, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Semua malaikat bersujud, kecuali Iblis. Ketika ditanya mengapa ia tidak mau bersujud, Iblis menjawab bahwa tidak sepatutnya ia bersujud kepada manusia yang terbuat dari tanah (lihat Q 15:28-44). Dituturkan bahwa Iblis mengaku lebih baik (lebih tinggi derajatnya) daripada Adam, sebab ia sendiri terbuat dari api sedangkan Adam terbuat dari tanah.4 Di tempat lain lagi dalam Kitab Suci dijelaskan bahwa sesungguhnya Adam telah diberi peringatan sebelumnya, namun ia lupa dan tidak memiliki keteguhan hati. Yaitu peringatan bahwa Iblis yang menolak untuk bersujud kepadanya itu adalah musuh baginya dan bagi istrinya, maka janganlah ia menyebabkan mereka berdua keluar dari surga. Adam diingatkan bahwa di surga itu ia tidak akan menderita lapar, juga tidak akan telanjang. Juga ia tidak akan kehausan, tidak akan pula kepanasan. Tetapi setan berhasil membujuk dengan mengatakan bahwa ia hendak menunjukkan Adam pohon keabadian (syajarat al-khuld) dan kekuasaan (mulk) yang tidak bakal sirna. Maka setelah Adam dan istrinya memakan buah pohon terlarang itu, keduanya pun menyadari bahwa aurat mereka tampak mata (telanjang), kemudian segera mengambil dedaunan surga untuk menutupinya. Dengan begitu Adam ingkar kepada Tuhannya dan menyimpang. Tuhan tetap memilih Adam (menunjukkan kasih atau rahmatNya), kemudian diampuni dan diberinya petunjuk. Namun Adam dan istrinya tetap diperintahkan untuk turun dari surga, dengan peringatan bahwa mereka (yakni, umat manusia anak turun keduanya) akan bermusuhan di bumi. Allah menjanjikan akan memberi mereka 4

Untuk gambaran tentang kesombongan Iblis yang “rasialis� itu, lihat Q 7:12 dan 38:76. D8E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

petunjuk lebih lanjut. Maka barangsiapa mengikuti petunjuk itu ia tidak akan sesat dan tidak akan sengsara hidupnya. Sebaliknya, yang berpaling dari petunjuk itu akan mengalami kehidupan yang sempit-sesak dan nanti di Hari Kiamat akan buta jalan (lihat Q 20:116-124).

Tafsir Unsur-unsur Kisah

Kita perhatikan, kisah tentang Adam itu mencakup beberapa unsur: Adam sendiri, istrinya, surga, kekhalifahan, malaikat, Iblis, pohon terlarang, godaan, pelanggaran, hal Adam dan istrinya telanjang, pengusiran (yang pertama) dari surga, ajaran Tuhan, ampunan Tuhan, pengusiran (yang kedua) dari surga, peran setan di bumi sampai Hari Kiamat, perjuangan manusia. Masing-masing unsur itu sarat dengan makna dan tafsiran. Para ulama mencoba menerangkan masing-masing itu kurang lebih demikian: Tentang Adam, sejauh ini yang dipercayai oleh kaum Muslim, seperti juga yang dipercayai oleh kaum Yahudi dan Nasrani, ialah bahwa dia adalah bapak umat manusia (abū al-basyar). Ia diciptakan dari tanah yang dibuat menurut bentuk tertentu (masnūn), dan setelah lengkap bentukan itu maka ditiupkan ke dalamnya sesuatu dari ruh kepunyaan Tuhan. Manusia diciptakan dari pribadi yang tunggal (min nafs-in wāhidah), kemudian daripadanya diciptakan jodoh-jodohnya, dan dari jodoh-jodoh itu dijadikanlah seluruh umat manusia, lelaki dan perempuan (lihat Q 4:1).Keturunan Adam (dan Hawa) sendiri tidak lagi dibuat dari tanah, tetapi dari “air yang menjijikkan” (sperma dan ovum). Tapi sama dengan Adam, setelah proses pembentukan janin itu sampai kepada tahap yang lengkap, maka ditiupkan Allah ke dalamnya sesuatu dari ruh milik-Nya, dan dibuatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan pikiran (fu’ād, jamak: af ’idah) (lihat Q 32:7-9).

D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Hawa adalah istri Adam, ibu umat manusia. Dalam al-Qur’an nama pribadi Hawa itu tidak disebutkan. Hanya disebutkan bahwa Adam mempunyai seorang istri. Juga tidak disebutkan bagaimana Hawa itu diciptakan. Menurut Hamka, kepercayaan umum bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk lelaki bukan berasal dari al-Qur’an, melainkan dari beberapa hadis, oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi Hamka meragukan apakah benar hadis itu harus diartikan bahwa Hawa memang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Yang jelas, kata Hamka, hadis-hadis itu mengingatkan kita semua tentang tabiat wanita. Dan Nabi memberi petunjuk tentang bagaimana menangani tabiat itu, yang petunjuk itu, kata Hamka selanjutnya, harus diterima dan diamalkan dengan penuh rendah hati.5 Perkataan dalam al-Qur’an yang kita terjemahkan dengan surga (dari bahasa Sanskerta) ialah jannah. Makna lain perkataan itu ialah kebun atau taman.6 Para ulama berselisih surga mana yang dimaksud sebagai tempat Adam dan Hawa itu: apakah sama atau tidak dengan surga yang dijanjikan untuk kaum beriman kelak di Hari Kemudian? Jika sama, mengapa dalam surga Adam dan Hawa itu terdapat pembangkangan, malah setan pun ada di sana, padahal dalam al-Qur’an digambarkan bahwa dalam surga kelak tidak ada lagi pembicaraan sia-sia atau kotor, apalagi pembangkangan kepada Allah. Yang ada ialah kedamaian sempurna yang abadi (lihat Q 56:25-26). Jika tidak sama, lalu di mana sesungguhnya surga Adam dan Hawa itu? Pendapat dan tafsiran masih tetap bermacammacam, meskipun jelas bahwa surga Adam dan Hawa itu adalah tempat yang menyenangkan: makanan berupa buah-buahan yang 5

Lihat pembahasan yang panjang lebar dan menarik dalam Hamka, Tafsir al-Azhar, 30 juz (Yayasan Nurul Islam, tanpa keterangan tempat dan tahun), juz 1, h. 165-170. 6 Maka A. Hasan, misalnya, menjelaskan arti jannah itu dengan kebun atau surga. (Lihat A. Hassan, al-Furqān, Tafsir Quran, edisi luks [Bangil: Persatuan, 1406 H], catatan 38, h. 10). Dan Hamka menerjemahkan jannah itu dengan taman. (Lihat Hamka, juz 1, h. 163). D 10 E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

melimpah, tidak ada kelaparan maupun kehausan, juga tidak ada hal telanjang, dan manusia tidak akan kepanasan. Masalah kekhalifahan Adam, dan dalam hal ini begitu juga kekhalifahan manusia, adalah masalah yang sangat penting dalam ajaran al-Qur’an, dan banyak dibahas. Dari pendekatan bahasa, perkataan Arab khalīfah berarti orang yang datang kemudian atau di belakang, karena itu digunakan dalam makna “pengganti” atau “wakil” (dalam bahasa Inggris perkataan itu diterjemahkan dengan “vicegerent”). Jadi makna penunjukan manusia, dimulai dengan Adam, sebagai khalifah Allah di bumi ialah bahwa manusia harus “meneruskan” ciptaan Allah di planet ini, dengan mengurusnya dan mengembangkannya sesuai dengan “mandat” yang diberikan Allah. Tentu saja manusia tidak dibenarkan melanggar atau melalaikan mandat itu, baik bentuk lahir maupun, apalagi, semangatnya. Dan semua yang ada di bumi ini, bahkan apa yang ada dalam seluruh langit, diciptakan Allah untuk manusia, sebagai rahmat dari Dia, yang harus selalu dipikirkan tanda-tandanya oleh manusia sendiri.7 Drama kosmis Adam dan Hawa menyangkut para malaikat yang diperintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam, serta siapakah sebenarnya para malaikat itu, sebaiknya kita simak saja uraian Yusuf Ali yang sangat menarik dan memadai bagi kita: It would seem that angels, though holy and pure, and endued with power from God, yet represented only one side of Creation. We may imagine them without passion or emotion, of which the highest flower is love. If man was to be endued with emotions, those emotions could lead him to the highest and drag him to the lowest. The power of will or choosing would have to go with them, in order that man might steer his own bark. This power of will (when used 7

“Dia telah menundukkan (memudahkan) bagi kamu apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi, semuanya dari Dia. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” (Q 45:13). D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

aright) gave him to some extent a mastery over his own fortunes and over nature, thus bringing him nearer to the God-like nature, which has supreme mastery and will. We may suppose the angels had no independent will of their own: their perfection in other ways reflected God’s perfection but could not raise them to the dignitiy of vicegerency. The perfect vicegerent is he who has the power of initiative himself, but whose independent action always reflects perfectly the will of the Principal. The distinction is expressed by Shakespeare (Sonnet 94) in those fine lines: “They are the lords and owners of their faces. Others but stewards of their excellence.” The angels in their one-sidedness saw only the mischief consequent on the misuse of the emotional nature by man; perhaps they also, being without emotions, did not understand the whole of God’s nature, which gives and asks for love. In humility and true devotion to God, they remonstrate: we must not imagine the least tinge of jealousy, as they are without emotion. This mystery of love being above them, they are told that they do not know, and they acknowledge (in ii, 32 below) not their fault (for there is no question of fault) but their imperfection of knowledge. At the same time, the matter is brought home to them when the actual capacities of man are shown to them (ii, 31, 33).8 (Agaknya para malaikat itu, meskipun suci dan murni, serta dikaruniai kemampuan dari Tuhan, namun mewakili hanya satu sisi dari penciptaan. Kita dapat membayangkan mereka itu tidak mempunyai emosi ataupun nafsu, yang puncak perkembangan emosi atau nafsu itu ialah cinta. Kalau manusia dikaruniai emosi, emosi itu dapat membimbingnya ke puncak paling tinggi atau menyeretnya ke lembah yang paling hina. Kekuatan berkemauan atau berpilihan akan berjalan seiring dengan emosi tersebut, agar manusia dapat mengemudikan perahunya sendiri. Kekuatan kemauan ini [jika digunakan dengan benar] sampai batas tertentu memberinya suatu 8

A. Yusuf Ali, The Qur’an, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H), catatan 47, h. 24. D 12 E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

kekuasaan atas nasibnya sendiri dan atas alam, dengan begitu membawanya lebih dekat kepada sifat Ketuhanan, yang memiliki kekuasan dan kemauan yang tertinggi. Kita dapat menduga bahwa malaikat itu tidak memiliki kemauan sendiri yang bebas: dari segi lain, kesempurnaan mereka mencerminkan kesempurnaan Tuhan namun tidak dapat mengangkat mereka kepada kehormatan sebagai khalifah. Khalifah yang sempurna ialah dia yang memiliki kemampuan berinisiatif sendiri, tetapi yang tindakan bebasnya senantiasa mencerminkan kemauan Sang Kepala (Principal, yakni, Tuhan sebagai pemberi “mandat” kekhalifahan — NM). Perbedaan itu dinyatakan oleh Shakespeare (Sonnet 94) dalam baris-baris indah: “Merekalah tuan-tuan dan pemilik wajah-wajah mereka. Yang lainnya adalah pelayan keunggulan mereka itu.” Para malaikat dalam keadaannya yang hanya sesisi itu melihat hanya akibat buruk penyalahgunaan kekuataan emosi oleh manusia; barangkali juga mereka itu, karena tanpa emosi, tidak memahami keseluruhan alam ciptaan Tuhan, yang alam itu memberi dan menuntut cinta. Dalam kerendahan hati dan kebaktian yang tulus kepada Tuhan, para malaikat bersujud: kita tidak boleh membayangkan adanya sedikit pun kecemburuan, karena mereka tidak mempunyai emosi. Misteri cinta itu berada di atas kemampuan mereka, dan diberitahu bahwa mereka tidak tahu, dan mereka mengakui (dalam 2:32) bukan tentang adanya kesalahan (karena tidak ada masalah kesalahan di sini), melainkan tentang tidak sempurnanya pengetahuan mereka. Pada saat yang sama, persoalan itu diingatkan kembali kepada mereka ketika kemampuan sebenarnya manusia diperlihatkan kepada mereka (2:31, 33).

Jadi malaikat adalah makhluk kesucian, namun berhakikat hanya satu sisi, yaitu sisi kesucian itu sendiri sebagai akibat kebaktiannya yang penuh kepada Tuhan. Sisi lain yang tidak ada pada mereka ialah emosi. Emosi itu ada pada manusia. Ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tapi juga dapat mendorong D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

manusia mencapai puncak kemuliaan yang sangat tinggi.9 Maka ketika para malaikat mempertanyakan mengapa manusia yang bakal diangkat sebagai khalifah padahal manusia itu akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah — sementara mereka sendiri selalu berbakti kepada Tuhan — ditafsirkan sebagai bukti keadaan hakekat mereka yang hanya satu sisi itu. Dengan tepat para malaikat melihat kekuatan emosi manusia sebagai sumber bencana, tetapi mereka gagal melihatnya sebagai sumber tenaga ke arah keluhuran jika digunakan secara benar dan baik. Termasuk usaha ke arah keluhuran itu ialah meraih ilmu pengetahuan. Emosi menyangkut kemampuan membuat pilihan baik dan buruk. Dan dasar pilihan itu antra lain ialah pengetahuan tentang kenyataan sekeliling. Inilah keunggulan penting Adam atas para malaikat, yang kelebihan itu diketahui Allah namun tidak diketahui para malaikat. Atas adanya keunggulan itu maka Allah memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam, sebagai pengakuan bahwa Adam, khalifah Allah itu, memang lebih tinggi dari mereka, dan bahwa pengetahuan mereka sendiri tidaklah sempurna. Ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, semuanya patuh kecuali Iblis. Siapa Iblis itu, juga merupakan bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang mengatakan bahwa Iblis, sebagaimana dapat dipahami semata-mata dari konteks perintah Tuhan kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam, adalah salah satu dari para malaikat itu sendiri, namun yang kemudian mengalami “kejatuhan”. Tapi juga ada keterangan dalam Kitab Suci bahwa Iblis itu termasuk bangsa jin, yang kemudian menentang perintah Tuhannya (lihat Q 9

Dalam Q 12:53 dijelaskan, melalui ucapan seorang wanita (Zulaikha?) dari kerajaan Fir‘aun yang pernah menggoda Yusuf putra Ya’qub, bahwa emosi atau nafsu itu tidak boleh dilepaskan dengan bebas karena akan dengan kuat mendorong kepada kejahatan, kecuali jika mendapatkan rahmat dari Tuhan (yang dengan rahmat itu nafsu justru akan mendorong kepada kebaikan atau “prestasi” keunggulan). D 14 E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

18:50).Dan jin sendiri, seperti halnya manusia, ada yang beriman dan ada yang kaďŹ r (lihat Q 72:14-15).Dan Iblis adalah kaďŹ r, serta tergolong setan. Jadi Iblis itulah setan yang menggoda Adam dan Hawa sehingga tergelincir dan melanggar larangan Tuhan. Maka Ibilis adalah setan, musuh manusia (lihat Q 20:117). Dalam surga, kebun atau taman yang menyenangkan itu, Adam dan istrinya diberi kebebasan memakan buah-buahan apa saja, kecuali sebuah pohon tertentu. Dalam Kitab Kejadian, sebagaimana telah dikutip di atas, pohon terlarang itu adalah pohon pengetahuan tentang baik dan jahat. Sedangkan dalam al-Qur’an ada gambaran, meskipun hanya melalui ucapan setan yang hendak menggoda Adam dan Hawa, bahwa pohon itu adalah pohon keabadian dan kekuasaan atau kerajaan (mulk) yang tidak akan sirna. Karena pelukisan itu melalui ucapan setan yang hendak menyesatkan manusia, maka harus dipahami sebagai penipuan dan dusta. Sebab nyatanya memang demikian: setelah Adam dan Hawa memakan buah pohon terlarang itu, berbeda dari keterangan setan yang menggodanya, keduanya tidaklah menjadi abadi, juga tidak mendapatkan kerajaan yang tidak bakal sirna. Keduanya malah mendapat murka Allah dan diusir dari tempat yang menyenangkan. Karena itu, menurut Muhammad Asad, penggambaran oleh setan tentang pohon terlarang itu sebagai pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak akan sirna adalah bagian dari godaannya kepada Adam dan Hawa, dan tujuannya hanyalah untuk menyesatkan mereka berdua. Dan penyesatan itu sendiri sangat mengena: Adam dan Hawa ternyata tergoda karena ingin dapat hidup selama-lamanya, hidup abadi tanpa mati, dan tergiur kepada kekuasaan atau kerajaan yang tidak bakal sirna. Padahal kedua-dua hal itu palsu. Allah tidak menjadikan kehidupan abadi pada manusia, tidak pula menciptakan kekuasaan manusia yang tak bakal sirna. Sementara itu al-Qur’an tidak menjelaskan apa sebenarnya pohon terlarang itu. Karena itu sebagian ulama, seperti Muhammad Asad, berpendapat bahwa pohon terlarang itu adalah D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

alegori tentang batas yang ditetapkan Allah bagi manusia dalam mengembangkan keinginan dan tindakannya, suatu batas yang tidak boleh dilanggar sebab akan membuat manusia melawan sifat dasar dan tabiatnya sendiri yang telah ditetapkan Allah. Keinginan seseorang untuk hidup abadi adalah cermin penolakannya kepada adanya Hari Kemudian. Dan penolakan kepada adanya Hari Kemudian itu adalah cermin sikap hidup tidak bertanggung jawab, mementingkan diri sendiri, dan kecenderungan tiranik. Maka orang serupa itu juga menginginkan kerajaan atau kekuasaan yang tidak bakal sirna.10 Sungguh, menurut al-Qur’an, setiap orang mempunyai kecenderungan tiranik, saat ia melihat dirinya serba-berkecukupan, tidak perlu kepada masyarakat (lihat Q 96:6-7).Jadi juga mengandung arti merasa mampu hidup tanpa gangguan, abadi, dan tidak akan sirna, seperti sikap mereka yang digambarkan dalam al-Qur’an sebagai ingin hidup seribu tahun (lihat Q 2:96). Begitulah makna godaan kepada Adam dan Hawa oleh setan, dan demikian pula arti pelanggarannya terhadap larangan Allah. Setelah melanggar itu, Adam dan Hawa menjadi sadar bahwa mereka telanjang. Dalam Kitab Suci dapat kita baca gambaran yang artinya kurang lebih demikian: “Maka setan pun menggoda keduanya, agar kepada keduanya ditampakkan apa yang (selama ini) tersembunyikan dari keduanya, yaitu aurat mereka. Dan setan itu berkata: ‘Tuhanmu tidaklah melarang kamu berdua dari pohon ini melainkan (agar kamu tidak) menjadi dua malaikat atau kamu menjadi abadi.’ Setan pun bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya aku termasuk mereka yang memberi nasehat.’ Maka keduanya itu pun digiringnya kepada penipuan. Ketika keduanya telah merasakan (buah) pohon itu, tampak pada keduanya

10

Muhammad Asad, The Message of the Quran (London: E. J. Brill, 1980), catatan 106, h. 484. D 16 E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

aurat mereka, dan mulailah keduanya menutupi diri mereka dengan dedaunan surga....,� (Q 7:20-22).

Jadi kesadaran tentang diri sendiri sebagai telanjang itu adalah akibat pelanggaran terhadap larangan Tuhan. Sebelum itu manusia tidak manyadarinya. Menurut Muhammad Asad lagi, ini berarti manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri dan kemungkinan harus membuat pilihan yang tidak gampang antara berbagai jalan tindakan, dengan godaan yang selalu hadir untuk menuju kepada kejahatan dan kemudian mengalami derita kesengsaraan akibat pilihan yang salah.11 Oleh karena itulah, dalam deretan ďŹ rman Allah yang menuturkan kisah Adam dan Hawa ini, manusia diingatkan bahwa Allah memang telah menciptakan pakaian untuk menutupi aurat mereka, namun pakaian takwa adalah pakaian yang lebih baik. Itulah bagian dari pelajaran dari Tuhan yang hendaknya direnungkan oleh manusia secara sungguh-sungguh (lihat Q 7:26). Sebab dengan takwa, yaitu kesadaran penuh dan mendalam akan kehadiran Tuhan dalam hidup manusia yang serba-mengawasi dan meneliti segala tindakannya, seseorang dapat mencegah dirinya dari ketelanjangan spiritual. Karena pelanggaran mereka itu, Adam dan Hawa diperintahkan turun dari surga, diusir ke bumi. Dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, ini adalah pengusiran yang pertama. Setelah pengusiran itu Adam berusaha mendapatkan ajaran-ajaran Tuhan, kemudian mendapatkannya, menjalaninya, dan akhirnya diampuni. Namun sesudah diampuni, masih juga Adam dan Hawa diperintahkan turun dari surga. Jadi ada dua kali perintah kepada Adam dan Hawa untuk keluar dari tempat tinggalnya yang menyenangkan itu. Tentang adanya perintah turun yang dua kali itu, Fakhruddin al-Razi dalam kitab tafsirnya menyebutkan pendapat al-Jubba’i yang mengatakan bahwa perintah yang pertama adalah perintah turun dari surga ke langit dunia, dan perintah yang kedua adalah perintah 11

Asad, op. cit., catatan 14, h. 205 D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

turun dari langit itu ke bumi. Al-Razi menolak tafsiran ini, dan berpendapat bahwa Adam dan Hawa, setelah melanggar larangan, diperintahkan untuk turun dari surga, lalu mereka bertobat, dengan harapan bahwa setelah diampuni maka perintah turun dari surga itu ditarik. Sebab Adam dan Hawa mengira, begitu kata al-Razi, bahwa perintah turun itu sebagai hukuman karena pelanggarannya. Ternyata Tuhan masih juga memerintahkan keduanya untuk turun. Ini, menurut al-Razi, adalah penegasan bahwa perintah kepada Adam dan Hawa untuk turun dari surga itu bukanlah sebagai hukuman atas pelanggaran mereka berdua, melainkan justru untuk melaksanakan janji Tuhan yang mula pertama, yaitu pengangkatan Adam sebagai khalifah-Nya di bumi.12 Dari drama kosmis itu diketahui bahwa permusuhan antara manusia dan setan telah terjadi semenjak mula pertama penciptaan mereka oleh Allah. Dalam diri manusia senantiasa ada ketegangan tarik-menarik antara kekuatan kebaikan dan kekuatan kejahatan. Seperti dikatakan Yusuf Ali, ketegangan itu berpangkal pada adanya emosi pada manusia, yang dapat mendorongnya kepada kebaikan dan kepada kejahatan sekaligus. Di muka telah dikutip firman Allah bahwa nafsu manusia dapat membawanya kepada bencana, tapi nafsu itu dengan rahmat Allah juga dapat membawanya kepada kebajikan. Dan sejak penciptaannya, manusia telah diberi kesadaran tentang kejahatan dan keburukan (lihat Q 91:7-8). Juga telah diberi petunjuk oleh Tuhan tentang adanya dua jalan hidup, yang benar dan yang salah, namun manusia enggan menempuh jalan yang sulit, yaitu jalan kebenaran (lihat Q 90:10-11). Dorongan untuk mencari jalan yang mudah itu membuat manusia terbuka kepada godaan-godaan. Tugas untuk menggoda itulah “konsesi” yang diberikan oleh Tuhan kepada setan yang terkutuk, sampai Hari Kiamat.

12

Fakhruddin al-Razi, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī (al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātīh al-Ghayb), 32 jilid (Dar al-Fikr, 1405/1985), jil. 3, h. 28. D 18 E


F MAKNA KEJATUHAN MANUSIA KE BUMI G

Dari uraian di atas kiranya tampak bahwa sesungguhnya drama yang menyangkut Adam sehingga jatuh terusir dari surga dapat dikatakan sebagai bagian dari Rancangan Besar (Grand Design) Ilahi. Ia adalah bagian dari skenario penobatan manusia sebagai penguasa bumi, yang bertugas membangun dan mengembangkan bumi ini atas nama Allah (bismi ’l-Lāh, yakni, dengan penuh tanggung jawab kepada Allah, dengan mengikuti pesan dalam “mandat” yang diberikan kepadanya). Kelak di Akhirat, pada saat menghadap Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kinerjanya menjalankan mandat sebagai khalifah-Nya di bumi itu. Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahan yang baik dan “sukses” bukanlah perkara mudah. Kecenderungan dan godaan untuk mencari “jalan pintas” yang gampang dengan mengabaikan pesan dan mandat dari Tuhan, selalu hinggap dalam diri manusia. Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup dan keinsyafan akan datangnya masa pertanggungjawaban mutlak kelak di Akhirat, membuat manusia terlindungi dirinya dari ketelanjangan spiritual dan moral yang tercela. Itulah pakaian takwa yang mesti dikenakan manusia setiap saat dan tempat. Dan itulah sebaik-baik proteksi dari noda ruhani. Patut kita perhatikan bahwa sekalipun Adam, lebih daripada para malaikat, mampu meraih ilmu pengetahuan (mampu menerima pelajaran dari Tuhan untuk mengidentifikasi segala yang ada), namun secara moral ia masih dapat jatuh dengan melanggar batas ketentuan Tuhan. Jadi ilmu tidak menjamin keselamatan manusia. Untuk keselamatan itu manusia perlu kepada sesuatu yang lain, yang lebih tinggi daripada ilmu, yaitu “pakaian takwa” tersebut. Seandainya Adam dan Hawa tetap berada dalam taman firdaus yang serba-menyenangkan dan tanpa tantangan, maka manusia akan hidup tanpa “promosi”, tidak ada peningkatan. Mungkin manusia akan hidup tenang, namun palsu. Sebab sesungguhnya ia “telanjang”, tapi tidak menyadarinya. Kesadaran akan ketelanjangan diri adalah permulaan dari perjuangan ke arah perbaikan. Ia D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

merupakan permulaan peningkatan menuju martabat kemanusiaan yang lebih sempurna. Itulah perjuangan hidup kita semua selaku anak-cucu Adam dan Hawa: menempuh hidup waspada dan penuh tanggung jawab dengan selalu ingat kepada Tuhan, menyadari ketelanjangan diri, melawan kecenderungan melanggar batas, dan menangkal godaan menempuh jalan mudah dari setan yang sepintas-lalu menggiurkan. [™]

D 20 E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

MAKNA HIDUP BAGI MANUSIA MODERN Oleh Nurcholish Madjid

Pembicaraan tentang manusia modern dan masalah makna hidup telah banyak dilakukan orang, dalam berbagai kesempatan. Tetapi karena persoalannya begitu besar dan pentingnya, maka ia tidak akan pernah habis dibicarakan. Bahkan boleh dikata bahwa seluruh sejarah umat manusia adalah wujud dari rentetan usahanya menemukan hakikat diri dan makna hidup. Sebab dalam adanya rasa dan kesadaran akan makna hidup itulah kebahagian dapat terwujud, baik secara pribadi maupun sosial. Manusia modern menghadapi persoalan makna hidup karena beberapa hal. Di antaranya ialah tekanan yang amat berlebihan kepada segi material kehidupan. Kemajuan dan kecanggihan dalam “cara” (baca: teknik) mewujudkan keinginan memenuhi hidup material yang merupakan ciri utama zaman modern ternyata harus ditebus manusia dengan ongkos yang amat mahal, yaitu hilangnya kesadaran akan makna hidup yang lebih mendalam. Definisi “sukses” dalam perbendaharaan kata manusia modern hampir-hampir identik hanya dengan keberhasilan mewujudkan angan-angan dalam bidang kehidupan material. Ukuran “sukses” dan tidak sukses kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa jauh orang bersangkutan menampilkan dirinya secara lahiriah, dalam kehidupan material.

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Kesesatan Materialisme Modern

Dalam percakapan sehari-hari, perkataan “materialisme” yang sering dikaitkan dengan gaya hidup modern tidaklah dimaksudkan sebagai suatu pandangan kefilsafatan seperti yang ada dalam, misalnya Marxisme (yaitu materialisme sebagai lawan idealisme). Materialisme orang modern ialah suatu etos yang memandang kebahagiaan manusia dan harga dirinya ada dalam penampilanpenampilan fisik dan lahiriah, berdasarkan kekayaan material, meskipun orang itu sepenuhnya percaya kepada yang gaib atau “immaterial”. Maka timbul ironi bahwa orang pergi ke dukun — yang dipandang memiliki “kekuatan gaib” — sebagai bagian dari usaha memperoleh kekayaan material, yang lebih banyak; mereka yang “materialis” secara ideologis, seperti kaum Marxis, tidak akan pergi ke dukun, karena tidak percaya kepada yang gaib, yang “immaterial”. Tetapi materialisme dalam arti gaya hidup kebendaan bukanlah monopoli orang zaman modern. Kitab Suci al-Qur’an banyak memperingatkan umat manusia, antara lain melalui penuturan kisah kejadian masa lampau, tentang bahaya gaya hidup serbakebendaan. Kisah tentang Qarun, misalnya, dimaksudkan untuk menyampaikan pesan moral tentang kemungkinan merosotnya harkat dan martabat kemanusiaan karena gaya hidup serba-kebendaan itu, dengan sikap angkuh dan tidak peduli kepada kelompok manusia yang kurang beruntung dalam masyarakat. Dan pesan moral itu juga disampaikan secara langsung, dengan peringatanperingatan, salah satunya adalah firman Allah yang terjemahnya kurang lebih seperti berikut: “Ingatlah (manusia), kamu bahkan tidak pernah memuliakan anak yatim, dan tidak dengan tegas saling mendorong untuk memberi makan kepada orang miskin, kemudian kamu memakan (harta) warisan (manusia) dengan penuh ketamakan, dan kamu cinta harta itu habishabisan,” (Q 89:17-20). D2E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

Agaknya gaya hidup kebendaan manusia modern sangat mencocoki semangat di balik peringatan Tuhan itu. Yaitu gaya hidup yang serba-berpusat kepada diri sendiri, dan mengabaikan masyarakat sekeliling. Jika perbincangan kita sehari-hari sering menyebut egoisme dan individualisme (dalam artian egoisme itu), maka sebetulnya kita mengidap kekhawatiran yang mendalam terhadap pola hidup kebendaan yang berlebihan. Tidak jarang kita merasa telah menjadi “segala-galanya” hanya karena kita telah mengonsumsi kekayaan yang melimpah. Konsumerisme menjadi kebanggaan, kemudian menjadi tumpuan rasa harga diri yang tidak pada tempatnya. Penilaian orang kepada diri kita, kita pertaruhkan kepada tampilan-tampilan lahiriah yang “mahal” dan mewah. Berkenaan dengan kesesatan ini lagi, cobalah kita simak firman Allah, demikian: “Sungguh Kami telah ciptakan manusia dalam kesusahan. Apakah ia mengira, tiada siapa pun yang berkuasa atas dirinya?! Ia berkata: ‘Aku telah habiskan harta yang melimpah ruah.’ Apakah ia mengira, tiada siapa pun yang melihatnya?!” (Q 90:4-7).

Dari ajaran Kitab Suci itu kita mengetahui bahwa kesesatan gaya hidup serba-kebendaan terpatri dalam diri manusia sebagai unsur kelemahannya. Dan kelemahan manusia itu membuatnya semakin tidak berdaya menghadapi godaan mudahnya memperoleh kelimpahan material (bagi mereka yang berada pada saat dan tempat yang “tepat” atau, dalam slang kita, ada di tempat yang “basah”) di zaman modern ini.

Materialisme dan Persoalan Makna Hidup

Gaya hidup seba-kebendaan di zaman modern ini adalah sumber pokok persoalan manusia dalam menemukan dirinya dan makna hidupnya yang lebih mendalam. Etos kesuksesan materialis sebagaimana menjadi pandangan manusia zaman modern telah D3E


F NURCHOLISH MADJID G

menjadi berhala baru yang menghalangi manusia dari kemampuan kenyataan yang lebih hakiki di balik benda-benda, yaitu kenyataan ruhani. Etos kesuksesan telah menjadi agama pengganti (ersatz religion) dan tidak resmi (illicit), namun secara efektif membelenggu ruhaninya. Orang pun mengejar sukses kebendaan “religiously”, bagaikan menjalani hidup keagamaan dengan ciri curahan dan pengerahan perhatian yang sempurna. Hendaknya tidak terjadi salah paham: agama Islam sangat menghargai kerja keras dan kekayaan yang membuat seorang beriman menjadi kuat.1 Agama juga tidak melarang penggunaan barang-barang indah dan bagus (seperti barang-barang perhiasan) (lihat Q 7:32), dan Allah menciptakan alam raya seisinya ini sebagai sesuatu yang indah dan rapi (lihat Q 67:3), lagi pula Allah adalah Yang Mahaindah dan menyukai hal-hal yang indah.2 Akan tetapi sangat jelas bahwa Allah tidak meridakan kemewahan dan sikap hidup tidak peduli kepada kepentingan orang banyak. Maka gaya hidup kebendaan an sich tidaklah terlarang, jika dijalankan dengan tetap sepenuhnya menginsafi fungsi sosial harta kekayaan. Dan potensi ke arah yang tidak benar itu selalu ada pada manusia modern karena, seperti dikemukakan di atas, etos kesuksesan dalam mengejar kekayaan material begitu rupa menguasai hidup manusia sehingga terkecoh oleh kehidupan rendah di dunia ini dan melupakan kehidupan yang lebih tinggi, yaitu akhirat, yang bertitik-berat kepada keruhanian. Karena itu selalu diingatkan 1

Sebuah hadis menuturkan sabda Nabi saw., “Orang beriman yang kuat adalah lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang beriman yang lemah, namun pada keduanya tetap terdapat kebaikan.” (Lihat kutipan hadis ini oleh Ibn Taimiyah dalam Minhāj al-Sunnah, suntingan Dr. Muhammad Rasyad Salim, 9 jilid, (?): Mu’assasat Qurthubah, 1406 H/1986 M, jil. 6, h. 28. Riwayat mengatakan bahwa hadis ini berkaitan dengan kasus adanya seorang sahabat Nabi seperti Abdurrahman ibn Awf, yang seorang pedagang sukses dan kaya raya, dan Abu Dzarr al-Ghifari, seorang sahabat yang hidupnya prihatin dan asketik. 2 Sebuah hadis terbaca, yang artinya: “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah, dan menyukai keindahan.” (Lihat kutipan hadis itu dan keterangannya dalam Ibn Taimiyah, Ibid., jil. 3, h. 161. D4E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

janganlah sampai kehidupan “rendah” (asal makna kata-kata Arab “dunyā” dan “danī’ah”) ini membuat kita lengah dari orientasi hidup kepada perkenan atau rida Allah dengan selalu ingat (dzikr) kepada-Nya (lihat Q 31:33 dan 35:5). Apa yang disebut dalam bahasa keagamaan sebagai “terkecoh oleh kehidupan rendah” adalah kurang lebih juga apa yang disebut oleh para ahli kontemporer sebagai gejala “kepanikan epistemologis” akibat penisbian yang berlebihan dalam pandangan hidup. Robert Musil, seorang novelis terkenal dari Austria, misalnya, membuat penilaian kepada manusia zaman modern seperti itu. Ia katakan bahwa Barat kini memang sedang mengalami kepanikan tentang pengetahuan dan makna, yang kedua-duanya itu merupakan persoalan utama yang menjadi bahasan epistemologi dalam filsafat. Katanya, lebih lanjut, di bawah gelimangnya kemewahan itu terdapat perasaan putus asa, acap kali perasaan takut yang mencekam karena tidak adanya makna, tidak pastinya pengetahuan, dan tidak mungkinnya orang berkata dengan mantap apa sebenarnya yang diketahui, atau bahkan apakah memang dia tahu. Kemudian makna hidup dan pengetahuan menjadi sama nisbinya dengan segala sesuatu yang lain, yang selalu berubah dan bersifat modern.3 Kosongnya jiwa dari keinsafan akan makna hidup tentu akan mempunyai dampak yang sangat jauh dan mendasar. Negara-negara maju dikenal banyak terjangkit “penyakit” bunuh diri. Justru negara-negara yang paling maju adalah juga sekaligus yang paling 3

“The distinguished Austrian novelist Robert Musil described the age as characterised by “relativity of perspective verging on epistemological panic”. The phrase is extremely apt. The West did indeed exist in a state of panic about knowledge and meaning, the two primary issues to which the branch of philosophy called epistemology addresses itself. Beneath the frenzied self indulgence of the era of Charleston and flapper, there lurked a sense of desperation, an often frantic terror at the absence of meaning, the uncertainty of all knowledge, the impossibility of saying definitely what or even that one knew. Meaning ang knowledge became as relative, as mutable, as provisional as everything else.” (Michael Baegent, Richard Leigh & Henry Lincoln, The Missianic Legacy [New York: Bantam Dobuleday Dell, 1986], h. 184). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

parah terserang penyakit bunuh diri itu, seperti negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, dan Swedia), juga Jepang. Mengapa demikian, tidak lain ialah karena kosongnya makna hidup akan membuat orang tidak memiliki rasa harga diri yang kukuh, juga membuatnya tidak tahan terhadap penderitaan. Dan penderitaan bukanlah hanya dalam arti kekurangan dalam harta benda. Lebih penting lagi ialah penderitaan jiwa karena pengalaman hidup yang tidak sejalan dengan harapan. Sebaliknya, orang akan tahan memikul derita karena mengalami sesuatu yang berat namun baginya tetap bermakna untuk hidupnya, dan lebih tahan daripada memikul beban penderitaan karena hidup “terpaksa” terjalani tanpa makna sehingga keberadaan diri sendiri menjadi tidak berarti dan tidak penting.4 Seperti dapat dilihat dari kasus-kasus kesediaan berkorban yang tinggi dalam jiwa kepahlawanan para syuhada’ — yaitu penderitaan yang bahkan sampai kalau perlu menemui kematian — adanya rasa makna hidup yang kuat akan mampu mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Sebab penderitaan sampai pun kematian itu adalah penderitaan jasmani semata sehingga, jika dipahami dengan baik dalam kerangka berpikir tentang hidup yang lebih menyeluruh dan hakiki, hal itu hanyalah suatu penderitaan nisbi karena tidak menyangkut hakikat hidup itu sendiri.

Beribadat dan Berpikir

Sekarang, dari mana kita mengetahui makna hidup yang benar? Mungkin salah satu hal yang mesti disadari oleh orang modern ialah bahwa makna hidup harus dapat didukung oleh pertimbangan akal 4

Human dignity rests on the assumption that human life is in some way significant. We are more prepared to endure pain, deprivation, anguish and all manner of ills, if they serve some purpose, than we ar to endure the inconsenquential. We would rather suffer than be of no importance.” (Ibid., h. 176). D6E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

(sebut saja “rasional”), namun tidak seluruhnya dapat diketahui melalui proses-proses rasional, karena ia tidak sepenuhnya termasuk dalam dunia empirik. Atau, jika dikatakan dari arah lain, suatu makna hidup harus dicari dari sumber-sumber yang berasal dari luar atau di atas akal manusia, meskipun tidak boleh berlawanan dengan pertimbangan akal itu. Dari sudut pandang inilah kita dapat melihat bahwa adanya iman bukan suatu keharusan yang sewenang-wenang. Begitu pula dorongan untuk berpikir agar orang dapat beriman bukanlah perkara yang tidak sejalan dengan keharusan adanya iman itu sendiri. Maka jika kita perhatikan dengan lebih seksama perintahperintah Tuhan untuk berpikir, tujuannya ialah agar kita lebih mudah untuk beriman, dan juga sebaliknya, kita beriman secara benar akan melapangkan jalan pikiran yang benar pula. Karena itu di sini penting sekali kita camkan dalam-dalam makna firman Allah: “Katakan (hai Muhammad): ‘Aku hanyalah memberi nasehat kepada kamu sekalian tentang satu perkara saja, yaitu hendaknya kamu berdiri menghadap Allah, baik (dalam keadaan) bersama-sama atau sendirisendiri, kemudian kamu berpikir,’” (Q 34:46).

“Beribadat dan berpikir”, begitulah kalau boleh dibuat sebutan pendeknya. Dan dalam firman itu tergambarkan bahwa “beribadat dan berpikir” itu berhakikat tunggal, jadi tidak dapat dipisahkan. Maka demikian pula hendaknya kita memahami berbagai ayat suci yang menggugat atau mendorong kita untuk menggunakan akal, berpikir, merenung, dan seterusnya, yaitu bahwa dengan berpikir itu kita dapat beriman atau menguatkan iman kita. Dan ibadat itu adalah korelasi iman, sedangkan berpikir adalah korelasi ilmu. Kemudian Allah menjanjikan martabat kemanusiaan yang amat tinggi (darajāt — jamak, berarti bertingkat-tingkat) karena iman dan ilmu (lihat Q 58:11). Masalah ini semakin jelas kalau kita hubungkan dengan penegasan-penegasan pertama dalam mushhaf al-Qur’an, yaitu ayat-ayat pertama surat al-Baqarah, bahwa ciri pertama kaum yang bertakwa D7E


F NURCHOLISH MADJID G

ialah “beriman kepada yang gaib” (lihat Q 2:1-3). Maka menurut Muhammad Asad, misalnya, keharusan percaya kepada yang gaib itu ialah karena yang dalam al-Qur’an disebut al-ghayb mencakup hal yang berada di luar jangkauan persepsi manusia, sehingga tidak dapat dibuktikan atau dibantah melalui pengamatan ilmiah. Yang gaib itu, juga tidak dapat secara memadai tercakup dalam kategorikategori pemikiran spekulatif yang dapat diterima, seperti filsafat. Termasuk ke dalam hal yang gaib itu ialah adanya makna hidup, bahkan adanya makna dalam seluruh wujud jagad raya ini. Hanya orang yang bersedia mengakui, melalui iman, bahwa kenyataan hakiki terdiri dari hal-hal yang jauh melebihi lingkungan kita yang teramati (observable) ia akan dapat merasakan makna iman kepada Tuhan, dan atas dasar itu, dapat merasakan adanya makna hidup.5 Dan jika disebut “iman”, maka korelasi selanjutnya ialah agama sebagaimana termuat dalam Kitab Suci. Kata Huston Smith, seorang ahli filsafat dan perbandingan agama yang amat terkenal (yang tulisantulisannya banyak menunjukkan simpati dan pengertian yang baik tentang Islam), untuk kedalaman dan keluasan dalam memahami wujud yang amat besar, yaitu alam raya dalam ruang angkasa, manusia harus menggunakan teleskop, sedangkan untuk kedalaman dan keluasan dalam memahami benda-benda yang amat kecil, alatnya ialah mikroskop. Tapi alat-alat optis itu hanya dapat digunakan terhadap sasaran-sasaran atau obyek-obyek yang lahiri dan indrawi sehingga teramati atau observable. Sedangkan untuk hal-hal yang tidak bersifat lahiri dan indrawi, “teleskop dan mikroskop”-nya ialah Kitab Suci.

Perjanjian Primordial Manusia dan Tuhan

Dari teropong lensa Kitab Suci itulah kita dapat “melihat” hal-hal yang amat jauh menjadi dekat dan jelas, seperti gambaran kehidup5

Lihat Muhammad Asad, The Message of the Quran (Gibraltar: Dar alAndalus, 1980), h. 4, catatan 3. D8E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

an sesudah mati (akhirat), dan dengan itu pula kita dapat melihat hal yang amat tersamar dan tersembunyi dalam diri kita menjadi jelas karena mengalami pembesaran, seperti persoalan makna hidup. Dalam Kitab Suci kita memperoleh gambaran bahwa kelak, di masa depan, Tuhan akan memperlihatkan kepada manusia tandatanda kebesaran-Nya, di seluruh cakrawala dan dalam diri manusia sendiri, sehingga akan jelas bagi manusia bahwa Kitab Suci itu sendiri benar adanya (lihat Q 41:53). Firman itu bukanlah suatu janji tentang temuan kebenaran yang seluruhnya hanya empirik. Berjalan dengan proses-proses empirik ialah proses keimanan, yang antara keduanya itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, saling menopang. Dengan perkataan lain, manusia akan memahami tanda-tanda kebenaran Tuhan melalui penggunaan teleskop-mikroskop dan Kitab Suci sekaligus, Dalam teropong Kitab Suci kita dapat melihat dengan jelas hakikat-hakikat yang tidak teramati, dan dari pengamatan lingkungan empirik, baik yang makro maupun yang mikro, kita menemukan bahan-bahan peneguh keimanan kita berdasarkan Kitab Suci. Di antara yang dapat kita ketahui dengan pasti dari Kitab Suci ialah bahwa manusia tidaklah diciptakan sia-sia: “Apakah kamu (manusia) mengira bahwa Kami (Tuhan) menciptakan kamu dengan sia-sia (tanpa makna), dan bahwa kamu tidak akan kembali semuanya kepada Kami?,” (Q 23:115). Jadi ditegaskan bahwa hidup manusia adalah bermakna, dan makna terakhir hidup itu ialah kembali kepada Tuhan. Sebab memang Hadirat Tuhan itulah tempat asal kita, juga tempat tujuan kita (innā li ’l-Lāh-i wa innā ilayh-i rāji‘ūn, “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita semua kembali kepada-Nya,” [Q 2:156]). Kesadaran akan kembali kepada Tuhan akan menimbulkan sikap berbakti kepada-Nya dalam suatu pertalian hubungan dengan Yang Mahakuasa (habl-un mi-a ’l-Lāh), dan sikap berbakti kepada Tuhan itu akan melandasi bimbingan ke arah jalan hidup yang benar di dunia ini, khususnya dalam hubungan antarmanusia (hablun min-a ’l-nās). Yang pertama merupakan dimensi keimanan dan D9E


F NURCHOLISH MADJID G

takwa yang personal, sedangkan yang kedua adalah dimensi amal kebajikan (‘amal shālih) yang sosial. Karena sifatnya yang personal, maka keimanan dan ketakwaan adalah dengan sendirinya bersifat private, suatu rahasia yang tersimpan rapat dalam masing-masing pribadi manusia tanpa kemungkinan orang lain ikut campur. Sedangkan amal kebajikan (antarmanusia) yang sosial dengan sendirinya bersifat public atau umum dan terbuka, sehingga harus selalu ada hak pada masyarakat untuk ikut campur dalam bentuk pengawasan dan pengimbangan.6 Namun, antara keduanya itu, justru karena sifatnya yang personal dan merupakan rahasia pribadi yang paling mendalam dan rapat tersimpan dalam diri manusia, keimanan dan ketakwaan adalah locus sebenarnya rasa makna hidup yang hakiki. Inilah wujud nyata dalam hidup manusia dari perjanjian primordialnya dengan Tuhan. Yaitu perjanjian masing-masing jiwa atau ruh manusia “membumi” bahwa ia mengakui Allah, Tuhan Yang Mahaesa, sebagi Penjaga, Pemlihara, dan Pelindung (pengertian kata-kata Arab Rabb, yaitu Pangeran, Lord, Sustainer) baginya.7 Adanya perjanjian primordial dengan Tuhan itu tersembunyi dan mengendap pada dataran kesadaran terbuka alam pikiran rasional. Namun ia adalah sungguh nyata, dan dengan amat jelas mempengaruhi jalan hidup kita melalui dorongan alami dan naluri untuk menyembah suatu obyek sesembahan yang kita pandang sebagai Tuhan. Dan yang menjadi masalah ialah bahwa manusia tidak selamanya berhasil “menemukan” sasaran penyembahan yang benar, sehingga penyembahan itu justru menjerumuskannya kepada makna hidup yang salah, yang membawa bencara ruhani dan jasmani (‘adzāb, kesengsaraan). Hal ini dapat terjadi karena tidak selamanya manusia hidup dalam lingkungan sosial-budaya yang membantunya memelihara dan mengembangkan kesucian asal atau fithrah-nya, yaitu kesuciaan primordial sebagai 6

Pengertian inilah yang dapat kita tarik dengan jelas dari semangat alQur’an surat al-‘Ashr. 7 Ini, sudah tentu berdasarkan, firman Allah yang banyak dikutip, yaitu al-Qur’an surat al-A‘rāf/7:172. D 10 E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

kelanjutan perjanjian primordial dengan Tuhan tersebut. Lagi-lagi, dalam ketidakberdayaan itu, manusia memerlukan Tuhan dan mengharapkan petunjuk-Nya. Inilah agama, maka agama pun disebut sebagai “fitrah yang diturunkan dari langit” (al-fithrah almunazzalah), untuk menguatkan fitrah bawaan dari lahir (al-fithrah al-majbūllah). Dan karena adanya perjanjian primordial dengan Tuhan itu maka tindakan yang paling alami bagi manusia ialah beribadat, yaitu berbakti kepada Tuhan dengan penuh semangat pasrah dan kerinduan kembali kepada-Nya. Kealamian sikap berbakti kepada Tuhan itu adalah wujud penegasan lain dalam Kitab Suci, bahwa manusia diciptakan memang hanyalah untuk berbakti kepada-Nya (lihat Q 51:56). Karena naluri untuk berbakti serta menyembah itu sedemikian alaminya, sehingga sesungguhnya ia merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi. Jika naluri itu tidak tersalurkan secara benar ke arah sikap berbakti kepada Tuhan Yang Mahaesa saja (tawhīd), maka ia akan mencari jalan keluar ke yang lain-lain, tersalur menuju ke arah kesesatan, berupa praktik ketundukan dan pengabdian yang melahirkan sistem yang tiranik dan merampas harkat dan martabat manusia. Kitab Suci memberi gambaran tentang dua kemungkinan itu: jalan hidup yang benar dan jalan hidup yang sesat (yang asalmuasalnya sama-sama merupakan hasil dorongan untuk berbakti dan menyembah): “Tidak ada paksaan dalam agama, (sebab) sungguh kebenaran telah jelas berbeda dari kesesatan. Maka barangsiapa menolak tirani (thāghūt) dan beriman kepada Allah, ia benar-benar telah berpegang dengan tali (kehidupan) yang kukuh, yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar dan Mahatahu. Allah adalah Pelindung orangorang beriman. Dia bebaskan mereka dari kegelapan menuju ke cahaya terang; sedangkan orang-orang kafir itu pelindung mereka ialah para tiran, yang mendorong mereka keluar dari cahaya terang menuju kegelapan....,” (Q 2:257-258).

D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

Patut sekali kita perhatikan penegasan dalam firman itu bahwa orang yang tidak menyembah Allah, Tuhan Yang Mahaesa, akan terjerumus kepada penyembahan thāghūt atau kekuatan dan sistem tiranik yang membelenggu dan merampas harkat dan dan martabatnya sebagai manusia melalui peniadaan kebebasan asasinya. Atau, dari arah lain, orang yang menyembah Allah dengan benar (tawhīd) akan dengan sendirinya bebas dari kemungkinan pembelengguan diri akibat tunduknya kepada kekuatan dan sistem tiranik yang dikuasainya. Artinya, hanya dengan tawhīd itulah manusia menemukan jati dirinya sebagai makhluk yang tertinggi. Ia dapat kembali harkat dan martabatnya, karena ia bebas dari kungkungan tirani dalam segala bentuknya, termasuk tirani dirinya sendiri. (Sebab setiap orang sesungguhnya mempunyai potensi untuk menjadi tiran, yaitu ketika ia merasa tidak perlu lagi kepada sesamanya [lihat Q 96:6]). Kita telah mencoba membicarakan manusia modern berkenaan dengan persoalan makna hidup. Sementara tentu banyak yang secara absah dapat kita bicarakan, namun kita masih harus selalu ingat bahwa sampai saat ini kemodernan baru benar-benar merupakan pengalaman bangsa-bangsa Eropa Barat dan keturunan mereka di Amerika Utara dan Australia-Selandia Baru. Bangsa bukan Barat yang benar-benar telah menyertai pengalaman hidup modern hanyalah Jepang. Dan belum satu pun bangsa Muslim yang telah menjadi modern dalam arti kata seperti yang menjadi titik-berat pembahasan ini. Karena itu secara empirik belumlah terbukti apakah umat Islam mampu dan berhasil mengatasi tantangan kehidupan modern yang (di Barat dan Jepang) sudah mulai menunjukkan gejala krisisnya yang berat itu. Dalam keadaan demikian, yang dapat kita lakukan ialah membuat antisipasiantisipasi dan bersiap-siap dengan penuh waspada. Kemudian, berdasarkan iman kita kepada Kitab Suci, sesungguhnya pada manusia ada hakikat dirinya yang abadi, yang perennial, dan tidak akan berubah sepanjang masa, yaitu fithrah-nya, yang membuatnya selamanya merindukan kebenaran, dengan D 12 E


F MAKNA HIDUPA BAGI MANUSIA MODERN G

puncaknya ialah kerinduan kepada Tuhan. Adalah berdasarkan fithrah yang abadi dan perennial itu manusia diseru untuk menerima sepenuh hati agama yang benar (lihat Q 30:30). Oleh karena itu, mengakhiri makalah singkat ini, berikut dikutip firman Allah yang memperingatkan kita untuk kembali kepada-Nya, sesuai dengan alam primordial kita dan hakikat yang perennial, yang abadi itu: “Dan kembalilah kamu sekalian kepada Tuhanmu, serta berserah dirilah kepada-Nya, sebelum datang kepadamu azab (seperti keadaan krisis), lalu kamu tidak lagi tertolong. Serta ikutilah sebaik-baik ajaran yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Tuhanmu, sebelum datang kepadamu azab secara mendadak-sontak, sedang kamu tidak menyadarinya,” (Q 39:54-55).

Seruan Ilahi itulah yang tentu harus kita perhatikan sekarang ini, dan kita laksanakan. Dengan semangat kembali (inābah) kepada Allah itu, disertai sikap penuh pasrah secara damai (salām) kepadaNya dan mengikuti sebaik-baik ajaran yang diturunkan kepada kita, maka insya’ Allah kita akan selamat dalam hidup penuh bermakna, dunia sampai akhirat. [ ]

D 13 E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

KEAGAMAAN SEHARI‐HARI ISTIGHFAR, SYUKUR DAN DOA Oleh Nurcholish Madjid

Jika kita renungkan lebih mendalam, dapat dikatakan bahwa tujuan paling penting amalan-amalan keagamaan adalah untuk mendidik kita agar memiliki pengalaman Ketuhanan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan yang sedalam-dalamnya. Sebab dari kesadaran Ketuhanan itulah berpangkal, bersumber, dan memancar seluruh sikap hidup yang benar, dan dengan kesadaran Ketuhanan itu pula manusia akan dibimbing ke arah kebajikan atau amal saleh yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu disebutkan dalam Kitab Suci bahwa takwa, yang salah satu maknanya ialah kesadaran Ketuhanan yang mendalam, merupakan asas bangunan kehidupan yang benar. Asas bangunan kehidupan selain takwa adalah bagaikan fondasi gedung di tepi jurang yang goyah, yang kemudian runtuh “ke dalam neraka Jahannam” (Q 9:109). Karena itu pula Nabi saw. menegaskan bahwa “Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur.”1 Secara lebih khusus, perkataan “kesadaran Ketuhanan” kita maksudkan sebagai pengindonesiaan dari istilah “rabbānīyah” dan “ribbīyah” dalam al-Qur’an. Kedua-duanya dari akar kata “r-b-b” seperti yang menjadi akar kata “Rabb” (Tuhan, Pemelihara, Pangeran). Kata-kata “rabbānīyah” dalam tashrīf atau derivasinya 1

hadis No. 1561, Bulūgh-u ’l-Marām. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

kita dapati dalam firman yang menegaskan bahwa misi para utusan Allah ialah mendidik masyarakat agar menjadi kaum “rabbānīyūn”, kaum yang berkesadaran Ketuhanan (Q 3:79). Dan kata-kata “ribbīyah” kita dapati, juga dalam tashrīf atau derivasinya, dalam sebuah firman yang menegaskan bahwa banyak dari kalangan para pengikut utusan Allah yang terdiri dari kaum “ribbīyūn” (kaum yang berkesadaran Ketuhanan) bersedia berjuang di jalan Allah tanpa merasa putus asa karena kesulitan yang mereka hadapi, juga tanpa merasa lemah ataupun kehilangan semangat dan menjadi pasif (Q 3:146). Kata-kata “rabbānīyah” dan “ribbīyah” adalah sama maksudnya dengan kata-kata Inggris “godly” yang juga diartikan sebagai ilāhī, taqīy, dan warā‘.2 Jadi kesadaran Ketuhanan merupakan wujud terpenting dari nilai keagamaan yang amat sentral, yaitu takwa. Dan mengingat bahwa al-Qur’an sendiri disebutkan sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa (lihat Q 2:2), maka dapat disimpulkan bahwa takwa adalah “hasil akhir” seluruh amalan keagamaan. Dalam beberapa hal, takwa sebagai tujuan akhir ibadat disebut langsung secara jelas dan tegas. Misalnya, bahwa tujuan perintah berpuasa ialah agar manusia menjadi bertakwa (lihat Q 2:183), dan bahwa dalam ibadat berkurban binatang yang sampai kepada Allah bukanlah daging ataupun darah hewan kurban itu, melainkan takwa dari orang yang mengurbankannya (lihat Q 22:37). Termasuk juga dalam rangka usaha menumbuhkan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan ialah zikir (dzikr), yaitu sikap selalu ingat kepada Allah. Zikir disebutkan sebagai amalan keagamaan yang paling agung (lihat Q 29:45). Juga digambarkan bahwa kaum beriman yang berpikiran mendalam (ulū al-albāb) ialah mereka yang senantiasa zikir, bersikap selalu ingat kepada Allah, “pada saat berdiri, duduk atau terbaring, serta merenungkan kejadian langit dan bumi,” (lihat Q 3:191). 2

Lihat kamus Inggris-Arab al-Mawrīd oleh Munir al Ba‘albakki (Beirut: Dar El-Ilm lil Malayen), 1982. D2E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

Makna Pengalaman Ketuhanan

Pengalaman dan kesadaran Ketuhanan adalah juga pengalaman dan kesadaran keruhanian yang sangat tinggi. Dalam wujudnya yang sempurna, pengalaman Ketuhanan adalah yang dimaksud dengan “kasyf” dan “tajallī” sebagaimana terdapat dalam peristilahan kaum sufi. Secara harfiah, “kasyf” dapat diterjemahkan sebagai “penyingkapan”, yaitu pengalaman tersingkapnya tabir (hijāb) pancaran Ilahi. Dalam keadaan seperti itu pancaran Ilahi menyatakan diri pada seseorang (tajallī, “teofani” — theophany),3 suatu pengalaman yang hanya diperoleh seseorang yang telah mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam perkembangan kehidupan ruhaninya melalui proses olah ruhani (riyādlah rūhānīyah) dalam ibadat-ibadat. Pengalaman Ketuhanan menghendaki penghayatan kepada wujud Ilahi sebagai Yang Serbadekat atau Mahahadir. Ini adalah sisi lain dari pandangan Ketuhanan dalam agama, khususnya Islam, selain sisi Tuhan sebagai Yang Mahatinggi (Ta‘ālā). Bahwa Allah adalah Wujud Yang Mahadekat, dijelaskan dalam Kitab Suci: “Dan bila para hamba-Ku bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah Mahadekat. Aku menjawab seruan orang berseru, jika ia memang berseru kepada-Ku,” (Q 2:186). Dan Allah sebagai Yang Mahahadir, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, dapat dipahami dari penegasan-penegasan dalam Kitab Suci seperti, “Dia beserta kamu sekalian di mana pun kamu berada, dan Allah Maha Melihat segala sesuatu yang kamu kerjakan,” (Q 57:4), “Milik Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah Wajah Allah,” (Q 2:115), “Kami (Allah) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya,” (Q 50:16), “Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menjadi sekat antara seseorang dengan hatinya sendiri,” (Q 8:24), dan seterusnya. 3

Secara leksikal, perkataan Inggris “theophany” dalam bahasa Arab adalah “tajallī”. Lihat al-Mawrīd, pada entri yang relevan D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Berbagai gambaran tentang dekatnya Tuhan kepada manusia itu juga menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat menghindar dari Hadirat-Nya. Kesadaran akan Hadirat Ilahi itulah pokok perkara yang kita bicarakan di sini. Kesadaran akan Hadirat Ilahi itu sesungguhnya merupakan inti hakikat kemanusiaan. Sebab kesadaran itu merupakan kelanjutan hakikat primordial manusia, yaitu manusia sebagai makhluk dalam alam ruhani (yang tanpa ruang dan waktu) sebelum dilahirkan ke dunia. Yaitu hakikat kemanusiaan yang telah mengikat perjanjian primordial dengan Tuhan, berwujud persaksian bahwa Allah (al-Lāh, “al-Ilāh”) — yaitu Satu-satunya Zat yang boleh dan wajib disembah — adalah Rabb, Pelindung, Pemilik, dan Penguasa (lihat Q 7:172). Karena itu manusia adalah makhluk Ketuhanan, dalam arti bahwa ia adalah makhluk yang menurut tabiat dan alam hakikatnya sendiri sejak masa primordialnya selalu mencari dan merindukan Tuhan. Inilah fithrah atau kejadian asal sucinya, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan itu disebut hanīf. Karena itu seruan kepada manusia untuk menerima Agama Kebenaran disangkutkan dengan sifat dasar manusia yang hanīf itu, sejalan dengan fitrahnya menurut “design” Tuhan yang tidak akan berubah-ubah. Juga ditegaskan bahwa sikap hanīf sesuasi dengan fitrah itulah agama yang benar, namun kebanyakan manusia tidak memahami (Q 30:30). Karena dinyatakan oleh Sang Maha Penciptanya bahwa “design”-nya untuk manusia tidak akan berubah-ubah, maka fitrah manusia yang hanīf itulah hakikat abadi manusia, kenyataannya yang “perennial”. Dan Kebenaran yang mengajarkan sikap tunduk (dīn) kepada Tuhan dan pasrah (islām) kepada-Nya, yang merupakan kelanjutan fitrah yang hanīf itu merupakan ajaran bijaksana atau kearifan yang abadi (al-hikmah al-khālidah). Semuanya itu adalah demi kebahagiaan manusia, yaitu kebahagiaan karena “bertemu” dengan Tuhannya. “Maka barangsiapa berharap bertemu Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat kebaikan, dan janganlah ia memperserikatkan Tuhan dengan apa pun juga dalam D4E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

beribadat kepada-Nya,” (Q 18:110). Maka persoalan manusia ialah mencari jalan bagaimana ia menghubungkan kembali dirinya kepada Tuhan. Dan dengan menghubungkan kembali dirinya dengan Tuhan itulah ia akan dibimbing-Nya ke arah perilaku yang baik, termasuk dalam ucapan, dan dibimbing-Nya ke arah jalan hidup yang terpuji (Q 22:23-24).

Pengalaman Ketuhanan melalui Istighfar

Sikap tunduk (arti harfiah “dīn”) dan pasrah (arti harfiah “islām”) secara benar kepada Tuhan itu pada dasarnya ialah sikap keruhanian. Karena itu niat (al-nīyah) adalah sentral sekali untuk nilai amalan seseorang, yang menentukan tidak saja tinggi-rendah nilai amalan itu, namun juga diterima atau ditolaknya oleh Tuhan (yaitu berhasil atau tidaknya menemukan pengalaman Ketuhanan dalam amalan itu). Perkara ini ditegaskan oleh Nabi saw., dalam sebuah hadis yang amat terkenal, “Sesungguhnya semua amalan itu (tergantung) kepada niat-niat yang ada, dan sesungguhnya bagi setiap orang ialah apa yang ia niatkan,” (HR Bukhari, Muslim, dan empat imam ahli hadis). Tetapi semua itu juga menuntut pelembagaan nyata, dalam bentuk upacara-upacara ibadat, wirid-wirid, dan ritus-ritus. Sikap tunduk dan pasrah (dīn dan islām) memerlukan institusionalisasi berupa amalan-amalan keagamaan. Rasanya tidak terbayang adanya sebuah agama yang tanpa ajaran tentang amalan-amalan itu. Maka demikian pula agama Islam: ia mengajarkan berbagai amalan, yang semestinya seorang Muslim akan melakukannya. Dalam sistematisasinya oleh para ulama (sarjana) Muslim sejak sekitar abad ketiga, amalan-amalan dikenali sebagai ada yang wajib, sunnah, mubah (mubāh, “netral”), makruh, dan haram. Karena itu sikap pasrah kepada Allah atau islām, seperti ditegaskan oleh Ibn Taimiyah, merangkum sekaligus sikap lahir dan batin. Kata Ibn Taimiyah: D5E


F NURCHOLISH MADJID G

Adapun pendapat orang bahwa pangkal sikap berserah diri sepenuhnya (kepada Allah, al-istislām) ialah al-islām secara lahir, maka sesungguhnya al-islām ialah sikap penuh pasrah (al-istislām) kepada Allah dan tunduk patuh (al-inqiyād) kepada-Nya, lahir dan batin. Inilah agama Islam (dīn al-islām) yang diridai Allah sebagaimana dibuktikan dalam berbagai nas Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Orang yang pasrah (aslama) secara lahirnya tanpa batinnya adalah munafik, yang hanya diterima lahirnya saja. Sebab dia (Nabi saw.) tidaklah diperintahkan untuk membelah hati manusia.4

Di antara berbagai amalan yang diharapkan seorang Muslim melakukannya sehari-hari ialah istighfar (istighfār), memohon ampun kepada Allah atas segala dosa. Perkataan “istighfār” sendiri tidak lain adalah kata benda-kerja (verbal noun, mashdar) dari kata kerja “istaghfara” (mohon ampunan), yang merupakan permulaan formula permohonan ampun kepada Tuhan. Dalam al-Qur’an perintah memohon ampun tidak ditujukan hanya kepada kaum beriman pada umumnya, tetapi juga kepada Nabi saw. sendiri. Ini sungguh sangat menarik, mengingat Nabi saw. adalah seorang utusan Allah yang terpelihara (ma‘shūm) dari dosa. Namun justru kepada beliau Allah banyak memerintahkan untuk mohon ampun atau istighfar. Salah satu perintah itu ialah yang diberikan sesudah keberhasilan Nabi saw. membebaskan Makkah, seolah-olah perintah mohon ampun itu merupakan salah satu “follow up” pembebasan kota suci tempat kelahiran Nabi itu. Perintah itu termuat dalam surat al-Nashr (“Idzā Jā’a”), yang terjemahnya kurang lebih adalah demikian: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, 1. Jika telah tiba kepada engkau (Muhammad) kemenangan Allah dan pembebasan-Nya, 4

Ibn Taimiyah, al-Īmān, suntingan Dr. Muhammd Khalil Harras (Kairo: Dar al-Thiba‘ah al-Muhammadiyah), t.th., h. 313. D6E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

2. Dan engkau lihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, 3. Maka ber-tasbīh-lah engkau dengan memuji Tuhanmu, dan ber-istighfār-lah engkau kepada-Nya! 4. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.

Maka jika pembebasan Makkah merupakan puncak keberhasilan Nabi melembagakan dīn dan islām dalam bentuk kekuasaan politik, kiranya dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa bertasbih dan memuji Allah serta beristighfar memohon ampun kepada-Nya merupakan puncak pesan Tuhan untuk melembagakan ajaran dīn dan islām dalam bentuk amalan keagamaan seharihari. Mengingat bahwa perintah bertasbih dan beristighfar itu ditujukan mula-mula secara khusus kepada pribadi Nabi sendiri (kata pengganti nama “engkau” dalam firman tersebut), sementara Nabi adalah seorang yang ma‘shūm, maka dapat disimpulkan bahwa perintah itu lebih-lebih lagi berlaku untuk seluruh kaum beriman. Ini, tentu saja, di samping adanya perintah-perintah dalam Kitab Suci agar kaum beriman banyak melakukan istighfar, atau adanya gambaran-gambaran tentang kaum beriman sebagai sekelompok orang yang senantisa memohon ampun kepada Allah (lihat, antara lain, Q 2:199, 3:17 dan 135, 73:20, dan/41:6). Pengalaman Ketuhanan yang diperoleh seseorang melalui istighfar ialah, pertama, menanamkan kerendahan hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa. Kedua, sebagai konsekuensi langsung dari kerendahan hati itu, dengan banyak istighfar kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci-suci (“sok suci”), yang sikap itu sendiri merupakan suatu bentuk kesombongan. Kita harus senantiasa ingat akan asal-usul kita sebagai makhluk yang hina, yang diciptakan oleh Allah dari tanah, kemudian dari cairan sperma dan ovum yang menjijikkan, lalu menjadi janin-janin yang tidak berdaya dalam perut ibu kita, sesuai dengan peringatan Allah: D7E


F NURCHOLISH MADJID G

“Kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di seluruh langit maupun segala sesuatu yang ada di bumi, agar Dia membalas mereka yang berbuat jahat sesuai dengan yang diperbuatnya, dan agar Dia membalas kepada mereka yang berbuat baik sesuai dengan kebaikannya. Yaitu mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, selain kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Mahaluas ampunan-Nya. Dia (Tuhan) lebih mengetahui tentang kamu sekalian (manusia), ketika Dia jadikan kamu dari tanah, dan ketika kamu berupa janin-janin dalam perut ibumu. Maka janganlah memandang dirimu suci! Dia (Tuhan) lebih mengetahui siapa (manusia) yang bertakwa,” (Q 53:31-32).5

Dalam Kitab Suci ternyata tidak hanya kaum beriman yang diingatkan untuk bersikap rendah hati, menjauhi sikap-sikap semuci. Bahkan Nabi sendiri pun, dalam bahasa yang lain dan khas untuk beliau, juga diingatkan untuk bersikap rendah hati, sebagai teladan bagi semua kaum beriman. Allah berfirman: “Ketahuilah olehmu (wahai Muhammad), bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan mohonlah ampun kepada-Nya!,” (Q 47:19). Dan Nabi juga diperintahkan: “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku bukanlah orang pertama dari kalangan para Rasul (Utusan Allah), dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat (yang terjadi, dari Allah) padaku, juga tidak padamu sekalian. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang membawa kejelasan,’” (Q 46:9).

Di muka telah dikatakan bahwa Nabi saw. adalah seorang yang ma‘shūm atau terpelihara dari dosa. Namun banyak sekali hadis 5

Sebagai bahan renungan lebih lanjut, patut sekali kita membaca sendiri firman suci itu dalam bahasa aslinya, dan membandingkan berbagai terjemahnya yang ada. D8E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

yang menunjukkan bahwa salah satu ibadat beliau yang tidak pernah terlupakan ialah istighfar. Salah satu istighfar Nabi saw. berbunyi: “Ya Allah, ampunilah aku akan kesalahanku, kebodohanku, sikap berlebihanku dalam urusanku, dan akan apa saja (kesalahan) yang Engkau lebih tahu daripadaku...,” (HR Bukhari-Muslim).6 Jadi melalui istighfar kita dapat merasakan kehadiran Tuhan yang Mahabesar. Kita tidak berdaya di hadapan-Nya, dan kita juga dengan rendah hati menyadari bahwa kemampuan kita berbuat baik pun, jika ada, adalah karena kasih dan sayang-Nya. Kita kemudian menghayati bahwa perbuatan baik kita, jika pun ada, tidak lain adalah wujud kasih dan sayang Ilahi kepada kita. Dialah Yang Mahakasih kepada manusia (lihat, a.l., Q 22:65, 24:20, dan 57:9). Karena itu digambarkan bahwa “Para hamba Dia Yang Mahakasih ialah mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati,” (Q 25:63).

Pengalaman Ketuhanan Melalui Syukur

Dalam surat al-Nashr yang telah dikutip di atas dapat dibaca bahwa Nabi saw. diperintahkan untuk bertasbih dengan memuji Tuhannya. Memuji Tuhan adalah formula kesyukuran yang paling penting, yang kalimat lengkapnya membentuk hamdalah, yaitu ucapan “alhamdu lillāh” (al-hamd-u li ’l-Lāh, “segala puji bagi Allah”), dan mengucapkan atau membaca formula itu disebut tahmid (tahmīd). Tasbih (tasbīh) sendiri, yang formulanya ialah subhān-a ’l-Lāh (Mahasuci Allah) dapat dipandang sebagai pendahuluan logis bagi tahmīd. Sebab tasbih mengandung makna pembebasan diri dari buruk sangka kepada Allah, atau “pembebasan” Allah dari buruk sangka kita. Karena itu sebenarnya tasbih memiliki semangat 6

Hadis ini dikutip oleh Ibn Taimiyah dalam kitabnya, Minhāj al-Sunnah (dengan anotasi dan indeks), suntingan Dr. Muhammad Rasyad Salim, 9 jilid (Mu’assasat Qurthubah, 1406/1986), jil. 2, h. 405. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

makna yang sama dengan istighfar. Sebab, dosa apa kiranya yang lebih membahayakan kesejahteran ruhani kita daripada dosa buruk sangka kepada Allah?! Sungguh, dalam Kitab Suci, buruk sangka kepada Allah disebutkan sebagai salah satu perangai orang-orang yang ingkar kepada-Nya (kafir) (lihat Q 3:154 dan 48:6). Jadi tasbih adalah sesungguhnya permohonan ampun kepada Allah atas dosa buruk sangka kita kepada-Nya. Dan buruk sangka kepada Allah dapat mengancam kita setiap saat. Sumber buruk sangka kepada-Nya itu antara lain ialah ketidakmampun kita “memahami” Tuhan, karena sepintas lalu kita, misalnya, menerima “nasib” (Arab: nashīb, artinya “pembagian”) dari Tuhan yang menurut kita “tidak seharusnya” kita terima karena, misalnya, kita merasa telah “berbuat baik” dengan menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika benar demikian, maka sesungguhnya kita telah terjerembab ke dalam bisikan setan yang paling berbahaya: pertama, kita merasa telah berbuat baik; kedua, kita merasa berhak “menagih” kepada Tuhan bahwa perbuatan baik kita itu “semestinya” mendapatkan balasan kebaikan pula; ketiga, karena itu kemudian kita “protes”, atau “tidak terima” bahwa kita mengalami hal-hal yang “tidak cocok” dengan semestinya. Ini semua akan berujung kepada kesombongan (istikbār, takabbur) dan tinggi hati (‘inād) yang merupakan dosa pertama dan paling berbahaya pada makhluk (dilambangkan dan diteladankan pada kesombongan dan ketinggian hati Iblis ketika menolak perintah Tuhan untuk mengakui keunggulan Adam dan bersujud kepadanya, suatu penuturan dalam Kitab Suci yang amat terkenal). Itu semua, sebagai dosa buruk sangka kepada Allah, harus dihapus dengan tasbih. Maka tasbih merupakan pendahuluan bagi tahmid. Sebab tahmid, memuji Allah, yang sebenarnya, tidak akan terwujud tanpa terlebih dahulu membebaskan diri dari buruk sangka kepada-Nya itu. Tasbih adalah proses yang kita perlukan untuk menghapus pesimisme dan pandangan negatif kita kepada Allah. Tasbih adalah proses meratakan jalan agar tidak ada halangan berupa sikap-sikap D 10 E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

tidak berpengharapan kepada Allah. Dan hanya setelah jalan rata serta bebas dari halangan itu maka kita dapat melanjutkan dengan tahmid, memuji Allah, menghayati kebaikan Allah melalui kasih dan sayang-Nya kepada kita. Pengalaman Ketuhanan berupa penghayatan akan Tuhan sebagai Yang Maha Terpuji, Mahabaik, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang adalah bentuk religiusitas yang amat berpengaruh kepada perolehan kebahagiaan seseorang. Di sini ada segi yang sangat halus dan mungkin sulit dipahami, yaitu bahwa, menurut sebuah hadis qudsi (firman Allah lewat pengkalimatan oleh Nabi saw.) yang mengatakan bahwa Allah mengikuti persangkaan hambaNya kepada-Nya (anā ‘nda zhann-i ‘abdī bī): jika seorang hamba (manusia) mempunyai prasangka baik kepada-Nya, maka Dia pun akan menganugerahkan kebaikan kepada hamba itu. Dan persangkaan kepada Allah yang paling baik ialah persangkaan bahwa Dia adalah kasih kepada kita. Sebab Allah sendiri dalam Kitab Suci menfirmankan bahwa sifat kasih atau rahmat adalah sifat yang “dipastikan” atau “diwajibkan” atas Diri-Nya, dan bahwa sifat kasih itu meliputi atau mencakup segala sesuatu.7 Selanjutnya, pengalaman Ketuhanan melalui syukur akan membuat kita senantiasa berpengharapan kepada Allah, tanpa batas. Allah tampil kepada kita sebagai al-Shamad, Tempat Harapan. Secara kejiwaan, adanya harapan adalah pangkal kebahagiaan yang amat penting. Dan harapan itulah yang membuat manusia merasa lapang dalam hidup dan mampu bertahan terhadap tantangan dan pancaroba. Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak, “Alangkah sempitnya hidup jika seandainya tidak karena lapangnya harapan.” Dan “harapan” yang akan melapangkan hidup itu ialah “harapan” kepada Allah, Yang Mahatinggi, Yang Transendental. Harapan selain dari kepada Tuhan adalah dangkal dan bersifat 7

Yang pertama adalah firman Allah “Dia memastikan pada Diri-Nya sifat kasih,” (Q 6:12), dan yang kedua ialah firman Nya: “Dan kasih-Ku meliputi segala sesuatu,” (Q 7:156). D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

jangka pendek, atau malah bernilai semu semata, yang banyak mengecoh manusia zaman modern ini. Martin Lings (Abu Bakar Sirajuddin), seorang Muslim Inggris ahli tasawuf yang saleh, mengatakan: In fact, the saying that “man cannot live without hope” has been proved to be all too true. It was only after a large part of humanity has ceased to believe in the possibility of a “vertical” progress, the pro¬gress of the individual towards the Eternal and Infinite, that men began to fix their hopes on a vague horizontal “progress” for humanity as a whole towards a state of earthly “welfare” of which there are many reasons to doubt not merely the possibility but also the desirability – assuming that it is to be the ultimate fruit of the trends now at work – and which in any case no one would ever be free to enjoy for more than a few years, the brief span of human life.8 Sebenarnya, ungkapan bahwa “manusia tidak dapat hidup tanpa harapan” terbukti seluruhnya sangat benar. Hanya setelah sebagian besar manusia tidak lagi percaya kepada kemungkinan suatu kemajuan “vertikal”, yaitu kemajuan pribadi menuju Yang Abadi dan Yang Mutlak, maka manusia mulai mengarahkan harapannya kepada “kemajuan” horizontal yang samar-samar untuk seluruh kemanusiaan menuju ke negara “sejahtera” duniawi yang banyak alasan untuk meragukannya tidak saja dari segi kemungkinannya (untuk terwujud) tapi juga dari segi apakah hal itu memang diinginkan – dengan asumsi bahwa hal itu akan merupakan hasil dari kecenderungan yang sekarang berlaku – dan yang bagaimanapun juga tidak akan ada orang yang bakal pernah bebas untuk menikmatinya dalam jangka waktu lebih dari beberapa tahun, yaitu masa singkat hidup manusia.

8

Martin Lings, Ancient Beliefs and Modern Superstitions (Cambridge, Inggris, Quinta Essentia), 1991, h. 43. D 12 E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

Sikap besyukur tentu saja ditujukan kepada Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam lafal hamdalah. Tetapi karena begitu banyak kebaikan yang kita sendiri peroleh dari bersyukur kepada Allah itu yang justru akan memberi kita kebahagiaan, maka jika kita bersyukur sesungguhnya kita bersyukur kepada diri sendiri. Allah tidak perlu kepada sikap bersyukur kita, sebagaimana Dia juga tidak memerlukan pujian kita.9 Seperti halnya keseluruhan agama sendiri bukanlah untuk “kepentingan” Allah melainkan untuk kepentingan manusia, maka demikian pula sikap bersyukur kepada-Nya.

Pengalaman Ketuhanan melalui Doa

Mungkin ada baiknya jika pembahasan ini dimulai dengan menelaah sejenak arti kebahasaan (etimologis) perkataan Indonesia doa. Sudah jelas ia dipinjam dari kata-kata Arab du‘ā’ yang sesungguhnya satu akar dengan kata-kata Arab da‘wah (Indonesia: dakwah). Kata-kata itu mempunyai arti kebahasaan sekitar “menyeru” atau “mengajak”. Kata-kata Indonesia “dakwah” jelas berarti “ajakan”, yaitu ajakan kepada jalan Allah, jalan kebaikan. Tetapi perkataan “da‘wah” juga digunakan dalam makna “seruan”, sama persis dengan perkaaan “du‘ā’”. Maka, seperti telah dikutip di atas, terdapat firman bahwa Allah akan menjawab seruan atau da‘wah orang yang berseru (al-dā‘īy) jika ia berseru (da‘ā) kepada-Nya. Maka dari itu hendaknya manusia menjawab (seruan) Allah dan beriman kepada-Nya agar mereka menemukan jalan hidup yang benar (lihat Q 2:186). Bahkan juga difirmankan bahwa manusia harus menjawab Tuhan dan Rasul-Nya bila Dia menyeru (da‘ā) kepadanya ke arah sesuatu yang akan memberinya hidup sejati (lihat Q 8:24). 9

“Barangsiapa bersyukur, maka ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan barangsiapa ingkar (tidak bersyukur), maka (ketahuilah) bahwa sesungguhnya Allah adalah Mahakaya (tidak perlu kepada siapa pun) dan Maha Terpuji,” (Q 31:12). Lihat juga Q 27:40. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

Oleh karena itu berdoa sesungguhnya lebih daripada sekadar memohon atau meminta sesuatu. Berdoa adalah terutama untuk menyeru Allah, membuka komunikasi dengan Sang Maha Pencipta dan memelihara komunikasi itu. Berdoa adalah untuk mengorientasikan diri kepada Allah, Asal dan Tujuan hidup manusia dan seluruh alam (sangkan-paraning hurip, sangkan-paraning dumadi — innā li ’l-Lāh-i wa innā ilayh-i rāji‘ūn). Jadi berdoa sangat erat terkait dengan keinsafan menyeluruh akan makna dan tujuan hidup. Nabi pun bersabda bahwa doa adalah “otak” ibadat, yaitu pusat sarafnya.10 Dikatakan demikian karena doa dalam arti seruan kepada Tuhan itu merupakan titik sentral kesadaran pertumbuhan kesadaran Ketuhanan. Lebih jauh lagi, pengintensifan usaha menyeru Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya itu dianjurkan dengan menyeru kepada-Nya melalui nama-nama atau kualitas-kualitas-Nya. Inilah yang disebut “nama-nama yang baik” (al-asmā’ al-husnā), yaitu sekumpulan kata sifat (disebutkan sebanyak 99) yang menggambarkan kualitas-kualitas Allah Yang Mahasempurna. Letak makna penting al-asmā’ al-husnā sebagai “jendela” komunikasi dengan Tuhan ialah bahwa semua nama atau sifat itu, secara keseluruhan, membentuk “seluruh deretan” (the whole range) kualitas Ilahi. Kepada masing-masing “jendela” itu seseorang dapat mengidentikkan diri dengan kepentingan atau keperluan pribadinya, sehingga komunikasi kepada-Nya dapat menjadi sangat pribadi dan mendalam, karena itu juga intensif dan berfrekuensi tinggi. Maka melewati “jendela” suatu sifat Tuhan dalam al-asmā’ al-husnā itu seseorang dapat berseru dan berkomunikasi kepada-Nya melalui identifikasi keperluannya sendiri yang immediate. Seruan atau doa kepada Allah sebagai al-Rahmān–al-Rahīm, misalnya, adalah pengentalan kesadaran personal seseorang yang memerlukan rahmat atau kasih Allah. Formulanya ialah bacaan: “Wahai Yang Paling Kasih dari semua yang kasih, anugerahilah kami kasih-sayang-Mu.” 10

Hadis itu berbunyi: “al-du‘ā’-u mukhkh-u ’l-‘ibādah”. D 14 E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

Begitulah masing-masing dari kualitas Tuhan dalam deretan “nama-nama yang baik” itu merupakan medium seruan atau doa kepada Tuhan dengan titik-berat pengalaman pribadi yang intensif dan pekat. Dan dari situ pula akan terbuka pintu pengalaman Ketuhanan yang amat pribadi, karena itu juga amat mendalam. Karena itu Allah mengajarkan agar kita menggunakan “nama-nama yang baik” itu untuk berseru dan berdoa kepada-Nya (lihat Q 7:180). Dari sudut pandang keruhanian inilah kita harus melihat bahwa doa dalam arti “permohonan” kepada Allah akan suatu hal nyata yang kita perlukan dalam hidup (seperti, misalnya, mohon “rezeki yang lapang”) merupakan formula komunikasi kepada Tuhan dengan tekanan segi personal. Maka “permohonan” itu sesungguhnya tidaklah bernilai utama pada dirinya sendiri (meskipun, tentu saja, kita diajari untuk yakin bahwa “permohonan” kita insya’ Allah akan dikabulkan). Nilai utama doa permohonan itu tetap pada terjadinya komunikasi pribadi yang intim dan intensif dengan Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pemberi Hidup, dan ini sendiri merupakan suatu hal yang tidak terkira harganya bagi rasa bahagia dan aman-sentosa. Sudah dikemukakan bahwa pengalaman Ketuhanan adalah bagian dari nilai inti keagamaan, yaitu takwa. Dan jika kita paham akan apa yang telah dicoba-paparkan di atas, kita akan paham pula mengapa al-Qur’an menyebutkan bahwa orang yang bertakwa akan selalu mendapat jalan keluar dari kesulitannya, dan akan mendapat apa yang dikehendakinya dari jurusan yang tidak terduga (lihat Q 65:2). Semuanya itu karena adanya tawfīq (“dukungan” untuk berhasil) dan ‘ināyah atau “providence” (santunan) Ilahi karena intensitas dan keintiman komunikasi kepada-Nya melalui doa. Dan adanya komunikasi kepada Tuhan, melalui dialog dalam formulaformula doa itulah inti pengalaman Ketuhanan lewat amalan harian berdoa. Dari apa yang dicoba uraikan itu semua, semoga kiranya kita sedikit bertambah kesadaran akan makna amalan-amalan keagamaan harian kita. Disebabkan oleh rutinitas amalan-amalan itu D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang membuat kita cenderung menerima dan memperlakukannya secara taken for granted, kita sering kehilangan pengertian akan makna mendalam di balik amalan-amalan keagamaan yang tampak sederhana itu. Dan Nabi saw. pun sudah memberi gambaran tentang adanya dua kalimat yang ringan pada lisan, namun berat dalam timbangan, yaitu kalimat “subhān-a ’l-Lāh-i wa bi-hamd-ihī” (Mahasuci Allah dengan segala pujian kepada-Nya) dan “subhān-a ’l-Lāh-i ’l-‘Azhīm” (Mahasuci Allah Yang Mahaagung)”. Yaitu dua kalimat tasbih, yang pertama pernyataan pengakuan akan Maha Terpujinya Tuhan dan yang kedua pernyataan pengakuan akan Mahaagungnya Tuhan. Sama halnya dengan setiap amalan yang bersifat ritual atau wirid, amalan istighfar, syukur, dan doa hanya akan memberi makna yang menjadi tujuannya jika kita tidak terpaku kepada segi-segi formalnya saja, tetapi menangkap isi dan semangatnya. Ini dapat diperoleh jika kita menyiapkan diri untuk menjalaninya selaku seorang hamba yang ingin “bertatap muka” (tawajjuh) kepada Sang Khaliq kita, dengan penuh baik sangka, harapan dan sikap percaya (īmān, trust) kepada-Nya. Maka penting sekali kebersihan hati kita dan kelurusan kita dalam “memasang” niat. Dalam rangka niat yang benar itu, kemurnian tujuan ibadat, yaitu kepada Allah semata dengan mengharapkan rida-Nya, harus disertai dengan kerendahan hati dan pengakuan tidak berdaya di Hadirat-Nya. Makna ungkapan suci, lā hawl-a wa lā quwwat-a illā bi ’l-Lāh-i ’l-‘alīy-i ’l-‘azhīm (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung) adalah tuntunan bagi kita ke arah kerendahan hati, tawadldlū‘, khushyū‘, dan khudlū‘ di hadapan Yang Mahakuasa itu. Sementara itu, pengalaman Ketuhanan melalui amalan keagamaan harian akan memperteguh hati kita menempuh hidup, baik di dunia ini maupun dalam mempersiapkan diri untuk di akhirat. Pangkal keteguhan itu ialah adanya trust atau sikap percaya kepada Allah karena baik sangka, harapan, dan pandangan positif kepada-Nya. Tanpa itu semua nilai īmān dan islām tidak akan D 16 E


F KEAGAMAAN SEHARI-HARI G

terwujud. Maka dari itu, melalui lisan Nabi Musa as., kita kaum yang beriman kepada Allah diingatkan untuk selalu menempuh hidup bersandar kepada-Nya (tawakkul), kalau kita benar-benar pasrah (muslimūn) kepada-Nya: “Dan berkata Musa, ‘Wahai kaumku! Kalau kamu memang benar-benar beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu memang benar-benar pasrah (muslimūn) kepada-Nya,” (Q 10:84). Dan rasa percaya, tawakal, dan pasrah kepada Tuhan, dalam kehidupan sekarang ini, harus mewujud-nyata dalam budi pekerti yang luhur, akhlāq karīmah, sebagai buah kemanusiaan dari takwa, sesuai dengan penegasan Nabi saw.: “Sebaik-baik al-islām (sikap pasrah kepada Allah) ialah bahwa engkau memberi makan (kepada kaum miskin) dan mengucapkan salam kepada yang kau kenal dan yang tidak kau kenal,” (HR Bukhari-Muslim). Jadi akhirnya pengalaman Ketuhanan harus memancar dalam apresiasi kemanusiaan. [ ]

D 17 E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA Oleh Nurcholish Madjid

Dalam percakapan sehari-hari, “mitos” mengandung makna kepalsuan. Penyebutan tentang sesuatu sebagai mitos akan mengisyaratkan perendahan nilainya sehingga tidak perlu dipertahankan. Dalam pengertian ini, mitos adalah semakna dengan takhayul (dari bahasa Arab takhayyul, yakni pengkhayalan), dongeng atau superstisi. Perkataan Inggris myth adalah dari perkataan Latin mÿthus atau Yunani mythos. Secara perkamusan, mitos ditakrifkan (didefinisikan) sebagai: Myth, also mythe, from Latin mythus, “A purerly fictitious narrative usually involving supernatural persons, actions or events, and embodying some popular idea concerning natural or historical phenomena. Properly distinguished from allegory and from legend (which implies a nucleus of fact) but often used vaguely to include any narrative having fictitious elements.”1 Dan mitos adalah dari bahasa Yunani, mythos, “Penuturan yang khayali belaka, yang biasanya melibatkan tokoh-tokoh, tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian luar-alami (supernatural), dan meliputi beberapa ide umum mengenai gejala alam atau sejarah. Secara wajar (mitos) dibedakan dari alegori dan legenda (yang mengandung arti suatu inti kenyataan) tetapi juga sering digunakan secara samar untuk meliputi pula penuturan apa pun yang mempunyai unsur khayali.” 1

The Compact Edition of the Oxford English Dictionary (Oxford University Press, 1971), s.v. Myth dan Mythos. D1E


F NURCHOLISH MADJID G

Oleh karena itu pada abad yang lalu (XIX), ketika rasionalisme mendominasi pandangan hidup orang Barat, “mitos” dipahami sebagai apa pun yang bertentangan dengan “kenyataan.” Maka penciptaan Adam, kepercayaan kepada makhluk halus (gaib), juga sejarah jagad raya dan umat manusia sebagaimana dituturkan oleh hampir setiap bangsa, semuanya dipandang sebagai tidak lebih daripada “mitos.” Dalam bahasa Yunani, mythos berarti “dongeng,” “cerita,” “percakapan,” “pembicaraan.” Dipertentangkan dengan logos dan kelak dengan historia, mythos akhirnya menjadi bermakna “apa pun yang tidak dapat benar-benar ada.” Sesuai dengan klisé-klisé Positivisme saat itu, semua mitos dipandang sebagai berasal dari agama Kristen yang bersumber dalam dongeng-dongeng Yunani.2 Maka dalam zaman rasionalisme yang merebak saat itu semua agama, karena ajaran-ajarannya banyak yang tidak dapat dibuktikan secara empirik, dipandang sebagai mitos. Di Eropa, sikap yang tidak bersahabat terhadap agama itu mulai terasa sangat kuat oleh adanya arus ilmu pengetahuan Islam yang masuk ke sana. Karena unsur-unsur ilmu pengetahuan rasional (al-‘ulūm al-‘aqlīyah) itu datang dari Dunia Islam (yang menurut mereka adalah “dunia kafir”), apalagi memang sulit dicarikan kaitan organiknya dengan ajaran gereja saat itu, maka pertikaian antara ilmu dan agama di sana tidak sepenuhnya dapat dihindarkan. Perbenturan antara gereja dan ilmu pengetahuan dari Islam itu digambarkan dalam sebuah novel dokumenter, The Name of the Rose oleh penulis terkenal, Umberto Eco. Novel itu melibatkan seorang biarawan muda, Adso, dan gurunya, William dari Ordo Fransiscan (ordo yang banyak dipengaruhi oleh ajaran kesufian Islam). Mereka berdua terlibat dalam dialog tentang isi sebuah perpustakaan besar milik Ordo Benedictine di Melk, Italia, pada tahun 1327. Di dalamnya terdapat buku-buku beraneka ragam, antara lain bukubuku ilmu pengetahuan dari Dunia Islam, bahkan juga ada Kitab Suci al-Qur’an. Pemimpin biara Benedictine itu menggolongkan 2

Lihat Encyclopaedia Britannica, 1969, s.v. Myth. D2E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

buku-buku ilmu pengetahuan, bersama dengan al-Qur’an ke dalam kelompok buku-buku ajaran palsu, dan diletakkan dalam bagian yang memuat buku-buku dongeng seperti cerita tentang binatang unicorn, seekor binatang mitologis di kalangan bangsa-bangsa Barat. Sikap memusuhi ilmu itu disalahkan oleh William, dan percakapan mereka dituturkan kembali oleh Adso, yang cuplikannya demikian: ...We perceived that the library had perhaps the largest collection of copies of the apostle’s book extant in Christendom, and an immense quantity of commentaries on the text.... As we made these and other observations, we arrived at the south tower, which we had already approached the night before. The S room of Yspania — windowless — led ito an E room, and after we gradually went around the five rooms of the tower, we came to the last, without other passages, which bore a red L. Again reading backward, we found LEONES. “Leones: south. On our map we are in Africa, hic sunt leones. And this explains why we have found so many texts by infidel authors.” “And there are more,” I said, rummaging in the cases. “Canon of Avicenna, and this codex with the beautiful calligraphy I don’t recognize...” “From the decorations I would say it is a Koran, but unfortunately I have no Arabic.” “The Koran, the Bible of the infidels, a perverse book...” “A book containing a wisdom different from ours. But you understand why they put it here, where the lions, the monsters, are. This is why we saw that book on the monstrous animals, where you also found the unicorn. This area called LEONES contains the books that the creators of the library considered books of falsehood. What’s over there?” “They’re in Latin, but from the Arabic. Ayyub al-Ruhawi, a treatise on canine hydrophobia. And this is a book of treasures. And this is De Aspectibus of Alhazen....” D3E


F NURCHOLISH MADJID G

“You see, among monsters and falsehoods they have also placed works of science from which Christians have much to learn. That was the way they thought in the times when the library was built....”3

Pertentangan antara ilmu dan iman di Barat itu akhirnya diselesaikan dengan memisahkan antara keduanya, mengikuti anggapan bahwa memang ada kebenaran ganda (double truth) yang tidak dapat didamaikan, yaitu kebenaran keimanan (agama) dan kebenaran keilmuan (filsafat). Para pemikir Eropa saat itu mengaku bahwa pandangan tentang kebenaran ganda tersebut berasal dari Ibn Rusyd (Averroës). Ini, menurut pembuktian para ahli sejarah pemikiran di Barat sendiri, merupakan kesalahpahaman terhadap filosof Muslim pembawa paham rasionalitas ke Eropa itu. Sebab sesungguhnya Ibn Rusyd tidaklah mengajarkan tentang dua kebenaran yang terpisah dan tidak dapat didamaikan. Ia hanya mengajarkan, seiring dengan pandangan yang umum di kalangan para filosof Muslim, bahwa kebenaran adalah tunggal adanya, namun kemampuan manusia memahaminya berbeda-beda setaraf dengan kapasitas inteleknya, yaitu pemahaman rasional (falsafī, burhānī) yang ada pada kaum khawas (al-khawwāshsh) dan pemahaman retorik yang ada pada kaum awam (al-‘awāmm), kemudian menengahi antara keduanya ialah pemahaman dialektis pada kalangan para teolog (mutakallimūn).4 Dan di Eropa yang terjadi kemudian ialah pemisahan antara dunia keimanan dan dunia keilmuan, yang merupakan salah satu pangkal paham keduniawian (sekularisme) Barat sekarang ini.5 3

Umberto Eco, The Name of the Rose (New York, Warner Books, 1984), h. 378-379. 4 Ibn Rusyd menguraikan hal ini dalam risalahnya yang terkenal, Fashl alMaqāl fī mā bayn al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittishāl (lihat terjemahannya dalam buku, Khazanah Intelektual Islam). 5 Although Aristotle, sieved through the Christian minds and comments of Boethius or Abelard, had not proved unacceptable to the Church, Aristotle, flavored by Muslim commentators, though popular (St. Albert the Great publicly discussed Averroes doctrine of the intellect in 1256) soon encountered official disapproval. Siger of Brabant, the leader of Averroists at the University of D4E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

Agama dan Mitologi

Walaupun begitu, banyak ahli mengatakan bahwa manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kolektif, tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Pengertian “mitos” seperti dikembangkan oleh para ilmuwan sosial, khususnya para antropolog, memandangnya sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk mencari kejelasan tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lampaunya. Dalam pengertian ini, “mitos” menjadi semacam “pelukisan” atas kenyataankenyataan (yang tak terjangkau, baik relatif ataupun mutlak) dalam format yang disederhanakan sehingga terpahami dan tertangkap oleh orang banyak. Sebab hanya melalui suatu keterangan yang terpahami itu maka seseorang atau masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam susunan kosmis, kemudian berdasarkan gambaran itu ia pun menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan. Dalam pengertian itu terkandung pandangan kenisbian tafsiran tentang mitos. Yaitu, bahwa setiap mitos, betapa pun ia itu salah, mempunyai faedah dan kegunaannya sendiri. Kaum fungsionalis di kalangan para ahli ilmu sosial menganut pendapat serupa itu. Fungsi mitos dan mitologi ialah untuk menyediakan rasa makna hidup yang membuat orang bersangkutan tidak akan merasa bahwa hidupnya akan sia-sia. Perasaan bahwa hidup ini berguna dan bertujuan lebih Paris, maintained, as philosophical truth, that there was Intellect, present in all intelligence, to whom was the collective return after death; he maintaind too that the world was eternal, continuously and necessarily created by God, who could no more stop creating than He could stop existing, and that this same necessity of His nature, that bound Him, bound our several natures to such an extent that there was no possibility of human free-will. When challenged as to how these doctrines could be reconciled with the Christian revelation, Siger of Brabant and the other Christian Averroists took the line that what is true philosophically bears no relation to what is true theologically. Revealed truths are not concerned with the same problems as is philosophy. This line if often taken today by Christians who find the truth of science at variance with the Christian Revelation: their reply is that there is separate truth for seperate subjects. (Anne Fremantel, The Age of Belief (New York: The New American Library, 1982], h. 144-5). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

tinggi daripada pengalaman keseharian merupakan unsur amat penting dari kebahagiaan, juga merupakan tonggak ketahanan fisik dan mental. Dengan adanya keinsafan akan suatu makna dalam hidup seseorang akan mampu bertahan dalam kepahitan pengalaman hidup nyata, karena ia, berdasarkan makna hidup yang diyakininya itu, selalu berpengharapan untuk masa depan. Karena itu makna hidup adalah juga pangkal harkat dan martabat manusia. Seperti dikatakan orang, Human dignity rests on the assumption that human life is in some way significant. We are more prepared to endure pain, deprivation, anguish and all manner of ills, if they serve some purpose, than we are to endure the inconsequentials. We would rather suffer than be of no importance.6 (Harkat manusia terletak pada pandangan bahwa hidupnya itu bagaimanapun juga berguna. Kita bersedia menanggung kepedihan, deprivasi, kesedihan dan segala derita, jika semuanya itu menunjang suatu tujuan, daripada memikul beban hidup tak berarti. Lebih baik menderita daripada tanpa makna.)

Dalam pengertian seperti itu, mitos menjadi sama dengan perlambang, alegori (majāz) atau simbol (rumūz, jamak dari ramz).7 Sebab, sama dengan mitos, simbol pun (seperti bendera negara atau panji-panji), mewakili suatu kenyataan yang jauh lebih besar dan kompleks, yang oleh simbol itu disederhanakan sehingga mudah ditangkap maksud dan tujuannya, mungkin juga nilainya. (Dalam suatu peperangan yang melibatkan masalah hidup atau mati, seseorang dapat tergugah luar biasa semangatnya hanya karena melihat bendera negara atau golongannya dikibar-kibarkan). Karena itu, 6

Michael Baigent, Richard Leigh & Henry Lincoln, The Messianic Legacy (New York: Bantam Doubleday Dell, 1986), h. 137. 7 Lihat pembahasan tentang hal ini oleh Ibn Sina dalam risalah Itsbāt alNubūwāt (terjemah Indonesianya dalam buku, Khazanah Intelektual Islam). D6E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

sama dengan simbol, mitos tidak dapat diberi makna harfiah, sebab setiap pemberian makna harfiah akan membuat persoalan menjadi tidak masuk akal (misalnya, adalah tidak masuk akal bahwa seseorang bersedia mati semata-mata untuk atau demi secarik kain yang kebetulan berwarna atau bergambar tertentu, yaitu bendera; sebaliknya, adalah masuk akal bahwa ia bersedia mati “di bawah” bendera berupa secarik kain itu, karena ia memahami bahwa “di balik” bendera atau lambang itu terdapat kenyataan atau makna yang besar dan sangat berarti bagi diri dan masyarakatnya, seperti negara atau agama). Oleh karena menyangkut segi kenisbian, maka penafsiran atas mitologi seperti ini melibatkan kesulitan tentang siapa yang berhak memberinya makna. Sebab tidak mustahil terdapat mitos, lambang, atau simbol yang persis sama namun mempunyai makna yang berbeda untuk orang yang berbeda. Contoh yang paling gampang ialah bendera kebangsaan kita, “sang merah putih,” yang juga merupakan bendera Monaco, atau, dengan sedikit variasi (yaitu letak atas-bawahnya dibalik), warna merah dan putih adalah juga bendera Polandia. Kita mempunyai tafsiran sendiri tentang apa makna warna “merah” dan apa pula makna warna “putih”, sebagaimana orangorang Monaco (dan Polandia) tentu mempunyai tafsiran sendirisendiri juga. Dalam rangka kenisbian tadi, masing-masing penafsiran adalah benar menurut konteks atau sudut pandang (perspektif ) yang bersangkutan, dengan akibat munculnya prinsip tidak dibenarkannya ikut-campur oleh seseorang kepada penafsiran orang lain. Tetapi dalam kenyataan persoalan tidaklah semudah gambaran itu. Misalnya, narasi tentang penciptaan manusia dalam kitab-kitab suci agama, yang dalam hal ini agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam) memiliki kesamaan struktur atau morfologi penuturan yang sangat besar (Tuhan menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, dari tanah, kemudian diciptakan istrinya pula, lalu dibiarkan hidup dalam surga penuh kebahagiaan, namun dilarang mendekati sebuah pohon tertentu dalam surga itu. Adam dan istrinya, Hawa, D7E


F NURCHOLISH MADJID G

melanggar larangan itu, dengan akibat mereka diusir dari surga, dan seterusnya). Kita mengetahui bahwa antara ketiga agama itu terdapat perbedaan penafsiran atas narasi penciptaan manusia tersebut. Kaum Yahudi cenderung sangat harfiah, sehingga mereka memercayai bahwa manusia barulah diciptakan sekitar enam ribu tahun yang lalu saja, atau empat ribu tahun sebelum al-Masih (karena itu kalender Yahudi yang dihitung sejak saat penciptaan manusia menurut tafsiran mereka itu sekarang telah mencapai tahun 5754; seperti kalender Islam, kalender Yahudi juga dibuat berdasarkan peredaran rembulan). Karena kaum Kristen juga membaca Kitab Kejadian (Genesis) yang memuat narasi penciptaan itu, maka di kalangan mereka juga terdapat penganut tafsiran harfiah seperti kaum Yahudi (kalangan Kristen ini di Amerika biasa disebut kaum Creationists sebagai lawan para “ilmuwan” Darwinis yang disebut kaum Evolutionists). Persoalan menjadi rumit karena masing-masing mereka dengan tafsiran yang berbeda-beda itu merasa paling benar dan mencap lainnya sebagai salah atau sesat, lalu terlibat dalam pertikaian yang sangat gawat.

Islam dan Mitos

Dengan bertolak dari pembahasan di atas itu, kita dapat melanjutkan pemeriksaan tentang mitos dalam agama Islam. Mereka yang tidak menerima ajaran Nabi Muhammad saw. ini barangkali memandang bahwa ajaran Islam, sebagian atau seluruhnya, adalah tidak lebih daripada mitos-mitos. Bahkan itulah pula tanggapan kaum Quraisy Makkah dahulu terhadap seruan Nabi. Mereka menilai seruan itu sebagai sama dengan dongeng-dongeng dari masa lalu.8 8

Lihat Q 6:25, 16:24, 23:83, 25:5, 27:68, 46:17, 68:15, dan 83:13, yang semuanya melukiskan reaksi kaum musyrik Makkah dan orang-orang kafir terhadap seruan Nabi saw. dengan mengemukakan bahwa seruan itu tidak lain hanyalah dongeng-dongeng masa lalu belaka. D8E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

Jika benar manusia tidak mungkin hidup tanpa suatu bentuk mitologi tertentu, dan jika dari antara perbendaharaan kultural manusia agama adalah yang paling banyak mengandung mitos-mitos, maka barangkali Islam pun tidak bebas dari mitologi, sekurangnya dari sistem perlambangan atau sombolisme. Tetapi kajian-kajian modern oleh orang-orang Barat sendiri — yaitu orang-orang yang karena rasionalisme abad lalu terbiasa menanggap semua agama adalah kumpulan mitologi — banyak yang dengan jujur menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling bebas dari mitologi. Dalam penglihatan Frithjof Schuon (Muhammad Isa Nuruddin), seorang filosof Muslim dari Swiss, tampilnya Islam berarti menyambung kembali tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang mengajarkan tentang beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa dan pendekatan kepada-Nya melalui amal perbuatan yang baik, suatu monoteisme etis (ethical monotheism).9 Ajaran Nabi Isa al-Masih, sebagai kelanjutan ajaran Nabi Ibrahim, juga pada mulanya sebuah monoteisme etis. Tetapi, menurut banyak ahli, agama al-Masih itu telah diubah oleh Paulus menjadi monoteisme sakramental (sacramental monotheism), karena diri pribadi Nabi Isa (yang kemudian dipandang sebagai “Tuhan”) menjadi lebih penting daripada ajarannya tentang pendekatan kepada Tuhan melalui amal dan kegiatan. Maka sakramen, terutama dalam bentuk Ekaristi, menjadi sangat sentral bagi pemeluk Kristen, karena bagi mereka keselamatan diperoleh melalui dan dalam diri atau tubuh Isa al-Masih. Paul, in effect, betrays the commission entrusted to him by James and the Nazarean hierarchy. For Paul, Jesus’s teachings and political status are less important than Jesus himself...What matters is simply a profession of faith in Jesus as manifestation of God, and such a profession of faith is in itself sufficient to ensure salvation...Jesus, James 9

Firthjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (London: Faber and Faber, t.th.), h. 134. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

and the Nazareans in Jerusalem advocated worship of God, in the strict Judaic sense. Paul replaces this with worship of Jesus as God. In Paul’s hands, Jesus himself becomes an object of religious veneration — which Jesus himself, like his brother and the other Nazarean in Jerusalem, would have regarded as blasphemous.10

Karena itu dalam sistem peribadatan Islam tidak ada mitologi atau sakramen, dan semua ibadat ditekankan sebagai usaha pendekatan pribadi kepada Tuhan semata. Seperti diamati oleh Andrew Rippin, ibadat dalam Islam tidak mengandung mitologi, amythical dan juga non-sacramental. Most noticeable when contemplating the sum of Muslim ritual is the emphasis upon the ritualism of the activities; all events are fully planned and formalized. But beyond that, one may observe a general lack of mythological sense in any of the rituals. The only meaning which can be seen in these rituals, according to many classical Muslim thinkers and modern scholars of Islam alike, is their sense of being an expression of an individual’s piety and obedience to God’s command and as an indication of the person’s membership within the Islamic community. There is a very real sense of what has been termed ‘anti sacramentalism’ and also of the rituals being ‘commemorative’ but at the same time ‘amythical’; that is, many of the actions in these rituals are done with remembrance of past actions of Muhammad or Abraham, but without those actions becoming mythological, such that the believer becomes, in any sense, the person of the past, for example. Likewise, the sacrifice of the hajj and the performance of the fast of Ramadan for most part do not take on the character of sacraments, conceived to have specific effects for the believer, but rather remain acts which individuals do within their sense of obedience.11 10

Michael Baigent, Richard Leigh & Henry Lincoln, The Messianic Legacy (New York: Bantam Doubleday Dell, 1986), h. 77-78. 11 Andrew Rippin, Muslims, Their Religious Beliefs and Practices (London: Routledge, 1990), Vol. 1, h. 99. D 10 E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

Memang ada bentuk-bentuk ibadat yang bersifat memperingati kejadian masa lalu (commemorative) seperti haji dan kurban, namun intinya tetap pendekatan pribadi kepada Tuhan. Sehubungan dengan ibadat berkurban hewan itu diperingatkan bahwa “Tidak akan sampai kepada Allah daging kurban itu, juga tidak darahnya, tetapi akan sampai kepada-Nya takwa dari kamu,” (Q 22:37). Ibadat kurban dapat dipahami sebagai simbolisasi usaha pendekatan kepada Allah dengan melakukan pendekatan kepada sesama manusia (memberi kaum miskin daging kurban itu). Dan sebagai simbolisasi dari makna atau pesan yang lebih besar, mendalam, dan meluas, ibadat kurban adalah sama nilainya dengan ibadat zakat fitrah pada akhir puasa Ramadlan dan ucapan salām (lafal al-salāmu ‘alaykum) pada akhir sembahyang (ditambah dengan simbolisasi menengok ke kanan dan ke kiri). Semuanya mengandung arti pendekatan kepada Tuhan (asal makna kata-kata “kurban” yang dari bahasa Arab “qurbān” yang satu akar dengan istilah keagamaan lain, “taqarrub”), dengan cara pendekatan kepada sesama manusia. Dalam perkara simbol dan simbolisasi itu Islam tidaklah jauh berbeda dengan agama lain mana pun, jika memang dimungkinkan pemahaman simbol-simbol itu menuju makna yang sama. Tetapi, seperti dikemukakan di atas, Islam memiliki kelebihan atas yang lainnya karena secara inheren mengandung kelengkapan untuk memungkinkan pemahaman simbol-simbol itu secara jauh lebih bebas dari mitologi. Narasi tentang penciptaan Adam dan Hawa sebagai misal, kaum Muslim tidak saja menunjukkan kecenderungan penafsiran yang berbeda dari kaum Yahudi dan Kristen. Lebih dari itu, mereka mendapati — sepanjang pertanggalan penciptaan tersebut — bahwa dalam al-Qur’an sendiri terdapat keterangan bahwa waktu menurut Tuhan tidaklah sama dengan waktu menurut manusia. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari yang kamu perhitungkan,” (Q 22:47) dan bahwa: D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

“Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta apa yang ada antara keduanya dalam enam hari kemudian bertakhta di atas ‘Arasy (‘Singgasana’). Tidak ada bagimu sekalian Pelindung, juga tidak Penolong, selain dari Dia. Apakah kamu tidak pikirkan? Dia yang mengatur segala perkara dari langit sampai ke bumi, kemudian ia (segala perkara) itu naik kepada-Nya dalam masa sehari yang ukurannya adalah seribu tahun dari yang kamu perhitungkan. Itulah Dia (Tuhan) Yang Mahatahu tentang yang tersembunyi (gaib) dan yang tampak (syahādah), Yang Mahamulia dan Mahakasih-Sayang,” (Q 32:5).

Dalam firman-firman yang menyebutkan bahwa sehari di sisi Tuhan sama dengan seribu tahun bagi manusia itu masih juga terkandung kemungkinan perlambangan atau simbolisasi, yaitu pernyataan “seribu” tahun itu sendiri. Para penafsir al-Qur’an mengatakan bahwa perkataan “seribu” di situ tidaklah musti diartikan secara harfiah — karena ia hanyalah perlambang atau majāz yang dapat berarti penggambaran waktu yang sangat lama. Tafsiran ini ditunjang oleh keterangan lain dalam Kitab Suci bahwa di Hari Kiamat “Para malaikat dan Ruh Suci naik — menghadap — kepada-Nya dalam satu hari yang ukurannya ialah limapuluh ribu tahun,” (Q 70:4). Dalam bahasa kontemporer, keteranganketerangan al-Qur’an itu memberi kemungkinan penafsiran sebagai petunjuk tentang kenisbian waktu. Dengan begitu al-Qur’an memberi peluang yang besar untuk pengembangan penafsiran dan pemahaman keagamaan yang lebih bebas dari mitos dan mitologi. Atau, kalaupun firman-firman suci harus tetap dipandang sebagai lambang-lambang, namun semuanya itu dapat dipahami dengan cara-cara yang lebih masuk akal, sesuai dengan seruan Kitab Suci sendiri agar kita senantiasa meggunakan akal dan pikiran serta tidak mengikuti sesuatu yang kita tidak mengerti.12 12

“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengertian mengenainya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati (fu’ād) itu semuanya akan dimintai pertanggungjawaban,” (Q 17:36). Digandengkan dengan banyak seruan dan dorongan kepada manusia untuk menggunakan D 12 E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

Persoalan yang cukup rumit ini menjadi perhatian Martin Lings (Abu Bakar Sirajuddin), seorang sastrawan Muslim Inggris yang semakin banyak tampil sebagai filosof Islam kontemporer. Bagaimana Martin Lings, sebagai seorang Muslim Barat yang dibesarkan dalam lingkungan Eropa Kristen, menafsirkan narasi penciptaan Adam dan Hawa yang sudah dibahas di atas, menarik untuk ditelaah: Does religion claim that pre-historic events can be dated on the basis of a literal interpretation of figures mentioned in the Old Testament, and that the approximate date of creation itself is 4,000 B.C.? It could hardly make such a claim, for “a thousand years in Thy Sight are but as yesterday” and it is by no means always clear, when days are mentioned in sacred texts, whether they are human days or whether they are Divine Days each consisting of “a thousand human years”, that is, a period which bears no comparison with a human day. Can science allow that the earth was created about 6,000 years ago? Clearly it cannot, for evidence of various kinds shows beyond doubt that at that date the earth and man were already old. If science seems here to refute the letter of the Scriptures, it does not refute their spirit, for even apart from archaeological and geological evidence there are directly spiritual reasons for preferring not to insist on the letter of Genesis chronology.... But is it necessary for religion to maintain that at some time in the past man was created in a state of surpassing excellence, from which he has since fallen? Without any doubt yes, for if the story of the Garden of Eden cannot be taken literally, it cannot, on the other hand, be taken as meaning the opposite of what it says. The purpose of allegory is, after all, to convey truth, not falsehood. Besides, it is not only Judaism, Christianity and Islam which tell of the perfection of Primordial Man akal (ya‘qilūn, dengan berbagai tasrifnya) dan berpikir (yatafakkarūn, dengan berbagai tasrifnya) maka jelas sekali bahwa Islam tidak menghendaki manusia berpikir serba bersifat dongeng yang tidak masuk akal. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

and his subsequent fall. The same truth, clothed in many dierent imageries, has come down to us out of the prehistoric past in all parts of the world.13

Dalam sistem keimanan Islam juga ditegaskan sikap-sikap yang tidak terlampau memitoskan Nabinya, Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia seperti kita juga, hanya saja beliau menerima wahyu dari Allah tentang paham Ketuhanan Yang Mahaesa (lihat Q 18:110). Para Nabi pun ditegaskan sebagai tidak lain dari orang-orang yang “memakan panganan dan berjalan di pasar-pasar� (untuk berdagang atau berbelanja) (lihat Q 25:7 dan 20). Karena penegasan-penegasan serupa itulah maka Islam terselamatkan dari ajaran dan praktik memitoskan Nabi atau apalagi menyembahnya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan agama yang akhirnya berkembang menjadi ajaran yang mengagungkan dan menyembah tokoh yang mendirikannya. Jika demikian sikap terhadap Rasulullah saw. dan para Nabi, maka apalagi terhadap sesama manusia biasa, termasuk kepada para pemimpin agama. Tentu saja Nabi adalah contoh dan teladan yang harus ditiru. Maka demikian pula orang-orang saleh dan para ulama yang disebutkan sebagai pewaris para Nabi itu, jika memang mereka memenuhi syarat sebagai teladan. Namun itu semua harus berlangsung tanpa pemitosan, dan harus disertai kesadaran penuh tentang nilai kemanusiaan mereka yang nisbi. Berkenaan dengan ini, patut sekali kita renungkan penegasan yang diberikan oleh Sayyid Quthb: Dalam Islam tidak dikenal kependetaan, dan tidak pula ada penengah antara hamba dan Khaliknya. Setiap orang Muslim di penjuru bumi dan di hamparan laut dapat berhubungan sendiri dengan Tuhannya, tanpa pendeta dan tanpa orang suci. Seorang pemimpin Muslim ti13

Martin Lings, Ancient Beliefs and Modern Superstitions (Cambridge, Inggris: Quinta Essentia, 1991), h. 1 dan 4. D 14 E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

daklah menyandarkan wewenangnya pada “hak Ilahi”, juga tidak pada peran penengah antara Allah dan manusia, melainkan pelaksanaan kekuasaannya itu bersandar kepada masyarakat Islam, sebagaimana kekuasaan itu sendiri bersandar kepada kemampuan melaksanakan agama yang setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memahami dan melaksakannya jika mereka memahaminya, dan semua berhukum kepadanya secara sama. Jadi dalam Islam tidak ada “petugas keagamaan” menurut pengertian yang dipahami dalam berbagai agama lain, yang pelaksanaan suatu upacara keagamaan tidak sah jika tidak dihadiri “petugas keagamaan” itu. Dalam Islam hanya ada ulama (sarjana) agama, dan seorang sarjana agama tidak mempunyai hak khusus atas perilaku kaum Muslim. Seorang penguasa pun tidak berhak atas perilaku kaum Muslim itu selain melaksanakan syariat yang ia sendiri tidak mengada-adakannya, melainkan karena diwajibkan oleh Allah atas semua orang. Sedangkan di akhirat, maka semuanya menuju kepada Allah: “Dan setiap orang datang kepada-Nya pada Hari Kiamat sebagai pribadi,” (Q 19:25).14

Berkenaan dengan masalah mitos dan mitologi ini, sekali lagi kita hendak kemukakan perkembangan pemikiran di Barat tentang Islam dan Nabinya. Karena sejarah permusuhan yang cukup lama, harus diakui bahwa Barat cenderung untuk menampilkan pandangan yang amat negatif tentang Islam, kaum Muslim, dan Nabi Muhammad saw. Tetapi terdapat pula kalangan mereka yang cukup jujur (atau berusaha keras untuk jujur, berhasil atau gagal) yang memandang Islam, khususnya Nabinya, secara lebih baik. Menurut Maxim Rodinson, banyak pemikir Barat yang sekalipun mungkin tidak suka kepada Nabi Muhammad, namun tidak jarang masih menunjukkan kekaguman mereka kepada Nabi kaum Muslim itu. Comte de Boulainvilliers, pada awal abad ke-18, menyanjung 14

Sayyid Quthb, al-Dīn wa al-Mujtama‘ bayn al-Islām wa al-Nashrānīyah (Kuwait: Dār al Bayān, t.th.), h. 21-22. D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

Nabi Muhammad sebagai seorang pemikir bebas (freethinker, vrijdenker [?!]), pencipta agama rasional. Voltaire menggunakan nama Nabi Muhammad sebagai senjata melawan agama Kristen dengan mengatakan bahwa kalaupun Nabi itu adalah seorang pendusta namun ia berhasil memimpin rakyatnya melakukan penaklukan yang agung dengan bantuan cerita-cerita khayal (?!). Menurut Rodinson, abad ke-18 secara keseluruhan memandang Nabi Muhammad sebagai pengajar agama yang alami, wajar, dan masuk akal (rasional), yang jauh terbebaskan dari “kegilaan Salib.” Thomas Carlyle menempatkan pribadi Nabi Muhammad yang agung itu dalam deretan para pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan cahaya Ilahi. Hubert Grimme, pada akhir abad ke-19, memandang Nabi Muhammad sebagai seorang sosialis yang berhasil melakukan reformasi fiskal dan sosial dengan “mitologi” yang sangat minimal. Sastrawan besar Jerman, Goëthe, mempersembahkan syair yang agung kepada Nabi Muhammad, dengan menggambarkannya sebagai seorang genius yang bagaikan sungai besar. Sungai itu dan cabang-cabangnya meminta bimbingannya untuk mencapai lautan yang sedang menunggu. Agung, penuh kemenangan, dan tak terkalahkan, Nabi memimpin mereka maju terus: Und so trägt er seine Bruder, Seine Schätze, seine Kinder Dem erwartenden Erzeuger Freudebrausend an das Herz. (Dan begitulah ia — Nabi — membawa saudara-saudaranya, perbendaharaannya, putra-putranya, semua bergembira-ria dan bahagia, menuju pangkuan ayah-bunda mereka yang sedang menanti)15 15

While Christianity regarded him as the arch-enemy, evil and lascivious, and while Islam was extolling him as “the best of all created things”, other men appeared who, with little understanding of religious faith and of Islam less than any, tried to find in him a man who thought and moved on the same level D 16 E


F MITOS DALAM AGAMA DAN BUDAYA G

Begitulah gambaran-gambaran tentang Nabi Muhammad saw. — dan dengan begitu juga secara langsung atau tidak langsung tentang Islam dan kaum Muslim — oleh para pemikir Barat yang lingkungannya terkenal tidak simpatik kepada Islam. Pandanganpandangan tersebut masih tercampur dengan unsur-unsur yang tidak benar, namun semuanya menunjukkan adanya kenyataan yang tidak dapat diingkari, yaitu bahwa Nabi saw. dan Islam akhirnya harus dipahami secara benar, tanpa mitologi atau sebebas mungkin dari mitologi. Sebelum diakhiri, perlu ditegaskan bahwa mitos dan mitologi, dalam pengertian yang “biasa”, lebih banyak menunjukkan pengeras themselves. The Comte de Boulainvilliers, early in the eighteenth century, hailed him as a free thinker, the creator of religion of reason. Voltaire used him as a weapon againt Christianity by making him a cynical impostor who yet managed to lead his people to the conquest of glory with the help of fairy stories. The eighteenth century as a whole saw him as the preacher of natural, rational religion, far removed from the madness of the Cross. The Academies praised him. Goethe dovoted a magnificent poem to him, in which, as the very epitome of the man of genius, he is compared to a mighty river. The river and streams, his brothers, call on him to help them reach the sea which is waiting for them. Majestic, triumphant, irresistible, he draws them onwards. Und so trägt er seine Bruder, Seine Schätze, seine Kinder Dem erwartenden Erzeuger Freudebrausend an das Herz. (And thus he carries his brothers, his treasures, his children, all tumultuous with joy, to their waiting Parents bosom). Carlyle puts this great soul among the heroes of mankind in whom some spark of divinity is to be seen. After him the scholars came to reconstruct the story of his life from the early sources, from a closer and closer study of the Arab historians. The Arabist Hubert Grimme, at the end of nineteenth century, saw him as a socialist who was able to impose fiscal and social reform with the help of a (strictly minimal) “mythology”... (Maxime Rodinson, Mohammed (London, Penguin Books, trans. Anne Carter, 1971), hh. 211-213) D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

tian yang negatif, karena, sesuai dengan asal katanya dari bahasabahasa Yunani dan Latin, ia bermakna sekitar dongeng, percakapan, penuturan, dan lain-lain yang menjadi lawan dari logika (logos) dan sejarah (historia). Dalam penafsiran ilmu antropologi tentang mitos dan mitologi, terkait kenisbian makna sesuai dengan kelompok masyarakat yang mendukungnya. Sebagai penyederhanaan keterangan tentang kosmos dan sejarah, mitos memiliki fungsi memasok masyarakat dengan kesadaran makna dan tujuan hidup yang amat penting. Karena itu dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat tahan hidup tanpa sistem mitologi dalam bentuk-bentuk tertentu. Agama, sebagai sumber makna hidup yang terpenting dalam sistem kultural manusia, tidak lepas dari mitos-mitos. Namun ada agama yang dalam dirinya terkandung kelengkapan untuk pengembangan pemahaman pokok ajaran dan kepercayaannya dengan sesedikit mungkin — jika bukannya bebas sama sekali — dari mitos dan mitologi. Agama Islam, dalam tinjauan dan pembahasan yang cukup jujur oleh kalangan para ahli, termasuk mereka yang bukan Muslim, terbukti merupakan agama yang paling terbebaskan dari mitos dan mitologi. Sekalipun begitu, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah, keunggulan Nabi Muhammad dan agama Islam tidak membenarkan sikap memandang rendah Nabi-nabi yang lain beserta agama dan para pengikut mereka.16 [ ]

16

Tetapi Muhammad saw. dilebihkan oleh Allah atas sekalian para Nabi, dan umatnya dilebihkan atas semua umat, tanpa sikap merendahkan seorang pun dari para Nabi itu dan tidak pula umat-umat yang mengikuti mereka (para Nabi tersebut. (Ibn Taimiyah, al-Īmān, edisi oleh Dr. Muhammad Khalil Harrasy (Kairo: Dar al-Thiba‘ah al-Muhammadiyah, t.th.), h. 298. D 18 E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

Dalam ayat-ayat pertama surat al-Baqarah dari Kitab suci al-Qur’an disebutkan bahwa kitab suci itu merupakan petunjuk bagi orangorang yang bertakwa. Kemudian diterangkan sifat-sifat utama kaum bertakwa itu, yaitu: (1) beriman kepada yang gaib, (2) menegakkan shalat, (3) mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka, (4) beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., (5) beriman kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad saw., (6) yakin akan Hari Kemudian (Akhirat). Dari sifat-sifat utama kaum bertakwa itu, sifat yang terakhir, yaitu yakin akan Hari Kemudian, bersangkutan langsung dengan masalah kematian. Yaitu bahwa kematian bukanlah akhir dari segala pengalaman eksistensial manusia, melainkan permulaan dari jenis pengalaman baru yang justru lebih hakiki dan lebih abadi. Jika eksistensi manusia ini dilukiskan sebagai garis berkelanjutan (kontinuum), kematian hanyalah sebuah titik dalam garis itu yang menandai perpindahan dari satu fase ke fase yang lain. Tetapi karena masalah kematian dan apa yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri adalah masalah yang tidak empiris (artinya, tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman atau “penelitian” manusia yang masih hidup), maka tekanan dalam deretan firman-firman awal surat al-Baqarah itu ialah “iman” atau “percaya” dan “yakin”. Yakni, percaya dan yakin kepada “berita” (Arab: naba’) dari Tuhan

D1E


F NURCHOLISH MADJID G

sebagaimana dibawa oleh para “pembawa berita” atau mereka yang mendapat berita (Arab: Nabī, “orang yang diberi berita”). Karena itu masalah kematian merupakan bidang garapan agama, dan kehidupan keagamaan dengan sendirinya sangat erat dikaitkan dengan apa yang akan terjadi pada setiap individu setelah mati. Disebabkan hakikat kematian dan apa yang bakal terjadi sesudahnya merupakan perkara yang tidak empirik dan diketahui semata-mata melalui percaya dan sikap menerima berita Ilahi yang dibawa oleh para Nabi, maka dalam usaha memahami masalah itu kita hanya dapat melakukan rujukan-rujukan kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi, dan hanya sedikit sekali dimungkinkan adanya argumen ilmiah.

Kematian sebagai Terminal

Sepanjang pemahaman baku di kalangan para ulama, lukisan grafis eksistensi manusia menurut Islam ialah sebuah garis kontinuum, bukan lingkaran. Jadi berbeda dengan agama Hindu yang mengajarkan eksistensi manusia sebagai lingkaran, yang memberi tempat bagi konsep reinkarnasi. Dalam al-Qur’an terdapat indikasi bahwa pengalaman dan wujud eksistensial manusia terdiri dari “dua kematian” dan “dua kehidupan” atau “dua mati” dan “dua hidup”. Ini dapat kita pahami dari firman Allah, menggambarkan kaum kafir nanti di Akhirat: “Mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali. Sekarang kami mengakui akan dosa-dosa kami. Adakah jalan keluar?,’” (Q 40:11). Para ahli tafsir menerangkan bahwa mati pertama ialah fase eksistensi kita ketika masih berupa tanah atau sebelum kita dilahirkan di dunia ini, sedangkan kematian kedua ialah kematian fisik sebagai akhir hidup duniawi untuk memasuki hidup ukhrawi. Dan hidup ukhrawi itu, khususnya setelah terjadi kebangkitan kembali (qiyāmah, “kiamat”) adalah hidup kedua, D2E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

sedangkan yang pertama ialah yang sedang kita alami sekarang ini, yaitu hidup duniawi.1 Jadi kematian bukanlah akhir pengalaman eksistensial manusia. Kematian adalah “pintu” untuk memasuki kehidupan manusia selanjutnya, suatu kehidupan yang sama sekali lain dari yang sekarang sedang kita alami, yaitu kehidupan ukhrawi. Pandangan ini semua bagi kita sekarang yang sudah menjadi anggota masyarakat Islam, atau agama mana pun lainnya, terasa sebagai pandangan yang wajar saja, yang sudah “taken for granted”. Namun tidaklah demikian pada bangsa Arab sebelum Islam (Arab Jahiliyah). Percaya kepada kematian sebagai bersifat perpindahan (transitory) dan kepada adanya kehidupan sesudah mati itu merupakan salah satu segi ajaran Nabi Muhammad saw. yang bagi orang-orang Arab Makkah saat itu dirasa mustahil. Berat sekali bagi mereka menerima pandangan bahwa sesudah kematian masih akan ada lagi kehidupan lebih lanjut. Sebab bagi mereka yang ada hanyalah hidup duniawi ini saja: di dunia manusia mengalami kehidupan, dan di dunia pula mereka akan mati, dengan sang waktu sebagai satu-satunya yang membawa kehancuran atau kematian (lihat Q 45:24). Pandangan ini juga membuat orang-orang Arab dahulu menolak pandangan bahwa nanti, sesudah kematiannya, setiap orang akan dibangkitkan dan dihidupkan kembali (Q 36:78).Percaya akan adanya kebangkitan dari kubur merupakan nuktah yang amat penting dalam sistem ajaran Islam. Sebab kebangkitan itulah yang mengawali pengalaman eksistensial manusia dalam alam Akhirat. Percaya kepada Akhirat merupakan salah satu dari tiga sendi ajaran Nabi, yang di atasnya ditegakkan seluruh bangunan ajaran Islam. Tiga sendi itu ialah: (1) meninggalkan semua kepercayaan palsu dalam kemusyrikan dan hanya percaya kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa; (2) berbuat baik kepada sesama manusia, khususnya usaha bagi perbaikan nasib kaum miskin; dan (3) percaya kepada Hari 1

Hamka, Tafsir al-Azhar, 30 juzu’ (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1984), Juzu’ ke-24, h. 141-142. D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Kemudian yang bakal diawali dengan dibangkitkannya manusia dari kematian.2 Adalah kebangkitan kembali dari kematian atau dari kubur itu yang dinyatakan dalam kepercayaan tentang “Hari Kebangkitan” (Yawm al-Qiyāmah atau Yawm al-Ba‘ts), yang langsung berkaitan dengan kepercayaan tentang “Hari Kemudian” (Yawm al-Ākhirah). Karena itu percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian lalu berbuat baik kepada sesama manusia merupakan sendi utama pengalaman eksistensial yang bahagia bagi setiap orang, dan menjadi inti semua agama yang benar.3 2 Pokok-pokok ajaran ini dapat dipahami dari surat-surat pendek al-Qur’an dalam “Juz ‘Amma” (juz 30). Tekanan kepada adanya kewajiban menunaikan tanggung jawab moral manusia di dunia ini dan kepada keprcayaan tentang adanya Hari Kemudian yang didahului dengan Hari Kebangkitan merupakan tema-tema pokok surat-surat pendek, khususnya patut sekali direnungkan tema-tema surat-surat al-Muthaffifīn/83, al-Layl/92, al-Zilzāl/99, al-‘Ādiyāt/100, al-Qāri‘ah/101, al-Takātsur/102, al-Humazah/104, dan al-Mā‘ūn/107. 3 Prinsip ini dapat dipahami antara lain dari, “Sesungguhnya mereka yang beriman (kepada al-Qur’an), mereka yang menganut agama Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’un, siapa saja yang beriman kepada Allah (Tuhan Yang Mahaesa) dan kepada Hari Akhirat serta berbuat baik, maka mereka mendapatkan pahala-pahala mereka di sisi Tuhan mereka, dan mereka tidak akan takut juga tidak akan khawatir,” (Q 2:62). Sekarang perhatikanlah uraian para ahli tafsir, antara lain Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya yang amat terkenal dan diakui otoritasnya di seluruh dunia. Ia memberi komentar atas ayat suci itu demikian: “The point of the verse is that Islam does not teach an exclusive doctrine, and is not meant exclusively for one people. The Jews claimed this for themselves, and the Christians in their origin were a sect of the Jews. Even the modern organized Christian churches, though they have been, consciously or unsonsciously, influenced by the Time spirit, including the historical fact of Islam, yet cling to the idea of Vicarious Atonement, which means that all who do not believe in it or who lived prevoiusly to the death of Christ are at a disadvantage spiritually before the Throne of God. The attitude of Islam is entirely different. Islam existed before the teaching of Muªammad on this earth: the Qur’ān expressly calls Abraham a Muslim (iii:67). Its teaching (submission to God’s will) has been and will be the teaching of Religion for all time and for all peoples.” (A. Yusuf Ali, The Holy Quran, Translation and Commentary [Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H], h. 35 [keterangan No. 77]). Dan Mahdi Ilahi Qumsyahi menerjemahkan ayat suci itu dengan menyisipkan penegasan demikian: “Ya‘nī D4E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

Kematian sebagai Kemestian

Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yang lebih menakutkan daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia sampai dengan akhirakhir ini (hukuman mati ditentang oleh gerakan-gerakan modern tertentu, seperti Amnesty International) merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan. Namun justru kematian setiap pribadi merupakan hal yang pasti terjadi. Maka beberapa filosof yang pesimis terhadap kehidupan, seperti Schoppenhauer dan Dorrow, memandang hidup manusia merupakan “lelucon yang mengerikan”. Sebab, bukankah hidup ini hanyalah “antri untuk mati”, berupa deretan panjang peristiwa-pristiwa pribadi dan sosial menuju hal yang amat mengerikan, yaitu kematian?! Menurut kaum pesimis itu, kalau seandainya dahulu sebelum lahir ke dunia seorang pribadi sempat ditanya, apakah mau hidup di dunia ini atau tidak, tentu sebagian besar, mungkin malah semuanya, akan memilih untuk tidak pernah lahir! Pendapat pesimis serupa itu hanyalah dugaan atau spekulasi. Tidak ada dasar yang pasti untuk membenarkannya. Yang jelas ialah bahwa kehidupan telah terjadi pada kita di sini, dan kematian menanti kita setiap saat, tanpa dapat sedikit pun diragukan. Namun cukup aneh, bahwa banyak orang, jika ditilik dari tingkah lakunya sehari-hari, seolah-olah ia beranggapan bahwa hidup ini akan berlangsung terus, tanpa akhir. Pandangannya yang keliru itu menimbulkan perilaku kurang bertanggung jawab, karena tipisnya kesadaran bahwa semuanya ini akan berkesudahan, dan ªaqīqat-e dīn īmān be Khodā wa qiyāmat wa ‘amal syāyisteh ast be ism-e Musulmānī wa ghairih” (Yakni hakikat agama yang benar (dīn) ialah beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik, yang dinamai orang Muslim dan yang lainnya). (Mahdī Ilahi Qumsyahi, Qur’ān Karīm, Tarjamah [Persi], [Teheran: Syirkat-e Cāp-e Offset-e Gulsyan, 1403 H], h. 11). D5E


F NURCHOLISH MADJID G

bahwa setiap pribadi akan menerima akibat perbuatannya, yang baik dan yang jahat. Misalnya, seperti dilukiskan dalam al-Qur’an, ada segolongan manusia yang sedemikian sibuknya dengan kegiatan mengumpulkan harta kekayaan dan baru berhenti setelah masuk liang kubur, atau mereka itu menduga bahwa harta kekayaan akan membuatnya hidup terus-menerus secara abadi (lihat Q 102 dan 104). Ada pula dari kalangan mereka yang berkeinginan untuk hidup seribu tahun, karena tidak melihat kemungkinan kebahagiaan lain selain yang ada di dunia ini saja.4 Maka al-Qur’an pun senantiasa memperingatkan kita semua bahwa kematian adalah sebuah kemestian yang tidak terhindarkan, dan dalam semangat kesadaran akan akhir hidup itu kita hendaknya mengisi kehidupan ini dengan sungguh-sungguh memenuhi kewajiban moral kita. “Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan kamu pun pasti dipenuhi balasan-balasanmu di Hari Kiamat,” (Q 3:185). “Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan Kami menguji kamu semua dengan keburukan dan kebaikan sebagai percobaan,” (Q 21:35) “Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Kemudian kepada Kami (Tuhan) kamu sekalian akan dikembalikan,” (Q 29:57). “Di mana pun kamu berada, kematian pasti akan menjumpaimu, sekalipun kamu ada dalam benteng-benteng yang kukuh-kuat,” (Q 4:78).

Kematian memang merupakan sebuah misteri. Tetapi, dalam hal ini, kehidupan pun merupakan sebuah misteri. Mengapa kita hidup? Dan mengapa kemudian kita mati? Telah disinggung bahwa untuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan serupa itu tidak ada yang bersifat empirik. Jawabnya didapat hanya melalui percaya, 4

Lihat Q 2:96: “Dari mereka ada yang ingin kalau seandainya diberi umur sampai seribu tahun.” D6E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

yaitu percaya kepada “berita” yang dibawa oleh para “pembawa berita” atau “penerima berita”, yaitu Nabi dan Rasul. Menurut berita Ilahi (wahyu), Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk memberi kesempatan kepada kita tampil sebagai makhluk moral. Yaitu makhluk yang memiliki kemampuan untuk berbuat baik atau jahat. Dan Allah hendak “menguji” kita, siapa di antara kita yang paling dalam amal perbuatannya: “Mahatinggi Dia, yang di tangan-Nyalah berada segala kekuasaan memerintah, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia yang telah menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amal perbuatannya. Dan Dia itu Mahamulia lagi Maha Pengampun,” (Q 67:1-2). Dengan begitu menjadi amat jelas bahwa hidup mempunyai tujuan, dan wujud tujuan itu akan terlihat dalam kehidupan setelah mati. Karena itu hidup ini sering digambarkan sebagai perjalanan menuju tujuan yang sebenarnya, yaitu Allah “Sangkan-Paran” kita semua. Hidup ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh, agar tidak lewat begitu saja kepada kita dengan sia-sia.

Beberapa Gambaran tentang Dimensi Alam Akhirat

Telah dikemukakan bahwa kematian adalah pintu memasuki tahap pengalaman eksistensial manusia yang lain, sama sekali lain dari yang sekarang sedang kita alami. Sebelum kebangkitan, pengalaman yang akan terjadi ialah pengalaman dalam alam kubur. Berkenaan dengan alam kubur itu, terdapat beberapa keterangan dalam al-Qur’an yang patut sekali kita renungkan. Yaitu bahwa manusia dalam alam kubur itu akan merasa seperti tidur nyenyak. Ada ilustrasi bahwa orang-orang kafir akan terkejut dan protes karena mereka dibangunkan dari tidur nyenyak mereka (pada Hari Kiamat), kemudian mereka baru mengakui ajaran para Rasul bahwa memang ada Hari Kebangkitan. “Dan ditiuplah sangkakala, kemudian mereka (manusia) pun dari kubur-kubur segera menuju D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Tuhan mereka. Mereka (yang kafir) berkata: ‘Celaka benar! Siapakah yang membangunkan kita dari tidur nyenyak kita? Inilah rupanya yang dijanjikan oleh Yang Mahakasih, dan benarlah para utusan Tuhan,’” (Q 36:51-52). Tetapi kita diingatkan bahwa kehidupan setelah mati, termasuk “kehidupan” (jika boleh dinamakan demikian) dalam alam kubur ada dalam dimensi yang sema sekali berbeda dari dimensi hidup di dunia. Kita di dunia ini sedang mengalami kehidupan yang dimensinya adalah lahiriah, terkait dengan bumi dan sekelilingnya (misalnya, dalam cara kita menghitung waktu dan tumbuhnya kesadaran waktu itu sendiri). Dan kehidupan di dunia, untuk meminjam istilah para ahli fisika, adalah kehidupan yang berdimensi ruang (yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi) dan waktu. Karena kungkungan empat dimensi itu kita mengalami kesulitan memahami hakikat kehidupan sesudah mati. Dari segi ruang, misalnya, kehidupan sesudah mati itu dapat terasa seperti pengalaman dalam ruang yang luas-bebas seluas langit dan bumi, atau sempit menghimpit seperti himpitan dimensi-dimenasi ruang seukuran badan atau lebih kecil lagi. Surga atau pengalaman hidup bahagia, misalnya, dalam al-Qur’an dilukiskan sebagai kehidupan dalam lingkungan yang luasnya seperti luas seluruh langit dan bumi: “Bergegaslah kamu sekalian menuju kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya ialah seluruh langit dan bumi,” (Q 3:133). “Berlombalah kamu sekalian menuju kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seperti luas langit dan bumi,” (Q 57:21).

Demikian pula dalam hal dimensi waktu, kehidupan setelah mati secara total berbeda dari kehidupan kita sekarang. Kesadaran waktu kita, sebagaimana dikatakan di atas, dibentuk oleh hubungan D8E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

kita dengan lingkungan kita, khususnya dengan pola hubungan antara planet bumi, rembulan, dan matahari. Kesadaran waktu kita yang membagi keseluruhan waktu menjadi siang dan malam adalah akibat hubungan kita dengan rotasi bumi dalam kaitannya dengan matahari (siang ialah keadaan ketika bumi tempat kita berpijak menghadap matahari, dan malam adalah sebaliknya, membelakangi matahari). Demikian pula pembagian kita atas siang dan malam masing-masing atas jam, menit, dan detik, tidak lain ialah akibat hubungan kita dengan bumi dan matahari tersebut. Sedangkan konsep waktu kita yang terdiri dari tigapuluh hari dan kita namakan bulan (Inggris: month, Perancis: mois, yang semuanya mempunyai makna etimologis “rembulan” atau “bulan”), adalah hasil hubungan kita dengan rembulan, kemudian diterapkan pula kepada hubungan kita dengan revolusi bumi (gerak bumi mengelilingi matahari). Kita tuturkan itu semua untuk mengingatkan diri sendiri kita masing-masing bahwa persepsi kita tentang ruang dan waktu adalah “subyektif ”, dalam arti terbatas hanya kepada pengalaman nyata kita sendiri saja. Karena itu kita tidak akan dapat mempunyai gambaran tepat tentang kehidupan setelah mati yang berdimensi lain tersebut. Maka meskipun dalam firman yang telah dikutip di atas pengalaman eksistensial manusia dalam kubur itu seperti orang yang tidur nyenyak (Arab: marqad) namun tidaklah berarti kita dibenarkan menghadapi kematian itu dengan sikap yang lengah. Sebab meskipun tidur, namun dalam hitungan waktu alam kematian ia berlangsung tidak terlalu lama, mungkin terasa hanya sekejap, dan tiba-tiba Hari Kiamat datang. Karena itulah dalam ayat yang dikutip di atas tadi orang-orang kafir, yaitu mereka yang tidak percaya akan adanya Hari Kebangkitan dan tidak pernah menduga akan dibangunkan dari kubur, merasa terkejut dan bertanya-tanya dalam nada protes: “Siapa gerangan yang membangunkan kita dari tidur nyenyak ini?!” Berkenaan dengan dimensi waktu yang berbeda dari dimensi waktu menurut perhitungan kita di dunia ini, al-Qur’an memberi beberapa ilustrasi. Seperti, misalnya, firman Allah: D9E


F NURCHOLISH MADJID G

“Dia (Tuhan) berkata, ‘Berapa lama kamu tinggal di bumi dalam hitungan tahun?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal sehari atau setengah hari. Maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung!’ Dia (Tuhan) berkata, ‘Kamu tidaklah tinggal (di bumi) melainkan sedikit waktu (sebentar) saja, kalau saja kamu pernah menyadarinya,’” (Q 23:112-114). “Dan ketika Saat (Kiamat) itu tiba, para penjahat bersumpah bahwa mereka tidaklah tinggal melainkan barang sesaat saja,” (Q 30:55). “Dan ketika Dia mengumpulkan mereka (manusia) seolah-olah mereka tidaklah tinggal kecuali sesaat di siang hari ketika mereka saling berkenalan,” (Q 10:45).

Begitu pula dilukiskan bahwa hitungan satu tahun pada kehidupan dengan dimensi lain itu juga lain dari hitungan satu tahun pada kita: “Dan sesungguhnya satu hari pada sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari yang kamu perhitungkan,” (Q 22:47). “Dia (Tuhan) mengatur aturan dari langit sampai bumi, kemudian aturan itu naik (menyerah) kepada-Nya, dalam jangka waktu sehari yang ukurannya ialah seribu tahun seperti yang kamu (manusia) perhitungkan,” (Q 32:5). “Malaikat dan Ruh Suci naik kepada-Nya (Tuhan) dalam jangka waktu sehari yang ukurannya ialah limapuluh ribu tahun,” (Q 70:4).

Jadi kita tidak dapat membandingkan kehidupan sesudah mati itu dengan kehidupan kita di dunia ini. Setiap usaha membuat perbandingan serupa itu tentu akan menyesatkan. Maka meskipun dalam alam kubur itu manusia seperti tidur nyenyak, namun hal itu tidaklah berarti suatu kenikmatan. Sebab ia berlangsung hanya dalam waktu yang amat singkat, sejalan dengan kenisbian waktu. Dan kalau firman-firman yang dikutip di atas itu menyebutkan angka-angka D 10 E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

waktu seperti “sehari”, “setengah hari”, “sesaat”, “seribu tahun” dan “lima puluh ribu tahun”, hal tersebut tidaklah dapat dipahami secara harfiah, melainkan harus digunakan pendekatan kepadanya sebagai metafora-metafora. Pengertian metaforis menjelaskan bahwa angkaangka tersebut adalah lukisan tentang dimensi waktu kehidupan sesudah mati yang sama sekali berbeda dengan yang kita alami sekarang. Karena pada tingkat pengertian waktu seperti ini pun tidak berlaku pengalaman empirik duniawi, maka penerimaan akan kebenaran hakikatnya dapat dilakukan hanya melalui sikap percaya atau iman seperti telah dikemukakan di atas. Berkaitan dengan alam kubur, terdapat banyak keterangan, khususnya dari hadis-hadis, tentang adanya siksa kubur (‘adzāb al-qabr, fitnat al-mamāt). Mungkin karena untuk banyak kalangan Islam keterangan itu sulit dikompromikan dengan keterangan yang ada dalam al-Qur’an, maka banyak pihak, seperti kaum Mu‘tazilah, Ikhwan al-Shafa, dan sebagian kalangan kaum Syi’ah mengingkari adanya siksa kubur itu. Namun hal itu sama sekali tidak mengurangi pentingnya kesadaran bahwa sesudah mati terdapat pengalaman eksistensial kebahagiaan atau kesengsaraan. Dan suasana seperti tidur nyenyak dalam kubur tidak dapat digambarkan sebagai penundaan pengalaman eksistensial itu, disebabkan oleh kenisbian waktu seperti diterangkan di atas (jadi, tidur nyenyak itu lebih baik digambarkan sebagai peristiwa yang terjadi dalam sekejap mata, kemudian disusul oleh datangnya Hari Kiamat). Pandangan ini juga diisyarakatkan dalam firman Allah, “Kepunyaan Allah-lah kegaiban langit dan bumi. Dan tidaklah urusan Kiamat itu kecuali bagaikan saat sekejap mata, atau lebih singkat. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” (Q 16:77).

Hari Kemudian sebagai “Hari Pembalasan”

Kehidupan setelah mati adalah saat pembalasan (yawm al-jazā’), yaitu pembalasan atas segala sesuatu yang telah kita kerjakan, baik D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

dan buruk. Ini semua telah kita maklumi, sebagai bagian dari ajaran agama kita. Di sini hendak dikemukakan beberapa hal khusus, yang perlu sekali kita sadari. Pertama, kematian adalah peristiwa yang tidak dapat ditunda ataupun dipercepat. Inilah konsep “ajal” (masa akhir hidup duniawi) yang pasti. “Dan ketika ajal mereka telah tiba, mereka tidak dapat menundanya barang sesaat pun, juga tidak dapat mempercepatnya,” (Q 7:34). Kedua, berkenaan dengan “ajal” itu, berlaku ketentuan “sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna,” seperti dilukiskan dengan jelas sekali dalam firman berikut: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anakanakmu membuat kamu lengah dari ingat kepada Allah. Barangsiapa berbuat begitu maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan dermakanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami (Tuhan) karuniakan kepada kamu, sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu kemudian ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, kalau saja Engkau tunda aku ke ajal yang dekat (sebentar), sehingga aku dapat bersedekah dan aku menjadi termasuk mereka yang saleh.’ Namun Allah tidak akan menunda seorang pribadi pun jika ajalnya telah tiba. Dan Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan,” (Q 63:9-11).

Ketiga, sebagai Hari Pembalasan, kehidupan sesudah mati tidak lagi mengenal sistem kehidupan antara perorangan menurut hukum-hukum sosial seperti yang ada di dunia ini. Karena itu juga tidak ada lagi kesetiakawanan atau solidaritas dan sikap saling membela. Manusia akan berhadapan dengan Allah sebagai pribadi mutlak: “Dan waspadalah kamu kepada hari ketika tidak satu jiwa pun dapat membalas satu jiwa yang lain sedikit pun juga, dan ketika perantaraan tidak akan diterima, serta tebusan pun tidak akan diambil, dan mereka (manusia) tidak akan dibela,” (Q 2:48). D 12 E


F MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM G

“Wahai umat manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu sekalian, dan waspadalah kepada hari yang saat itu tidak seorang orangtua pun dapat menolong anaknya dan tidak seorang anak pun dapat menolong orangtuanya sedikit pun juga. Sesungguhnya janji Allah adalah benar (pasti). Maka janganlah sekali-kali kehidupan duniawi mengecohkan kamu sekalian, dan janganlah sekali-kali seorang pengecoh dapat mengecoh kamu berkenaan dengan Allah,” (Q 31:33). “Dan sudahkah engkau tahu apa itu Hari Pembalasan? Sekali lagi, sudahkah engkau tahu, apa itu Hari Pembalasan? Yaitu hari ketika tidak seorang jua pun dapat menolong orang lain, dan segala urusan pada hari itu ada pada Allah semata,” (Q 82:17-19).

Jadi terdapat penegasan bahwa tanggung jawab di Akhirat adalah tanggung jawab pribadi mutlak. Ini berarti bahwa masingmasing kita, secara pribadi, harus menjalankan hidup ini dengan penuh tanggung jawab, tanpa menunggu orang lain. Dan suatu sikap hidup yang bertanggung jawab, yang dijiwai oleh ikatan batin untuk berbuat sebaik-baiknya, tentu akan berdimenasi sosial. Perbuatan seorang pribadi yang bertanggung jawab akan berakibat semakin diperkuatnya tali hubungan sesama manusia. Sebab definisi kebaikan ialah kebaikan untuk sesama manusia, demi mendapatkan rida Allah swt. Demikianlah sebagian dari keterangan yang dapat kita petik dari al-Qur’an berkenaan dengan kematian dan kehidupan sesudah mati. Kematian adalah misteri, sebagaimana hidup ini pun misteri. Agama menerangkan apa hakikat dan tujuan hidup itu, dan apa pula yang bakal terjadi pada setiap orang sesudah mati. Kita percaya kepada berita-berita langit yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul dari Hadirat Tuhan. Berita itu mengatakan bahwa hidup dan mati adalah diciptakan Allah untuk memberi manusia kesempatan menampilkan dirinya sebagai makhluk akhlaki atau moral. Dengan hidup Allah hendak menguji kita semua, mana dari kita yang paling baik dalam amal D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

perbuatan. Dan dengan mati Allah akan memasukkan kita ke dalam kehidupan yang dimensinya secara radikal berbeda dengan kehidupan kita sekarang. Dalam kehidupan sesudah mati itulah pengalaman eksistensial manusia yang hakiki, dalam kebahagiaan atau kesengsaraan, akan terjadi. Kita semua harus bersiap menghadapi kematian itu, dengan mengemban tugas dan tanggung jawab pribadi kepada Allah, yang wujudnya di dunia ini ialah tugas dan tanggung jawab sosial kepada sesama manusia, yaitu beramal saleh, berbuat kebajikan. Itulah yang dapat kita ketahui dari ajaran agama. Lebih dari itu kita tidak tahu, dan hanya Allah yang Mahatahu. [™]

D 14 E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL Oleh Nurcholish Madjid

Adakah kehidupan ruhani? Adakah alam keruhanian? Dan, adakah makhluk-makhluk ruhani? Pertanyaan-pertanyaan serupa itu tentu terdengar janggal, malah berlebihan, bagi telinga para penganut agama. Sebab, justru inti ajaran keagamaan berada di seputar kepercayaan dan keyakinan tentang adanya wujud-wujud ruhani. Agama tidak terbayangkan tanpa kepercayaan akan hal yang tidak material itu. Karena itu kepercayaan kepada adanya wujud ruhani merupakan titik-temu yang paling besar dari agama-agama, di samping kepercayaan kepada Tuhan. Pengertian tentang Tuhan itu sendiri dapat berbeda-beda dari agama ke agama yang lain, demikian pula hal-hal yang merupakan pelembagaan atau institusionalisasi kepercayaan itu dalam bentuk ritus-ritus, upacara-upacara, dan ibadat-ibadat. Demikian pula halnya dengan hakikat kehidupan atau alam ruhani itu, agama-agama bisa menganut pandangan yang berbeda-beda. Namun semuanya memercayai akan adanya wujud dan alam kehidupan yang lain dan lebih tinggi daripada yang kita alami sekarang ini. Semua agama juga memercayai adanya pengalaman hidup keruhanian yang bahagia dan yang sengsara, masing-masing terkandung dalam kepercayaan tentang adanya surga dan neraka, apa pun interpretasi agama tentang hakikat surga dan neraka itu. Jadi kepercayaan kepada adanya dunia yang ruhani dapat dipandang sebagai “taken for granted� dalam agama-agama, termasuk, D1E


F NURCHOLISH MADJID G

dengan sendirinya, dalam agama Islam. Namun kita angkat dalam kajian ini dalam suatu semangat peninjauan dan telaah kembali, dalam konteks kehidupan modern. Sebab dalam konteks modernitas itulah pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tidak dapat dipandang sebagai terlalu mengada-ada. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa salah satu dampak ilmu pengetahuan modern dan teknologi ialah menipisnya kepercayaan kepada hal-hal yang gaib seperti alam keruhanian.

Problema Sains Modern

Sains (dari Inggris: science) atau ilmu pengetahuan, dengan teknologi sebagai bentuk terapannya, tidak dapat dibantah telah membuat hidup umat manusia menjadi lebih baik, atau jauh lebih baik. Kenyataan ini diperkuat oleh adanya dambaan semua bangsa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan kemajuan, kekuatan dan kemakmurannya. Maka dari sudut pandang ini ilmu pengetahuan dan teknologi adalah keperluan yang amat penting, yang perwujudannya dapat diharapkan meningkatkan kehidupan kita. Tapi itu hanya dari satu segi. Segi yang lain, yang gelap, ialah ketika ilmu pengetahuan berkembang menjadi “paham ilmu pengetahuanâ€? atau scientism, menuju ke arah pertumbuhan sebuah ideologi tertutup. Yaitu ideologi atau paham yang memandang ilmu pengetahuan sebagai hal terakhir (ďŹ nal), memiliki nilai kemutlakan, dan serba-cukup dengan dirinya sendiri (self-suďŹƒcient). Misalnya, ketika ilmu pengetahuan (modern) meyakini bahwa hakikat hanyalah kenyataan empirik, ia mulai meragukan eksistensi hal-hal di luar jangkauannya. Atau, karena ilmu pengetahuan (dan teknologi, lebih-lebih) kebanyakan berurusan dengan kenyataan-kenyataan kebendaan (material), maka ia berkembang menjadi landasan bagi tumbuhnya paham bahwa tidak ada kenyataan kecuali kenyataan D2E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

kebendaan. Lagi-lagi dengan begitu ia menolak, atau setidaknya meragukan, adanya hal-hal yang tidak bersifat kebendaan. Ibn Taimiyah yang tampil hampir tujuh abad yang lalu pernah mengatakan bahwa “tidak adanya pengetahuan bukanlah berarti pengetahuan (tentang sesuatu) itu tidak ada” (‘adam-u ’l-‘ilm-i laysa ‘ilm-an bi ’l-‘adam-i). Maksudnya, jika seseorang tidak mengetahui sesuatu, maka tidaklah berarti bahwa sesuatu itu tidak ada. Ilmu pengetahuan modern, disebabkan oleh sikapnya yang membatasi diri hanya kepada yang “tampak mata”, dengan sendirinya tidak memiliki perangkat untuk menjangkau hal-hal yang “tidak tampak mata” atau gaib. Tentang ketidakmampuan itu sendiri dan ketidaktahuan yang diakibatkannya, sekalipun merupakan suatu cacat, adalah suatu hal yang wajar pada manusia, suatu makhluk yang bagaimanapun tetap mengandung kelemahan. Adalah wajar saja bahwa kita tidak mampu menjangkau sesuatu yang kemudian berakibat kita tidak mengetahui sesuatu tersebut. Yang tidak wajar ialah jika kita menganggap bahwa suatu hal yang kebetulan tidak terjangkau oleh kemampuan kita dan akibatnya kita tidak tahu itu adalah sesungguhnya memang tidak ada. Malangnya, itulah sikap ilmu pengetahuan modern berkenaan dengan alam keruhanian. Segi kekurangan ini sekarang mulai banyak diungkapkan orang, dan banyak pula yang secara meyakinkan mampu memperlihatkan atau mengantisipasi berbagai konsekuensi amat buruk dari sikap tidak memercayai alam di luar alam kebendaan. Akan tetapi masih menjadi pertanyaan besar, bagaimana menggiring manusia modern kembali memercayai adanya alam keruhanian dan mengarahkan hidupnya ke sana. Agama-agama terlanjur telah dicemoohkan, dan ilmu pengetahuan sendiri, dengan segala perkembangan dan kemajuannya yang amat menakjubkan sekarang ini, tampaknya tidak mampu menemukan jalan untuk benar-benar memercayai kembali nuktah-nuktah ajaran agama yang dicemoohkannya itu. Padahal semakin tampak jelas bahwa justru dalam nuktah-nuktah ajaran keagamaan itulah D3E


F NURCHOLISH MADJID G

terletak keselamatan ilmu pengetahuan itu sendiri dan keselamatan seluruh umat manusia.

Sains Modern dan Alam Ruhani

Telah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa “paham ilmu pengetahuan” sebagai ideologi tertutup (science tanpa scientism) tidak saja benar, perlu, dan membawa perbaikan dan kebaikan bagi hidup manusia. Mengingkari hal itu adalah perbuatan sia-sia. Tetapi sesungguhnya ilmu pengetahuan (sebagai “ideologi terbuka”, jika benar dapat disebut demikian) dapat membawa faedah yang jauh lebih besar daripada yang ditawarkannya dalam dataran kehidupan kebendaan melalui penerapannya, yaitu teknologi. Ilmu pengetahuan dapat membawa kepada kesadaran keruhanian yang lebih mendalam dan kuat, jika ia memang bertitik-tolak dari kosmologi dan kosmogoni yang berlandaskan keimanan yang benar. Berbagai perintah dalam kitab suci al-Qur’an, langsung ataupun tidak langsung, agar manusia memperhatikan alam, baik yang makro sebesar-besarnya, yaitu seluruh jagad raya, maupun yang mikro sekecil-kecilnya semisal binatang yang sepintas tampak seperti tidak berarti semacam nyamuk,1 adalah dimaksudkan terutama untuk menggiring manusia dan mempromosikannya ke arah tingkat kesadaran keruhanian yang lebih tinggi. Dan karena itu pula ada petunjuk dalam Kitab Suci bahwa dari kalangan para hamba Allah, yakni, umat manusia, yang benar-benar memikili keinsafan Ketuhanan yang mendalam ialah para ilmuwan atau scientists (yakni, makna generik atau lughawī kata-kata Arab ‘ulamā’ sebagai bentuk jamak dari kata-kata ‘ālim; sedangkan makna semantik kata-kata itu sudah kita ketahui semua, yaitu para ahli 1

Maka dalam al-Qur’an dilukiskan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak malumalu membuat perumpamaan dengan binatang kecil seperti nyamuk ataupun yang lebih kecil daripada itu,” (Q 2:26). D4E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

agama). Inilah maksud ayat suci yang sering dikutip, “innamā yakhsyā ’l-Lāh-a min ‘ibād-ihī ’l-‘ulamā’-u” (Sesungguhnya yang benar-benar bertakwa kepada Allah dari kalangan para hamba-Nya ialah para ‘ulamā’ — ulama, ilmuwan). Konteks penegasan yang amat penting itu adalah demikian: “Tidakkah engkau perhatikan bahwa Allah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air itu Kami (Allah) hasilkan buah-buahan dalam aneka warna. Dan di gunung pun ada garis-garis putih dan merah dalam aneka warna, juga ada yang hitam kelam. Demikian pula manusia, binatang melata, dan ternak, semuanya juga beraneka warna. Sesungguhnya yang benar-benar bertakwa kepada Allah dari kalangan para hamba-Nya ialah para ‘ulamā’ (para ilmuwan, orangorang yang berpengetahuan). Sesungguhnya Allah adalah Mahamulia dan Maha Pengampun,” (Q 35:27-28).

Dalam bahasa harian, dari kalangan umat manusia yang benarbenar sanggup merasakan keagungan Ilahi dan kemudian tumbuh dalam diri mereka sikap takwa dan takut (dalam arti positif ) kepada-Nya ialah mereka yang memahami secara mendalam eksistensi lingkungannya, sejak dari gejala alam seperti hujan, kemudian gejala kehidupan flora, fauna dan minerologi (gunung-gunung yang berwarna-warni karena kandungan mineralnya) dan, akhirnya, gejala kemanusiaan, yang kesemuanya itu sangat beraneka ragam. Berdasarkan keterangan-keterangan itu, maka jika sains mengikuti metodenya sendiri dengan lebih terbuka dan tidak apriori membatasi kenyataan hanya kepada yang tampak mata saja, maka barangkali ia akan mampu ikut membimbing manusia ke arah keinsafan akan alam ruhani yang lebih mendalam, suatu alam yang sesungguhnya menguasai seluruh yang ada. Sebagai “berita” dari Yang Mahakuasa, al-Qur’an pun memberi petunjuk tentang adanya dimensi keruhanian dalam benda-benda, baik yang bernyawa maupun yang tidak, demikian: D5E


F NURCHOLISH MADJID G

“Langit yang tujuh dan bumi, juga penghuninya semua bertasbih kepada-Nya (Allah), dan tidak ada sesuatu apa pun kecuali tentu bertasbih memuji-Nya, namun kamu sekalian (wahai manusia) tidak mengerti tasbih mereka,” (Q 17:44). “Tidak ada binatang yang melata di bumi ataupun burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat seperti kamu (wahai manusia)!,” (Q 6:38).

Terhadap firman-firman itu, sebuah keterangan penafsiran terbaca demikian: Semua makhluk, yang bernyawa dan yang tidak bernyawa, bernyanyi dengan pujian-pujian kepada Allah dan mengagungkan Asma-Nya, — yang hidup dengan kesadaran, dan yang tidak hidup, dalam bukti yang diberikannya tentang Kemahaesaan dan Kemuliaan Tuhan. Kaum mistik percaya bahwa ada jiwa dalam benda-benda tak bernyawa juga, yang menyatakan keagungan Tuhan. Sebab seluruh Alam menjadi saksi atas Dia Yang Mahakuasa, Yang Mahabijaksana, dan Yang Mahabaik. Hanyalah “kamu” (wahai manusia), yaitu kamu yang menolak kecenderungan utuh hakikatmu sendiri dan menolak Iman hanya karena kamu telah diberi sejumlah terbatas pilihan dan kebebasan bertindak, — hanya orang semacam “kamu” yang tidak mampu memahami apa yang dipahami oleh seluruh makhluk dan dinyatakannya dengan penuh bahagia dan gembira. Alangkah rendah martabatmu! Dan toh Tuhan masih melindungimu dan mengampunimu. Begitulah Dia Yang Mahabaik.2

Dan dalam kaitannya dengan ayat yang kedua di atas, ahli tafsir yang terkenal tinggi otoritasnya itu memberi penegasan demikian:

2

A. Yusuf Ali, The Holy Quran, Text, Translation and Commentary (Brentwood, Maryland: Amana Corp., 1983), h. 706, n. 2229. D6E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

Dalam kesombongan kita (manusia) kita menyingkirkan dunia hewan dalam pandangan kita, padahal hewan-hewan itu semua hidup mengikuti kehidupan sosial dan individual, seperti kita sendiri juga, dan semua kehidupan tunduk kepada Rencana dan Kehendak Tuhan... Dalam perkataan lain, semuanya menaati Rencana Induk-Nya, yaitu Kitab (al-Lawh al-Mahfūzh) yang juga disebutkan dalam ayat itu. Semuanya bertanggung jawab menurut derajatnya masing-masing kepada Rancana-Nya (maka difirmankan, “semua akhirnya bakal dikembalikan kepada Tuhan mereka”). Ini bukanlah Panteisme: ini menunjukkan hubungan seluruh kehidupan, kegiatan, dan wujud dengan Kehendak dan Rencana Tuhan.3

Jadi agaknya ada harapan kepada ilmu pengetahuan untuk dapat membantu membawa manusia kepada tingkat kehidupan yang lebih tinggi — dan tidak terbatas hanya kepada kehidupan material seperti yang sekarang ada. Harapan itu tumbuh karena adanya kebenaran dasar dalam seruan agama tersebut di atas, yaitu seruan untuk memperhatikan secara mendalam hakikat alam dan lingkungan. Apalagi al-Qur’an sendiri memberi antisipasi, sebagai bagian dari pandangan masa depan dalam ajaran Islam, bahwa Allah akan memperlihatkan kepada manusia berbagai pertanda atau ayat-Nya, baik dalam seluruh cakrawala (jagad besar) maupun dalam diri manusia sendiri (jagad kecil) sehingga mereka akan tahu bahwa Dia dan ajaran-ajaran-Nya benar belaka (lihat Q 41:53). Harapan itu juga karena adanya dinamika internal ilmu pengetahuan itu sendiri yang sesungguhnya tetap terbuka dan terus berkembang. Dinamika itu antara lain merupakan akibat logis beberapa klaim ilmiah sendiri, seperti klaim bahwa benda-benda sekitar kita pada hakikatnya tidaklah seperti yang tampak mata atau teraba tangan dalam pengalaman kita sehari-hari. Hal ini, misalnya, dilukiskan oleh Huston Smith, seorang ilmuwan, filosof, dan ahli 3

Ibid., h. 298, n. 859. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

agama-agama (bukunya tentang agama-agama dunia merupakan best seller besar di dunia): Salah satu hasil akhir sains modern berbentuk sebuah exposĂŠ: ia telah membuka tabir klaim alat indra manusia untuk dapat menyingkapkan dunia sebagaimana dunia itu ada secara hakikat. Indra saya mengatakan bahwa meja tempat saya bersandar adalah benda padat. Tidak begitu, kata sains; seandainya saya dapat mengecil menjadi sebesar sebuah elektron saya akan dapat melihat bahwa meja itu ternyata sebagian besar ruang kosong: perbandingan antara unsur materi dan unsur ruang dalam meja itu adalah bagaikan perbandingan antara sebuah bola baseball dengan sebuah lapangan bola. Atau indra saya mengatakan bahwa meja itu diam. Salah lagi, kata ilmu ďŹ sika; meja itu adalah kumpulan kegiatan dengan elektron-elektron mengelilingi intinya sejuta milyar kali dalam sedetik, atau (dalam istilah yang kurang menentu) dengan elektron-elektron yang bergerak sedetik dalam jumlah gerak yang lebih banyak daripada jumlah seluruh detik yang telah lewat sejak terbentuknya daratan bumi. Meja adalah sebuah daya yang terpadatkan — lebih menyerupai energi murni daripada sebuah benda padat yang mati seperti tertangkap oleh tangan dan mata saya. Kesemuanya itu, tentu saja, hanyalah contoh. Ke mana pun kita menengok, indra kita membiaskan khayal. Indra itu bukan saja semata-mata tidak memberi kita informasi tentang hakikat alam yang mendalam; indra itu jelas dibuat untuk tidak memberi informasi kepada kita. Seandainya indra itu menyajikan kepada kita kenyataan benda-benda seperti apa adanya, kita tidak akan mampu hidup. Kalau kita melihat atom atau quantum, dan bukannya sebuah mobil, kita akan tergilas habis. Seandainya nenek moyang kita mampu melihat elektron dan bukannya seekor beruang maka mereka akan menjadi mangsa beruang itu.4

4

Hustom Smith, Forgotten Truth (San Francisco, Harper, 1992), h. 98. D8E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

Dari keterangan Smith itu agaknya indra kita memang dirancang oleh Tuhan untuk tidak dapat secara langsung menangkap hakikat wujud di sekitar kita. Sebab jika dapat langsung menangkap hakikat benda-benda di sekitar kita maka kita tidak akan survive. Seperti halnya semua ciptaan dan rancangan Tuhan, terbatasnya kemampuan indra kita pun adalah suatu kebijakan atau hikmah Ilahi, demi menopang hidup lahiri kita sebagai wujud material, fisiologis dan biologis di dunia ini. Usaha dan keberhasilan memahami benda-benda sekitar, khususnya yang berkaitan dengan hukum sebab-akibat yang menguasainya, menghasilkan sains yang kemudian diterapkan menjadi teknologi. Jadi, sekali lagi, terbatas hanya kepada alam kebendaan. Walaupun begitu, menurut Smith di atas, sains mengandung dalam dirinya potensi untuk ikut mendorong manusia kepada keinsafan yang lebih tinggi, yaitu keinsafan akan hakikat wujud sekeliling. Namun karena watak sains yang membatasi dirinya hanya kepada hal-hal empirik dan indrawi, maka potensi itu, kalaupun harus mengaktualisasikan dirinya, memerlukan suatu pertolongan dari luar, dan tidak cukup hanya dengan dirinya sendiri saja.

Dimensi Keruhanian Wahyu atau Berita Ilahi

Karena indra jasmani tidak dapat menangkap lebih mendalam hakikat sebenarnya wujud sekeliling yang ada, padahal keinsafan akan hakikat wujud itu diperlukan bagi kebahagiaan hakiki manusia dalam ukuran yang lebih besar dan jangka waktu yang lebih panjang, maka manusia memerlukan “informasi” atau “berita”. Dalam bahasa Arab, salah satu kata-kata untuk “berita” ialah “naba’ atau naba’-un” yang dari situ terambil kata-kata dan istilah “Nabi” (Nabī-yun) yang menurut para ahli bahasa berasal dari kata-kata Nabī-un (“orang yang mendapat berita”). Sudah tentu berita dari Tuhan yang dibawa atau diperoleh para Nabi ialah apa yang dimaksudkan dalam istilah keagamaan “Wahyu”. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Oleh karena Wahyu berasal, dan bersifat, ruhani (antara lain, tidak empirik sehingga juga tidak terjangkau oleh sains), maka, sungguh menarik, banyak keterangan dalam al-Qur’an yang menyebutkan Wahyu itu sebagai Ruh (Rūh) atau, dalam bahasa Inggris, Spirit. Beberapa firman Allah menegaskan hal ini: “Demikianlah Kami (Allah) wahyukan kepada engkau (Muhammad) Rūh dari perintah Kami,” (Q 42:52), serta firman-Nya, “Dia (Allah) menurunkan para malaikat dengan Rūh dari perintah-Nya,” (Q 16:2), dan “Dia (Allah) yang Mahatinggi derajat-Nya, yang memiliki Singgasana (‘Arasy), yang mengirimkan Rūh dari Perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki dari kalangan para hamba-Nya untuk menyampaikan peringatan tentang adanya Hari Pertemuan (Kiamat),” (Q 40:15). Berdasarkan itu, Ruh juga berarti Inspirasi. Sebab Inspirasi, yaitu sumber pengetahuan, keinsafan, dan kebijakan yang mendalam pada manusia, adalah sejenis wujud non-empirik (antara lain, tidak dapat diulang karena tidak dapat diketahui hukum-hukum yang mengaturnya). Lebih-lebih jika inspirasi itu mencapai tingkat seperti yang diterima oleh para Nabi dan Rasul, dan kemudian dinamakan Wahyu atau Revelasi. Seperti halnya dengan al-Qur’an terutama, Wahyu yang berdimensi keruhanian itu tampil sebagai mukjizat. Dan itulah yang terjadi pada masa hidup Nabi, sehingga orang pun banyak bertanya dan mempertanyakan apa hakikat al-Qur’an yang disebut Ruh itu? Apakah ia sejenis syair, atau malah perdukunan? Adanya sikap bertanya-tanya dan mempertanyakan tentang al-Qur’an sebagai Ruh itu diabadikan dalam Kitab Suci sendiri: “Dan mereka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang Rūh (Wahyu). Katakan, ‘Rūh itu dari Perintah Tuhanku, dan kamu tidaklah diberi sesuatu dari pengetahuan (tentang Rūh itu) kecuali sedikit saja.’ Dan jika Kami (Allah) menghendaki, tentulah Kami (dapat) melenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), kemudian engkau dengan begitu tidak akan mendapatkan Pelindung terhadap Kami,” (Q 17:85-86). Berkenaan dengan firman itu, banyak panafsir dan penerjemah menganut pengertian bahwa yang dimaksud dengan Ruh di situ D 10 E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

ialah ruh atau sukma seperti yang membuat suatu makhluk menjadi hidup. Maka Nabi saw. diperintahkan untuk menjawab bahwa ruh itu adalah urusan Tuhan, dan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh itu melainkan sedikit saja. Tetapi berbagai ahli tafsir al-Qur’an dan para pemikir Islam yang lain — baik yang klasik seperti Ibn Abbas, Qatadah, dan Hasan al-Bashri, maupun yang kontemporer seperti S. Abul A’la Maududi, A. Yusuf Ali, Maulana Muhammad Ali, H. Zainuddin Hamidy, Fachruddin Hs., T.B. Ir ving (Al-Hajj Ta‘lim ‘Ali — seorang ulama Islam Amerika) — berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Rūh dalam ayat itu ialah al-Qur’an, atau setidaknya Malaikat Jibril yang membawa Wahyu kepada para Nabi, dan al-Qur’an kepada Muhammad Rasulullah saw. Maka ahli tafsir yang amat terkenal, Fakhruddin al-Razi, dalam rangka membeberkan pendapat para ahli tentang apa yang dimaksud dengan Rūh itu memberi penjelasan demikian: (Masalah Kedua) tentang keterangan mengenai pendapat-pendapat yang dikemukakan orang tentang pengertian Rūh yang disebutkan dalam ayat itu juga. Ketahuilah bahwa orang mengemukakan adanya pendapat-pendapat lain selain yang telah dituturkan di muka. (Pendapat per tama), bahwa yang dimaksud dari Rūh ini ialah al-Qur’an. Mereka katakan, sebab Allah Ta’ala menamakan al-Qur’an dalam banyak ayat sebagai Rūh, maka yang cocok dengan Rūh yang ditanyakan dalam konteks ini tidak lain ialah al-Qur’an. Karena itu di sini perlu dipertegas adanya dua alasan. (Alasan pertama) ialah dinamainya al-Qur’an oleh Allah dengan Rūh, dibuktikan oleh firman Allah: “Demikianlah Kami (Allah) wahyukan kepada engkau (Muhammad) Rūh dari perintah Kami,” (Q 42:52), serta firman-Nya, “Dia (Allah) menurunkan para malaikat dengan Rūh dari perintahNya,” (Q 16:2). Mengapa al-Qur’an dinamakan Rūh karena dengan al-Qur’an terjadi hidupnya ruh dan akal, sebab dengan al-Qur’an itu terjadi adanya pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang para malaikat-Nya, pengetahuan tentang para Rasul-Nya dan tentang kitab-kitab suci-Nya. Ruh (pada manusia) itu hidup hanyalah berkat D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

adanya pengetahuan-pengetahuan itu. Penegasan yang lebih lengkap konteks ini kami paparkan dalam menafsirkan firman “Dia (Allah) menurunkan para malaikat dengan Rūh dari perintah-Nya” (yakni, dalam Kitāb al-Tafsīr al-Rāzī tentang ayat itu — NM). (Adapun penjelasan tentang alasan kedua), yaitu bahwa pengertian Rūh yang cocok dalam konteks ini ialah al-Qur’an, karena sebelumnya ada firman, “Dan Kami (Allah) turunkan dari al-Qur’an itu sesuatu yang dapat menjadi obat dan rahmat untuk kaum beriman,” (Q 17:82), dan sesudahnya terdapat firman, “Jika sekiranya Kami (Allah) menghendaki maka tentulah Dia (mampu) menghapuskan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad),” (Q 17:86), sampai dengan firman, “Katakan (hai Muhammad), ‘Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membuat sesuatu seperti al-Qur’an ini mereka tidak akan mampu membuatnya sekalipun mereka bantu-membantu sesamanya,” (Q 17:88). Jadi karena firman sebelum firman (tentang Rūh) ini dan yang sesudahnya mengenai gambaran tentang al-Qur’an maka pastilah bahwa yang dimaksud dengan Rūh ini ialah al-Qur’an, sehingga (pengertian urutan) firman-firman al-Qur’an (yang bersangkutan) itu saling bersesuaian dan runtut. (Pertanyaan mengenai Rūh dalam arti al-Qur’an ini) ialah karena orang banyak merasa kagum tentang al-Qur’an dan bertanya-tanya apakah ia termasuk jenis puisi (syi‘r) atau jenis perdukunan, yang kemudian dijawab oleh Allah bahwa ia (al-Qur’an) itu bukanlah jenis perkataan manusia melainkan ia itu sabda yang lahir dengan perintah Allah dan wahyu-Nya serta diturunkan oleh-Nya. Karena itu difirmankan, “Katakan (hai Muhammad), ‘Rūh itu dari perintah Tuhanku,’” (Q 17:85).5

Tidak jauh berbeda dari penjelasan al-Razi itu ialah penjelasan penerjemah dan penafsir al-Qur’an di Indonesia yang sudah cukup terkenal, yaitu H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. Mereka ini mengatakan: 5

Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H/1985 M), jilid 11, h. 39-40. D 12 E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

Rūh artinya djiwa dan juga berarti wahju. Hakikat djiwa tiadalah dapat diketahui dengan terang, tetapi penyelidikan pengetahuan dapat mengetahui sipat2 djiwa, tjara bekerdjanja dan pengaruhnja dalam kehidupan manusia. Begitu pun halnja dengan wahju, tetapi siapa yang memperhatikan tentang ilhām (inspirasi) dan tjara bekerdjanja alam batin dan kekajaan pengalaman dalam diri kita, tentu dapat mengakui bahwa wahju memang ada dan itulah pimpinan jang paling tinggi. Wahju itu dibawa oleh malaikat Djibril dengan perintah Tuhan kepada Rasul2 jang telah dipilih oleh Tuhan, dan bukanlah diberikan kepada sembarang orang sadja.6

S. Abul A‘la Maududi mengemukakan pandangan bahwa Rūh dalam ayat suci itu, sesuai dengan konteks keseluruhan firman dalam deretan ayat-ayat bersangkutan, sebagai “Spirit of Prophethood or Revelation” (Roh Kenabian atau Wahyu). Lengkapnya keterangan Maududi adalah demikian: Generally, Rūh here has been taken to mean the ‘soul’. That is the people asked the Holy Prophet about the nature of soul, which is the essence of life, and the answer was that it came by the Command of Allah. But if the context is kept in view, it would become obvious that here the word Rūh implies the “Spirit of Prophethood or Revelation”, and the same thing has been mentioned in sûrah alNahl:2, al-Mu’min:15, and al-Shûrâ:52. Among the earliest scholars, Ibn Abbas, Qatadah, and Hasan Bashri (may Allah be pleased with them) have adopted the same interpretation, and the author of Rūh al-Ma‘ânî cites these words of Hasan and Qatadah: “Rūh implies Gabriel and the question was about the nature of his coming down and inspiring the heart of the Holy Prophet with Revelation.7 6

H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir Qur’an, Naskah Asli, Terjemah, Keterangan (Djakarta: Widjaja, MCMLXIII [1963]), h. 408, n. 830. 7 S. Abul A’la Maududi, The Holy Qur’an, Translation and Brief Notes with Texts, English rendering by Muhammad Akbar Muradpurip and Abdul Aziz D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

(Biasanya, Rūh di sini diartikan “soul” [ruh, sukma]. Yaitu bahwa orang bertanya kepada Nabi saw. tentang hakikat ruh, yang merupakan inti kehidupan, dan jawabnya ialah bahwa ruh itu datang oleh Perintah Allah. Tetapi jika konteks [firman-firman bersangkutan] benar-benar diperhatikan, maka akan jelas bahwa di sini perkataan Rūh mengandung makna “Ruh Kenabian atau Wahyu”, dan makna yang sama juga disebutkan dalam [al-Qur’an, surat-surat] al-Nahl [16]:2, al-Mu’min [Ghāfir] [40]:15, dan al-Syūrā [42]:52. Di antara para ulama terdahulu, Ibn Abbas, Qatadah, dan Hasan Bashri [semoga Allah meridai mereka semua] menganut penafsiran yang sama, dan pengarang [kitab] Rūh al-Ma‘ānī mengutip keterangan Hasan dan Qatadah, demikian: “Rūh mengandung arti [Malaikat] Jibril dan pertanyaannya ialah tentang hakikat bagaimana turunnya dan inspirasinya kepada kalbu Nabi saw. dengan Wahyu.)

Demikian pula para ulama terkenal lainnya, yang sebagian sudah disebutkan namanya di muka, banyak yang menganut pendapat dan penafsiran yang serupa. Ini menunjukkan dan menegaskan bahwa al-Qur’an sebagai Wahyu memiliki dimensi keruhanian, dan kenyataan ini penting untuk dapat menangkap pesan-pesannya yang tidak selalu empirik itu. Dan dimensi keruhanian al-Qur’an juga diperkuat oleh keterangan-keterangan bahwa malaikat pembawa Wahyu, yaitu Jibril, sering diacu sebagai Rūh, Rūh al-Qudus, Rūh al-Amīn, dan seterusnya.

Malaikat sebagai Makhluk Ruhani

Jabrā’īl, Jibrīl, (dari bahasa Ibrani, Gabri-El, “utusan Allah”), baik dalam Bibel maupun dalam al-Qur’an adalah salah satu dari Malaikat yang paling utama (archangel). Di samping Jibril, Malaikat-malaikat utama lainnya ialah Mika’il (Mīkāl atau Mīkā’īl Kamal (Lahore: Islamic Publications, 1987), h. 461, n. 38. D 14 E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

([Michael — Micha-El]), Israfil (Isrāfīl [Raphael — Rapha-El, juga Suriel — Suri-El]) dan Izra’il (‘Izrā’īl [Uriel — Uri-El]), yang kesemuanya mempunyai nama dengan makna yang menunjukkan hubungan tertentu dengan Allah atau El (dalam bahasa Ibrani). Selain itu dalam sistem keimanan Islam disebutkan nama-nama para malaikat yang lain sehingga menggenapkan jumlah mereka menjadi sepuluh (menurut akidah Asy‘ari seperti yang umum dianut di negeri kita). Mereka ialah malaikat-malaikat Malik, Ridwan, Raqib, ‘Atid, Munkar, dan Nakir. Jibril adalah utusan Tuhan yang dikirim ke banyak para Nabi dan Rasul. Jibril juga diutus untuk menyampaikan berita kepada Nabi Zakariya tentang kelahiran putranya, Nabi Yahya (Pembaptis) dan kepada Maryam tentang kelahiran putranya secara mukjizat (tanpa bapak), Nabi Isa al-Masih. Nama Jibril disebutkan dalam al-Qur’an hanya tiga kali, namun ada beberapa sebutan lain yang juga dimaksudkan sebagai Jibril, seperti Rūh al-Amīn, Rūh al-Qudus (Roh Kudus), bahkan Rūh saja, sebagaimana telah disinggung di atas. Malaikat Mika’il (Mīkā’īl atau Mīkāl (dari bahasa Ibrani, — mi-ka-El — berarti, dalam nada bertanya, “Siapa yang seperti Allah?”), disebutkan namanya dalam al-Qur’an satu kali, dalam rangkaian gugatan kepada segolongan kaum Yahudi yang tampaknya tidak suka kepada malaikat ini dan kepada Malaikat Jibril. Dan al-Qur’an menyatakan bahwa barang siapa memusuhi Jibril, maka hendaknya orang itu mengetahui bahwa Allah menurunkan Jibril itu kepada kalbu Rasulullah saw. dengan izin-Nya. Juga ditegaskan bahwa jika seseorang memusuhi Allah, para malaikat-Nya, para Rasul-Nya, dan kepada Jibril dan Mikail maka Allah adalah musuh bagi setiap orang yang ingkar atau kafir (lihat Q 2:99). Ini semua dikaitkan dengan sikap segolongan kaum Yahudi yang tidak suka kepada malaikat-malaikat itu. Nama malaikat Israfil (Isrāfīl [Rapha-El, berarti “Allah mengatasi”]) tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Tetapi kepercayaan kaum Muslim mengatakan bahwa malaikat Israfil adalah yang bertanggung D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

jawab untuk “meniupkan sangka kala” guna membangkitkan umat manusia dari kubur mereka nanti di hari kiamat. Dan malaikat Izra’il (‘Izrā’īl [Uriel]), meskipun namanya tidak disebutkan dalam al-Qur’an, dipercayai umat Islam sebagai Malaikat Maut (Malak al-Mawt). Dia dipahami sebagai malaikat yang dimaksudkan dalam firman Allah: “Katakan (wahai Muhammad), ‘Malaikat maut yang diserahi urusanmu sekalian akan mematikan (mewafatkan) kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Tuhanmu sekalian,” (Q 32:11).

Dimensi Keruhanian Manusia

Selain berarti Wahyu atau Jibril, Rūh dapat diartikan sebagai Sukma. Maka dalam firman Allah, “Para Malaikat dan Rūh naik menghadap kepada-Nya dalam sehari yang ukurannya ialah sama dengan limapuluh ribu tahun,” (Q 70:4), yang dimaksud dengan Rūh di situ adalah Malaikat Jibril. Tetapi dikaitkan dengan firman Allah: “Dia yang telah membuat baik segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan telah memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dijadikan anak-turunnya dari sari air yang hina. Lalu disempurnakan bentuknya, dan ditiupkan ke dalamnya sesuatu dari Ruh-Nya, dan dibuatkan untuk kamu (wahai manusia) pendengaran, penglihatan, dan kalbu. Namun sedikit kamu bersyukur,” (Q 32:7-9).

Dengan demikian, Rūh dari Allah adalah juga karunia Ilahi dan Rancangan-Nya bagi manusia. Dalam alam kerunahian, kita semua diangkat kepada cahaya ‘ināyah atau pertolongan Tuhan, dan Kemuliaan-Nya mentransformasikan nilai kemanusiaan kita. Dalam firman itu dijelaskan adanya tingkat-tingkat perkembangan manusia: pertama, ia diciptakan dari tanah; kedua, keturunannya diciptakan dari sari-pati cairan yang menjijikkan (sperma dan ovum); ketiga, bentuknya disempurnakan; keempat, ke dalam diri D 16 E


F ALAM KERUHANIAN DAN MAKHLUK SPIRITUAL G

manusia itu ditiupkan sesuatu dari Ruh Tuhan; kelima, manusia dilengkapi dengan berbagai indra, baik yang lahir (pendengaran dan penglihatan) maupun yang batin (kalbu). Sampai dengan tahap ketiga itu, makhluk “manusia” masih baru mencapai tingkat kemakhlukan binatang. Dan setelah tahap keempat manusia menjadi lebih tinggi daripada binatang, karena itu memiliki unsur sebagai makhluk keruhanian atau spiritual, tidak semata-mata makhluk jasmani atau biologis saja. Tingkat keruhanian manusia ini ditopang oleh kemampuannya yang khas sebagai karunia Ilahi, yaitu kemampuan menyadari tingkat hidup yang lebih tinggi berdasarkan kesadaran tentang adanya Yang Mahakuasa dan pengarahan hidup menuju kepada-Nya, demi memperoleh perkenan atau rida-Nya. Bahkan “pendengaran” dan “penglihatan” manusia pun mempunyai makna dan fungsi yang lebih tinggi daripada yang ada pada binatang. “Pendengaran” manusia tidak saja berarti suatu kemampuan fisik-biologis untuk menangkap suara dalam alam material, tapi juga berarti kemampuan “mendengar” dan menangkap pesan-pesan Ilahi melalui berbagai perlambang dan tanda-tanda yang memenuhi alam raya. Dan “penglihatan” berarti, selain kemampuan visual menangkap bentuk atau gerak benda dalam alam material, juga berarti, dalam fitrahnya sebagai keadaan suci primordialnya, kemampuan menangkap visi Ilahi. Ini semua menunjukkan segi-segi keruhanian manusia. Kelak di Akhirat segi-segi keruhanian itu akan tampil utuh dengan pengalaman keruhanian yang utuh pula, baik yang berupa kebahagiaan (“surga”) maupun yang berupa kesengsaraan (“neraka”). Hal ini dilukiskan dalam firman: “Pada Hari (Kiamat) Rūh dan para Malaikat berdiri dalam barisan, dan mereka tidak akan berbicara kecuali dia yang diizinkan oleh Yang Maha Pengasih, dan dia hanya berkata yang benar,” (Q 78:38). Kata-kata Rūh dalam ayat suci itu, menurut Yusuf Ali, diartikan sebagai “sukma keseluruhan manusia ketika mereka bangkit menghadapi Meja-Pengadilan Tuhan.”8 (Tapi 8

A. Yusuf Ali, h. 1677, n. 5911. D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

para ahli tafsir yang lain mengartikan Rūh dalam firman itu sebagai Malaikat Jibril yang memang diserahi tugas menyampaikan pesan-pesan Ilahi kepada manusia melalui Nabi-nabi dan Rasulrasul. Ini mencocoki firman: “Sesungguhnya ia (al-Qur’an) adalah benar-benar wahyu yang diturunkan dari Tuhan sekalian alam. Yang dibawa turun oleh Rūh al-Amīn (Ruh yang Terpercaya), kepada kalbumu (Muhammad) agar engkau termasuk (para Rasul) yang memberi peringatan, dalam bahasa Arab yang jelas. Dan sungguh ia (al-Qur’an) itu (berita-beritanya) sudah terdapat dalam kitab-kitab suci mereka kaum terdahulu,” (Q 26:192-196). Sebagai penutup dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alam keruhanian sesungguhnya tidaklah terlalu jauh dari pengalaman kita sehari-hari, kalau saja kita mampu, dengan hidayat Allah, untuk menangkapnya. Alam keruhanian terdapat dalam benda-benda “mati”, sebab semuanya berkesadaran Ilahi, dengan bertasbih memuji Tuhan Maha Pencipta. Alam keruhanian juga terdapat pada binatang, baik yang melata di bumi maupun yang terbang di angkasa. Lebih-lebih lagi pada manusia, alam keruhaniannya adalah akibat dari adanya unsur dari Ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam dirinya saat penciptaannya, baik Adam dahulu (sebagai bapak manusia atau lambang manusia pertama) maupun umat manusia sekarang (keturunan Adam). Di atas semuanya ialah alam keruhanian para malaikat, yang di-“kepalai” oleh Jibril. Dialah Ruh Suci, yang membawa Wahyu seperti al-Qur’an, yang juga disebut sebagai Ruh. Dengan mengikuti petunjuk Ilahi dalam al-Qur’an itu maka manusia akan mampu mencapai tingkat kehidupan keruhanian yang setinggi-tingginya, yang akan mengembalikannya kepada keadaan primordialnya yang suci, sejalan dengan fitrah Allah yang telah menciptakannya. [ ]

D 18 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM DAN KESEJARAHAN KAUM MUSLIM Oleh Nurcholish Madjid

Dapat dipastikan bahwa sebagian besar orang Indonesia pernah mendengar, dan mengerti, apa itu “Dār al-Islām”, terutama dalam ejaan populernya di sini, “Darul Islam”. Masyarakat Indonesia umumnya merasa kenal dengan istilah itu karena ada asosiasi yang erat sekali dengan beberapa peristiwa dalam sejarah pertumbuhan bangsa pada masa-masa dekat setelah proklamasi kemerdekaan, antara lain yang paling terkenal ialah gerakan dengan nama serupa yang dipimpin oleh Sangaji Marijan Kartosuwiryo, yang juga dikenal sebagai gerakan “DI/TII” (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Banyak sekali persoalan kesejarahan yang harus dibuat lebih jelas secara adil dan jujur tentang gerakan itu dan gerakan-gerakan lainnya yang serupa (seperti yang dipimpin oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Sultan Hamid di Kalimantan Barat, dan Kahar Muzakkar di Selawesi Selatan). Misalnya, seberapa jauh gerakan-gerakan yang menggunakan label keislaman itu sesungguhnya merupakan reaksi terhadap proses dan struktur sosial dan politik tertentu pada masa-masa pertumbuhan bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka yang sedang berusaha menemukan jati dirinya dalam konteks zaman modern. Tidak mungkin diingkri bahwa dari sebagian proses-proses dan struktur-struktur tersebut ada yang dirasakan kurang adil untuk sebagian masyarakat karena merugikan mereka tanpa memD1E


F NURCHOLISH MADJID G

perhatikan betapa mereka telah mengambil bagian yang sangat penting dalam perjuangan merintis, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu contoh dari proses itu dan struktur yang dihasilkannya ialah apa yang dinamakan “rasionalisasi”, yaitu proses penyisihan mereka yang “tidak memenuhi syarat pendidikan” (Belanda) dari unsur struktur tertentu republik kita yang masih muda, tanpa memperhatikan bahwa mereka yang bersangkutan itu adalah justru termasuk yang paling gigih berjuang melawan penjajahan dan paling banyak berkorban atau menjadi korban. Karena itu terbuka kemungkinan untuk menelaah dan menafsirkan kembali berbagai gerakan tersebut di bawah sorotan analisa yang memberi perhatian lebih besar kepada bentuk-bentuk proses dan struktur yang tidak adil itu, dan bagaimana gerakan-gerakan tersebut merupakan reaksi kepadanya, baik yang dilaksanakan secara cukup wajar maupun yang kurang wajar. Jika persoalan sejarah menyangkut pelaku sejarah itu sendiri di satu pihak dan para pengkaji, pengamat, serta penulis sejarah di lain pihak, maka mudah dibayangkan tentang kemungkinan adanya kesenjangan antara kenyataan dan pengamatan. Kesenjangan itu menghasilkan perekaman atau penulisan sejarah yang secara kritis dan jujur harus selalu diuji dan diuji kembali oleh mereka yang berwenang dari kalangan para ahli. Tidak terkecuali mengenai sejarah berbagai gerakan di Indonesia yang menggunakan sebutan Darul Islam atau sejenisnya. Demikian itulah yang seharusnya, jika dikehendaki penarikan pelajaran secara benar dan tepat dari sejarah bangsa. Secara keagamaan, cukup banyak perintah dalam Kitab Suci agar kita umat manusia mempelajari sejarah, dengan mengembara di bumi dan memperhatikan pengalaman hidup bangsa-bangsa yang telah lalu, untuk dapat menarik pelajaran dari kegagalan dan kehancuran mereka.1 Jadi memang ada hal yang sangat menarik berkenaan dengan istilah “Dār al-Islām” dan lawannya (yang tidak atau kurang dikenal oleh masyarakat kita), “Dār al-Harb”. Tetapi dalam makalah ini 1

Lihat, antara lain, Q 3:137, 6:11, dan 30:42. D2E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

persoalan tersebut tidak hendak dibahas dalam konteks negeri kita, melainkan dalam konteks ajaran agama (normatif ) dan kesejarahan Islam klasik. Dari pendekatan itu diharapkan akan terjadi berbagai kejelasan mengenai istilah-istilah dan konsep-konsep tentang “Dār al-Islām” dan lawannya, “Dār al-Harb”, termasuk implikasinya yang menyangkut pengalaman nasional kita, yang sejajar maupun yang senjang. Istilah “Dār al-Islām” sendiri berarti sekitar “Negeri Islam” (lebih banyak daripada berarti “Negara Islam”). Tetapi karena istilah lawannya ialah “Dār al-Harb” yang berarti “Negeri Perang” atau “Kawasan Peperangan”, maka “Dār al-Islām” lebih tepat diartikan sebagai “Negeri Damai” atau “Kawasan Kedamaian”. Ini tentu mempunyai logikanya sendiri, karena, menurut apa yang seharusnya, sebuah “Negeri Islam” adalah juga “Negeri Damai”, lebih-lebih secara etimologis dan semantis perkataan “Islâm” dan “Salâm” adalah satu dan sama. Kitab-kitab fiqih yang membahas hukum Islam banyak yang menguraikan dengan cukup rinci pengertian dan konsep sekitar istilah-istilah itu. Karena pengertianpengertian sekitar “kedamaian” dan “peperangan” tersebut, maka tulisan ini hendak memusatkan lebih banyak kepada masalah damai dan perang dalam Islam. Pertama, menurut ajaran (normatif ) dalam agama (dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi), dan kedua, melihat beberapa kenyataan dalam sejarah sebagai batu penguji ajaran-ajaran keagamaan yang normatif tersebut dalam praktik. Sudah tentu dapat diharap adanya banyak kesejajaran antara yang normatif dan yang historis itu, tetapi adanya kesenjangan pun perlu diperhatikan, karena dari situ akan tampak dinamika “tantangan dan jawaban” yang dialami para pelaku sejarah terhadap zamannya.

Damai dan Perang dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi

Barangkali cukup menarik untuk diperhatikan bahwa secara harfiah istilah-istilah “Dār al-Islām” dan “Dār al-Harb” tidak terdapat D3E


F NURCHOLISH MADJID G

dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah diisyaratkan, istilah-istilah itu banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Seperti halnya dengan istilah “fiqih” (fiqh) itu sendiri, bersama dengan istilah-istilah “syariat” (syarī‘ah), “kalam” (kalām), tasawuf (tashawwuf), hikmah (falsafah) dan lain-lain — yang meskipun terdapat dalam al-Qur’an namun mempunyai makna semantik yang berbeda — istilah-istilah “Dār al-Islām” dan “Dār al-Harb” juga tumbuh sebagai bagian dari pemikiran Islam yang tertuang dalam ilmu fiqih. Hal itu tidaklah berarti bahwa pandangan yang terkandung dalam kedua istilah itu tidak memiliki otentisitas dan keabsahan. Hanya saja untuk dapat menangkap pandangan-pandangan itu kita harus mencari dan memahami istilah-istilah dan konsep-konsep yang dinyatakan dalam ungkapan harfiah berbeda. Berkenaan dengan istilah “Dār al-Islām” itu, istilah yang dalam al-Qur’an secara harfiah sangat mirip ialah istilah “Dār al-Salām” (baca: “Dārussalām”), yang bermakna “Negeri Damai”. Dalam makna seperti itu maka Dār al-Salām adalah sama artinya dengan al-Balad al-Amīn yang merupakan nama lain untuk kota Makkah, juga sama artinya dengan Yerusyalīm (“Yerusalem”) yang merupakan nama asli dari bahasa Suryani atau Arami untuk kota al-Quds atau Bayt Maqdis di Palestina di mana berdiri Masjid Aqsha. Perkataan Dār al-Salām juga sama artinya dengan Shanti Niketan, yaitu nama tempat di mana Rabindranath Tagore melaksanakan programprogram budaya dan pendidikannya yang terkenal di India. Kesemuanya mengacu kepada wawasan dan cita-cita kedamaian, dan dari situ dapat dipandang bahwa ungkapan-ungkapan itu merupakan simbolisasi tentang pola kehidupan masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu masyarakat yang aman-tenteram dan penuh kedamaian. Dari sudut pendekatan etimologis sudah jelas bahwa perkataan Dār al-Salām sangat kuat bersangkutan dengan ajaran tentang islām. Sebagai mashdar (kata benda abstrak) dari kata kerja aslama, perkataan islām memiliki artian “mencari salām, yakni, kedamaian”, “berdamai”, dan dari semua itu juga menghasilkan pengertian D4E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

“tunduk”, “menyerah”, dan “pasrah”. Maka agama yang benar disebut “Islām” karena mengajarkan sikap berdamai dan mencari kedamaian melalui sikap menyerah, pasrah, dan tunduk-patuh kepada Tuhan secara tulus. Sikap-sikap ini bukanlah hanya pilihan hidup yang benar untuk manusia (makhluk dengan akal-pikiran sehingga mempunyai kemampuan untuk memilih dalam arti menerima atau menolak), tetapi juga merupakan pola wujud (mode of existence) seluruh alam raya beserta isinya. Karena itu jika manusia diseru untuk memilih sikap hidup tunduk, menyerah, dan pasrah kepada Tuhan, yaitu untuk ber-islām, maka tidak lain ialah seruan agar manusia mengikuti pola hidup yang sama dengan pola wujud alam raya. Yang dihasilkan oleh sikap itu tidak saja kedamaian dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama manusia, tetapi juga dengan sesama makhluk, sesama isi seluruh alam raya, dan jagad raya itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan firman Tuhan dalam al-Qur’an yang amat banyak dikutip: “Apakah mereka menganut selain dīn (ketundukan) kepada Allah? Padahal telah pasrah (aslama, “ber-islām”) kepada-Nya makhluk yang ada di seluruh langit dan bumi, baik dengan taat atau secara terpaksa., dan kepada-Nya pula semuanya akan dikembalikan! Katakan (hai Muhammad), ‘Kami percaya (āmannā, “ber-īmān”) kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, dan Ya’qub serta suku-suku (Bani Isra’il), juga apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membedakan antara seorang pun dari mereka itu, dan kami tunduk (muslimūn) kepada-Nya.” Barangsiapa menganut selain al-islām (sikap pasrah kepada Tuhan Yang Mahaesa) sebagai agama, maka tidak akan diterima dari dia, dan di Akhirat dia akan termasuk mereka yang merugi,” (Q 3:83-85).

Cobalah kita perhatikan sejenak lebih mendalam deretan tiga ayat suci itu. Dari firman-firman itu dengan jelas kita dapatkan bahwa perkataan dan pengertian islām, pertama, dikaitkan dengan D5E


F NURCHOLISH MADJID G

pola wujud seluruh alam raya, khususnya makhluk-makhluk yang menjadi penghuninya, yaitu bahwa semua yang ada ini tunduk-patuh dan pasrah kepada Tuhan Maha Pencipta, baik secara sukarela ataupun terpaksa; kedua, dikaitkan dengan semua agama yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad saw., dan beliau ini serta para pengikut beliau diperintahkan untuk menyatakan percaya atau beriman kepada semua itu tanpa membeda-bedakan satu dari yang lain, dan semua para Nabi serta pengikut mereka itu adalah sama-sama menempuh sikap hidup pasrah kepada Tuhan, yakni, muslimūn; dan ketiga, sebagai kesimpulan dan penegasan berdasarkan itu semua, maka barangsiapa menganut selain islām sebagai pola keagamaannya, ia tidak akan diterima. Penegasan atas pengertian seperti itu dipunyai oleh para ulama klasik Islam, antara lain ialah Ibn Taimiyah. Pemikir dan pejuang Islam dari Damaskus abad ke-14 yang amat besar pengaruhnya di zaman modern ini mamaparkan pengertian yang benar tentang istilah islām di berbagai karyanya, antara lain adalah kutipan berikut: Maka para Nabi itu semuanya dan para pengikut mereka, semuanya disebutkan oleh Allah bahwa mereka adalah orang-orang muslimūn (yang pasrah kepada Allah). Ini menjelaskan bahwa firman Allah, “Barangsiapa menganut selain al-islām (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama, maka tidak akan diterima dari dia, dan di Akhirat dia akan termasuk mereka yang merugi,” (Q 3:85), dan firman-Nya, “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah al-islām,” (Q 3:91), tidaklah berlaku khusus hanya bagi orang (umat) yang kepada mereka itu Nabi Muhammad saw. diutus, tetapi merupakan hukum umum untuk umat-umat terdahulu dan umat-umat kemudian hari. Karena itu Allah berfirman, “Siapalah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan (aslama, ‘ber-islām’) dirinya kepada Allah, dan dia itu berbuat kebaikan, serta menganut agama Ibrahim secara hanīf (sejalan dengan dorongan alami manusia untuk mencari D6E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

dan berpihak kepada kebenaran). Allah mengangkat Ibrahim itu sebagai khalīl (kawan dekat),” (Q 4:125). Allah juga berfirman, “Mereka berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani!’ Katakan (hai Muhamad), ‘Berikan buktimu jika kamu memang benar! Sebaliknya, siapa saja yang memasrahkan (aslama, ‘ber-islām’) dirinya kepada Allah dan dia itu berbuat baik maka baginya tersedia pahala di sisi Tuhannya, dan mereka yang seperti itu tidak perlu takut, dan tidak pula mereka perlu khawatir,’” (Q 2:111-112).2

Pandangan dan pengertian seperti yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah itu adalah tipikal pandangan dan pengertian para ulama Islam klasik, karena mereka mampu menangkap apa sebenarnya “Api Islam” (istilah dari Bung Karno), yaitu inti semangat ajarannya, dan tidak semata-mata segi simbolisasi dan pelambangan ajaran itu. Tetapi memang Ibn Taimiyah adalah yang paling banyak, tegas dan menonjol dalam pembahasan masalah ini. Berdasarkan pandangan dan pengertian seperti itu maka dibenarkan adanya klaim bahwa Islam adalah agama universal, tidak saja dalam arti meliputi seluruh umat manusia sepanjang masa, tetapi juga meliputi seluruh jagad raya dan ciptaan (makhluk) Allah. Karena itu inti ajaran Islām, yaitu damai, kedamaian, perdamaian, dan semua pengertian perluasannya yang dalam bahasa Arab dinyatakan dalam kata-kata yang ditasrifkan dari akar kata s-l-m seperti salām, salāmah, atau salāmat-un, salam, salm, silm, adalah juga bersifat universal atau menjagad-raya. Sejalan dengan itu semua, dan kembali kepada istilah Dār al-Salām, patut direnungkan bahwa istilah ini dalam al-Qur’an sesungguhnya digunakan sebagai gambaran tentang kehidupan di surga, yaitu kehidupan penuh bahagia di sisi Tuhan. Di antara firman-firman Allah mengenai hal ini ialah:

2

Ibn Taimiyah, al-Jawâb al-Shahîh li man Baddala Dîn al-Masîh, 4 jilid, (Jeddah [?]: Mathabi‘ al-Majd al-Tijariyah, t.th., jil. 1, hh. 228-229. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

“Maka barangsiapa Allah menghendakinya untuk diberi hidayah, dibuatlah dadanya lapang untuk menerima al-islām. Dan barangsiapa Dia kehendaki untuk disesatkan, maka dibuatlah dadanya sempit dan sesak seakan-akan naik ke langit. Demikianlah Allah menetapkan kekotoran atas mereka yang tidak mau beriman. Dan inilah jalan Tuhanmu, dalam keadaan tegak-lurus. Sungguh Kami telah rincikan berbagai bukti (ayat) untuk kaum yang bersedia merenungkan. Bagi mereka ini adalah Dār al-Salām di sisi Tuhan mereka, dan Dia adalah Pelindung mereka berkenaan dengan segala sesuatu yang mereka kerjakan,” (Q 6:125-127). “Allah mengajak kepada Dār al-Salām, dan membimbing siapa pun yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” (Q 10:25).

Sejalan dengan itu juga digambarkan bahwa dalam kehidupan surgawi tidak lagi terdengar ucapan kotor, melainkan “Salām, salām” atau “Damai, damai”: “Mereka di sana tidak mendengar ucapan sia-sia, juga tidak ucapan penuh dosa, melainkan ucapan ‘Dami, damai’,” (Q 56:25-26).

Oleh karena itu diserukan agar kaum beriman masuk ke dalam perdamaian itu secara menyeluruh, tidak setengah-setengah, dan jangan sampai mereka mengikuti jejak setan untuk menumbuhkan rasa permusuhan antara sesama manusia. Diingatkan bahwa setan adalah musuh paling nyata bagi hamba Allah: “Wahai sekalian orang beriman, masuklah kamu semua dalam perdamaian secara menyeluruh, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu,” (Q 2:208).

Karena Allah mengajak kepada perdamaian, maka semua orang yang menerima ajaran-Nya, yaitu kaum beriman, juga harus selalu D8E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

mengajak kepada perdamaian. Inilah salah satu segi amat penting keunggulan ajaran Islam, sehingga secara khusus dipesan agar mereka yang berjuang untuk perdamaian itu tidak merasa rendah diri atau hina. Sebaliknya diingatkan bahwa mereka ini adalah kelompok manusia yang unggul, yang akan selalu dilindungi Allah dan yang amal perbuatannya tidak akan sia-sia: “Janganlah kamu merasa rendah diri sedangkan kamu mengajak kepada perdamaian, padahal kamu adalah yang lebih unggul (lebih tinggi dalam kehormatan). Allah beserta kamu, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan amal perbuatanmu,� (Q 47:35).

Tekanan kepada usaha menciptakan perdamaian ini demikian kuatnya sehingga berkenaan dengan golongan yang terlibat dalam permusuhan dan peperangan dengan kaum beriman, namun kemudian mereka itu, sebagian atau seluruhnya, bermaksud dan mengajak berdamai, maka Nabi kita diperintahkan Allah untuk menerima ajakan damai itu dengan penuh tawakal kepada Allah. Yaitu dengan keyakinan bahwa jika mereka, (bekas) musuh yang mengajak damai itu, ternyata menipu dan berkhianat, maka bagi Nabi saw. (dan kaum beriman) cukuplah bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, sebab Dialah yang akhirnya membuat Nabi dan kaum beriman itu menang dan unggul: “Jika mereka condong kepada perdamaian, maka engkau (Muhammad) pun harus condong kepada perdamaian itu, dan bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Dia itu Mahatahu dan Maha Mendengar. Kalau mereka hendak menipu engkau, maka cukuplah Allah bagimu. Dialah yang meneguhkan engkau dengan pertolongan-Nya dan dengan kaum yang beriman,� (Q 8:61).

Sejajar dengan itu adalah makna dua hadis pendek namun amat mendasar: D9E


F NURCHOLISH MADJID G

Nabi saw. bersabda, “Seorang Muslim ialah yang orang-orang Muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya,” dan “Islam yang paling utama ialah, engkau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan tidak kau kenal,” (HR Bukhari-Muslim).3

Sementara itu, dalam berbagai kajian sosiologi agama, Nabi Muhammad saw., bersama dengan beberapa nabi yang lain seperti Musa, Dawud, dan Sulaiman, digolongkan sebagai “nabi bersenjata” (the armed prophets). Bahkan dari semua nabi bersenjata itu, malahan juga dari semua nabi secara mutlak, Nabi Muhammad saw. adalah yang paling berhasil mengemban tugasnya. Sehingga Michael Hart pun, dalam bukunya tentang seratus tokoh umat manusia paling terkemuka, menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai seorang manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah peradaban dunia.4 Keberhasilan Nabi telah dicatat dalam berbagai buku sīrah (biografi) Nabi sejak masa yang amat dini dalam sejarah Islam, seperti yang dilakukan oleh Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam. Dari hasil kajian dan catatan mereka itu kita sekarang mewarisi pengetahuan yang cukup rinci tentang hidup dan perjuangan Nabi, praktis jauh lebih rinci daripada tentang semua tokoh zaman klasik yang mana pun juga. Dan dari buku-buku sīrah itu kita mengetahui dengan pasti bagaimana Nabi terlibat dalam berbagai peperangan, baik yang beliau pimpin sendiri (disebut ghazwah) ataupun yang berupa ekspedisi militer yang pimpinannya beliau angkat dari para sahabat beliau (disebut sarīyah atau sarāyā). Maka berkenaan dengan masalah ajaran tentang perdamaian yang amat kuat dalam ajaran agama Islam itu, kita harus melihat perang-perang Nabi sebagai realisme sosial, politik, dan kultural, 3

Dikutip oleh Ibn Taimiyah dalam kitab al-Îmân (Kairo: Dar al-Thiba‘at al Muhammadiyah, t.th.), h. 314. 4 Lihat Michael H. Hart, The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, terjemahan H. Mahbub Djunaidi, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986). D 10 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

justru untuk menegakkan perdamaian itu sendiri. Ini bukanlah suatu jenis Machiavelisme (“untuk tujuan perdamaian ditempuh cara perang”), sebab jika hal itu demikian maka tidak satu pun tindakan manusia demi kebaikan akan dapat dibenarkan, sementara sering kebenaran, termasuk perdamaian, tidak akan terwujud tanpa peperangan yang benar. Dan perang-perang Nabi tidak saja dilakukan untuk tujuan menciptakan perdamaian antara manusia, tetapi cara dan teknik pelaksanaannya sendiri juga dengan sangat memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang seluhurluhurnya. Sampai-sampai, misalnya, Nabi saw. berpesan agar bila kita berperang dan harus membunuh musuh, hendaknya kita menghindari wajah, karena dalam wajah itu ada kehormatan kemanusiaan. Sebuah hadis Bukhari-Muslim menyebutkan demikian: “Jika seseorang di antara kamu terlibat dalam peperangan maka hendaknya ia menghindari wajah,” (Hadis Muttafaq ‘Alayh, dalam kitab Bulūgh-u ’l-Marām, hadis No. 1519).

Juga atas pertimbangan prinsip kemanusiaan dan kedamaian itu maka Allah berfirman agar dalam peperangan janganlah sampai terjadi pembunuhan terhadap orang yang mengucapkan salam, menyatakan kedamaian, tanpa dibuktikan lebih dahulu kepalsuan maksud ia mengucapkan salam itu. Sebab atas pertimbangan keuntungan duniawi dan karena dorongan hawa nafsu permusuhan mungkin saja seseorang menolak perkawanan orang lain yang telah mengucapkan salam kepadanya dan tidak menunjukkan sikap permusuhan. Firman Allah yang dimaksud itu adalah demikian: “Wahai sekalian orang yang beriman! Jika kamu pergi berperang di jalan Allah, hendaklah kamu melakukan pembuktian, dan jangan kamu katakan kepada orang yang menyampaikan salam kepadamu, ‘Engkau tidak beriman!’ Kamu mencari keuntungan hidup duniawi, padahal di sisi Allah terdapat banyak harta-kekayaan. Begitulah keadaan kamu sebelumnya, kemudian Allah memberi anugerah (keteguhan iman) D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

kepadamu sekalian. Maka lakukanlah pembuktian! Sesungguhnya Allah Mahateliti atas segala sesuatu yang kamu kerjakan,� (Q 4:94).

Sudah tentu, di atas semua pertimbangan, perang adalah absah saja jika tujuannya adalah pembelaan diri karena mendapat perlakuan yang zalim. Kejahatan harus dibalas setimpal, dan kaum beriman mendapat ajaran bahwa mereka wajib membela diri jika mendapatkan perlakuan permusuhan yang tidak adil. Tetapi karena perang atau membalas kejahatan secara setimpal bukan tujuan dalam dirinya sendiri melainkan demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, maka diajarkan pula bahwa memberi maaf adalah lebih utama daripada melaksanakan hak membalas, dengan Allah yang akan menanggung pahalanya. Orang yang membela diri sama sekali tidak dapat dipersalahkan, namun jika ia berlapang dada untuk berdamai maka ia akan digolongkan ke dalam kelompok pribadi yang unggul. Semua pesan suci ini termuat dalam al-Qur’an, surat al-SyĹŤrÄ , yang menunjukkan tingginya pertimbangan akhlak, etika, dan moral dalam ajaran Tuhan untuk umat manusia. Karena pentingnya perkara ini untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi kita semua yang telah menyatakan diri beriman, maka di bawah ini dikutipkan ayat selengkapnya: “Segala sesuatu yang dianugerahkan kepadamu sekalian merupakan kesenangan hidup duniawi, sedangkan sesuatu yang ada di sisi Allah adalah lebih abadi untuk mereka yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan mereka. Mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatanperbuatan keji, dan mereka yang apabila marah akan memberi maaf. Mereka yang menjawab seruan Tuhan mereka, lagi pula menegakkan sembahyang, sedangkan segala urusan mereka adalah (diselesaikan dengan) musyawarah antara sesama mereka, dan mereka mendermakan sebagian dari karunia (rezeki) yang Kami anugerahkan kepada mereka. Mereka yang bila mengalami perlakuan tidak benar akan membela diri (dengan membalas). Balasan kejahatan ialah kejahatan yang setimpal. Namun barangsiapa memberi maaf dan berdamai, maka pahalanya D 12 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

atas tanggungan Allah. Sungguh Dia tidak suka kepada orang-orang yang zalim. Dan sungguh orang yang membalas sesudah diperlakukan secara zalim tidaklah ada jalan terhadapnya (untuk disalahkan atau ditindak). Jalan (untuk menyalahkan dan menindak) hanyalah ada terhadap orang-orang yang zalim kepada sesama manusia dan membuat kerusakan di bumi secara tidak benar. Bagi mereka tersedia azab yang amat pedih. Namun sungguh orang yang sabar dan memberi maaf, maka benar-benar hal itu termasuk perkara yang tinggi nilainya (‘azm al-umūr),” (Q 42:36-43).

Jadi kita diingatkan hendaknya jangan hanya mementingkan masalah duniawi berupa kepentingan-kepentingan sesaat atau jangka pendek, lalu melupakan hal-hal yang lebih tinggi dan lebih langgeng di sisi Allah. Maka jika kita terlibat dalam permusuhan atau peperangan, adalah memang sepenuhnya benar untuk membela diri dan membalas. Tapi jika dimungkinkan memberi maaf, maka kita harus percaya bahwa perbuatan baik itu tidak akan sia-sia, sebab Allah akan menanggung pahalanya dengan memberi sesuatu yang lebih tinggi daripada kepuasan melaksanakan hak untuk membalas. Apalagi ada saja kemungkinan bahwa dalam membalas itu kita terbawa nafsu dan emosi, sehingga malah boleh jadi justru akan melanggar larangan Allah dengan melakukan kezaliman. Dan memang inilah “jalan tengah” (wasath) yang diajarkan Allah kepada kita melalui agama Islam, yaitu jalan tengah antara ketegaran menegakkan hukum dan kelembutan memberi maaf. Jika kita hanya menempuh jalan ekstrem menegakkan hukum semata, maka mungkin kita akan menciptakan masyarakat tanpa kasih sayang yang mendalam di hati sanubari. Sebaliknya, jika berada pada ujung ekstrem yang lain, yaitu hanya memberi maaf saja, maka kita mungkin akan mendorong terciptanya masyarakat yang lemah secara etis dan moral, suatu hal yang amat berbahaya. Jalan keseimbangan antara keduanya itu memang sulit dan memerlukan ketabahan yang besar untuk menempuhnya. Namun dengan hidayah Allah maka jalan yang sulit itu akan dapat ditempuh. D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

Begitu banyak, dan masih sangat banyak lagi, yang dapat kita bicarakan berkenaan dengan ajaran Tuhan tentang damai dan perang. Namun semoga yang sedikit di atas itu cukup memadai untuk memberi gambaran dasar, dan dapat dijadikan pangkal permulaan membuat penilaian-penilaian. Maka kita teruskan pembahasan kita ini dengan melihat secukupnya bagaimana hal-hal normatif tersebut terlaksana atau tidak terlaksana dalam kenyataan sejarah umat Islam. Sama halnya dengan segi normatifnya, segi historis masalah damai dan perang dalam Islam itu juga tidak mungkin kita kemukakan seluruhnya, dan akan kita lakukan pembahasan hanya dengan pilihan yang beralasan.

Damai dan Perang dalam Sejarah Islam

Bernarkah ketentuan-ketentuan ajaran tersebut di atas itu dapat terlaksana dalam kenyataan sejarah? Sudah diisyaratkan dalam mukadimah bahwa tentu dapat diduga ada sebagian dari hal-hal normatif itu yang terlaksana, dan ada pula yang tidak. Justru al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa sejarah manusia dikuasai oleh hukum-hukum obyektif yang tidak akan berubah, yang dinamakan sunatullah (sunnat Allāh, baca: “sunnatullāh”), tidak berjalan hanya menurut ketentuan-ketentuan etis dan moral menurut ukuranukuran yang seharusnya seperti diajarkan oleh Tuhan sendiri. Karena Rasulullah saw. adalah contoh dan teladan untuk kaum beriman, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran Ilahi sepenuhnya terlaksana pada beliau, oleh beliau, dan melalui beliau. Sepanjang karier Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah, berbagai contoh dan teladan melaksanakan prinsip-prinsip damai dan perang yang diperkenankan Tuhan itu banyak diketemukan. Salah satu peristiwa yang oleh para ahli sejarah, baik di Timur maupun di Barat, yang Muslim dan yang non-Muslim, dicatat dan diakui dengan penuh penghargaan ialah bagaimana Nabi saw. memperlakukan bekas musuh-musuhnya ketika beliau berhasil D 14 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

merebut, menguasai, dan membebaskan Makkah. Tokoh-tokoh dan masyarakat Makkah yang selama kurang lebih dua dasawarsa menciptakan kesulitan dan ancaman yang luar biasa berat dan gawatnya kepada Nabi dan kaum beriman, beliau maafkan begitu saja dan bahkan diberi berbagai kehormatan, khususnya kepada pemimpin mereka sendiri, musuh bebuyutan Nabi, yaitu Abu Sufyan. Semua sarjana dunia mengakui, bahkan kaum orientalis Barat yang tidak suka kepada Islam pun terpaksa mengakui, bahwa tindakan Nabi saat pembebasan Makkah itu merupakan tindakan keteladanan yang tidak ada tolok bandingannya dalam sejarah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Cukuplah bagi yang berminat dengan membaca berbagai buku dan tulisan bersangkutan yang ada dalam berbagai bahasa. Namun jika disebutkan bahwa suatu komunitas, seperti komunitas Nabi saw. dan kaum beriman di Madinah, hidup dalam semangat kedamaian dan perikemanusiaan, tidaklah berarti bebas sama sekali dari perselisihan. Dari berbagai ayat suci dalam al-Qur’an dapat kita ketahui dengan jelas bagaimana friksi-friksi juga terjadi di antara para sahabat Nabi, juga dapat kita ketahui bagaimana Nabi menanganinya dengan amat bijaksana, menurut petunjuk Ilahi. Karena itu biar pun tedapat friksi-friksi, para sahabat Nabi tidak pernah saling bermusuhan, menfitnah, dan apalagi mengkafirkan. Hadlrat al-Syaikh Muhammad Hasyim Asy‘ari, dalam sebuah risalahnya yang terkenal, menyinggung hal itu demikian: Sudah diketahui bahwa perselisihan dalam furû‘ (cabang-cabang ajaran agama) telah terjadi antara para sahabat Rasulullah saw., semoga Allah meridai mereka semua, padahal mereka adalah sebaikbaik umat manusia. Dan mereka pun tidak saling memusuhi, tidak saling membenci, dan tidak pula saling menuduh salah atau cacat.5 5

Muhammad Hasyim Asy‘ari, Al-Tibyân fî al-Nahy ‘an Muqâtha‘at alArâm wa al-Aqârib wa al-Ikhwân (Surabaya: Mathba‘at Nahdlat al-Ulama’, 1360 H), h. 11. D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

Demikian itu masyarakat Islam di zaman Nabi dan di bawah bimbingan beliau. Kehadiran Nabi di kalangan kaum beriman dan wibawa beliau sebagai utusan Allah telah malapangkan jalan bagi suasana hidup penuh rasa persaudaraan (disebut mu’akhkhah) di lingkungan Madinah, sampai beliau wafat. Segala perselisihan dan pertentangan dapat diselesaikan oleh Nabi, dan semuanya lega dengan keputusan-keputusan beliau. Namun harus diakui adanya kesulitan besar bagi para sarjana, baik di bidang keagamaan maupun di bidang kesejarahan, dalam usaha menerangkan berbagai peristiwa pertentangan, permusuhan, dan bahkan peperangan yang terjadi antara para sahabat Nabi, tidak terkecuali kalangan mereka yang amat dekat dengan beliau. Tanda-tanda pertentangan itu sudah muncul dengan jelas pada menit-menit pertama Nabi wafat ketika para sahabat Nabi berselisih mengenai siapa pengganti Nabi untuk memimpin masyarakat yang masih amat muda itu dan bagaimana cara menentukannya. Peristiwa “Saqīfah Bani Sa‘idah”, berupa perdebatan dan saling berbantahan dan berebut tentang pengganti Nabi yang terjadi di balai pertemuan (saqīfah) milik suku Bani Sa‘idah, meringkaskan semua kejadian pertentangan itu. Kita dapat membayangkan sengit, keras, dan serunya para sahabat Nabi berdebat dalam ruangan itu jika kita ingat bahwa disebabkan hal tersebut maka jenazah Nabi yang mulia baru dimakamkan setelah tiga hari di atas pembaringan. Padahal Nabi sendiri pernah bersabda agar jenazah orang meninggal dapat dikubur secepatnya. Hanya berkat wibawa dan kepiawaian Umar ibn al-Khaththab perselisihan politik itu dapat diakhiri, dan atas inisiatifnya maka Abu Bakr al-Shiddiq diangkat dan dilantik (dibaiat) untuk menjadi pengganti (khalīfah) Raslulullah saw. Bagi banyak kalangan, peristiwa “Saqīfah Bani Sa‘idah” merupakan pangkal dari segala persoalan sulit yang sampai sekarang masih dialami dan dirasakan oleh umat Islam di seluruh dunia, antara lain dalam wujud perpecahan dan perselisihan berlarut-larut antara kaum Sunni dan kaum Syi’i. Dan sungguh sulit menjelaskan peristiwaperistiwa perpecahan, pertentangan, dan peperangan sesama sahabat D 16 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

Nabi yang terjadi hampir secara beruntun semenjak wafat beliau. Dalam kesulitan memperoleh kejelasan itu, maka dalam paham Sunni “diputuskan” untuk tidak membicarakan perselisihan para sahabat Nabi tersebut, dan kalaupun terpaksa membicarakannya maka hendaknya selalu diusahakan membuat tafsiran yang sebaik mungkin saja. Inilah yang sekarang bertahan dalam kitab-kitab akidah kaum Sunni, termasuk yang diajarkan di pesantren-pesantren kita. Salah satu rumus ketentuan itu dinyatakan demikian: Berilah ta’wīl (interpretasi) — yang positif — kepada perselisihan (antara para sahabat Nabi) yang telah terjadi, dan kalaupun engkau terlibat dalam pembicaraan mengenainya, maka jauhilah penyakit kedengkian (yang hanya memberi tafsiran buruk kepada perselisihan para sahabat Nabi itu).6

Terhadap ketentuan itu seorang ulama Indonesia yang kenamaan, Kiai Muhammad Shalih (dikenal juga sebagai Kiai Saleh Darat, karena berasal dari kampung Darat, Meranggen, Semarang), memberi ulasan cukup panjang lebar. Ulasan itu menggambarkan betapa sulitnya menjelaskan peristiwa perjalanan sejarah Islam setelah wafat Nabi dan banyak melibatkan peperangan antara para sahabat itu: Berilah interpretasi olehmu kepada peristiwa pertengkaran para sahabat dan perselisihan seperti yang disebutkan dalam banyak cerita tentang para sahabat... Para sahabat itu saling berselisih dan bertengkar hingga terjadi perang satu terhadap lainnya, yang harus diinterpretasikan secara baik, sebab para sahabat itu semuanya sudah disebut jujur lahir dan batin. Seperti cerita tentang Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan Sayyidina Mu‘awiyah — semoga Allah meridai 6

Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhîd, dalam al-Hajj Muhammad Shalih al-Samarani, Tarjamah Sabîl al-‘Abîd ‘alâ Jawharat aliTawhîd (tanpa keterangan tempat dan tahun penerbitan), h. 149. D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

kedua-duanya — hingga terjadi perang antara keduanya, maka “yang membunuh dan yang terbunuh masuk surga”. Karena itu tidak dibenarkan pada orang awam mendengarkan cerita pertengkaran para sahabat Nabi.7

Sudah diisyaratkan bahwa perselisihan dan bahkan peperangan antara para sahabat Nabi itu — termasuk, yang paling sulit dimengerti, antara A’isyah, bekas istri Nabi, dengan Ali, kemenakan Nabi dan bekas menantu beliau — adalah karena urusan politik, bukan urusan keagamaan an sich. Karena itu sesengit apa pun mereka bertengkar, dan sekejam apa pun mereka saling membunuh dalam peperangan, mereka tidak pernah saling mengkafirkan, sampai akhirnya datang masanya kebangkitan kaum Khawarij yang mengkafirkan semua golongan selain golongannya sendiri. Bahkan suasana tidak saling mengkafirkan itu berlangsung terus sampai ke generai kedua (generasi Tābi‘ūn) dan generasi ketiga (Tābi‘ al-Tābi‘īn) seperti yang diteladankan oleh para imam mazhab. Hal ini, misalnya, disebutkan oleh Ibn Taimiyah dalam kaitannya dengan paham tentang ijtihad, yang membicarakan tentang adanya tiga pendapat tentang ijtihad, kemudian ia kemukakan pendapat yang benar berdasarkan pandangan dan praktik kaum Salaf. Patut sekali kita mengetahui pandangan ulama yang amat berpengaruh di zaman modern ini, paling tidak di kalangan kaum Sunni, tentang generasi pertama Islam itu, demikian: Adapun selain mereka itu (yakni, selain golongan yang pandangannya tentang ijtihad oleh Ibn Taimiyah dinilai kurang tepat — NM), berpendapat menurut pendapat kaum Salaf (tiga generasi Islam pertama — NM) dan para imam fatwa seperti Abu Hanifah, al-Syafi‘i, al-Tsawri, Dawud ibn Ali, dan lain-lain, yang tidak menganggap 7

Al-Hajj Muhammad Shalih al-Samarani, Tarjamah Sabîl al-‘Abîd ‘alâ Jawharat al-Tawhîd (tanpa keterangan tempat dan tahun penerbitan), h. 149150. D 18 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

berdosa seseorang yang berijtihad dan salah, tidak dalam masalahmasalah ushūlīyah, juga tidak dalam furū‘īyah, seperti diterangkan oleh Ibn Hazm dan lain-lain. Karena itu Abu Hanifah dan al-Syafi‘i dan lain-lain tetap menerima kesaksian golongan al-Ahwā’ (yakni, golongan Islam yang dianggap jauh menyimpang namun tidak dapat dikatakan kafir, seperti kaum Khawarij — NM) kecuali golongan al-Khaththabiyah, dan memandang absah bersembahyang di belakang mereka (yakni, bermakmum kepada mereka — NM). Padahal orang kafir tidak boleh diterima persaksiannya dan juga tidak dianggap absah bersembahyang di belakangnya. Mereka itu berpendapat, inilah pandangan yang dikenal dari para sahabat Nabi dan para pengikut (Tābi‘ūn) mereka dengan baik, serta pendapat para imam keagamaan, yaitu bahwa mereka tidak mengkafirkan, tidak pula menfasikkan ataupun menganggap berdosa seseorang dari kalangan yang berijtihad dan membuat kesalahan, tidak di bidang ‘amalīyah (praktis), tidak pula di bidang ‘ilmīyah (teoretis).8

Kita mengetahui dari sejarah Islam para tokoh sahabat Nabi saw. yang terlibat dalam pertikaian politik dan perpecahan sesama mereka. Yang paling seru, dan bekasnya masih amat berpengaruh sampai sekarang, ialah yang terjadi antara Ali dan Mu‘awiyah. Se be narnya orang cukup mudah untuk membuat penilaian kemudian memihak kepada Ali atau membenarkannya — dan itulah pendapat yang dominan di seluruh dunia Islam hingga kini — namun kenyataannya, dari segi perpolitikan Islam, Mu‘awiyah meninggalkan bekas lebih besar dan lebih awet kepada umat Islam. Mu‘awiyah adalah orang yang dituduh, secara benar, sebagai yang mengubah sistem perpolitikan kaum Muslim dari yang semula bersifat terbuka, egaliter, dan partisipatif, menjadi bersifat tertutup, hirarkis dan otoriter. Jelasnya, dari sistem kekhalifahan 8

Ibn Taimiyah, Minhâj al-Sunnah fî Naqdl Kalâm al-Syî‘ah wa alQadarîyah, 4 jilid (Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, [juga Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.]), jil. 3, h. 20. D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

menjadi sistem kerajaan. Hendaknya kita ketahui bahwa masa kekhalifahan yang sejati itu hanya berlangsung selama 30 tahun (dari Abu Bakr sampai Ali), dan sejak itu sampai sekarang, selama lebih kurang 14 abad, yang ada ialah sistem kerajaan, meskipun raja-raja itu mengklaim dan menamakan diri mereka sebagai khalifah-khalifah, termasuk yang terakhir dan ditumbangkan oleh Kemal Attaturk di Turki Usmani. Hanya di zaman modern ini, berkat pikiran-pikiran modern tentang negara dan politik, banyak negeri Muslim yang berbentuk bukan lagi kerajaan, tapi republik, seperti Aljazair, Tunis, Lybia, Mesir, Sudan, Somalia, Jibouti, Yaman, Suriah, Irak, Iran, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Maladewa, dan Indonesia. Sedangkan selebihnya, yaitu Marokko, Jordania, Kuwait, Saudi Arabia, Bahrain, Oman, dan Malaysia dapat disebut sebagai kelanjutan konsisten tradisi perpolitikan Islam sesudah masa kekhalifahan, yakni, sejak masa Mu‘awiyah. (Uni Amirat Arab adalah unik, karena merupakan uni dari sistem politik pimpinan seorang syeikh — disebut dalam bahasa Inggris sheikhdom — namun uni itu sendiri dipimpin oleh seorang yang dinamakan Presiden). Demikian itu pengaruh Mu‘awiyah dan sistemnya dari segi politik. Dari segi keagamaan, khususnya berkat rintisan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, dinasti Umayah yang didirikan oleh Mu‘awiyah itu mewariskan paham Sunni yang lebih terkonsolidasi. Bahkan kaum Abbasi pun, yang dalam revolusi mereka menumbangkan dinasti Umayah melakukan kekejaman luar biasa yang jelas sekali merupakan genocide atau ethnic cleansing terhadap dinasti yang ditumbangkannya itu, akhirnya justru memeluk ideologi keagamaan Sunnisme warisan mereka, dengan menindas dan berusaha membasmi kaum Syi’ah dan Khawarij. Permulaan dari perubahan yang dilakukan oleh Mu‘awiyah yang membawa dampak permusuhan lebih parah dalam Islam itu tercermin dalam wasiatnya kepada Yazid, anaknya sendiri yang ditetapkannya untuk menggantikannya: D 20 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

Wasiat Mu‘awiyah kepada anaknya, Yazid: “....Aku tidak mengkhawatirkan kepada engkau akan ada yang menentangmu kecuali dari empat tokoh kalangan Quraisy, al-Husayn ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn al-Zubayr, dan Abdurrahman ibn Abi Bakr. Tentang (Abdullah) ibn Umar, dia adalah tokoh yang sibuk beribadat, dan jika tidak ada seorang pun selain dia, dia akan membaiat engkau; tentang al-Husayn, penduduk Irak tidak akan mendukungnya kecuali dengan mendorongnya untuk memberontak. Maka jika ia memberontak kepadamu dan engkau menang, maka tunjukkan sikap yang lembut kepadanya, sebab dia itu memiliki rasa cinta yang memikat dan hak yang agung; tentang (Abdurrahman) ibn Abi Bakr, dia adalah seorang lelaki yang jika melihat para sahabatnya berbuat sesuatu dia akan juga memperbuatnya seperti mereka, namun ia tidak mempunyai perhatian kecuali kepada wanita dan kesenangan; tetapi yang bakal menerkam engkau bagaikan harimau dan mencakar engkau bagaikan serigala, dan yang jika ada kesempatan pasti akan meloncat, itulah (Abdullah) ibn al-Zubayr. Jika ia lakukan itu dan engkau dapat mengalahkannya, maka cincanglah ia sehabishabisnya.9

Adalah Mu‘awiyah yang mampu menulis wasiat seperti itu yang juga telah bertindak sendiri, kemudian mewariskan, berbagai praktik-praktik yang tidak terpuji dalam sejarah awal perpolitikan Islam. Dari sekian banyaknya peristiwa kekejaman Mu‘awiyah itu beberapa menyangkut keluarga A’isyah, bekas istri Nabi yang digelari Umm al-Mu’minīn (Ibu kaum beriman), seperti bagaimana Mu‘awiyah membunuh dengan kejam saudara A’isyah, Muhammad ibn Abi Bakr yang menjadi gubernur Mesir dari pihak Ali. Juga ada peristiwa-peristiwa kekejaman Mu‘awiyah yang mendorong A’isyah untuk melakukan oposisi kepadanya, seperti pembunuhan kejam 9

Al-Thabari, Târîkh al-Khulafâ’, jil. 6, h. 179-180, sebagaimana dikutip oleh Dr. Ibrahim Baydlun, Malâmi al-Tayyârât al-Siyâsîyah fî al-Qarn al-Awwal al-Hijrî (Beirut: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1979), h. 184. D 21 E


F NURCHOLISH MADJID G

terhadap Hujr ibn Addi dan kawan-kawan atas dasar kesalahan menginterupsi khutbah Jumat Ziyad ibn Abih, gubernur Kufah dari pihak Mu‘awiyah, karena khutbah itu terlalu panjang dan waktu shalat Jumat hampir habis. Karena itu A’isyah melindungi Abdurrahman ibn Abi Bakr, sauda ra nya, ketika menentang keputusan Mu‘awiyah menunjuk anaknya sendiri Yazid, dan menuduh Mu‘awiyah menganut “Hirqalīyah” (“Herakliusisme”, yakni, sistem penunjukan anak atau keluarga sendiri sebagai calon pengganti raja, atau sistem kerajaan yang diketahui orang Arab dipraktikkan oleh Romawi Timur atau Byzantium yang saat itu kaisarnya ialah Heraklius).10 Demikianlah secara singkat tinjauan normatif dan historis tentang damai dan perang dalam Islam. Sudah tentu masih banyak sekali persoalan yang dapat dibicarakan, namun hal itu tidak mungkin dilakukan di sini karena sifat khusus makalah ini. Satu hal yang patut dicatat ialah, bahwa sementara intern umat Islam sendiri begitu banyak kesenjangan antara norma dan fakta, namun yang sejalan juga tidak kurang banyaknya. Dan yang amat menarik ialah bahwa umat Islam klasik justru dicatat oleh para ahli sejarah yang jujur, baik Barat maupun Timur, sebagai golongan manusia yang amat baik memperlakukan musuh (di luar Islam). Karena itu dalam tempo relatif amat singkat mereka mampu menguasai kawasan dunia yang paling maju saat itu, yang terentang dari Lautan Atlantik sampai Gurun Gobi. Patut direnungkan bahwa semua ekspansi itu dilakukan tidak demi penaklukan (qahr), melainkan demi pembebasan (fath) manusia dari penindasan. Jadi tetap sejalan dengan pandangan asasi Islam tentang damai dan perang. Di atas itu semua, sebagaimana telah dikemukakan di depan, al-Qur’an memerintahkan kita untuk mempelajari sejarah, mengembara di dunia dan melihat pengalaman bangsa-bangsa yang lalu. 10

Lihat, Abd al-Hamid Mahmud Thahmaz, Sayyidah ‘Â’isyah (Damaskus: Dar al Qalam), 1408 H/1988 M), h. 149-155. D 22 E


F KAWASAN DAMAI DAN PERANG DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM G

Bagi kaum Muslim sekarang ini tentu saja kewajiban itu terutama tertuju kepada sejarah umat sendiri, yang amat kaya dengan pengalaman dan bahan pelajaran. Misalnya, mengapa sampai terjadi Baghdad yang hebat itu jatuh ke tangan bangsa Monggol, dan mereka melakukan kekejaman yang tidak terperikan, baik terhadap manusia, peninggalan ilmiah, dan bangunan-bangunan? Padahal Baghdad adalah pusat Islam saat itu, pusat agama Allah untuk akhir zaman? Jawabnya ialah bahwa di balik kejadian yang amat tragis itu beroperasi sunatullah yang obyektif dan immutable, yang tidak tergantung kepada siapa pun, termasuk tidak kepada kaum Muslim sendiri, karena merupakan ketetapan Sang Maha Pencipta sejak zaman azali (primordial). Maka Allah memerintahkan agar kita terus-menerus bersusaha memahami bagaimana beroperasinya sunatullah itu dengan mempelajari sejarah, kemudian menarik pelajaran belajar dari sejarah itu. [™]

D 23 E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM KASUS KEDUDUKAN PEREMPUAN Oleh Nurcholish Madjid

Persoalan wanita dalam Islam akhir-akhir ini muncul dengan tajam. Tidak saja karena umat Islam semakin menyadari pentingnya memahami dan menghidupkan kembali wawasan Islam tentang wanita, tapi juga antara lain akibat benturan budaya Islam dengan budaya modern Barat. Dalam hal pertama, pemunculan masalah wanita itu adalah absah, otentik, dan sejati (artinya, benar-benar timbul dari keinginan yang murni). Sedangkan dalam hal kedua, karena merupakan reaksi, pemunculan masalah wanita di kalangan umat Islam itu terasa bersifat emosional, apologetik, ideologis, dan tidak jarang subyektif, sekalipun dari celah-celahnya kadang-kadang memancar perenungan dan pemikiran kreatif dan orisinal. Dalam idiom Islam, suatu nilai atau sistem nilai yang zalim dapat disebut sebagai nilai jahiliah (Arab: jÄ hilÄŤyah). Meskipun istilah jahiliah sendiri semula dimaksudkan sebagai secara khusus keadaan Jazirah Arabia sebelum Islam dengan ciri utama politeisme atau syirik, namun dalam penggunaannya yang lebih generik istilah itu dimaksudkan untuk menunjuk kepada paham, pandangan, dan praktik yang bertentangan dengan rasa keadilan. Maka dalam kerangka pandangan itu, patut dipertanyakan, apakah ada pengaruh (kembali) nilai-nilai jahiliah dalam masyarakat Islam, terutama, dalam lingkup pembahasan di sini, tentang wanita? Apakah benar bahwa kedudukan wanita dalam Islam yang kurang beruntung D1E


F NURCHOLISH MADJID G

itu — sebagaimana sering digambarkan oleh kalangan tertentu, khususnya dari dunia Barat — memang betul-betul berasal dari ajaran Islam sendiri atau karena pengaruh faktor luar seperti budaya, adat, politik, dan sebagainya? Di bidang sosial-politik, ada sarjana yang mengatakan bahwa berakhirnya masa khilāfah rāsyidah di Madinah dan digantikannya oleh dinasti Umayyah di Damaskus merupakan masa kembalinya komunitas Muslim Arab kepada tatanan sosial-politik pra-Islam, alias jahiliah. Ciri utama tatanan itu ialah paham kesukuan (qabīlīyah), tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga negara yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan, masyarakat yang mengenal hirarki sosial yang kuat, dan, last but not least, direndahkannya kedudukan wanita. Keadaan terakhir ini muncul antara lain yang terpenting dalam bentuk gejala dinginnya sambutan kepada lahirnya bayi perempuan, suatu pandangan hidup yang dalam Kitab Suci banyak disindir dengan nada kutukan. Memang sulit untuk begitu saja mengatakan bahwa nilai-nilai jahiliah Arab (pra-Islam) berpengaruh kembali dalam pandangan tentang wanita di kalangan orang Islam (terutama Arab). Tetapi dinginnya sambutan kepada kelahiran jabang bayi wanita merupakan indikasi adanya semangat seperti yang melatarbelakangi praktik jahiliah yang terkutuk, yaitu pembunuhan bayi wanita (wa‘d al-banāt), dan merupakan refleksi dari adanya pandangan yang rendah terhadap wanita dalam masyarakat. Maka, seolah-olah menirukan jejak orang-orang Barat, di kalangan umat Islam juga tampil gerakan pembelaan wanita, biasa disebut feminisme. Tampilnya gerakan itu di Barat adalah khas budaya Barat, dalam arti merupakan reaksi wajar terhadap keadaan wanita di sana yang dirasakan banyak melecehkan kaum wanita. Sayangnya cara pandang orang Barat itu kemudian digunakan pula dalam melihat masyarakat Islam, tanpa memperhatikan apa sesungguhnya ajaran Islam itu sendiri tentang wanita, dan apa pula lingkungan sejarah dan budaya yang membentuknya sehingga wanita Islam, di Dunia Islam secara keseluruhan (artinya, tidak di tempat, D2E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

negara atau masyarakat Muslim tertentu), tampil seperti keadaan mereka sekarang ini. Sudah disebutkan, mustahil membantah bahwa di sebagian Dunia Islam keadaan dan kedudukan wanita jauh dari yang diharapkan. Tetapi membuat generalisasi berdasarkan situasi khusus itu sehingga dikatakan bahwa Islam memang membuat posisi wanita di bawah standar kemanusiaan yang adil (dan beradab) adalah keliru. Sama halnya dengan generalisasi tentang masyarakat Barat sebagai masyarakat a-moral, hanya karena melihat tingkah laku para turis di pantai-pantai, atau berdasarkan apa yang ditampakkan pada media umum, khususnya film dan televisi.

Stereotip Barat tentang Islam

Di atas disebutkan bahwa salah satu yang mendorong adanya pembicaraan yang ramai tentang wanita dalam Islam akhir-akhir ini ialah adanya gambaran dengan nada menuduh atau merendahkan oleh orang Barat tentang Islam yang tidak menghargai wanita. Meskipun kita tahu beberapa sebabnya — yang juga membuat kita tidak heran dengan adanya pandangan negatif Barat kepada Islam itu — namun juga tidak dapat disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut banyak sekali disebabkan oleh salah paham, atau malah oleh rasa permusuhan. Apalagi dengan adanya tulisan Samuel Huntington yang mengemukakan tentang kemungkinan terjadinya perbenturan budaya (clash of civilizations) dengan Islam sebagai pola budaya yang paling potensial “membentur” budaya modern Barat, maka rasa permusuhan yang laten kepada Islam itu semakin memperoleh bahan pembenaran. Untunglah bahwa di kalangan orang Barat sendiri selalu tampil orang-orang yang jujur dan sadar. Dalam kejujuran dan kesadaran itu mereka tampil — sungguh menarik — sebagai pembela-pembela Islam yang tangguh. Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan pandangan penuh nafsu namun salah dan zalim dari kalangan orang Barat tentang Islam dan kaum Muslim. Contohnya ialah D3E


F NURCHOLISH MADJID G

Robert Hughes, seorang yang lama bekerja sebagai kritikus seni majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya dengan baik sekali mewakili sikap kritis seorang Barat terhadap lingkungannya sendiri dan mencoba bersikap adil dan benar, maka ada baiknya penulis terkenal ini kita kutip sebuah pernyataannya secara agak panjang-lebar. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Culture of Complaint — sebuah bestseller koran New York Times — Hughes mengatakan tentang pandangan hidup aneka-budaya (multikultur) demikian: Maka jika pandangan aneka-budaya ialah belajar melihat tembus batas-batas, saya sangat setuju. Orang Amerika sungguh punya masalah dalam memahami dunia lain. Mereka tidaklah satu-satunya — kebanyakan sesuatu memang terasa asing bagi kebanyakan orang — tetapi melihat aneka ragam asal kebangsaan yang diwakili dalam masyarakat mereka (Amerika) yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya menerima stereotip masih dapat membuat orang asing heran, bahkan (berkenaan dengan diri saya) sesudah tinggal di AS 20 tahun. Misalnya: Jika orang Amerika putih masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana dengan orang Arab? Sama dengan setiap orang, saya menonton Perang Teluk di televisi, membaca beritanya di koran, dan melihat bagaimana perang itu membuat klimaks buruk pada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada orang Amerika, berupa ketidakpedulian yang penuh permusuhan kepada dunia Arab, dahulu dan sekarang. Jarang didapat petunjuk dari media, apalagi dari kaum politisi, bahwa kenyataan tentang budaya Islam (baik dahulu maupun kini) bukanlah tidak lain dari sejarah kefanatikan. Sebaliknya, orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum bahwa orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak agama yang berubahubah, pengambil sandra, penghuni semak berduri dan padang pasir yang sepanjang zaman menghalangi mereka untuk kenal dengan negeri-negeri yang lebih beradab. Fundamentalisme Islam di zaman modern memenuhi layar televisi dengan mulut-mulut yang berteriak D4E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

dan tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam masa lalu — apalagi sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap senofobia dan militerisme fundamentalis — sangat sedikit terdengar. Seolaholah orang Amerika selalu dicekoki dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan Isabella pada abad ke-15, yang dibesarbesarkan dan disesuaikan dengan zaman. Inti pesannya ialah bahwa orang Arab adalah tidak hanya tidak berbudaya, tetapi tidak dapat dibuat berbudaya. Dalam caranya yang jahat, pandangan itu melambangkan suatu kemenangan bagi para mulla dan Saddam Husein — di mata orang Amerika, apa saja di dunia Arab yang tidak cocok dengan kejahatan dan maniak eskatologis ditutup rapat, sehingga mereka (orang Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang (segala kebaikan) itu. Tetapi memperlakukan budaya dan sejarah Islam sebagai tidak lebih daripada mukadimah kefanatikan sekarang ini tidak membawa faedah apa-apa. Itu sama dengan memandang katedral Gotik dalam kerangka orang Kristen zaman modern seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson (dua penginjil televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak terhormat karena skandal-skandal—NM). Menurut sejarah, Islam sang Perusak adalah dongeng. Tanpa para sarjana Arab, matematika kita tidak akan ada dan hanya sebagian kecil warisan ilmiah Yunani akan sampai ke kita. Roma abad tengah adalah kampung tumpukan sampah dibanding dengan Baghdad abad tengah. Tanpa invasi Arab ke Spanyol selatan atau Andalus pada abad ke-8, yang merupakan ekspansi terjauh ke barat dari imperium Islam yang diperintah dinasti Abbasiah dari Baghdad (sic., yang benar ialah Spanyol Islam berdiri di bawah dinasti Umawiah, tanpa pernah menjadi bagian wilayah dinasti Abbasiah di Baghdad—NM), kebudayaan Eropa selatan akan sangat jauh lebih miskin. Andalusia Spanyol-Arab, antara abad ke-12 dan ke15, adalah peradaban “multikultural” yang brilian, dibangun atas puing-puing (dan mencakup motif-motif yang hampir punah) dari koloni Romawi kuna, menyatukan bentuk-bentuk Barat dengan Timur tengah, megah dalam ciptaan iramanya dan toleransinya yang D5E


F NURCHOLISH MADJID G

pandai menyesuaikan diri. Arsitektur mana yang dapat mengungguli Alhambra di Granada, atau Masjid Agung Kordoba? Mestizaje es grandeza: perbauran adalah keagamaan.1 1

Robert Hughes, Culture of Complaint, a Passionate Look into the Ailing Heart of America (New York: Warner Books, 1994), h. 100-102. Dalam bahasa aslinya, Inggris, kutipan itu adalah sebagai berikut: Thus, if multiculturalism is about learning tosee through boders, I’m all in favor of it. Americans have a real problem in imagining the test of the world. They are not the only ones — most things are foreign to most people — but concidering the variety of national origins represented in their vast society, its incuriosity and proneness to steteotype can still surprise the foreigner, even (in my case) after twenty years residence in the U.S. For example: If white Americans still have difficulty seeing blacks, what of the Arabs? Like everyone else, I watched the Gulf War on television, read about it in the press, and saw how that conflict brought to an ugly climax America’s long-implanted habit of hostile ignorance about the Arab world, past and present. Rarely did one get an indication from the media, let alone from politicians, that the realities of Islamic culture (both past and present) were anything other than a history of fanaticism. Instead, a succession of pndits came forth to assure the public that Arabs were basically a bunch of volatile religious maniacs, hostage takers, sons of thornbush and dune whose whole past disposed them against intercourse with more civilized states. Modern Islmaic fundamentalism filled the screen with screanning mouths and waving arms; of the Islamic past — let alone present day Arab dissent form fundamentalist xenophobia and militarism — one heard much less. It was as though Americans were being fed an amplified, updated version of the views on Islam held by Ferdinand and Isabella in the 15th century. The core message was that Arabs were not just uncivilized, but uncivilizable. In its perverse way, this represented a victory for the mullahs and for Saddam Hussein — in American eyes, everything in the Arab world that contradicted their cruelties and eschatological maniacs was blotted out, so that they were left in full possession of the field. But to treat Islamic culture and history as a mere preclude to today’s fanaticism gets us nowhere. It is like teading a Gothic cathedral in terms of such modern Christians as Jimmy Swaggart of Pat Robertson. Historically, Islam the Destroyer is a myth. Without Arab scholars, our mathematics would not exxist and only a fraction of the Greek intellectual heritage would have come down to us. Medieval Rome was a scavengers’ village compared eith medieval Baghdad. Without the Arab invasion of southern Spain or el-Andalus in the 8th century, which produced the farthest westward expansion fo the Islamic empire run by the Abbasi dynasty from Baghdad (sic.), the culture of southern Europe would be unimaginably poorer. Hispano-Arabic Andalusia, between the 12th and th 15th centuries, wa a brilliant “multicultural” civilization, built over D6E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan di atas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam. Kesimpulan impulsif yang mereka buat tentang segisegi negatif masyarakat Islam karena melihat kejadian-kejadian itu barangkali memang dapat dipahami. Tetapi orang Barat, termasuk kebanyakan kaum cendekiawan mereka, apalagi politisi mereka, melupakan dua sejarah dari dua masyarakat masa lalu yang sangat kontras: mereka lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis, dan tidak beradab, sampai dengan saatnya mereka berkenalan dengan peradaban Islam; kemudian mereka lupa, atau semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang membawa rahmat bagi semua bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua masyarakat, dan membangun peradaban yang benar-benar kosmopolit. Sampai-sampai para sarjana Yahudi (yang di masa lalu terkenal sengit kepada Islam dan Kristen itu), seperti Schweitzer, Halkin, dan Dimont, memuji masyarakat Islam klasik sebagai yang paling baik memperlakukan para penganut agama lain, termasuk kaum Yahudi, yang sampai sekarang pun belum tertandingi.

Stereotip Barat tentang Wanita Islam

Bertolak dari pandangan negatif umum tentang Islam dan kaum Muslim itu muncullah pandangan negatif umum tentang wanita the ruins (and incorporating the half-lost motifs) of ancient Roman colonies, mingling Western with middle-Eastern rorms, glorious in its lyric invention and adaptive tolerance. What architecture surpasses that of the Alhambra in Granada, or the Great Mosque of Cordoba? Mestizaje es grandeza: mixture is greatness: mixture is greatness. D7E


F NURCHOLISH MADJID G

dalam Islam. Gambaran-gambaran negatif mengenai wanita dalam Islam menjadi sangat dramatis oleh buku-buku bergaya novel seperti yang ditulis oleh Jean Sasson (Princess and Daughters of Arabia) dan oleh Betty Mahmoody bersama William Hoer (Not Without My Daughter). Buku-buku itu, menurut pengakuan para penulisnya, bukanlah khayal. Princess ditulis berkenaan dengan seorang wanita aristokratik Arabia yang dihukum mati karena bercinta. Daughter of Arabia menuturkan kisah seorang wanita Arabia terpelajar yang menyadari kezaliman masyarakatnya terhadap wanita dan ingin merombaknya. Sedangkan Not Without My Daughter berkisah tentang pengalaman seorang ibu asal Amerika yang harus berpisah dari suaminya yang orang Iran, dengan melarikan diri, dan berjuang untuk memperoleh hak memelihara dan mendidik anak perempuan mereka, karena khawatir (dan tahu) bahwa, dalam lingkungan ayahnya, gadis itu akan merana. Pada sampul luar buku ini tertera gambaran singkat mengenai drama pelarian diri itu demikian: Betty Mahmoody dan suaminya, Dr. Sayyid Bozorg Mahmoody (‘Moody’), datang ke Iran dari Amerika untuk berjumpa dengan keluarga Moody. Bersama mereka, adalah anak perempuan mereka, yang baru berumur empat tahun, Mahtob. Kecewa oleh kejorokan kondisi hidup mereka, dan ketakutan oleh apa yang dilihatnya, yaitu sebuah negara di mana wanita hanya benda bergerak dan orang Barat dihina, Betty segera sangat mendambakan kembali ke Amerika. Tetapi Moody, dan keluarganya, yang sering kasar itu, punya rencana lain. Ibu dan anak menjadi tawanan budaya asing, sandera seorang lelaki yang semakin tiranik dan kejam. Betty mulai mengatur pelarian. Menghindar dari jaringan mata-mata Moody yang jahat, ia secara rahasia bertemu dengan para simpatisan yang melawan rezim Khumaini yang biadab. Tetapi setiap rencana yang disarankan kepadanya berarti meninggalkan Mahtob selamanya... Akhirnya, Betty diberi nama seseorang yang akan membuat rencana pelariannya keluar dari Iran, sebuah perjalanan yang hanya D8E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

sedikit wanita atau anak-anak pernah melakukannya. Percobaan mereka yang mengerikan untuk pulang itu bermula dalam badai salju yang menakutkan.... Keadaan yang mengerikan yang ditemui Betty Mahmoody akan memberi mimpi buruk kepada setiap wanita yang penuh cinta. Inilah cerita yang memukau tentang keberanian seorang wanita dan pengabdian yang sempurna kepada anaknya yang akan membuat anda mengikuti mereka sepanjang tiap jengkal dari perjalanan mereka yang penuh bahaya.2

Lagi-lagi bunyi ungkapan yang tertera pada sampul buku-buku tentang wanita dalam Islam yang ditulis oleh orang Barat itu. Daughters of Arabia merupakan cerita pembebasan wanita Arabia yang dicita-citakan oleh seorang wanita terhormat negeri itu. Mungkin lebih menarik daripada buku Not Without My Daughter tersebut di atas, karena memuat cerita sampingan dengan cukup wajar, seperti upacara ibadat haji, dan lain-lain. Namun tak pelak lagi tema pokoknya ialah ilustrasi tentang betapa munndurnya (atau tertinggalnya) kedudukan wanita di Arabia. Dengan gaya propaganda, sampul luar belakang buku itu memuat kalimat demikian: Siapa saja yang mempunyai minat sesedikit apa pun kepada hak-hak asasi manusia akan mendapatkan buku ini mencekam. Ia ditulis dengan baik, kisah pribadi tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia di Saudi Arabia dan peranan sebenarnya dari kaum wanita yang ditentukan oleh kaum pria, bahkan di kalangan keluarga kaya, di negeri itu. Cerita semacam ini harus datang dari wanita setempat sendiri untuk dapat dipercaya. Wanita aristokrat itu mengungkapkan seperti apa menjadi kaya, anggota keluarga raja dan wanita di suatu negeri yang prianya 2

Betty Mahmoody bersama William Hoer, Not Without My Daughter (London: Corgi Books, 1993), halaman kulit luar, belakang. D9E


F NURCHOLISH MADJID G

memiliki wanita. Isinya tidak dapat dilupakan, sangat menarik dalam rincinya, sebuah buku yang membuat Anda melelehkan air mata dan menjadikan Anda merasa bahagia dengan nasib Anda sendiri dalam hidup ini.3

Wanita Islam antara Syariat dan Adat

Apakah semua yang ditulis oleh orang Barat itu merupakan bagian dari propaganda Barat melawan Islam? Orang tentu akan mudah membuat kesimpulan demikian, karena berbagai alasan yang dapat diterima. Tetapi apa pun motif para penulisnya, buku-buku itu dan sejenisnya telah menggugah kesadaran kaum wanita Islam sendiri untuk mempertanyakan dan meneliti kembali apa sebenarnya ajaran Islam tentang wanita. Ada kemungkinan mereka harus menelan pil pahit dengan mendapatkan kenyataan bahwa memang ajaran Islam menghendaki wanita dalam keadaan seperti dilukiskan dalam buku-buku bestseller tersebut. Tetapi tidak mustahil, dan ini memang yang terjadi, bahwa kum wanita Muslimah yang serius mempelajari ajaran agamanya akan menemukan bahwa banyak situasi kewanitaan di sebagian Dunia Islam sekarang ini adalah tidak bersesuaian dengan ajaran yang sebernarnya. Dari mana kita dapat mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya tentang wanita? Secara naluri keislaman setiap orang Muslim akan menjawab: dari Kitab Suci dan Sunnah Nabi, dan itulah Syariat. Meskipun jawab itu wajar saja, namun dirasa perlu dikemukakan di sini beberapa argumen, sebagai penegasan pendekatan pembahasan tentang perkara yang amat penting ini. Sebab yang dapat diduga dari semula ialah bahwa titik-titik kritis persoalan wanita dalam Islam sekarang ini, kalaupun tidak dapat disebut merupakan tafsiran terhadap ajaran-ajarannya yang secara salah didominasi, 3

Jean Sasson, Daughters of Arabia (London: Doubleday, 1994), halaman sampul belakang luar. D 10 E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

bahkan langsung dikalahkan, oleh pertimbangan-pertimbangan sosiologis-historis sesaat. Dapat juga diduga sebagai bagian dari usaha pembingkaian kepentingan politik tertentu dalam sejarah dinasti-dinasti Islam. Mengikuti agenda kaum Salafi, salah satu cara yang baik untuk memahami apa sebenarnya yang diajarkan Islam tentang wanita, seperti juga tentang hal-hal lain, ialah kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Ini bukanlah semata-mata menuruti dorongan skripturalis, melainkan dalam hal agama, lebih-lebih lagi bagi Islam, pengorientasian pandangan keagamaan kembali kepada sumber-sumber suci mutlak diperlukan untuk dapat mengukur seberapa jauh perjalanan sejarah suatu pandangan telah atau tidak menyimpang dari hulunya yang murni. Situasi dilematis dalam memandang dan menilai sejarah memang dapat menjadi sumber banyak kesulitan: di satu pihak, sejarah harus dilihat sebagai wujud nyata dalam konteks ruang dan waktu berbagai usaha melaksanakan ajaran agama, di pihak lain, interaksi dinamis antara nilai-nilai normatif dengan tuntutan ruang dan waktu sedemikian rupa mewarnai setiap usaha melaksanakannya, sehingga acapkali sulit dibedakan mana yang perennial dan mana pula yang temporer. Meskipun kembali kepada sumber-sumber suci melibatkan penafsiran teks-teks, namun suatu penafsiran tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara subyektif, dengan mengabaikan makna literer obyektif kebahasaan teks-teks itu. Kecuali jika kita memperlakukan setiap ekspresi literer teks-teks suci sebagai metafor belaka (yaitu suatu pemahaman yang menekankan makna teks sebagai tamsilibarat saja dengan mengingkari makna harfiahnya — hal mana adalah sulit dicek kebenaran obyektifnya), maka bunyi teks itu menurut apa adanya akan tetap mempunyai fungsi pengawasan terhadap pemahaman-pemahaman yang ada. Tetapi untuk bertindak jujur terhadap teks-teks suci, kita tidak mungkin memahaminya sama sekali lepas dari konteks sejarah diturunkannya atau kejadiannya, sehingga, mengikuti pandangan ulama klasik, asbāb al-nuzūl (situasi turunya ayat-ayat al-Qur’an D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

tertentu) dan asbāb al-wurūd (situasi terjadinya tindakan, ucapan, atau sikap Nabi tertentu) adalah penting untuk diperhatikan. Pandangan yang mempertimbangkan milieu kesejarahan suatu teks suci itu menjadi lebih-lebih lagi diperlukan karena banyak dari kosa kata dan peristilahan dalam teks-teks suci itu yang dalam penggunaan umum selanjutnya menjadi berbeda makna, banyak atau sedikit. Misalnya, perkataan sulthān dan dawlah atau dullāh dalam Kitab Suci semula berturut-turut dimaksudkan berarti kekuatan dan giliran. Tetapi dalam penggunaan umum kemudian menjadi berarti raja dan kekuasaan, dengan kaitan logis samar-samar dengan makna asalnya, namun tetap menjadi berbeda, banyak atau sedikit. Mengikuti jalan pikiran itu mulai banyak wanita Muslimah yang berusaha mengkaji kembali pandangan Islam tentang wanita, dan meneliti mana yang syariat dan mana pula yang adat. Sebuah serial buku tentang wanita ditulis para tokoh wanita Islam di bawah pimpinan Fatimah Zahra’ Azrawil. Salah satu buku itu berjudul alMar’ah bayn al-Tsaqāfī wa al-Qudsī (Wanita antara yang Kultural dan yang Sakral), ditulis oleh Zainab al-Ma‘adi. Buku ini adalah bantuan beasarjana Timur Tengah dari kantor kependudukan Kairo, dan ditulis dengan dilengkapi data empirik dari keadaan wanita di Maroko. Dalam buku itu juga dibahas pandangan Kitab Suci dan Sunnah Nabi tentang wanita, kemudian dibandingkan dengan pandangan kefiqihan yang menurut penulisnya lebih mencerminkan segi kultural (yakni, adat) masyarakat daripada segi sakral (yakni, ajaran agama). Tetapi mengapa ada pertentangan atau perbedaan pandangan antara adat dan ajaran suci (yang notabene, sepanjang mengenai teks-teks sucinya dalam Kitab dan Sunnah — sebagaimana disinggung— juga datang dalam konteks ruang dan waktu tertentu di zaman Nabi), jawabnya ialah karena adanya semacam kegagalan untuk memahami ide umum teks-teks suci itu dan terpaku pada ide-ide ad hoc-nya. Ini bukanlah suatu jenis interpretasi metaforis, sebab makna lahiri sebuah ungkapan kebahasaan teks tetap dipegang. Hanya saja dalam usaha memahami pesan D 12 E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

dasar sebuah teks suci diperhatikan benar bahan kesejarahan yang terkait, guna menangkap hikmat al-tasyrī‘ (kearifan dasar atau “filosofi” penetapan syariat), juga disebut manāth al-hukm atau ‘illat al-hukm (alasan penetapan hukum, atau ratio legis). Dengan metode pendekatan itu Zainab al-Ma‘adi sampai pada kesimpulan asas bahwa seluruh ide tentang wanita dalam alQur’ān dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat wanita dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan pria melalui proses (sekali lagi, proses) pembebasannya dari kungkungan adat dan kebudayaan serta kelembagaan sosial Arab jahiliah. Proses pembebasan itu dapat dikenal dengan jelas dari beberapa isu dalam Kitab Suci yang menyangkut pengecaman dan pengutukan atas praktik-praktik Arab jahiliah berkenaan dengan wanita: (1) Masalah wa‘d-u ‘l-banāt (pembunuhan bayi perempuan). Praktik yang amat keji ini timbul pada orang-orang jahiliah karena pandangan mereka yang amat rendah kepada kaum wanita, sehingga lahirnya seorang bayi perempuan dianggap akan membawa beban aib kepada keluarga. Kitab Suci mengutuknya melalui firman dalam surat al-Takwīr/81:8-9 berupa gambaran tentang pertanggungjawaban yang amat besar pada hari kiamat, dan dalam surat al-Nahl/16:58-59, berupa gambaran dalam nada kutukan tentang sikap orang Arab jahiliah yang merasa tercela karena lahirnya jabang bayi perempuan. (2) Masalah al-‘adl, yaitu adat menghalangi atau melarang wanita dari nikah setelah talak, sengaja untuk mempersulit hidupnya. Larangan ini ada dalam surat al-Baqarah/2:32, yang terjemahannya demikian: “Dan jika kamu menalak wanita, kemudian telah tiba saat (‘iddah) mereka, maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk nikah dengan (calon-calon) suami mereka jika terdapat saling suka antara mereka dengan cara yang baik. Demikianlah dinasehatkan kepada orang dari kalangan kamu yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,dan itulah D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang lebih suci bagi kamu serta lebih bersih. Allah mengetahui, dan kamu tidak mengetahui.” (3) Masalah al-qisāmah, suatu kebiasaan buruk yang cukup aneh di kalangan orang Arab jahiliah, berupa larangan kepada kaum wanita dalam keadaan tertentu untuk meminum susu binatang seperti kambing, unta, dan lain-lain, sementara kaum pria diperbolehkan. Penyebutan disertai pengutukan tentang kebiasaan ini ada dalam al-Qur’an surat al-An‘ām/6:139, yang terjemahannya adalah demikian: “Mereka (orang Arab jahiliah) berkata, ‘Apa yang ada dalam perut ternak ini melulu hanya untuk kaum pria kita, dan terlarang untuk istri-istri kita.’ Tetapi kalau (bayi binatang itu) mati, maka mereka (pria-wanita) sama-sama mendapat bagian. Dia (Allah) akan mengganjar (dengan azab) pandangan mereka itu, dan sesungguhnya Dia Mahabijak dan Mahatahu.” (4) Masalah al-zhihār, suatu kebiasaan buruk yang juga cukup aneh pada orang Arab jahiliah, berupa pernyataan seorang lelaki kepada istrinya bahwa istrinya baginya seperti punggung (zhahîr) ibunya, sehingga terlarang bagi mereka untuk melakukan hubungan suami-istri, sebagaimana terlarangnya seseorang untuk berbuat hal serupa itu kepada ibunya sendiri. Kutukan terhadap praktik aneh yang menyiksa wanita ini ada dalam surat al-Mujādilah/58:1-3. (5) Masalah al-īlā’, yaitu kebiasaan sumpah seorang suami untuk tidak bergaul dengan istrinya, sebagai hukuman kepadanya. Pada orang Arab jahiliah sumpah itu tanpa batas waktu tertentu, dan dapat berlangsung sampai setahun atau dua tahun. Kitab Suci membolehkan sumpah serupa itu jika memang diperlukan, tapi hanya sampai batas waktu empat bulan, atau talak. Sumpah tidak bergaul dengan istri lebih dari empat bulan tanpa menceraikannya adalah tindakan penyiksaan dan perendahan derajat kaum wanita. Larangan atas praktik ini ada dalam surah al-Baqarah/2:226-227. D 14 E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian contoh yang paling nyata dari proses pembebasan wanita dari kungkungan adat yang merampas dan atau membatasi kebebasannya. Dari proses pembebasan itu, menurut Zainab al-Ma‘adi, wanita kemudian diangkat derajatnya menjadi sama dengan pria, baik dalam harkat dan martabat maupun dalam hak dan kewajiban. Sudah tentu — seperti yang ada pada setiap budaya, termasuk budaya modern — pembebasan dan penyamaan derajat itu tidak mungkin melupakan dan mengingkari kenyataan perbedaan fisiologis antara pria dan wanita. Penegasan tentang kesamaan derajat asas wanita dan pria itu dapat dibaca dalam berbagai surat dan ayat, antara lain surat al-Hujurāt/49:13, al-Najm/53:45-46, al-Nisā’/4:1, dan al-A‘rāf/7:190. Dan Nabi saw. pernah membuat penyataan kutukan kepada praktik mengingkari persamaan pria dan wanita itu sebagai praktik jahiliah. Diriwayatkan bahwa beliau berkeliling kota Makkah setelah pembebasannya, lalu berpidato dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah, dan bersabda, “Al-hamdu li ’l-Lāh, segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kamu sekalian dari sikap tercela jahiliah. Wahai sekalian manusia, manusia itu hanya dua macam: yang beriman dan bertakwa serta mulia pada Allah, dan yang jahat dan sengsara serta hina pada Allah,” Kemudian beliau membaca surat al-Hujurāt/49:13, “Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari lelaki dan perempuan, lalu Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah agar kamu saling kenal (dengan sikap saling menghargai). Sesungguhnya yang paling mulia pada Allah di antara kamu ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahatahu dan Mahateliti.”4 Dan sudah tentu bagi para wanita Muslimah, juga bagi siapa saja, penting sekali peristiwa turunnya sebuah ayat yang menegaskan persamaan derajat pria dan wanita. Seorang istri Nabi 4

Untuk semua pembahasan di atas itu, lihat Zainab al-Ma‘adi, al-Mar’ah bayn al-Tsaqâfî wa al-Qudsî, serial dengan pengawasan Fatimah Zahra’ Azruyil (Dar al-Baydla’: Nasyr al-Fank, t.th.), h. 63-65. D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

saw., yaitu Umm Salamah, pernah menyampaikan kepada beliau semacam keluhan bahwa Kitab Suci hanya menyebutkan kaum lelaki dan tidak menyebutkan kaum wanita. Berkenaan dengan peristiwa itu, turunlah firman Allah, surat al-Ahzāb/33:35, yang terjemahannya demikian: “Sesungguhnya mereka yang berserah dri (‘ber-islām’) lelaki dan perempuan, yang beriman lelaki dan perempuan, mereka yang jujur lelaki dan perempuan, mereka yang tabah lelaki dan perempuan, mereka yang khusyu’ lelaki dan perempuan, mereka yang berderma lelaki dan perempuan, mereka yang berpuasa lelaki dan perempuan, mereka yang menjaga kehormatan lelaki dan perempuan, mereka yang banyak ingat kepada Allah lelaki dan perempuan, Allah menyediakan bagi mereka semua ampunan dan pahala yang agung.”5

Penyebutan hampir hanya jenis kelamin kebahasaan lelaki dalam Kitab Suci sesungguhnya adalah semata-mata karena bahasa Arab memang mengenal jenis lelaki-perempuan, sekalipun tentang benda-benda mati, sama dengan bahasa Prancis, misalnya, bukan dengan maksud diskriminasi. Namun penegasan dalam firman itu sungguh sangat bermakna bagi tekanan kepada hakikat kesamaan derajat pria dan wanita yang diajarkan Islam. Dari uraian para ahli di kalangan wanita sendiri sebagaimana dikutip di atas itu jelas sekali bahwa sebenarnya kaum wanita Islam tidak perlu merasa khawatir dengan harkat dan martabat mereka dalam agamanya. Jika penyimpangan terjadi, maka selalu dapat diluruskan kembali dengan merujuk kepada sumber-sumber suci, dan justru inilah kelebihan Islam atas agama-agama yang lain. Dengan merujuk kepada semangat dasar dan kearifan asasi atau hikmah ajaran Kitab Suci dan Sunnah Nabi, kita dapat mengetahui bahwa banyak memang praktik dalam sebagian Dunia Islam yang merendahkan kaum wanita itu tidak berasal dari agama, tapi dari 5

Ibid. D 16 E


F PENGARUH TRADISI JAHILIAH TERHADAP ISLAM G

adat dan kultur setempat. Kadang-kadang malah merupakan kelanjutan dari kebutuhan mempertahankan pola tatanan sosialpolitik tertentu yang bersifat status quo karena menguntungkan pihak penguasa. Fatimah Mernisi dengan keahlian yang sangat tinggi banyak melacak kepalsuan hadis-hadis yang cenderung merendahkan wanita, termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sebagai seorang penganut mazhab Maliki, Fatimah menerapakan metode kritik hadis yang diajarkan dan diterapkan oleh Imam Malik, dan menghasilkan kajian kritis yang tangguh.6 Di atas semuanya itu, al-Qur’an masih akan tetap ada di tangan umat Islam, dan Kitab Suci itulah yang akan menjadi sumber ajaran kebenaran untuk selama-lamanya, serta yang akan menjadi hakim dari berbagai pertikaian pandangan tentang agama, termasuk tentang wanita. Jangankan kita kaum Islam sendiri, sedangkan mereka yang bukan Islam pun mulai dengan sungguh-sungguh memperhatikan alQur’an, mempelajarinya dan menghargainya sangat tinggi. Berkenaan dengan ini, cobalah perhatikan pernyatan Thomas Cleary, demikian: The Qur’an is undeniably a book fo gerat importance even to nonMuslim, perhaps more today than ever, if that is possible. One aspect of Islam that is unexpected and yet appealing to the post-Christian secular mind is the harmonious of faith and reason. Islam does not demand unreasoned belief. Rather, it invites intelligent faith, growing from observation, reflection, and contemplation, beginning with nature and what is all around us. Accordingly, antogonism between religion and science such as familiar to Westerners is foreign to Islam.7 6

Lihat Khalidah Sa’id, al-Mar’ah, al-Taharrur, al-Ibdâ’ (Wanita, Pembebesan, dan Kreativitas), serial dengan pengawasan Fatimah Mernisi, Dar alBaydla’, Nasy al-Fank, t.th., h. 124-133. 7 Thomas Cleary, The Essential Koran, the Heart of Islam, an Introductory Selection of Readings from the Qur’an (San Francisco: Harper San Francisco, D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

(Al-Qur’an adalah kitab yang tidak dapat diingkari amat penting bahkan untuk non-Muslim, barangkali lebih-lebih lagi pada zaman sekarang daripada yang zaman telah terjadi, jika memang hal itu dimungkinkan. Satu segi dari Islam yang tidak terduga namun menarik bagi jiwa sekular pasca-Kristen ialah adanya saling hubungan yang serasi antara iman dan akal. Islam tidak menuntut kepercayaan yang tidak masuk akal. Sebaliknya, ia mengundang kepercayaan yang cerdas, yang tumbuh dari observasi, refleksi, dan kontemplasi, dimulai dengan alam dan apa saja yang ada di sekeliling kita. Karena itu, antagonisme antara agama dan sains yang dikenal oleh orang Barat itu adalah asing bagi Islam).

Kalau al-Qur’an tidak menuntut kepercayaan yang tidak masuk akal, maka lebih-lebih lagi ia tidak akan menuntut pandangan dan sikap kepada sesama manusia hanya karena perbedaan fisiologis yang tidak masuk akal, malah merendahkan. Itulah yang menjadi salah satu dasar pesan Islam sebagai agama fitrah, agama alami dan kewajaran yang suci dan bersih. Dan benarlah para ulama yang menegaskan bahwa al-Qur’an itulah imam kita, pembimbing kita, dan penuntun kita menempuh hidup yang benar. [ ]

1994), h. vii. D 18 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

ISLAM DI MATA ORIENTALIS Oleh Nurcholish Madjid

Di hampir seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia, istilah “orientalisme” dan “kaum orientalis” kuat sekali terasosiasikan dengan bentuk-bentuk persepsi yang negatif terhadap Islam dan kaum Muslim oleh orang-orang Barat. Dalam perkembangan dunia Islam seperti tampak sekarang ini, yang perkembangan itu antara lain ditandai oleh adanya kekecewaan yang sangat pahit kepada dunia Barat berhubung dengan perlakuannya yang tidak adil kepada Islam atau masyarakat Islam (seperti di Palestina, kawasan Teluk Persia, dan Bosnia-Herzegovina), asosiasi orientalisme dengan pandangan negatif kepada Islam dan kaum Muslim itu semakin mengeras. Tidak terlalu sulit mencari bahan data dan fakta guna mendukung tuduhan pandangan negatif itu. Secara keseluruhan, adanya asosiasi itu cukup beralasan, meskipun secara detail perlu dilihat kasusnya yang lebih tertentu. Karena orientalisme, seperti juga antropologi, tumbuh dari dorongan keinginan tahu orang-orang Barat tentang pola-pola budaya Timur untuk mendapatkan cara terbaik mengalahkannya atau mengkonversi penduduknya ke agama mereka (“ kristenisasi”), maka sulit sekali melepaskan orientalisme dari konotasinya yang negatif dan berbau kolonial. Keadaan ini semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa orientalisme lebih berarti studi orang Barat tentang Islam daripada tentang lainnya, meskipun asal artinya ialah studi tentang budaya “orient” atau “ timur” pada umumnya. Dan karena Barat memiliki pengalaman sejarah konfrontasi dan permusuhan yang D1E


F NURCHOLISH MADJID G

panjang dengan kaum Muslim, muncullah pandangan yang serbanegatif tentang Islam dan kaum Muslim, acapkali dengan rasa kebencian yang tidak dapat disembunyikan. Sementara demikian itu situasi orientalisme secara keseluruhan, ada beberapa kasus kontroversial tentang suatu model orientalisme dan tokoh orientalis tertentu. Sebagai contoh, salah seorang tokoh orientalis yang dipertengkarkan itu ialah Snouck Hurgronje. Tokoh ini umum sekali dikaitkan dengan praktik-praktik zalim pemerintah penjajah Belanda terhadap kaum Muslim Indonesia, karena fungsinya sebagai penasehat pemerintah penjajah itu. Barangkali tidak ada tokoh yang demikian kuat mewakili pandangan yang serbanegatif tentang orientalisme seperti Snouck Hurgronje. Meskipun begitu cukup menarik untuk dicatat bahwa masih ada orang yang memandangnya secara positif, dan orang itu tidak kurang dari Prof. Dr. H. M. Rasyidi, orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar akademis tertinggi di bidang kajian Islam dari lembaga pendidikan tinggi Barat, yaitu Universitas Sorbonne di Paris, Prancis. Dalam buku peringatan usia Prof. Rasyidi yang ke-70, seorang penyumbang tulisan mengatakan bahwa Snouck Hurgronje, menurut Prof. Rasyidi, adalah “ kawan” orang Islam Indonesia. Sebab tokoh orientalis kolonial itu menentang usaha-usaha mengkristenkan kaum pribumi Indonesia, karena bagi Hurgronje kaum pribumi itu sudah membuat pilihan tentang agama untuk mereka peluk, yaitu Islam. Jadi mereka adalah orang-orang Muslim, meskipun mereka belum menjalankan ajaran-ajarannya dengan sempurna.1 Seberapa jauh kebenaran penilaian Prof. Rasyidi itu merupakan perkara yang barangkali perlu kajian dan penelitian lebih lanjut. Kita mencatatnya di sini sekadar untuk menunjukkan suatu variasi dalam pandangan tentang orientalisme.

1

Lihat H. Soebagijo I.N., “Dari Saridi ke Rasjidi” dalam Endang Basri Ananda, penyunting, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Jakarta: Pelita, 1985), h. 53-54. D2E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

Akar Prasangka Barat kepada Islam

Kembali ke pandangan yang serba-negatif tentang orientalisme, kita perlu mengetahui secukupnya akar-akar prasangka Barat kepada Islam yang kemudian memantul dalam berbagai tulisan dan ulasan kaum orientalis terhadap agama Islam dan kaum Muslim. Akarakar prasangka itu masuk jauh sekali ke dalam sejarah konfrontasi antara Islam dan Barat, atau malah lebih luas lagi dengan Kristen (termasuk Kristen Timur Tengah), sejak awal pertama agama Islam tampil di zaman Nabi Muhammad saw. sendiri. Konfrontasi itu terjadi pada tiga tingkat: (1) Tingkat paham keagamaan. Meskipun agama Islam sendiri, menurut Kitab Suci al-Qur’an, mengajarkan tentang dirinya sebagai kelanjutan dan perkembangan agama Kristen, namun kaum Kristen sendiri tidak dapat menerimanya, dan tetap memandang Islam sebagai agama yang sama sekali baru dan tampil sebagai tantangan kepada Kristen. (2) Tingkat sosial-politik. Hampir seluruh kawasan Islam Timur Tengah sekarang ini, kecuali Jazirah Arabia dan Iran, adalah bekas kawasan Kristen, bahkan pusat perkembangan agama itu pada masa-masanya yang paling menentukan. Kemudian ekspansi sosial-politik ini masih diteruskan sehingga mencapai Spanyol (yang selama tujuh abad lebih dikuasai Islam) dan kemudian Eropa Timur (di mana Konstantinopel, “ ibukota” Eropa saat itu, jatuh ke tangan kaum Muslim, sampai sekarang). (3) Tingkat budaya. Budaya Barat adalah kelanjutan budaya Yunani-Romawi. Meskipun orang Barat sekarang ini beragama Kristen, namun kekristenan mereka sering disebut “Kristen Barat” yang dikontraskan dengan “Kristen Timur” (maksudnya, Kristen sebelah timur Laut Tengah). “Kristen Barat” adalah Kristen yang telah banyak kehilangan keaslian akar budaya Semitiknya (Nabi Isa adalah orang Semit Yahudi), sebab telah D3E


F NURCHOLISH MADJID G

di-“barat”-kan (menurut ungkapan Simon van den Berg, budaya Kristen Barat adalah “Maria sopra Minerva”—artinya, agama Kristen Semitik dari Timur, dilambangkan dalam ketokohan Maria bunda Nabi Isa al-Masih as., yang disesuaikan dengan dan dibangun di atas mitologi Romawi, dilambangkan dalam ketokohan dewi Minerva). Jadi konfrontasi Islam dengan Barat dapat ditafsirkan sebagai konfrontasi antara dua pola budaya. Maka sementara hubungan Islam dengan “Kristen Timur” sepanjang sejarah berlangsung cukup lancar dan penuh toleransi (karena berasal dari budaya yang relatif sama), tidaklah demikian hubungan Islam dengan “Kristen Barat”: penuh rasa permusuhan dan kebencian. Sekarang mari kita tinjau tingkat-tingkat konfrontasi itu dan apa dampaknya pada adanya prasangka Barat kepada Islam sampai sekarang ini. Prasangka itu berakar jauh sekali dalam sejarah abad pertengahan Eropa. Pada abad itu “dunia lain” yang dikenal Eropa memang hanya dunia Islam. Mereka belum mengenal dunia di luar dirinya dan Islam, seperti dunia Hindu, Buddha, Cina, Afrika (Hitam), dan lain-lain. Sementara Islam sendiri sudah sejak dari semula telah mengenal berbagai dunia lain: Kristen, Yahudi, Majusi (Zoroastrianisme), Buddhisme, Hinduisme, Cina (Konfusianisme), dan lain-lain. Karena itu kaum Muslim jauh lebih terlatih bergaul dengan berbagai agama dan budaya yang lain, juga lebih mampu menerima kehadiran kemajemukan agama dan budaya itu dengan sikap-sikap menghargai dan mengakui hak mereka untuk berada, ketimbang kaum Kristen Barat. Sebaliknya bagi dunia Kristen Barat, yang dikenal terbatas hanya kepada agama dan budaya Yahudi (yang selalu mereka musuhi dan hinakan, karena berbagai alasan) dan Islam (yang mereka takuti, kagumi, musuhi, dan benci). Sikap jiwa orang Barat dari zaman pertengahan itu terhadap Islam masih terus membekas sampai sekarang. Salah seorang ahli sejarah perdaban Barat abad pertengahan tentang Islam — yaitu R.W. D4E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

Southern yang seorang orang Barat sendiri — melukiskan hal ini sebagai berikut: The existence of Islam was the most far reaching problem in medieval Christendom. It was a problem at every level of experience. As a practial problem it called for action and for discrimination between the competing possibilities of Crusade, conversion, coexistence, and commercial interchange. As a theological problem it called persistently for some answer to the mystery of its existence: what was its providential role in history — was it a symptom of the world’s last days or a stage in the Christian development; a heresy, a schism, or a new religion; a work of man or devil; an obscene parody of Christianity, or a system of thought that deserved to be treated with respect? It was difficult to decide among these possibilities. But before deciding it was necessary to know the facts, and these were not easy to know. So there arose an historial problem that could not be solved, could scarcely be approached, without linguistic and literary knowledge difficult to acquire, and made more difficult by secrecy, prejudice, and the strong desire not to know for fear of contamination. In a word, medieval scholars and men of affairs came up against all the problems with which, in a different context, we are familiar. They asked many of the same questions that we ask, and we may learn something from their failure.2 Eksistensi Islam merupakan masalah dengan jangkauan paling jauh dalam dunia Kristen abad pertengahan. Islam merupakan masalah dalam setiap jenjang pengalaman. Sebagai masalah praktis, Islam mengundang untuk melakukan dan memilih antara berbagai kemungkinan yang bersaingan, yaitu Perang Salib, pemindahan agama (pengkristenan), hidup berdampingan, atau saling tukar hubungan perdagangan. Sebagai masalah teologis, Islam senantiasa mengundang perlunya jawaban atas misteri keberadaanya: apa 2

R. W. Southern, Western Views of Islam in the Middles Ages (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1980), h. 3. D5E


F NURCHOLISH MADJID G

sebenarnya peran Ilahi (dalam pandangan Kristen) Islam itu dalam sejarah: apakah ia merupakan gejala dunia yang mau kiamat, ataukah sebuah tingkat perkembangan agama Kristen; apakah ia itu merupakan penyelewengan (bidah, heresy dari Kristen), skisma (pecahan keagamaan Kristen) ataukah agama baru; apakah ia sebuah hasil kerja seorang manusia ataukah setan; apakah ia suatu jiplakan lucu (parodi) yang tidak sopan dari agama Kristen atau sebuah sistem pemikiran yang harus diperlakukan dengan sikap hormat? Sulit (bagi dunia Kristen Barat) membuat keputusan antara berbagai pilihan itu. Tetapi sebelum membuat keputusan, diperlukan mengetahui fakta-fakta (tentang Islam), dan ini pun tidaklah mudah untuk diketahui. Maka muncullah masalah kesejarahan yang tidak terpecahkan, hampir mustahil dapat didekati, tanpa pengetahuan kebahasaan dan kesusastraan yang sulit diperoleh, dan yang dibuat lebih sulit lagi karena adanya kerahasiaan (ketertutupan), prasangka, dan keinginan kuat untuk tidak usah tahu karena takut terkena kontaminasi. Dalam kata lain, para sarjana abad pertengahan dan tokoh-tokoh bidang itu tampil berhadapan dengan semua masalah yang kita semua sekarang ini, dalam konteks yang lain, merasa tidak asing. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan yang kita ajukan, dan kita mungkin dapat belajar sesuatu dari kegagalan mereka.

Jadi, lebih jelasnya, dari kutipan keterangan R.W. Southern itu orang-orang Kristen Barat abad pertengahan mengalami kesulitan luar biasa memahami dan menyikapi Islam dan kaum Muslim. Mereka bertanya-tanya, apakah orang Islam itu diperangi saja menurut model Perang Salib, ataukah dikristenkan, ataukah diajak hidup berdampingan, ataukah dibina hubungan dagang yang saling menguntungkan? Mereka juga bingung menentukan penilaian apakah Islam itu penyelewengan dan pecahan dari agama Kristen, ataukah sebuah agama baru? (Mereka orang Kristen Barat itu tidak menyadari bahwa Islam merupakan kelanjutan dan perkembangan agama Nabi Isa al-Masih). Orang-orang Kristen Barat dengan D6E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

sendirinya menolak kenabian Nabi Muhammad saw., karena itu mereka mempertanyakan tentang kesejatian agama Islam yang dibawanya. Kadang-kadang mereka bingung untuk menentukan penilaian, apakah Islam itu merupakan jiplakan Kristen, ataukah benar-benar suatu sistem pandangan hidup yang dihormati? Mereka ingin memperoleh jawaban atas semua pertanyaan itu, tetapi mereka enggan mempelajari dan meneliti fakta tentang Islam: pertama karena halangan kebahasaan; kedua karena sikap mereka yang tertutup, penuh prasangka, dan malah sikap tidak mau tahu karena takut terpengaruh oleh Islam. Menurut kutipan di atas, pertanyaan itu dan kesulitan mendapatkan jawabannya masih terus belangsung dan berlaku sampai sekarang. Orang-orang Kristen Barat semakin bingung dengan prasangka yang semakin tebal terhadap Islam karena mereka temukan bahwa Islam merupakan sumber ancaman bahaya yang permanen yang tidak dapat diramalkan dan tak terukur, dan mereka tidak punya akses untuk mengetahui sumber penggerak Islam. The existence of Islam made the West profoundly uneasy. On the practical plane it caused permanent unease, not only because it was a danger but because the danger was unpredictable and immeasurable: the West had no access to the counsels or motives of Islam. But this incalculable factor was only and indication of a deeper incomprehension of the nature of the thing itself.3

Kadang-kadang kaum Kristen Barat itu melihat kesempatan untuk memandang Islam sebagai produk fantastis dari khayal yang jahat. Tetapi mereka itu mendapati Islam tidak pernah mundur. Dan mereka menjadi lebih ragu lagi dan tidak tahu bagaimana menyikapi Islam karena dalam kalangan kaum Muslim terdapat tokoh-tokoh yang mereka sangat kagumi dan hargai, yang terdiri dari para sarjana, ilmuwan dan ďŹ losof seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn 3

Ibid., h. 4 D7E


F NURCHOLISH MADJID G

Rusyd, juga tokoh pahlawan ksatria legendaris, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin). Maka sukar bagi mereka membayangkan bahwa Islam adalah hasil khayal orang-orang berpikiran sederhana, sebab para tokoh tersebut adalah para pemikir paling terkemuka di muka bumi pada zamannya. It was only slowly that this picture of Islam formed itself in Western minds, but in the course of time all these features came to be part of the image. Those who received its imprint may be excused if they found it puzzling. It was unlike anything else in their experience. There were times when it seemed plausible to write o the whole scheme as the fantastical product of an evil imagination. No doubt this type of explanation would have gained wide currency if Islam had shown permanent signs of decline. But this hope was constantly diasppointed. Moreover, the Moslem system of thought had the adherence of men whom the West learned increasingly, and sometimes extravagantly, to admire — scholars, philosophers, and scientists like Alfarabi, Avicenna, and Averroes, and chivalric heroes like Saladin. It was hard to believe in the simple-minded delusion of such men.4

Lebih jauh, R.W. Southern menjelaskan bahwa kesulitan orang-orang Kristen Barat memahami Islam dan terhalang dari penilaian yang adil terhadap kaum Muslim merupakan akibat jurang perbedaan tingkat kemajuan antara Eropa dan dunia Islam. Kata Southern, dunia Kristen dan dunia Islam tidak saja mewakili pandangan keagamaan yang berbeda, tapi juga menampilkan sistem sosial yang sangat lain. Selama masa abad pertengahan itu Barat merupakan masyarakat yang ciri utamanya adalah agraris, feodal, dan bersemangat kerahiban (monastik). Sementara dunia Islam, kata Southern, memiliki pusat-pusat kekuatan di kota-kota besar, lingkungan istana yang kaya dan jaringan komunikasi yang luas. 4

Ibid., h. 6-7. D8E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

Berlawanan dengan pandangan hidup Kristen Barat yang pada esensinya selibat (hidup semuci tanpa kawin), bersemangat sistem kependetaan, hirarkis, Islam menampilkan sikap hidup orang umum (tidak kenal sistem kependetaan) yang terang-terangan mengizinkan kesenangan duniawi, pada prinsipnya bersemangat persamaan manusia (egaliter), menikmati kebebasan spekulasi (pemikiran) yang luar biasa, tanpa pendeta dan tidak ada biara. Perkembangan dua masyarakat yang berbeda prinsip dan kesempatan itu, kata Southern lebih lanjut, mengakibatkan bahwa, di satu pihak, yaitu pihak Kristen Barat, terdapat perjuangan melewati masa kemunduran yang panjang sampai dengan akhir zaman pertengahan; dan di pihak lain, yaitu pihak Islam, tercapai kekuasaan, kekayaan, dan kematangan secara hampir-hampir seketika, yang sampai sekarang belum terulang lagi. Islam melanjutkan tradisi kesuksesan militernya meskipun kehilangan banyak segi vitalitasnya yang lain. Dalam jangka waktu empat abad Islam berhasil mencapai tingkat kemajuan ilmiah dan intelektual yang oleh Kristen Barat baru dicapainya setelah melewati proses yang jauh lebih panjang dan sulit. All these complicated considerations aected the Western reaction to Islam in the Middle Ages. But, as these were not enough, there was another complication, scarcely recognized but adding immeasurably to the diďŹƒculties of any intellectual contact. Western Christendom and Islam not only represented two distinct systems of religion; they were societies extraordinarily unlike from almost every point of view. For the greater part of the Middle Ages, an over most of its area, the West formed a society primarily agrarian, feudal, monastic, at a time when the strength of Islam lay in its great cities, wealthy courts, and long lines of communication. To Western ideals essentially celibate, sacerdotal, and hierarchical, Islam opposed the outlook of a laity frankly indulgent and sensual, in principle egalitarian, enjoying a remarkable freedom of speculation, with no priests and no monasteries built into the basic structure of society as they were in the West. The development of two societies based on such a D9E


F NURCHOLISH MADJID G

contrary principles and opportunities was naturally wholly dissimilar: the West struggled through a long period of relative stagnation to achieve in the later Middle Ages a social and economic momentum which continued for centuries; Islam achieved power, wealth, and maturity almost a bound, and never again equaled the fecundity of its earliest achievements. It continued its tradition of military success when it had lost every other symptom of its early vitality; while it lasted, had no equal in the medieval West. Within four hundred years of its foundation, Islam had run through phases of intellectual growth which the West achieved only in the course of a much longer development. So much has been lost that it is impossible to speak with any exactness, but it certain that the Islamic centuries produced a greater bulk and vaiety of learned and scientific works in the ninth, tenth, and eleventh centuries than medieval Christendom produced before the fourteenth century.5

Prasangka Barat terhadap Islam, menurut Southern, juga diperburuk karena kecemburuan dan kedengkian mereka melihat kamajuan dunia Islam. Agama yang mereka tuduh sebagai buatan seorang pemalsu kebenaran (impostor) itu telah hampir secara mendadak mendorong kemajuan di segala bidang, sementara dunia Kristen Barat tetap dalam keadaan stagnan dalam jangka yang panjang sekali, yaitu sampai abad ke-12. Kata Southern, berkenaan dengan masalah ini: The great difference between the Latin and Moslem worlds is the difference between slow growth on the one hand and precocious maturity on the other. The chief reason for this lay in the difference between their ways of life. But besides the difference in social foundation, there was also an almost complete diversity of intellectual heritage. When the ancient world fell apart into its separate parts, Islam became the chief inheritor of the science and philosophy of 5

Ibid., h. 7-8. D 10 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

Greece, while the barbarian West was left with the literature of Rome. The dramatic contrast has been brought out in a remarkable paper by Dr. Richard Walzer, who has shown how Greek thought was taken over without a break from the schools of the Hellenic world into the courts and schools of Islam, and adapted to the not very exacting requirements of the Moslem religion. Its is the most astonishing event in the history of thought, just as the rise of Islam as a political force is the most astonishing fact in the his¬tory of institutions. Islam luxuriated in abundance, while the West was left with the Church Fathers, the classical and postclassical poets, the Latin schoolmasters — works of impressive solidity but not, at least in the early Middle Ages, wildly exciting. A comparison of the li¬terary catalogues of the West with the lists of books available to Moslem scholars makes a painful impression on a Western mind, and the contrast came as a bombshell to the Latin scholars of the twelfth century, who first had their eyes opened to the difference.6 (Perbedaan besar antara dunia Latin (Kristen Barat) dan dunia Islam ialah perbedaan antara pertumbuhan yang lamban di satu pihak dan kematangan mendadak di pihak lain. Sebab utama hal ini terletak dalam perbedaan cara hidup mereka. Tetapi selain perbedaan dalam asas kemasyarakatannya, juga ada perbedaan yang hampir sempurna dalam warisan intelektual. Ketika dunia kuna runtuh berkepingkeping, Islam menjadi pewaris utama sains dan filsafat Yunani, sementara Barat yang barbar ditinggalkan dengan sastra Romawi saja. Kontras yang tajam itu dibeberkan oleh Dr. Richard Wazler dalam makalahnya yang luar biasa, yang menunjukkan bagaimana pemikiran Yunani diambil-alih tanpa celah dari dunia Hellenik ke istana-istana dan perguruan-perguruan Islam, dan disesuaikan dengan persyaratan agama Islam yang tidak terlalu kaku. Ini adalah kejadian yang paling menakjubkan dalam sejarah pemikiran, sebagaimana tampilnya Islam sebagai kekuatan politik merupakan fakta

6

Ibid., h. 8-9. D 11 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang paling menakjubkan dalam sejarah institusi-institusi. Islam menikmati kemewahan berlimpah-limpah, sementara Barat ditinggalkan dengan karya-karya para Bapak Gereja, penyair-penyair klasik dan pasca-klasik, guru-guru sekolah Latin — karya-karya dengan keutuhan yang mengesankan tetapi, sekurangnya dalam masa awal Abad Pertengahan, tidak begitu menggairahkan. Perbandingan antara daftar bahan bacaan di Barat dengan daftar buku yang dapat diperoleh para sarjana Islam meninggalkan kesan yang menyakitkan pada pikiran orang Barat, dan kontras itu muncul sebagai ledakan bom bagi kalangan sarjana Latin di abad ke-12, yang pertama terbuka mata mereka melihat perbedaan itu.)

Segi lain yang membedakan antara dunia Islam dengan dunia Kristen Barat — berkenaan dengan hubungan timbal-balik antara kedua sistem keagamaan itu — ialah bahwa kaum Muslim mengenal agama Kristen sejak dari penuturan dalam Kitab Suci al-Qur’an, sementara kaum Kristen Barat sama sekali tidak mempunyai sumber memahami Islam dari perbendaharaaan keilmuan klasik mereka sendiri. Dan mereka juga tidak mendapat manfaat apa-apa dari perbendaharaan keilmuan mereka yang sedang berlaku. Kata Southern, situasi Kristen Barat seperti itu sungguh merupakan kegawatan, sebab cara berpikir mereka saat itu sedemikian tergantung kepada perbendaharaan klasik. Mereka dapat memperoleh sedikit keterangan perbandingan dari agama Yahudi yang mereka kenal (karena mereka membaca Kitab Perjanjian Lama). Tetapi Islam tidak dapat dibandingkan dengan agama Yahudi karena, kata Southern, Islam adalah agama yang sukses luar biasa, sementara Yahudi agama yang selama ribuan tahun dalam keadaan memelas dan memprihatinkan. Southern menerangkan bagaimana gabungan dari berbagai faktor situasi Kristen Barat saat itu membuat orangorang Barat sulit sekali memahami Islam, apalagi menerima kehadirannya secara positif. Sumber prasangka mereka kepada Islam tidak saja berasal dari rasa takut kepadanya sebagai ancaman, tapi juga karena mereka tidak berdaya memahaminya melalui empati. D 12 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

Prasangka mereka kepada konsep Islam tentang surga, dan tentang kehidupan Nabi Muhammad, telah membuat orang-orang Kristen Barat semakin sulit memahami Islam. Masalah ini diterangkan oleh Southern sebagai berikut: In understanding Islam, the West could get no help from antiquity, and no confort from the present. For an age avowedly dependent on the past for this materials, this was a serious matter. Intellectually the nearest parallel to the position of Islam was the position of the Jews.... But Islam obstinately resisted this treatment. It was immensely successful. Every period of incipient breakdown was succeeded by a period of astonishing and menacing growth. Islam resisted both conquest and conversion, and it refused to wither away. And to complicate this picture of worldly success there was the puzzling novelty of its intellectual position. To ack-nowledge one God, an omnipotent creator of the universe, but to deny the Trinity, the Incarnation, and the divinity of Christ was an intelligible philosophical position made familiar by many ancient thinkers. Likewise, to profess the immortality of he soul, the existence of a future state of rewards and punishments, and the need for such good works as almsgiving as a requirement for entry into Paradise was recognizable in this same context. But what was to be made of a doctrine that denied the divinity of Christ and the fact of his crucifixion, but acknowledge of his virgin birth and his special privileges as a prophet of God; that treated the Old and New Testaments as the Word of God, but gave sole authority to a volume which intermigled confusingly the teaching of both Testaments; that accepted the philosophically respectable doctrine of future rewards and punishments, but affronted philosophy by suggest¬ing that sexual enjoyment would form the chief delight of Paradise? A religion without priest or sacrament might be intelligible; but these characteristics of natural religion were associated with a holy Book, generally held by the few Westerners who knew it to be full D 13 E


F NURCHOLISH MADJID G

of absurdities, and a divinely appointed Prophet, universally held in the West to be a man of impure life and worldly stratagem.7 (Dalam memahami Islam, Barat tidak menemukan bantuan dari masa lalu, dan tidak pula kenyamanan dari masa yang berlaku. Untuk zaman yang demikian tergantung kepada masa lalu untuk bahan-bahan ini, keadaan tersebut adalah suatu perkara yang gawat. Secara intelektual kesejajaran paling dekat kepada posisi Islam ialah posisi kaum Yahudi.... Tetapi Islam dengan teguh tidak dapat diperlakukan demikian. Islam adalah agama yang amat sukses. Setiap periode hampir mengalami kehancuran selalu disusul oleh periode pertumbuhan yang menakjubkan dan mengancam. Islam bertahan terhadap usaha penaklukan dan pemindahan agama, dan ia menolak untuk menyingkir. Kesuksesan duniawi ini semakin rumit dipahami dengan adanya kesegaran yang mengherankan dari posisi intelektualnya. Sikap mengakui adanya Tuhan Yang Mahaesa, pencipta alam raya yang Mahakuasa, tetapi menolak Trinitas, Inkarnasi, dan ketuhanan al-Masih adalah posisi filosofis yang sudah diperkenalkan sejak lama oleh para pemikir zaman kuna. Demikian pula mengakui ruh yang tidak bakal mati, adanya kehidupan hari kemudian dengan kebahagiaan atau kesengsaraan, dan perlunya berbuat hal-hal yang baik seperti menderma sebagai persyaratan untuk dapat masuk surga juga dapat dipahami dalam konteks ini. Tetapi sikap apa yang harus diperbuat terhadap sebuah doktrin yang menolak ketuhanan al-Masih dan kenyataan penyalibannya, namun mengakui kelahirannya yang tanpa bapak dan hak-hak luar biasanya sebagai Nabi dari Tuhan; doktrin yang mengakui Perjanjian Lama dan Baru sebagai Firman Tuhan, namun memberi wewenang hanya kepada sebuah buku yang secara membingungkan mencampuradukkan kedua Perjanjian itu; yang menerima doktrin yang secara filosofis terhormat tentang pahala dan siksaan hidup hari kemudian, namun menghina filsafat dengan

7

Ibid., h. 5-6. D 14 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

isyaratnya bahwa kenikmatan seksual merupakan kebahagiaan utama di Surga? Sebuah agama yang tidak mengenal pendeta atau sakramen mungkin masuk akal; tetapi ciri agama alami ini dikaitkan dengan sebuah Kitab Suci, yang umumnya oleh beberapa orang Barat yang kebetulan mengetahuinya dianggap penuh kemustahilan, serta dikaitkan dengan seorang Nabi yang diangkat oleh Tuhan, yang secara umum di Barat dipandang sebagai orang dengan kehidupan yang tidak suci dan kelicikan duniawi.)

Demikianlah gambaran tentang akar-akar prasangka Kristen Barat terhadap Islam dan kaum Muslim. Seperti dikatakan sendiri oleh R.W. Southern yang dijadikan sumber kutipan di atas, prasangka itu sedikit-banyak masih bertahan sampai sekarang. Dan melewati masa-masa imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap dunia Islam, prasangka tersebut semakin mendapatkan dorongan dan perlindungan, antara lain karena sejalan dengan kepentingan kaum politik penjajahan itu sendiri. Dalam masamasa memuncaknya imperialisme itulah peranan kaum orientalis seperti dilambangkan dalam ketokohan Snouck Hurgronje muncul ke permukaan. Dalam buku R.W. Southern yang dirujuk itu diuraikan perkembangan pandangan orang Kristen Barat terhadap Islam yang penuh kontradiksi. Dan uraiannya itu diakhiri dengan kesimpulan bahwa rencana Kristen Barat untuk “mengatasi masalah Islam” telah gagal. Most conspicuous to us is the inability of any of these systems of thought to provide a finally satisfying explanation of the phenomenon they had set to explain still less to influence the course of practical events in a decisive way. At a practical level, events never turned out either so well or so ill as the most intelligent observers predicted; and it is perhaps worth noticing that they never turned out better than when the worst was confidently predicted, or worse than when the best judges confidently expected a happy ending. Was there D 15 E


F NURCHOLISH MADJID G

any progress? I must express my conviction that there was. Even if the solution of the problem remained obstinately hidden from sight, the statement of the problem became more complex, more rational, and more related to experience in each of the three stages of controversy which we have examined. The scholars who labored the problem of Islam in the Middle Ages failed to ďŹ nd the solution they sought and desired; but they developed habits of mind and powers of comprehension which, in other men and in other ďŹ elds, may yet deserve success.8 (Yang paling mencolok bagi kita ialah ketidakmampuan semua sistem pemikiran itu (yaitu sistem pemikiran Kristen Barat terhadap Islam) untuk memberi kejelasan ďŹ nal tentang gejala yang ingin mereka jelaskan — lebih-lebih lagi tidak mampu mempengaruhi jalannya kejadian-kejadian praktis secara menentukan. Pada tingkat praktis, kejadian-kejadian itu tidak pernah tampil begitu baik atau begitu jelek seperti yang diramalkan oleh para pengamat yang paling cerdas; dan barangkali baik untuk dicatat bahwa kejadiankejadian itu tidak pernah tampil lebih baik daripada ketika yang paling buruk diduga dengan mantap akan muncul, atau tampil lebih buruk daripada ketika para pengamat yang paling baik secara mantap menduga akan terjadi kesudahan yang menyenangkan. Apakah ada kemajuan? Saya harus menyampaikan keyakinan saya, ada. Meskipun pemecahan masalah itu tetap saja tidak tampak, pengutaraan masalah itu sendiri menjadi lebih kompleks, lebih rasional, dan lebih terkait dengan pengalaman dalam ketiga jenjang kontroversi yang kita kaji itu. Para sarjana yang menggarap masalah Islam di Zaman Pertengahan telah gagal menemukan pemecahan yang mereka cari dan kehendaki; tetapi mereka mengembangkan kebiasaan berpikir dan tenaga pemahaman yang pada orang lain di bidang lain mungkin masih dapat memperoleh sukses.)

8

Ibid., h. 108-109. D 16 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

Jadi ada satu hal yang menurut Southern diwariskan oleh itu semua, yaitu, setelah melewati masa yang panjang, terutama setelah melewati zaman modern yang tidak banyak menghargai prasangka dan kecurigaan penuh kefanatikan keagamaan, terwujudnya sikap yang lebih ilmiah dan jujur yang mulai tumbuh, seperti pertumbuhan ilmu antropologi budaya yang semula merupakan alat kaum misionaris menjadi ilmu sosial yang independen dan dihargai. Maka usaha mengamati, memahami, dan untuk kemudian “mengatasi” masalah Islam kini justru telah mendorong tumbuhnya lembagalembaga kajian Islam di Barat dengan pendekatan kepada Islam secara lebih jujur dan lebih ilmiah, bahkan dilakukan oleh para sarjana Muslim sendiri, baik yang berasal dari dunia Islam maupun yang berasal dari dunia Barat sendiri. Proses perkembangan ini tidak selalu terjadi dengan penuh kemulusan. Tetapi banyak indikasi tentang ke mana arah perkembangan umat manusia di masa depan dalam kaitannya dengan agama. Yaitu, menurut Seyyed Hossein Nasr, bahwa fasilitas komunikasi kultural sejagad akan mempermudah manusia yang berkemauan baik untuk menuju dan bertemu dalam apa yang filsafat Islam menyebutnya sebagai al-hikmat al-‘atīqah atau sophia perennis, yang tidak lain ialah hanīfīyah Nabi Ibrahim, as., yang Nabi Muhammad saw. pun diperintahkan Allah untuk mengikutinya (Q 16:123).

Orientalisme dan Kolonialisme

Sebagaimana telah disinggung ketika membicarakan tentang Snouck Hurgronje, orientalisme pernah sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan kolonial. Mereka melakukan peran sebagai teoretikus ilmiah menghadapi Islam dan kaum Muslim, dengan saran-saran dan nasehat-nasehat yang mereka berikan berdasarkan penelitian dan pengetahuan mereka tentang masalah itu. Inti dari pandangan kaum orientalis kolonial ialah memperkecil arti kehadiran Islam dalam negeri jajahan mereka, dengan menyebarkan D 17 E


F NURCHOLISH MADJID G

disinformasi dan strategem pengembangan teori yang berbeda atau bertentangan dengan kenyataan. Pandangan kolonialistik tentang Islam ini tidak melulu bidang garapan kalangan yang secara khusus mempelajari Islam sebagai agama. Banyak dari pandangan kolonialistik serupa itu yang dikembangkan oleh para ilmuwan sosial, seperti sarjana antropologi, sosiologi, ilmu politik, dan lain-lain. Dalam hal ini dapat kita sebut sebagai contoh ialah suatu segi dari pusat kajian Indonesia di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Sedemikian jelasnya peran Islam dalam masyarakat Indonesia, namun Cornell tidak menunjukkan perhatian yang cukup sungguh-sungguh kepada kaum Muslim, dan cenderung melihat Indonesia dari suatu sudut pandang tertentu saja, yaitu sudut pandang kejawaan (karena itu gambar sampul jurnal ilmiah mereka tentang Indonesia selalu berupa gambar wayang). Karena, seperti dikatakan Southern yang dikutip di atas, sekarang di Barat tumbuh dan berkembang kajian Islam yang lebih jujur dan penuh empati, maka pandangan-pandangan yang masih kolonialistik tentang Islam itu banyak mengundang kritik keras dari kalangan para sarjana Barat sendiri. Contohnya ialah kritik seorang ahli keislaman yang cukup obyektif dan simpatik, Marshall Hodgson, kepada Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika yang bukunya, Religion of Java, sangat berpengaruh di Indonesia di kalangan tertentu. Tesis pokok Geertz dalam bukunya itu ialah, secara ringkasnya, “sejauh-jauh orang Jawa itu Islam, namun unsur-unsur Hinduisme, Buddhisme dan animismenya masih lebih banyak daripada unsur Islamnya.” Menurut Hodgson, inilah contoh strategem kolonialistik yang mencoba memperkecil makna kehadiran Islam di suatu negeri jajahan. Geertz, kata Hodgson, melakukan strategem yang juga dianut oleh para “ahli” di kalangan kaum penjajah Prancis atas kawasan Afrika Utara. Kutipan dari kritik Hodgson terhadap Geertz yang sangat tandas itu terbaca demikian: D 18 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

The most important study of Islam in Malaysia (i.e., Malay archipelago — NM) is Clifford Geertz’ Religion of Java (Glencoe, 1960); it deals with the twentieth century, and with inner Java in particular, but much in it throws light on what happened earlier and is relevant to other parts of the archipelago. Unfortunately, its general high excellence is marred by a major systematic error: influenced by the polemics of a certain school of modern Shari‘ah-minded Muslims, Geertz identifies ‘Islam’ only with what that school of modernists happens to approve, and ascribes everything else to an aboriginal or a Hindu-Buddhist background, gratuitously labeling much of the Muslim religious life in Java ‘Hindu’. He identifies a long series of phenomena, virtually universal to Islam and sometimes found even in the Qur’an itself, as un Islamic; and hence his interpretation of the Islamic past as well as of some recent anti Islamic reactions is highly misleading. His error has at least three roots. When he refers to the archipelago having long been cut off from ‘the centers of orthodoxy at Mecca and Cairo’, the irrelevant inclusion of Cairo betrays a modern source of Geertz’ bias. We must suspect also the urge of many colonialists to minimize their subjects’ ties with a disturbingly world wide Islam (a tendency found also among French colonialists in the Maghrib); and finally his anthropological techniques of investigation, looking to a functional analysis of a culture in momentary cross section without serious regard to the historical dimension. Other writers have recognized better the Islamic character even in inner Javanese religion: C. A. O. van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post Colonial Indonesia (The Hague, 1959), but Geertz stands out in the field. For one who knows Islam, his comprehensive data — despite his intention — show how very little has survived from the Hindu past even in inner Java and raise the question why the triumph of Islam was so complete.9

9

Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 volumes (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), vol. 2, h. 551, footnote. D 19 E


F NURCHOLISH MADJID G

(Kajian terpenting tentang Islam di dunia Melayu ialah buku Clifford Geertz Religion of Java [Glencoe, 1960]; ia menggarap abad ke-20, dan terutama Jawa pedalaman, tetapi banyak di dalamnya memberi kejelasan tentang apa yang telah terjadi sebelumnya dan relevan untuk bagian lain dari gugusan kepulauan itu. Sayangnya, keunggulannya yang secara umum tinggi itu dirusak oleh sebuah kesalahan sistematik: karena dipengaruhi oleh polemik aliran tertentu dari kalangan kaum Muslim modernis yang berpandangan serba-Syariat, Geertz mengidentifikasikan ‘Islam’ hanya dengan hal-hal yang aliran kaum modernis kebetulan dapat menerimanya, dan menisbatkan apa saja selain itu kepada latarbelakang aboriginal atau Hindu-Budha, dan tanpa alasan mencap banyak segi kehidupan keagamaan Islam di Jawa sebagai ‘Hindu’. Ia mengidentifikasikan rententan panjang gejala sebagai bukan Islam, padahal gejala itu hampir universal bagi Islam dan kadang-kadang bahkan terdapat dalam al-Qur’an sendiri; dan akibatnya tafsirannya mengenai Islam di masa lalu demikian pula reaksi-reaksi anti-Islam yang lebih mutakhir sangat menyesatkan. Ada sekurangnya tiga akar kesalahannya. Ketika ia mengacu kepada gugusan kepulauan itu sebagai telah lama terputus dari “pusat-pusat ortodoksi di Makkah dan Kairo”, dimasukkanya Kairo secara tidak relevan menunjukkan sumber kaum modernis bias Geertz. Kita juga harus mencurigai dorongan banyak kaum kolonialis untuk mengurangi kaitan penduduk jajahan mereka dengan Islam di dunia yang mengganggu (sebuah kecenderungan yang juga terdapat di antara kaum kolonialis Prancis di Maghribi); dan akhirnya (kesalahan Geertz berakar pada) teknik penelitian antropolgisnya, yang melihat analisa fungsional sebuah budaya dalam lintas-bagian sesaat tanpa perhatian yang sungguh-sungguh kepada dimensi sejarahnya. Beberapa penulis lain telah mengenali secara lebih baik watak Islam bahkan dalam agama orang Jawa pedalaman: C.A.O Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia (Den Haag, 1959), namun Geertz tetap menonjol di bidang itu. Untuk orang yang mengerti Islam, data Geertz yang lengkap itu — lepas dari tujuannya — menunjukkan D 20 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

betapa sedikitnya yang tetap bertahan dari masa lalu agama Hindu bahkan di pedalaman Jawa dan menimbulkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam dahulu begitu sempurna.)

Begitulah Clifford Geertz dalam penilaian seorang ahli kebudayaan dan peradaban Islam. Tegasnya, berkaitan dengan pokok pembicaraan di sini, Geertz adalah seorang ilmuwan dengan bias kaum penjajah yang mencoba hendak memperkecil arti kehadiran Islam di tanah jajahannya. Tendensi ini, menurut Karel Steenbrink yang pernah lama mengajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yaitu pandangan seperti yang dianut oleh Geertz itu, masih berlangsung sampai sekarang di kalangan para penginjil Kristen di Indonesia. Mereka ini, kata Steenbrink, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah Islam di Jawa dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya Jawa dan budaya asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Kita kutip di sini keterangan Steenbrink yang untuk kalangan tertentu tentu amat mengejutkan: Christian religious studies and theological reflections concentrate more on ‘Javanism’ and the pre-Islamic deveopments in Indonesia than Islam. The prominent teacher of Islamology at the Jesuit theological seminary in Yogyakarta, Jan Bakker SJ, wrote some works under the pseudonym of Rahmat Subagiyo. In one of his most well-known books he writes on “The Original Religion of Indonesia,” which already indicates his main thesis: Hinduism, Buddhism as well as Islam are religions which originated outside Indonesia. consequently, they have never been able to reach the soul of the real Indonesian people because of their refusal to adapt themselves to the cultural core of Indonesia, whereas Christianity, and Catholicism in particular, were prepared for such adaptation. Consequently, for Bakker, Islam is not Christianity’s main partner in dialogue. Another prominent Catholic, Franz Magnis Suseno D 21 E


F NURCHOLISH MADJID G

SJ, published an ethical study on Javanese wisdom, while his Indonesian colleague J.B. Banawiratma SJ published a christological study in which the portrayal of Jesus as a teacher in John’s Gospel is compared with the portrayal of the ideal teacher in nineteenthcentury Javanese literature. Again and again Javanism is cited as the partner in dialogue, while Islam is not considered to be a proper or even possible candidate. This emphasis on Javanese culture and the avoidance of Islamic doctrine is found among Protestant writers as well. Harun Hadiwijono, a prominent Protestan scholar in religious studies, also took up Javanism in the title of his 1967 dissertation at the Free University of Amsterdam, “Man in the present Javanese Mysticism”.10 (Kajian-kajian keagamaan [oleh] Kristen dan renungan teologisnya terpusat kepada ‘Jawanisme’ dan perkembangan pra-Islam di Indonesia ketimbang kepada Islam sendiri. Seorang pengajar terkenal tentang Islamologi pada seminari teologi Jesuit di Yogyakarta, Jan Bakker SJ, menulis beberapa buku di bawah nama samaran Rahmat Subagiyo. Dalam salah satu bukunya yang paling terkenal ia menulis “Agama Asli Indonesia,” yang sudah menyingkapkan tesisnya: Hinduisme, Buddhisme dan juga Islam adalah agama-agama yang berasal dari luar Indonesia. Akibatnya, agama-agama itu tidak pernah mampu mencapai jiwa rakyat Indonesia yang sebenarnya karena menolak untuk menyesuaikan diri mereka dengan inti budaya Indonesia, sedangkan agama Kristen, dan terutama Katolik, bersedia untuk melakukan penyesuaian diri itu. Akibatnya, bagi Bakker, Islam bukanlah mitra utama dalam berdialog. Seorang Katolik lain yang terkemuka, Franz Magnis Suseno SJ, menerbitkan kajian etika kearifan Jawa, sementara rekannya yang orang Indonesia [asli? — NM] J.B. Banawiratma SJ menerbitkan kajian kristologi yang di situ gambaran tentang Isa sebagai seorang guru dalam Injil Yahya 10

Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam, Contacts and Conflicts 1596-1950, terjemahan Inggris oleh Jan Steenbrink dan Henry Jansen (Amsterdam: Rodopy, 1993), h. 146-147. D 22 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

dibandingkan dengan gambaran guru yang ideal dalam sastra Jawa abad ke-19. Lagi-lagi Jawanisme disebut sebagai mitra dalam dialog, sedangkan Islam tidak dianggap sebagai calon yang wajar ataupun yang memungkinkan. Tekanan kepada budaya Jawa ini dan sikap menghindari ajaran Islam juga ditemukan di antara para penulis Protestan. Harun Hadiwijono, seorang sarjana Protestan yang terpandang dalam kajian keagamaan, juga mengambil Jawanisme sebagai judul disertasinya pada tahun 1967 di Free University Amsterdam, “Man in the present Javanese Mysticism”.)

Berkenaan dengan hal di atas itu, Steenbrink sendiri mempunyai pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan. Dalam suatu kesempatan pengislaman temannya, seorang warga negara Inggris, di Yogyakarta di suatu hari pada tahun 1987, Steenbrink mengatakan bahwa temannya itu tidaklah meninggalkan agama Kristen dan pindah ke Islam, melainkan telah meneruskan dan meningkatkan agamanya dari Kristen ke Islam. Sebab, bagi Steenbrink, “Islam tidaklah mengandung pengertian sebuah sikap meninggalkan agama Kristen melainkan membersihkan atau menyempurnakannya” (Islam doe not imply a renunciation but a purification or completion of Christianity). Steenbrink juga memujikan temannya yang masuk Islam, karena hanya dengan cara itulah ia akan sukses dalam berumah tangga dengan wanita Indonesia yang memandang agamanya, yaitu Islam, dengan serius. Pernyataan Steenbrink itu disiarkan di koran, dan kemudian seorang pastur Katolik berbicara kepadanya mengingatkan bahwa ia telah begitu mudah mengidentifikasikan budaya Jawa dengan Islam, padahal strategi mereka ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa (whereas their strategy was to emphasize the separation between the two and to stress the fact that Islam is not an essential aspect of Javanese culture).11 Ini adalah hal 11

Ibid., h. 148. D 23 E


F NURCHOLISH MADJID G

yang sudah lama diketahui kalangan Islam yang mengadakan pengamatan atas kegiatan keagamaan asing di Indonesia. Dan suatu ironi justru terjadi pada kasus Jan Bakker di atas. Ia mengklaim bahwa agama Hindu, Budha, dan Islam gagal menyesuaikan diri dengan budaya Indonesia, sedangkan agama Kristen, terutama Katolik berhasil, namun kenyataannya kegiatan keagamaan Kristen dan Katolik masih harus ditangani atau dipimpin oleh tenaga-tenaga asing seperti Jan Bakker sendiri. Begitulah akar-akar prasangka Kristen Barat (bukan atau sedikit sekali Kristen Timur, sebagaimana dimaksud pada bagian depan tilisan ini), yang kemudian merasuk ke dalam tradisi orientalisme, lalu dikuatkan oleh kolonialisme dan, tampaknya, seperti dikemukakan Steenbrink, dilanjutkan oleh kaum misionaris Kristen Barat, termasuk di Indonesia. Sesungguhnya masih banyak lagi bahan dan data untuk menunjang penilaian serupa itu. Yang jelas ialah bahwa orientalisme, lepas dari keseruan retorika kalangan Islam, memang tetap merupakan sumber masalah hubungan Islam dengan Kristen Barat. Namun lepas dari itu semua, tampaknya Rencana Ilahi akan tetap berjalan selama-lamanya. Di atas telah dikemukan bahwa, seperti diisyaratkan oleh R.W. Southern, dorongan untuk mempelajari Islam guna kemudian “mengatasi” masalah Islam oleh kaum sarjana kalangan Kristen Barat itu lambat laun berkembang ke arah penerapan metodologi yang lebih jujur, obyektif, dan ilmiah, serta lebih terkait dengan pengalaman nyata daripada dengan prasangka Kristen Barat terhadap ajaran Islam dan Nabi Muhammad saw. Memang proses-proses itu belum seluruhnya rampung, dan masih banyak di sana-sini sisa-sisa orientalisme yang penuh prasangka, seperti dicontohkan oleh Bernard Lewis dari Amerika. Namun kini mulai muncul lembaga-lembaga kajian Islam seperti Institute of Islamic Studies di McGill University, Montréal, Kanada, tempat Prof. Dr. H.M. Rasyidi pernah memberi kuliah, dan almamater banyak tokoh “teknokrat keagamaan Islam” Indonesia. Dan sekarang ada gejala munculnya pimpinan atau tokoh lembaga D 24 E


F ISLAM DI MATA ORIENTALIS G

kajian Islam di Barat serupa itu yang terdiri dari orang-orang Muslim, seperti (almarhum) Fazlur Rahman di Chicago, John Woods (seorang Muslim Amerika), juga di Chicago, Robert Bianci (seorang Muslim Amerika), juga di Chicago, Muhsin Mahdi di Harvard, Mahmud Ayub di Temple, Ismail al-Faruqi (almarhum), juga di Temple, Seyyed Husain Nasr di Georgetown, Hamid Algar (seorang Muslim Inggris) di Berkeley, Ismail Punawala di Los Angeles, Uiner Turgay di McGill, dan seterusnya. Dan yang terakhir ialah lembaga dialog Islam-Kristen di Washington D.C., Amerika, yang meliputi universitas-universitas Georgetown, American, Catholic, dan George Washington. Lembaga itu akan dibiayai oleh sumbersumber keuangan Islam dan Kristen secara kerjasama. Seyyed Hossein Nasr, menurut keterangannya di Jakarta dalam rangka mengisi seminar yang dilaksanakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan Penrebit Mizan pada tahun 1993, akan memainkan peranan amat menentukan dalam lembaga baru itu. Lebih dari itu, kini agama Islam berkembang pesat di Barat, mula-mula terdiri dari kaum imigran yang berasal dari negerinegeri Islam tapi kemudian meliputi pula penduduk setempat yang berpindah ke Islam. Maka mulailah tampil tokoh-tokoh Islam dari kalangan orang-orang Barat modern yang mengambil peran sebagai pemikir Islam mutakhir seperti Muhammad Marmaduke Pickthall, Muhammad Asad (d/h Leopold Weiss), Firtjhof Schuon, Martin Lings, Roger Garaudi, T.B. Irving, Maurice Boucaille, Yusuf Islam, dan lain-lain. Dan di Indonesia pun semakin banyak sarjana asal Barat yang memeluk Islam dengan tulus dan penuh kesadaran. Tetapi mungkin karena para misionaris Kristen Barat di Indonesia memasang strategi seperti diceritakan oleh Karel Steenbrink tersebut maka terdapat kekecewaan yang tampaknya luar biasa pada mereka dan kemarahan yang sulit ditutup-tutupi oleh kemajuan Islam di negeri kita sekarang ini, berkat kebijakan nasional kita. Padahal Huntington meramalkan bahwa dunia di masa mendatang yang tidak terlalu jauh ini akan didominasi oleh konfrontasi Barat yang Kristen dengan Dunia Islam. Sekarang ini, D 25 E


F NURCHOLISH MADJID G

kata Huntington, Barat memiliki keunggulan di segala bidang atas budaya-budaya lain secara tak tertandingi. Tetapi proses-proses yang mencakup seluruh umat manusia masih sedang berlangsung ke arah susunan baru yang di situ Barat tidak lagi akan dominan, dan akan hanya merupakan salah satu saja dari sistem-sistem budaya di dunia. Keunggulan Barat akan diimbangi oleh “koalisi” antara Islam dan Konfusianisme, kata Huntington. Dan Barat akan dipaksa oleh sejarah untuk belajar mnghargai dan hidup berdampingan dengan sistem-sistem budaya lain di dunia.12 Dan itu agaknya lebih baik dimulai dari Indonesia, dengan syarat semua pihak cukup bersikap tulus dan rendah hati, tanpa strategem yang mencoba mengingkari yang lain. [ ]

12

Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilizations?” dalam Foreign Affairs, Summer 1993, h. 22-49. D 26 E


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.