Sang Zahid - Husein Muhammad

Page 1


SANG ZAHID Mengarungi Sufisme Gus Dur


KH. HUSEIN MUHAMMAD PEii&AiifAil! ALiSSA WAliiD

sang

� el !:lo>

I i I �; 'Cl

MENGARUNGI SUFISME GUS DUR LK[S


SANG ZAHID: MENGARUNGI SUFISME GUS DUR KH. Husein Muhammad C> LKiS, 2012 xviii + 164 halaman; 14,5 x 21 cm 1. Sufisme Gus Dur 2. Zahid 3. Sufi-sufi besar dunia Islam ISBN: 979-25-5381-9 ISBN 13: 978-979-25-5381-9 Kata Pengantar: Alissa Wahid Penyelaras akhir: Ahmala Arifin Rancang sampul: Morenk Penata isi: Santo Penerbit & Distribusi:

LKiSYogyakarta

Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul JI. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 Faks.: (0274) 379430 http://w.ww lkis.co.id e-mail: lkis@lkis.co.id Anggota IKAPI Cetakan I: 2012

Percetakan: PT.

LKiS Printing Cemerlang

Salakan Baru No. 3 Sewon Bantul JI. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 41 7762 e-mail: elkisprinting@yahoo.co.id


PENGANTAR REDAKSI

Barangkali buku ini layak disebut sebagai testimoni paling otoritatif tentang sosok Gus Dur yang sesungguhnya, yang ditulis oleh seorang yang paham betul kehidupan Gus Dur secara per­ sonal, dari keseharian Gus Dur yang sederhana hingga gagasan dan kerja-kerja kemanusiaannya. Sebuah testimoni yang menemukan pendasarannya dalam spiritualitas Sufi-sufi Agung dunia Islam, dari Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mawlana Jalauddin Rumi, Ibn Arabi, hingga kaum rohaniawan dan intelektual dunia Islam dan Barat. Suatu perspektif yang bernas dan berkelas yang justru lebih ingin dikedepankan oleh penulis, Kiai Husein Muhammad. Tentu saja penulis, dari apa yang didedahkan secara cukup mumpuni dan mendalam dalam buku ini, tidak berpretensi pada upaya pengultusan ataupun pemitosan sosok Gus Dur. Gus Dur tetaplah Gus Dur dengan segala atribut yang disematkan setiap orang terhadapnya. Biarlah, menurut penulis, suatu fenomena luar biasa yang berbicara, yakni tentang rasa kehilangan rakyat akan sosok Gus Dur, yang bisa dilihat dari antusiasme ribuan hingga jutaan rakyat dari strata yang paling bawah hingga kalangan elite, dari pelbagai elemen masyarakat agama, suku, dan etnis, yang tak henti-hentinya berziarah ke makam Gus Dur. Sebuah fenomena yang mungkin akan terjawab, tapi entah kapan.

v


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Dari fenomena yang luar biasa tersebut, kita bisa saja mengatakan bahwa Gus Dur adalah manusia yang paling dibutubkan oleb bangsa dan negara seperti Indonesia, yang plural dalam banyak bidang, yang akrab dengan konflik keagamaan dan kemanusiaan. Apesnya, kita baru memahaminya setelah Gus Dur berpulang, dan absennya figur yang mampu menggantikan perannya, semakin menebalkan rasa kehilangan yang sangat besar dalam keseharian kita. Maka bukan sesuatu yang mengherankan kalau kaum Nahdbiyyin, simpatisan, murid-murid setianya, seperti misalnya sang penulis sendiri, menyebut Gus Dur sebagai mahaguru, waliyullah, manusia yang dikaruniai kecerdasan spiritual, sosial, dan intelektual. Manusia dengan ragam dimensi kesalehan. Namun, sekali lagi, penulis tidak ingin memosisikan Gus Dur sebagai mitos. Dan sebagaimana halnya mitos, ia bukanlah suatu dongeng yang eksistensinya kita dengar lamat-lamat. Bukankah Gus Dur suatu hari pernah bilang, "Aku hanya pulang, bukan pergi?!" Oleh karena itulah, bertepatan dengan Seribu Hari Berpulang­ nya Gus Dur, kami menganggap inilah momen yang tepat untuk menghadirkan karya tentang Gus Dur pada sisi yang lain, yang belum banyak dieksplorasi secara mendalam sejauh ini. Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar­ besarnya kepada Kiai Husein Muhammad, yang telah memercaya­ kan penerbitan karyanya kepada kami. Dan kepada sidang pembaca yang budiman, kami sampaikan selamat mengarungi cahaya putih spiritualitas Gus Dur. Selamat membaca!

vi


KATA PENGANTAR

Oleh: Alissa Wahid

Membaca naskah buku ini, bagi saya, memerlukan waktu yang cukup lama dan keteguhan hati untuk menyelesaikannya. Berkali足 kali huruf-huruf memburam oleh air mata, sehingga saya harus berhenti dan mengulang kembali. Dengan gaya Kiai Husein menyampaikan, kalimat demi kalimat membawa kenangan yang manis, sekaligus membawa kelu justru karena ia berwujud kenangan dan tak lagi nyata. Tak terasa

iooo

hari sudah berlalu sejak Gus Dur pulang

kepada Pemilik yang dicintainya. Pulang dengan penuh suka cita足 kata Kiai Husein dalam buku ini. Hampir tak terasa, karena setiap hari masih tersebut namanya di ruang-ruang seminar yang ilmiah, di celetukan-celetukan via media sosial, dalam artikel-artikel dan buku-buku, di warung-warung kopi, di acara-acara ibadah kaum tersingkir dan pejuang kemanusiaan, bahkan di lagu-lagu para pedangdut koplo. Wajahnya masih terpampang dalam poster足 poster, kaos-kaos, gantungan kunci, dan avatar para pengguna Facebook dan

Twitter,

serta gambar-gambar yang beredar di

media massa dan internet. Jejaknya ada di mana-mana, dengan segala bentuknya. Mencoba menelusurinya tak cukup hanya dengan melihat warisan足

warisan besarnya: imlek dan kaum Tionghoa yang termerdekakan, kembalinya nama Papua yang menandai penghormatan pada

VII


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur identitas warganya, terpisahnya Kepolisian dan TNI, lembaga足 lembaga negara seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kementerian Kelautan, forum-forum kerukunan umat beriman, dan lain-lainnya. Warisannya menembus batas negara, dan dimensi. Kisah足 kisah perjumpaan dan persentuhan dengan Gus Dur bermunculan

dari santri pondok pesantren di pucuk gunung, sampai di sudut dunia yang lain. Waiau sudah terbiasa dengan berbagai kisah ini,

saya masih tercengang membaca twit Wahyu Susilo, aktivis

Migrant Care

mengisahkan pengalamannya makan di sebuah

restoran di Australia. Oleh pemilik restoran, ia ditanya berasal dari mana. Setelah Wahyu menjawab dari Indonesia, sang pemilik restoran menyebut-nyebut Gus Dur. Ia ucapkan apresiasi karena Gus Dur demikian gigih membela dan memperjuangkan kaum muslim di Uighur China, yang tentunya adalah kelompok minoritas

di sana.

Bagaimana membaca sepak terjang Gus Dur yang sepertinya tak berbentuk, sehingga sebagian kalangan menyebutnya

Drunken Master van Indonesia?

The

Banyak yang telah membahas

spektrum atau dimensi sepak terjang yang sedemikian luas. Apakah sumber yang menyebabkan Beliau bisa bergerak sedemikian? Kiai Husein Muhammad menyelaminya dengan sangat menyeluruh di dalam buku ini. Walaupun banyak membahas perjuangan Gus Dur, penyimpulan-penyimpulan diambil lebih banyak dari perilaku-perilaku keseharian Gus Dur yang tampak remeh, tapi sesungguhnya membangun sebuah pemahaman yang utuh dan integratf i terhadap spiritualitas Gus Dur. Bagaimana Gus Dur di meja makan, bagaimana Gus Dur saat membimbing santri足

santri Ciganjur mengaji kitab-kitab bahasa dan sastra klasik, kitab足 kitab Tasawuf dan Ushul al-Fiqh (teori-teori dan metodologi fiqh), bagaimana Gus Dur saat menginap di rumah orang-orang lain;

viii


Kata Pengantar menjadi bahan-bahan penting bagi Kiai Husein untuk memahami Gus Dur. Ini berbeda dari analisis yang dilakukan oleh penulis-penulis lain, yang biasanya memfokuskan pada pemikiran dan pencapaian Gus Dur yang spektakuler dan membawa perubahan yang besar di Indonesia, dan bahkan dunia. Karena spektrum sepak terjang Gus Dur yang sungguh luas, analisis sedemikian cenderung memotret Gus Dur secara parsial. Ini seringkali justru membuat kita kebingungan memahami Gus Dur secara utuh karena perilakunya yang berbeda di dalam konteks yang berbeda; atau bahkan perilaku yang berbeda dalam konteks yang sama di kurun waktu yang berbeda. Misalnya mengapa Gus Dur yang gigih memperjuangkan NU agar kembali ke Khittah 1926 akhirnyajustru mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa di penghujung rezim Orde Baru? Mengapa Gus Dur yang sangat demokratis bisa memutuskan untuk menjadi Ketua PBNU untuk tiga periode? Kiai Husein, sebagaimana sifat dan sikap para pelaku tasawuf, melepaskan diri dari perangkap-perangkap parsial dan menajam­ kan pandangannya kepada esensi yang mendasari sebuah laku dan pemikiran. Sepak terjang Gus Dur yang oleh banyak orang diper­ kirakan hanya berasal dari pergaulan Gus Dur yang kosmopolitan, ditarik justru kepada esensi spiritualisme Islam. Kiai Husein membahas tuntas bagaimana spiritualitas itulah yang menggerak­ kan Gus Dur, sebagaimana ia menggerakkan para tokoh dalam sejarah Islam berabad-berabad lamanya. Bahkan agaknya, Kiai Husein justru menggunakan Gus Dur sebagai gerbang untuk mengeksplorasi khasanah spiritualisme Islam. Akhir tahun 2011, keluarga Ciganjur berinisiatif mengundang beberapa sahabat Gus Dur untuk berdiskusi bersama murid-murid Gus Dur dari berbagai latar belakang. Tujuan diskusi ini adalah untuk bersama-sama menyimpulkan nilai-nilai luhur yang kiranya

ix


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur menjadi sumbu sepak terjang Gus Dur selama ini. Ibarat cahaya putih, spiritualitas Gus Dur memasuki sebuah prisma yang kemudian merefleksikan sang cahaya menjadi spektrum yang berwarna-warni, yaitu sepak terjangnya di berbagai dimensi kehidupan. Pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa dalam konteks apa pun, segala keputusan, pemikiran, dan tindakan Gus Dur selalu bersumbu pada beberapa nilai luhur: Ketauhidan sebagai awalnya, yang membias pada Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Keksatriaan, dan Kearifan Lokal. Kita, misalnya, melihat Kemanusiaan, Keadilan, Persaudara­ an dalam pembelaan Gus Dur kepada korban konflik '65. Kita melihat Keadilan dan Kesetaraan dalam sepak terjang Gus Dur di ranah kesetaraan gender. Kita menyaksikan Kesetaraan dan Pembebasan dalam pembelaan Gus Dur pada Inul Daratista yang ditindas oleh Bang Haji Rhoma Irama dan masyarakat. Kita melihat Kearifan Lokal pada bagaimana Gus Dur sangat gigih menguatkan praktik-praktik tradisi Nusantara, sekosmopolitan apapun

pergaulannya. Kita melihat nilai luhur yang sama dalam paradigma Gus Dur dalam membumikan Islam dan menggerakkan tradisi Pesantren. Keksatriaan adalah istilah yang kita gunakan untuk meng­ gambarkan ciri-ciri karakter Gus Dur yang penuh integritas, kuat, berani tak mengenal takut, tak kenal lelah membela yang benar dan yang lemah; yang selama ini sering dipuja-puji. Dalam berbagai legenda, sifat-sifat inilah yang menjadi karakter ksatria. Dan tentu saja tak sulit untuk melihat bagaimana Keseder­ hanaan menjadi jalan hidup Gus Dur. Tak sekadar penampilan

fisiknya, teta pi juga cara berpikir substantif yang terabadikan dalam kalimat "Gitu Saja Kok Repot!" yang mengingatkan kita untuk

x


Kata Pengantar selalu kembali pada pokok persoalan sehingga segalanya menjadi sederhana. Buku Kiai Husein ini melengkapi kajian tentang nilai-nilai luhur Gus Dur ini pada titik yang paling penting: mengurai cahaya putih spiritualitas Gus Dur. Melalui buku ini, kita menemukan pembahasan yang menyeluruh asal-muasal semua nilai yang dihidupi Gus Dur, yang pada ujungnya menghidupi semua yang telah disentuhnya sepanjang perjalanannya di dunia. Sebuah buku yang wajib dibaca oleh mereka yang ingin memahami Gus Dur secara utuh, apalagi oleh mereka yang membaiat dirinya sendiri sebagai GUSDURian atau murid Gus Durdan ingin merawat warisan nilai, pemikiran, dan perjuangannya bagi dunia ini. Terima kasih untuk tulisan yang sangat indah ini, Kiai Husein. Sebuah hadiah istimewa untuk memperingati

iooo

hari

berpulangnya Gus Dur. Tak hanya sebagai sebuah perayaan, tetapi

sebagai momen untuk kembali mengambil inspirasi dari perjalanan

hidup Gus Dur. Semoga Allah Subhanallahu wa Ta'ala mengampuni segala dosanya, merahmatinya dengan sebesar-besar rahmat, menaikkan derajatnya setinggi-tingginya derajat, dan mendekap­ nya dalam cinta abadi berlipat kali cintanya pada kemanusiaan. Amin. Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.

Alissa Wahid

xi



SEPATAH KATA PENULIS

Puji dan syukur hanya untuk Allah, Tuhan seluruh umat manusia. Salam sejahtera dan keselamatan untuk Nabi terkasih dan untuk kita semua. Buku ini ditulis dalam rangka memperingati 1000 hari K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Ia sesungguhnya merupakan perluasan melalui penambahan di sana sini dari tulisan saya yang pernah dimuat dalam buku

Bertahta dalam Sanubari,

kumpulan

tulisan tentang Gus Dur yang diterbitkan pada 40 hari beliau pulang. Saya menulis epilog dalam buku itu. Begitu saya membaca ulang tulisan tersebut, sangatlah terasa bagi saya, betapa masih terlampau banyak yang tertinggal dari ingatan dan kenangan saya membaca dan bersama beliau dalam ruang dan waktu yang berbeda dan beragam. Sampai hari ini, telah lima belas tahun, saya masih berada di rumah beliau, bersama-sama menjalin persahabatan, kekeluarga­ an, dan keakraban dengan orang-orang terkasih beliau: lbu Shinta Nuriyah, Alissa, Yenny, Nita, dan Ney. Pada hari-hari tertentu saya masih makan, minum, bercanda, berceloteh dan berdiskusi, nonton film dalam Gala Premier, atau makan malam bersama mereka. Betapa banyak hari-hari yang saya lalui di rumah itu, baik ketika Gus Dur masih di sana maupun hari-hari sesudah beliau pindah rumah untuk selama-lamanya. Ini tentu saja banyak hal yang terekam dalam memori saya yang bisa ditulis.

xiii


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Kenangan itu begitu manis, dan saya selalu ingin menulis­ kannya lagi untuk menjadi dokumen pribadi saya sendiri, maupun mungkin saja bermanfaat bagi teman-teman, sahabat-sahabat, para pengagum, pecinta, dan para Gusdurian. Telah beratus buku tentang Gus Dur dengan seluruh dimensi­ nya ditulis dan dipublikasikan, termasuk dimensi sufismenya sebagaimana yang saya tulis dalam buku ini, oleh banyak orang. Meski demikian, saya ingin mengambil bagian lain dari dimensi ini yang mungkin saja masih tercecer. Melalui buku ini saya ingin menghubungkan sufisme Gus Dur dengan para sufi besar lain yang melegenda, menguasai, mempengaruhi atau menginspirasi pikiran dan kebudayaan manusia di dunia sampai hari ini, meski telah berlalu berjuta hari dan beribu tahun. Beberapa di antara mereka adalah Abu Yazid al-Bisthami, Husein Manshur al-Hallaj, Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Arabi, Jalal al-Din Rumi, lbnu Athaillah al­ Sakandari, dan lain-lain. Mereka adalah ikon-ikon dan para master dalam mistisisme Islam. Karya-karya mereka maupun cerita­ cerita tentang mereka masih dibaca dan didendangkan berjuta­ juta orang di banyak ruang dan waktu, dalam situasi bernuansa sakralitas yang melankolis maupun profan yang hingar-bingar. Saya juga ingin mengambil corak lain yang dalam bacaan saya belum terlalu banyak ditulis orang. I a adalah puisi, syair atau aforisme-aforisme yang relevan. Saya menuliskannya meningkahi narasi prosais. Ini adalah corak yang hampir selalu ada dalam tulisan para sufi dan para bijak-bestari besar. Mereka adalah manusia-manusia yang terns mencari dan mencari asal usul segala dan acapkali menemukan realitas-realitas dalam semesta yang menakjubkan, sekaligus menggelisahkan dan mendebarkan. Puncak dari segala ketakjuban mereka adalah keniscayaan Realitas Tunggal yang tak termaknai, tan kinaya apa pun. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Penemuan sekaligus pertemuan dengan Sang

xiv


Sepatah Kata Penulis Realitas seringkali tak bisa mereka ungkapkan dengan narasi­ narasi prosais. Bahkan memang sering tak masuk akal. Untuk kerja penulisan ini saya ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada istri saya tercinta, Lilik Nihayah Fuady yang telah memberikan waktu bagi saya yang semestinya saya berikan kepadanya. Terima kasih yang besar juga saya sampaikan kepada anak-anak saya: Hilyah Awliya, Layali Hilwah, Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najla Afaf Hammada, dan Fazla Muhammad. Mereka adalah buah hati yang selalu memberikan saya kegembiraan, kedamaian, dan daya spiritualitas untuk pengembaraan saya untuk waktu yang tak pasti. Semoga Tuhan senantiasa membimbing mereka

dalam menempuh

dan

menemukan kehidupan yang damai dan menjadi saleh. Semoga Allah memberkati mereka semua. Tidak lupa terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman Fahmina, para santri, dan para mahasiswa lnstitut Studi Islam Fahmina, tempat saya bisa berbagi cerita dan menumpahkan kegelisahan intelektual dan spiritualitas saya. Betapa saya selalu berharap mereka meneruskan cita-cita saya: membangun kehidupan bersama dalam cinta dan kasih. Ini adalah pesan utama yang saya terima dari Gus Dur. Terakhir ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu Shinta Nuriyah, orang yang sangat saya hormati dan yang selama 14 tahun menyambut saya dengan tulus serta memberi ruang kepada saya untuk mengenal Gus Dur dari dalam rumahnya. Demikian juga kepada putri-putri tercinta beliau: Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsah, Anita Hayatunnufus, Inayah Wulandari. Gus Dur mencintai mereka. Saya mencintai Gus Dur. Maka saya mencintai orang-orang kepada siapa Gus mencintainya. Secara khusus terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alissa, yang sudah berkenan memberikan pengantar untuk buku ini.

xv


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Kepada semua orang yang sudah saya sebut dari awal hingga akhir, semoga Allah menganugerahi mereka kebahagiaan dan keberkaban yang melimpab. Semoga mereka tetap setia dengan seluruh ketabahannya melanjutkan jejak langkah suami dan ayah mereka: bekerja bagi kemanusiaan.

Husein Muhammad

xvi


DAFTAR ISi

Pengantar Redaksi os v Kata Pengantar: Alissa Wahid os vii Sepatah Kata Penulis Daftar Isi

os

os

xiii

xvii

Prolog

GUS DUR, SANG IKON PECINTA MANUSIA os 1 #1 MATAHARI TELAH PULANG

os

11

#2 MEMPEREBUTKAN MAKNA GUS DUR os 19 #3 RELA

MENANGGUNG LUKA os 37

#4 PLURALISME GUS DUR, GAGASAN PARA SUFI os 51 #5 "SANG ZAHID" DI RUMAHNYA � 67

XVII


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

#6

SANG ZAHID SERING TAK PUNYA UANG ca 93 #7

ZUHUD DAN ZAHIDca 101 #8

MISTERI SANG ZAHID

ca

107

#9

TAREKAT DAN DOA-DOA GUS DUR ca 117 #10

ZIARAH GUS DUR ca 131 #11

DOA UNTUK SANG ZAHID

ca

141

Epilog

SANG PENGEMBARA: SELAMAT DATANG DAFfAR BACAAN

ca

TENTANG PENULIS

xviii

159 cs

163

ca

149


Prolog GUS DUR, SANG IKON PECINTA MANUS IA

Sulit untuk dapat disangkal bahwa Gus Dur adalah simbol dan ikon pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan sosial dalam dunia muslim, khususnya di Indonesia. Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi kepentingan ini. I a hadir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh mengagumkan, mencerahkan sekaligus menggairahkan bagi upaya-upaya pembaruan ini. Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam, dan terbuka. Gus Dur tidak hanya menguasai khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga pengetahuan sosial, budaya, seni, sastra, politik, dan agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primord ial­ isme. la membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka. Gus Dur bukan hanya memahami semuanya itu dengan sangat baik, melainkan juga mengapresiasi dengan sepenuh hati. Sebagai ikon, simbol atau kode, Gus Dur dimaknai secara beragam dan warna-warni. Selalu ada yang mengagumi dan dalam waktu yang sama ada pula yang mengecamnya, tetapi ada juga yang diam, tak paham dan kebingungan. Ikon selalu menyimpan kebesaran, dan Gus Dur adalah tokoh besar dalam dunia Islam. Namanya dikenal di banyak tempat di dunia. S e bagian

1


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur menempelkan namanya dalam karya arsitektur atau jalan raya. Seperti tokoh besar pada umumnya, pikiran dan gagasannya acap mengejutkan dan membingungkan banyak orang. I a dianggap sering menyampaikan pikiran-pikiran yang kontroversial dan inkonsisten. Teramat banyak para pengkaji Gus Dur, apalagi masyarakat pada umumnya, terperangkap dalam kegalauan yang luar biasa untuk bisa menangkap dan memahami pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan langkah-langkahnya yang kontroversial itu. Kegalauan ini tampaknya bukan hanya karena Gus Dur memiliki pandangan yang beragam, berwarna, dan berbeda-beda atas masalah yang sama. Inkonsistensinya juga bukan karena dia ingin memuaskan semua pihak dengan kualitas intelektual yang

beragam dan bertingkat, meskipun mungkin saja demikian. Alih­

alih dia punya hasrat ingin dikenal dan populer sebagaimana dikatakan dengan sinis oleh sebagian orang.

"Khalif Tu'raf',

berbedalah, engkau pasti populer, kata mereka. Gus Dur yang kontroversial itu boleh jadi lebih karena dia sendiri mengalami pergulatan intelektual dalam dirinya tanpa bisa dihentikan. Pikirannya terus saja berjalan, menjelajah, dan mengejar-ngejar setiap waktu dan dalam kadar yang sangat dinamis, sejalan dengan gerak kehidupan umat manusia. Situasi-situasi ini menghadirkan kenyataan-kenyataan yang berubah dan berkembang. Mungkin

juga karena Gus Dur, seolah tak sabar, ingin mempersembahkan pengetahuannya bagi perubahan sosial yang dikehendaki. Yakni, sebuah wujud sosial yang adil dan sejahtera, sebelum masyarakat siap menerimanya. Tidaklah mengherankan jika, karena itu, tidak sedikit orang sering menyebut pikiran dan gagasan Gus Dur melampaui zamannya. Banyak orang tidak memahami jalan pikirannya ketika ia disampaikan. Tetapi, dengan berjalannya waktu dan kehidupan makin cerdas, pikiran-pikiran itu baru dapat dipahami. Ini bagi saya memperlihatkan tanda seorang "hakim" (arif, bijak bestari), seorang sufi atau "wali' sebagaimana sembilan

2


Prolog wali dalam konteks Indonesia. Mengenai pelampauan pikirannya yang mendahului zaman ini, saya ingin mengutip syair seorang sufi besar yang nama dan pikirannya sering disebut Gus Dur, lbnu Athaillah al-Sakandari:

"Cahaya para bijak-bestari mendahului kata-katanya. Ketika batin telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai."' Inkonsistensi Gus Dur bagi saya adalah hanya pada isu-isu partikular, dan ini adalah situasi yang wajar dan selalu dihadapi oleh siapa saja. Imam al-Ghazali, misalnya, pemikir, teolog, ahli hukum, dan sufi besar yang sering disalahpahami dan dianggap atau bahkan dikecam banyak orang sebagai tokoh paling inkonsisten. Dia mengkritik dan menyerang para filosof di satu sisi dan mengapresiasi logika Aristotelian di sisi lain. Sekali lagi, hal ini terjadi karena selalu dia harus dalam situasi yang berubah­ ubah, audien yang berbeda-berbeda, dan hal-hal lain yang memaksanya untuk bicara dengan bijak. Akan tetapi, dia sungguh­ sungguh konsisten pada tujuannya, yaitu menghidupkan dunia kemanusiaan, melalui beragam mekanismenya: antara lain, penegakan Hak-Hak Asasi Manusia, Pluralisme, Demokrasi, dan puncaknya adalah Cinta.

Memikirkan Manusia Sebagaimana para sufi besar, Gus Dur adalah seorang yang selalu berkehendak hidupnya diabdikan sepenuhnya bagi manusia dan kemanusiaan. la tak memikirkan dirinya sendiri. Justru Gus Dur sepertinya tak peduli terhadap dirinya sendiri dan keluarga­ nya, meski dia tetap mencintai dan menyayangi mereka. Ia ' Baca: lbnu Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, No. 182.

3


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur memiliki sumber inspirasi bagi gagasan ini sebagaimana para sufi memilikinya. Salah satunya adalah teks suci kenabian (hadits Qudsi):

•Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, sebuah misteri.

Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk. Lalu berkat Aku mereka mengenal-Ku.• Makhluk dalam hadits ini tidak lain adalah manusia sebagai mikrokosmos, meski sesungguhnya i a juga mencakup makro­ kosmos, alam semesta. Dalam bahasa pesantren, makhluk adalah

Ma SiwaAllah (selain Tuhan). Hadits

ini ingin menyatakan bahwa

Tuhan mencintai manusia. Cinta Tuhan kepada manusia adalah untuk seluruh manusia di manapun ia berada dengan segala macam identitas primordial yang diciptakan-Nya sendiri. Meski manusia mendurhakai-Nya, Tuhan tetap saja memberi kegembira­ an dan menganugerahinya segala yang diperlukan bagi hidupnya.

Huwa Alladzi Khalaqa Lakum Mafi al-Ardhi Jami'an (Dialah Yang Menciptakan untuk kalian semua apa yang ada di bumi), kata al­ Qur'an. Maka dalam pikiran Gus Dur: mengapa manusia tidak mencintai sesamanya? Mengapa ada manusia yang tidak mencintai saudaranya dalam kemanusiaan? Manusia adalah juga makhluk Tuhan yang terhormat dan berharga, karena Dia menghormatinya dan menghargainya. Mengapa ada manusia tidak saling meng­ hormati dan menghargai sesamanya, hanya karena identitas­ identitasnya yang berbeda semata? Dia mengunggulkannya dari ciptaan-Nya yang lain. Mengapa ada manusia yang merendahkan manusia lainnya? Manusialah, karena itu semua, yang kemudian memperoleh mandat-Nya untuk mengatur kehidupan manusia di muka bumi. Manusia adalah

4

Khalifah Allah fi al-Ardh

(Mandataris Tuhan di


Prolog muka bumi). Manusialah penerima amanat atau mandat Tuhan untuk mengelola bumi manusia beserta segala keperluannya. Di atas landasan spiritualitas inilah Gus Dur berpikir, bergerak, dan bertindak. Ia selalu saja ingin agar manusia dihargai dan dihormati sebagaimana Tuhan menghormatinya. Sebagai makhluk Tuhan, manusia adalah setara di hadapan-Nya. Maka identitas-identitas asal yang diciptakan Tuhan dan label-label yang dilekatkan masyarakat kepada manusia; ras, warna kulit, jenis kelamin, asal­ usul, agama/keyakinan atau kepercayaan (bila orang ingin membedakannya), tempat tinggal, kebangsaan, dan lain-Iain, telah hilang dari perhatian dan penilaiannya. Perhatian dan penilaian Tuhan ditujukan hanya pada tingkah laku, hati nurani manusia, kesetiaan mereka kepada Tuhan, dan penghargaan mereka pada sesamanya. Gus Dur selalu berharap agar manusia senantiasa bersikap rendah hati. Manusia dan kemanusiaan adalah fokus pikiran dan perhatian utama Gus Dur, berhari-hari, siang dan malam dan pada setiap napas yang berhembus. Ia mencintai manusia. Untuk ini ia bekerja keras menerjemahkan prinsip-prinsip kemanusiaan ini, baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dalam sikap hidupnya sehari-hari di manapun dan kapanpun. Ia acapkali menyampaikan di hadapan publik bahwa manusia, apapun latar belakangnya wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Dan untuk hal ini ia sering

paling tidak menyebut lima hak dasar manusia yang harus

dilindungi dan diselamatkan itu. Hak-hak dasar perlindungan ini diadopsi Gus Dur dari teori Ushul Fiqh (Dasar-dasar Hukum) yang ditemukannya dalam kitab klasik pesantren. Ia populer disebut

Al-Kulliyyat al-Khams (Lima Prinsip Kemanusiaan Universal). Ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli hukum sekaligus sufi besar, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya

Al-Mustashfa min

'Ilm al-Ushul dan diurai panjang lebar oleh ahli hukum dari Granada yang terkenal, Abu Ishaq al-Syathibi dalam bukunya Al-

5


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

MuwafaqatJi Ushul al-Syari'ah. Lima prinsip dasar kemanusiaan tersebut adalah Hifzh al-Din (hak beragama/berkeyakinan), Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql (hak berpikir dan meng­ ekspresikannya), Hifz al-Irdh wa a.l-Nasl (hak atas kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-Mal (hak kepemilikan atas harta/benda). Hak-hak ini bersifat universal atau

al-'Alamiyyah.

Menurut Abed al-Jabiri, istilah Al-'Alamiyyyah

atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis kelamin Oaki-laki-perempuan), ras (warna kulit), status sosial (kaya-miskin), dan sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun (la yuatstsir

fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat), melintasi batas ruang dan waktu (ta'lu 'ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak setiap manusia karena dia melekat pada diri manusia ('ala al-Insan ayyan kana wa anna kana).• Dr. Abd Allah Darraz dalam pengantarnya mengatakan: "Ia adalah dasar-dasar pembangunan peradaban manusia pada semua aliran keagamaan yangjika tidak ada hal ini, dunia tidak akan stabil dan tidak membawa kebahagiaan di akhirat." Adalah menarik bahwa interpretasi Gus Dur atas lima prinsip di atas banyak berbeda dengan interpretasi konvensional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik, termasuk dua buku yang sudah disebut. Jika interpretasi konvensional tampak memperlihatkan makna-makna eksklu sivitasnya, Gus Dur justru memaknainya secara lebih luas, inklusif, dan kontekstual. Ia tak selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif, meski tetap menghargainya dan mengadopsinya untuk mendukung sebagian pikiran-pikirannya. Dalam tafsir-tafsir konvensional, hak

' Mohammad Abed al-Jabiri, Al-Dimuqrathiyyah wa Huquq a/-/nsan, cet. ke-2, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-'Arabiyyah, 1997), him. 145-146.

6


Prolog perlindungan atas agama/keyakinan

(hijzh

al-din), misalnya,

memiliki konsekuensi kewajiban jihad, larangan

murtad (pindah

agama) dan bid'ah. Jihad dalam terma konvensional hampir selalu dimaknai perang militeristik dengan seluruh agresivitasnya. Gus Dur justru memaknainya dengan sebaliknya. Untuk tema ini ia memperjuangkan sistem sosial antikekerasan, penghapusan hukuman mati, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan meng­ hargai inovasi-inovasi dan kreativitas kebudayaan yang beragam. Komitmen Gus Dur untuk hal ini ditunjukkan, antara lain dengan keputusannya memberikan hak hidup agama Kong Hu Cu. Ia juga tidak memaknai Jihad sebagai perang militeristik, tetapi sebuah perjuangan dalam maknanya yang luas. Keberaniannya mengusul­ kan pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas menunjukkan atas perjuangan visi tersebut. Meski usulan ini mengundang kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan Gus Dur dituduh sebagai orang yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, ia tetap teguh dengan pendiriannya. Dalam wacana konvensional tentang

hifzh

al-nafs (hak hidup/life

right),

diinterpretasikan antara lain sebagai kewajiban Qisas (hukuman yang sama), sementara Gus Dur justru menentang hukuman mati. Tentang

hifzh

al-'aql dimaknai secara konvensional memiliki

konsekuensi larangan mengonsumsi minuman keras dan hal-hal yang memabukkan serta segala yang merusak aka!, Gus Dur justru menerjemahkannya lebih jauh dari itu dan lebih mendasar. Ia memaknainya sebagai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi, hak berorganisasi, dan sebagainya. Gus Dur juga satu-satunya orang yang membela

Tabloid Monitor

ketika

dibredel pemerintah, gara-gara tulisan Arswendo Atmowiloto yang dianggap banyak orang menghina Nabi Muhammad Saw. Bagi Gus Dur, negara tidak berhak ikut campur dalam pilihan-pilihan masyarakat atas suatu ideologi atau pikiran/pendapat. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Salman Rushdie yang menulis buku

7


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur paling kontroversial:

The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan).

Baginya buku ini adalah sebuah buku novel yang bagus, meski dari segi isi dia tak setuju. Dia ingin mengajak orang untuk membaca karya sastra ini dengan jernih. "Mari kita lihat lebih Iapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca

statement.

Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju," ungkap Gus Dur. "Dengan cara itulah seharusnya kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang murtad karena membaca buku

Satanic Verses."

Gus Dur memang keberatan bila hanya karena

soal ini sebuah buku dan setiap karya intelektual harus dilarang oleh negara. Ketika masih banyak ulama menerjemahkan

hifzh al-nasl

sekadar anjuran menikah, berketurunan, melarang perzinahan dan proteksi ketat atas tingkah laku perempuan serta ketabuan atas hak-hak seksualitas mereka, Gus Dur memaknainya secara lebih luas dan mendalam. Hifzh al-nasl baginya bermakna perlindungan atas hak-hak seksualitas dan atas kesehatan reproduksi. Ia menerima dengan tangan terbuka orang semacam Dorce yang harus berganti kelamin dan Inul Daratista yang lihai menggoyang­ goyangkan bagian tubuhnya. Ia juga bersedia menjadi penasehat kelompok dengan orientasi seksual yang tidak laziin, tidak umum, tidak

mainstream.

Melalui interpretasi-interpretasi Gus Dur yang

genuine,

mendasar, dan kontekstual sebagaimana contoh di atas, tampak sekali bagaimana ia dan betapa komitmennya dalam memper­ juangkan terwujudnya penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Bagi Gus Dur prinsip-prinsip kemanusiaan universal atau hak-hak asasi manusia tersebut sejalan dengan dan tidak lain adalah visi agama-agama, terutama Islam. Dari basis pikiran-pikiran ini, lalu mengalirlah gagasan-gagasan Gus Dur yang lain: Pluralisme, Toleransi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

8


Prolog tema-tema kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu, Pancasila dan Konstitusi Negara Republik Indonesia yang di dalamnya mengandung semua isme dalam pandangannya adalah kompetibel dengan Islam. Gus Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan pikirannya memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Perjuangan itu dilakukannya dengan setulus hati. Baginya nilai-nilai tersebut adalah akar bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip funda­ mental Islam: Tauhid, Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur adalah seorang

Muwahhid-Mukhlish

(seorang yang mengesakan

Tuhan dengan setulus-tulusnya). Jika sufi, martir-legendaris, al­ Hallaj berteriak: "Akulah Kebenaran," maka Gus Dur mungkin bilang: "Akulah Kemanusiaan." Ya, Gus Dur adalah sang pecinta manusia sebagai manusia dengan seluruh makna kemanusiaannya. Hari ini dan seterusnya, ketika relasi antarmanusia di negeri ini sedang memasuki sirkuit kemelut, bagai benang kusut dan mencemaskan, kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan lahirnya orang-orang dan pemimpin-pemimpin seperti Gus Dur. Meski ia harus menanggung duka Iara karena pikiran dan aksi­ aksinya yang mengundang kecemasan, kegeraman, dan kebencian sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang di negerinya, ia tetap berjalan dengan tegap dan tenang disertai kewibawaan yang penuh dan kharismanya yang mengagumkan. Mereka boleh saja dan memang berhak untuk tidak setuju dengan eksistensi Gus Dur, namun sejarahlah yang akan mencatat dan menyampaikan kabarnya.

9


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Saya selalu mengingat kata-kata pemikir al-Qur'an dari Mesir, Dr. Amin al-KhuJi:3

•rerkad a ng sebu ah pem i kiran d i angga p sebagai kekafiran, diharamkan dan diperangi, tetapi ia kemudian seiring dengan gerak zaman pemikiran itu menjadi mazhab, keyakinan dominan, dan gagasan perbaikan di mana dengannya kehidupan terus mela ngka h ke depan.•• Manakala Gus Dur sudah pergi dan tak lagi bersama kita secara fisikal, maka kita tetap mengharapkan lahirnya orang-orang yang meneruskan semangat dan ruhnya. Ruh Gus Dur tetap hidup. Ia ada di mana-mana, dalam tulisan-tulisannya sendiri, tulisan­ tulisan orang lain yang menerjemahkannya, dalam pikiran para pengagumnya maupun dalam cerita-cerita teman-teman dan murid-muridnya yang setia dan mengerti.

' Amin al-Khuli adalah Amin lbn Ibrahim Abdul Baqi' lbn Amir lbn Ismail lbn Yusuf al-Khuli. Lahir 1895 d i Mesir. la dikenal sebagai pembaru dalam kajian metodologi tafsir al-Qur'an. Al-Khuli, suami ahli tafsir perempuan, Aisyah bint al-Syathi, adalah orang kedua yang diutus Universitas al-Azhar, Kairo, mengikuti seminar internasional tentang agama-agama di Brussel. Namanya dikenal sebagai pelopor kajian tfsir dengan pendekatan sastra (al-Manhaj al-Adaby). Karya-karyanya antara lain: Fi al-Adab al-Mishri dan Fann al-Qawl dan Manahij al-Tajdid fi an Nahwi wa al Balaghgha wa al Tafsir wa al Adab. la meningga l tahun 1 966.

• Amin al-Khuli, Manah ij al-Tajdid fi an Nahwi wa al Balaghgha wa al Tafsir wa al Adab, (Ka i ro: Hai'ah Mishriyyah al-'Ammah I i al-Kitab, Kairo, 1995).

10


#1

MATAHARI TELAH P ULANG

LangitDesemberyangMurung Pukul 19.00, satu hari menjelang tahun 2009 berganti, HP tiba-tiba berdering dan bergetar-getar, mengganggu makan malam gratis saya di rumah makan "Jepun", di bilangan kampus IAIN Syeikh Nurjati, Cirebon, milik Nur, sahabat saya. Jay, wartawan Koran

Sindo

mengonfimasi kabar mengejutkan.

"Bagaimana Gus Dur, aku dengar beliau wafat," katanya tegang. Dengan dada berdegup, saya segera menghubungi A.W. Maryanto, teman yang selalu mendampingi Gus Dur di rumah sakit. Jawabannya tak meyakinkan. Katanya, "Aku baru saja istirahat dari rumah sakit, dan sekarang sedang makan. Pukul 17.00 tadi, 18 orang dokter khusus telah memeriksa kesehatan Bapak dan beliau sudah membaik." Tetapi saya penasaran. Yenny, putri kedua Gus Dur, saya kontak. "Bapak wafat, Mbak Yenny di dalam," suara Inayah, putri bungsunya, lirih bergetar, tersekat dan singkat. Dan saya terkulai lemas. Langit 30 Desember 2009 tiba-tiba menjadi murung. Saya segera SMS Ibu Shinta, istri tercinta Gus Dur. "Ibu, saya sangat menyesal tidak berada di samping Bapak, seperti sebelumnya, mohon maaf." Ya seperti sebelumnya ketika Gus Dur beberapa kali berada di Rumah Sakit Cipto Mangun­ kusumo, saya menjenguknya sekaligus mendoakan kesembuhan­ nya dengan segera. Dan saya merasa mendapat kehormatan, ketika

11


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur pada suatu saat beliau meminta saya berdoa bagi kesehatannya. Manakala saya berdoa di hadapannya, dengan tetap berbaring di tempatnya, didampingi Ibu Shinta, istrinya yang setia dan orang­ orang yang hadir, Gus Dur dan mereka mengamininya. "Kita barns berangkat ke Jakarta sekarang juga," kata saya kepada istri saya, Lilik Nihayah Fuadi. Tanpa berkata apa-apa, dia segera berpakaian dan membawa barang-barang seperlunya. Sepanjang jalan dari Cirebon ke Ciganjur, SMS teman-teman dari segala macam identitas diri; kiai, santri, abangan, pendeta, romo, bhikku, penganut Konghuchu dan Ahmadiyah, terus berhamburan masuk ke HP saya. Mereka menyatakan duka nestapa teramat dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang dicintainya. Saya tak mengerti mengapa mereka mengirim SMS, selain ingin mengabari saya tentang wafatnya Gus Dur dan mendoakan bagi orang yang mereka kagumi dan keluarga yang ditinggalkannya. Saya membalasnya singkat: "Dia yang selalu membagi kegembi­ raan, cinta, dan harapan kepada bangsa, negara, dan mereka yang tak berdaya, telah kembali kepada Kekasihnya, dalam damai abadi." Perjalanan Cirebon-Jakarta terasa begitu amat sangat lambat, meski tak ada aral melintang; antrian kendaraan yang panjang akibat truk yang berhenti di tengah jalan atau perbaikan jalan Pantura yang hampir sepanjang tahun berlubang-lubang. Dini hari yang sejuk, pukul 03.00, ketika saya tiba di mulut jalan Warung Sila, saya melihat sepanjang jalan sampai rumah duka, karangan bunga berwarna-warni, tanda duka cita, berjejer tak berjarak, berserak dan bertumpuk, bagi "Presiden ke-4", bukan "Mantan Presiden". Saya tak bisa menghitung jumlahnya. Suasana duka sangat terasa di jalan itu, meski sudah lebih lengang daripada jam­ jam sebelumnya. "Beberapa jam sebelumnya jalan ini macet total. Ratusan kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak. Stagnan," ujar teman yang saya temui di situ. Semuanya sengaja datang ke

12


Matahari telah Pulang Ciganjur, ke rumah Gus Dur, menyambut kedatangannya dan menyampaikan ta'ziyah kepada keluarganya.

Ta'ziyah adalah kata

Arab yang mengandung arti ucapan rasa duka cita dan mengharap ketabahan, kesabaran, dan ketulusan bagi keluarga yang ditinggalkan. Ketika saya tiba di pintu masuk, ratusan orang masih berjaga di ruang-ruang di sekitar rumah. Masjid al-Munawwaroh, tempat Gus Dur mengaji kitab al-Hikam (Kearifan-kearifan), karya lbnu Athaillah dari Iskandariah, seorang sufi besar, dan kitab­ kitab yang lain, masih gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci

al­

Qur'an, khususnya Surat Yasin. Saya segera masuk rumah. Jenasah sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu putih yang tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan demikian agar para pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran entah untuk yang keberapa puluh kali, memimpin shalat jenasah,

"Kullu Nafsin Dzaiqah al-Maut. Wa Innama Tuwaffauna Ujurakum Yawm al-Qiyamah. Fa Man Zuhziha 'an al-Nar Fa Qad Faaza. Wa Ma al-Hayah Illa Mata'al-Ghurur" (Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami tahlil dan berdoa. Dan saya berucap lirih:

kematian.

Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah

disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan, {Q.S. al-Baqarah [2]:185}). Di hadapan tubuh yang masih utuh itu, saya tiba-tiba saja teringat kata-kata bijak dalam sebuah buku tasawuf: "Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasi diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan. Maka

jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata ('Alam al­

Musyahadah)

di mana para bijak-bestari tinggal."

13


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Ya, itulah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang disayangi dan dicintainya. Ia yang telah membagi cinta kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya, dan tanpa gantungan. Ia yang bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ia yang tak pemah peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia kepadanya. Ia yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Ia yang tak pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran, cemooh, dan sumpah serapah orang kepadanya. Begitu usai, saya masuk ke bagian dalam rumah yang kamar­ kamarnya sudah lama saya hapal, baik yang lama maupun yang sekarang ditempati. Mencari Ibu Shinta. Thu ternyata sudah di dalam kamarnya yang tampak remang, didampingi tiga putriya, tentu dalam rinai tangis yang mengiris. Saya tak bisa menemui beliau untuk ta'ziyah, membesarkan hatinya dengan kesabaran dan ketulusan melepas suami tercintanya, orang yang selalu bersamanya dalam suka maupun duka selama berpuluh tahun beribu hari. Begitu cara berta'ziyah yang saya terima dari pesantren. Saya hanya bertemu Lissa, putri pertamanya dan menyampaikan ta'ziyah itu. Matanya masih tampak Iebam dengan wajah sendu, tak bergairah, meski tetap bisa senyum. Saya diminta mengantarnya untuk melihat ayahnya, membuka tirai yang menutup wajahnya, Ialu membaca tahlil dan berdoa di depan tubuhnya yang tak Iagi bisa bergerak-gerak. Lissa tertunduk lesu dan terisak-isak lirih. Kami melihat dengan jelas wajah Gus Dur, sungguh, tampak ceria, tenang, dan teduh. "Wahai jiwa yang

tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan diridhai­ Nya. Amin." Ayat suci ini saya baca berulang.

14


Matahari telah Pulang Masih dalam posisi berdiri sambil menunduk, saya segera teringat kembali syair yang acapkali ditembangkan Gus Dur:

Ketika ibu melahirkanmu, Wahai anak cucu Adam Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu Menyambutmu dengan riang Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya, mereka menangis tersedu-sedu Sedang engkau pulang sendiri Dengan senyuman menawan

Seperti bunyi syair di atas, ribuan orang di seluruh negeri, malam itu, berduka dan menangis tersedu-sedu. Sebagian histeris, meski tak dibolehkan Nabi, dan sebagian lagi diam, membisu, dengan wajah lesu, tak bergairah. Sementara Gus Dur memang pulang sendirian dengan riang. Beliau akan segera memasuki gerbang rumah abadi yang damai. Usai shalat subuh dan ketika matahari beranjak naik, jenasah dibawa dan diantar dengan kehormatan kenegaraan, menuju Bandara Halim Perdana Kusuma

dan terus ke rumah asal Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng,

Jombang, Jawa Timur. Di sana jenasah akan diistirahkan untuk selama-lamanya di samping ayah; K.H. Wahid Hasyim dan

kakeknya; Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari. Para santri biasa menyebut Gus Dur, ayah dan kakeknya yang amat dihormati dengan

"al-Karim Ibn al-Karim Ibn al-Karim" (Orang yang mulia

putra orang yang mulia putra orang yang mulia). Kaum bangsawan

15


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Jawa mungkin menyebutnya: "Gus Dur adalah seorang darah biru putra seorang darah biru putra seorang darah biru." Ketika matahari pagi telah bertengger sedepa, jenasah yang sudah dibungkus rapi dengan rangkaian bunga khas diletakkan di atasnya, itu dibawa ke luar rumah ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono datang. Pasukan segera disiapkan dan penghormatan kenegaraan dilakukan di bawah komando presiden. Seluruh hadirian menundukkan wajahnya. lbu Shinta dan keempat anaknya mengiringi di belakang peti jenasah dengan wajah tanpa gairah. Saya terlambat mendaftar untuk ikut bersama rombongan naik pesawat menuju Surabaya lalu ke Jombang. Maka saya bersama ratusan orang lainnya yang menunggu dengan setia keberangkatan jenasah hanya melepaskan beliau dari depan rumah duka itu sambil terus berdoa untuk keselamatan jenasah dan para pengantarnya sampai tempat tujuan. Langit biru bening dilapisi awan putih berarak, bergerak pelan-pelan mengantar pesawat yang membawa jasad Gus Dur. Di Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, tempat peristi­ rahatannya yang terakhir, beberapa saat lagi, sebelum tubuhnya diturunkan ke bumi, Gus Dur mungkin masih membagi kegem­ biraan dan pesan kepada para pengantarnya untuk tidak menangisi kepulangannya, seperti pesan Maulana Jalaluddin Rumi.1

' Jalal a-Din Rumi, lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 M. la wafat 1 6 Desember 1273 di Konya, Anatolia, Turki. Mawlana Rumi adalah seorang penyair sufi terbesar sepanjang sejarah. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. lbunya berasal dari keluarga Kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang syaikh terkenal di Balkh. Rumi menu I is sejumlah karya sastra; puisi dan prosa. Antara lain: Matsnawi, kumpulan puisi, terdiri dari 26 ribu bait. lni karya terbesarnya. Karya lainnya: Diwan Syams-i Tabrizi, Ruba'iyyat, dan Fihi Ma Fihi yang dalam bahasa lnggris diartikan sebagai 'Discourses•. lni karya prosa Rumi yang terpenting.

16


Matahari telah Pulang

Jangan menangis: •Aduhai kenapa pergi!• Dalam pemakamanku Bagiku inilah pertemuan yang bahagial ,

, J'-'• !I

.; ��

,. >•

"J _,ri �lJ .:;;..; 1 ,.

!�_µ.!.:.l\ J10'i1 ;Wt; Jangan katakan, •selamat tinggai•

Ketika aku dimasukkan ke liang lahat ltu adalah tirai rahmat yang abadi!

Kau telah melihat tubuhku diturunkan Tapi Iihatlah, sekarang ia naik ke puncak cakrawala. (091 1) Di lain tempat Rumi mengatakan: Bila datang ke makamku Untuk mengunjungiku Jangan datang tanpa genderang Karena pada perjamuan Tuhan,

Orang berduka tidak diberi tempat Saya merenung-renung kata-kata Rumi itu. Mengapa orang tak boleh menangisi kepergian seorang kekasih? Siapapun dan di

manapun akan mengatakan bahwa perpisahan, kepergian, dan lambaian tangan kekasih akan selalu seperti tak punya perasan,

17


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur menyakitkan dan menitipkan duka. Akan tetapi, saya segera menemukan pelajaran dari banyak teks suci bahwa kematian bukanlah kematian. Ia adalah sekadar pindah atau meninggalkan tempat saja menuju ke tempat lain. Kata orang di dunia Barat yang beriman:

"Death is the gate of

life" (Kematian adalah pintu gerbang kehidupan). Ini mengingatkan kita pada kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sahabat dan pengganti Nabi yang ke-4:

•Manusia di dunia ini sesungguhnya sedang tidur. Manakala mati, mereka bangun." Dan saya begitu yakin, Gus Dur akan mengatakan sebagaimana kata-kata yang diucapkan sang martir rindu Tuhan, Husain Manshur al-Hallaj, menjelang kematiannya yang mengenaskan:2

. .... Ju,.j\ ;,.;. .11.. � ,{.�t ....J,, tifl\ ; .,, "f ,;

11.. l) '-!.• /.;.-:..; J$'

;

.

•o, Tuhanku, aku kini telah berada di Rumah ldaman. Aku

melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan.•

•cukuplah kematian jadi pintu permenungan."

2

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang sufi besar. Lahir di kota Thur di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. la terkenal karena kata-katanya: •Ana Al-Haqq• (Akulah Kebenaran). Ucapan ini dipahami mayoritas masyarakat muslim sebagai "Pantheisme•. Akibatnya, ia dieksekusi mati, pada tanggal 27 Maret 922 M. Para pengagumnya menyebut dia sebagai "Syahid al-lsyq al-llahi", Sang Martir Rindu Tuhan. Di Indonesia, paham ini dikembangkan oleh SyaikhSiti Jenar, dan ia pada akhirnya mengalami akhir hayat sebagaimana Al·Hallaj, berdasarkan vonis para ulama.

18


#2

MEMPEREBUT KAN MAKNA GUS DUR

Gus Dur, nama yang akan dikenang rakyat Indonesia berhari­ hari, berbulan-bulan dan bertahun tahun dan untuk rentang waktu yang panjang. Boleh jadi ia akan menjadi ikon dan legenda dalam sejarah Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini. Beberapa orang meramalkan Gus Dur untuk satu atau dua abad kemudian akan berubah menjadi pribadi yang dimitoskan. Kuburnya akan dikunjungi banyak orang setiap hari, seperti para Walisanga.

Mungkin ini pandangan yang berlebihan bagi manusia yang hidup

hari ini, tetapi masa depan yang panjang adalah kemungkinan­ kemungkinan yang tak terpikirkan. Ketika pikiran-pikirannya ditulis sebagai babad, sejarah hidupnya didongengkan kepada anak-anak dan pesan-pesannya dipahat di mana-mana, serta ketika puisi-puisinya disenandungkan di surau-surau, ia sangat mungkin menjadi sarat makna mitis, menjadi Sang Legenda. Ramalan di atas bukan tanpa alasan. Tanda-tandanya telah nampak. Lihatlah, hari ketika ia wafat. Puji-pujian dan kekaguman­ kekaguman kepadanya mengalir begitu deras dari berbagai sudut, pojok, pusat lingkaran, dan pinggir sosial yang tak terjamah oleh tangan kekuasaan. Bunga warna-wami yang wangi dan tertata rapi menyebar dan berhamburan ke dan di setiap jalan yang dilaluinya, menumpuk bagai di taman bunga, lalu sebagian daripadanya ditebarkan di atas tanah, pusara, tempat istirahnya yang terakhir

19


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur dan abadi. Sangatlah terasa dan terlihat dengan kasat mata, pujian dan kekaguman yang disampaikan orang ketika Gus Dur pulang begitu besar, tak terbayangkan dan melampaui kematian orang besar siapapun di negeri ini. Ribuan orang di berbagai kota dan desa menangis tersedu-sedu, pada hari ditinggal Gus Dur dan hari­ hari sesudahnya. Mereka berduka sambil komat-kamit memanjat­ kan doa ampunan dan rahmat baginya. Lihatlah, ribuan para peziarah, perempuan dan laki-laki, tua, muda, dan anak-anak, dari berbagai desa dan kota datang ke tempat peristirahatan terakhir­ nya di Tebuireng. Latar pesantren dan masjid di sana tak lagi menampungnya. Sekitar 40 ribu orang hadir di sana. Masjid-masjid di seluruh pelosok negeri segera menyelenggarakan shalat ghaib, membaca ayat-ayat suci al-Qur'an, Surat Yasin dan Tahlil. Mereka berdoa agar Tuhan memaafkan kesalahan dan dosanya serta memohon agar beliau ditempatkan di Pangkuan-Nya dalam dekapan kasih yang menghangatkan dan mengalirkan kedamaian. Pahala bacaan-bacaan suci itu dihadiahkan atau dimohonkan kepada Tuhan untuk beliau. Tuhan Maha Mendengar, Maha Kasih, dan Maha Mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Gereja­ gereja mendentangkan loncengnya, untuk menyelenggarakan ritual dan doa khusus bagi Gus Dur. Boleh jadi mereka juga membaca kitab suci: lnjil. Kuil-kuil, Sinagog-sinagog, Vihara­ vihara, Pura-pura, Klenteng-klenteng, dan tempat-tempat penyembahan kepada Tuhan yang lain, apapun namanya, juga menyelenggarakan ritual, mantra, dan doa untuknya. Kata mereka, Gus Dur adalah orang suci, Sang Santo. Ketika kaum Kristiani, umat Budha, umat Hindu atau jama'at Ahmadiyah, atau berbagai aliran kepercayaan atau yang lain ditanya tentang Gus Dur, mereka akan mengatakan: "Apa yang dikatakan dan dijalani Gus Dur, itulah yang difirmankan Yesus, diajarkan Moses, dituturkan Sang Budha,

disabdakan dalam Baghawad Gita, disabdakan dalam Tipitaka dan diceramahkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Melalui beliau

20


Memperebutkan Makna Gus Dur

kata-kata Yesus, Moses (Nabi Musa), Budha Gautama, Gita, dan Hazrat Mirza, menjadi hidup kembali." Llhatlah, latar Tugu Proklamasi, di bilangan Menteng, Jakarta

Pusat, sore itu, 31 Desember, tiba-tiba temaram dan memper­

lihatkan wajah sendu. Langit jingga segera memasuki kamar berganti baju hitam. Tak ada lagi keriangan sebagaimana sore­ sore sebelumnya. Bahkan langit itu kemudian menurunkan hujan rinik-rintik, t mengiringi para pecinta Gus Dur yang datang satu­ satu ke tempat itu. Tetesan-tetesan air hujan itu tak mampu menghalangi mereka untuk hadir di sana. Di saku mereka terselip

lilin yang kelak siap dinyalakan. Di beberapa sudut ada spanduk

bertuliskan "Sejuta Lilin Duka Llntas Iman untuk Gus Dur."

Mereka yang hadir malam itu mengenakan baju keyakinan yang berwarna-warni, bagai pelangi, indah sekali. Para tokoh itu di antaranya Ulil Abshar Abdalla, Djohan Efendi, Pendeta Albertus

Pati, Romo Beni Susetya, BM Billah, Todung Mulya Lubis, Syafii Anwar, dan Sudhamek. Ketika kemudian lilin-lilin dinyalakan satu­ satu, latar Tugu itu kini berubah dan berganti wajah, menjadi terang benderang, meski hujan saja masih turun. Semua yang hadir itu menunduk, berdoa ke Hadirat Yang Maha Esa, dengan nama, sebutan-Nya, dan bahasa yang berbeda-beda, untuk beliau; Gus Dur. Orang-orang yang paling rasional dan mungkin tak pernah taat dalam ritual-ritual agama atau kepercayaan, tiba-tiba hanyut

dalam emosi melankoli tak terkendali, termangu, dan menunduk

begitu khusyuk. Logika rasional tiba-tiba membeku di hadapan

realitas kematian bapak bangsa itu. Fakta kematian manusia memang membingungkan dan mencemaskan para filsuf. Di tempat lain, di Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, ketika matahari merekah cerah, lihatlah, para bikhu (bhiksu) dan bhikuni dengan pakaian khas mereka, kuning kunyit tua, ber­ simpuh di depan tanah liat tempat Gus Dur dibaringkan dan diistirahatkan, sambil menunduk dan menggumamkan doa-doa 21


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur dan puja-puji kudus. Saya dan mungkin kita, tak pernah menyaksikan pemandangan indah dan mengharukan seperti ini di manapun di negeri ini. Lihatlah, bendera merah putih berkibar setengah tiang selama tujuh hari, memberi hormat kepadanya. Para pemimpin bangsa dari berbagai belahan dunia segera menyampaikan belasungkawa, terima kasih, dan harapan-harapan agar cita-cita Gus Dur diteruskan oleh siapa saja yang masih hidup. Doa-doa, wirid-wirid, zikir-zikir, dan mantra-mantra mereka bergemuruh berhari-hari memenuhi ruang maya, menembus langit demi langit biru bening sampai ujung tanpa batas. Bukan hanya Yusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, atau beberapa tokoh masyarakat, tapijuga beribu-ribu orang, yang bersaksi bahwa: "Sepanjang sejarah bangsa ini tak ada orang yang kematiannya diantarkan dengan kehormatan yang penuh dan didoakan oleh orang dengan beragam identitas dan dalam jumlah yang begitu massif, kolosal, kecuali beliau: Abdurrahman Wahid, Gus Dur." Bagaimana kita bisa memahami fenomena kepulangan Gus Dur seperti itu? Suara-suara apakah gerangan yang membisikkan ke telinga dan menggerakkan hati nurani beribu bahkan berjuta orang untuk mengantar kepulangannya dan berziarah di pusaranya yang bersahaja itu? Siapakah gerangan yang merasuk dan menyentuh relung hati beribu orang termasuk para Pendeta, Romo, Kardinal, Bhiku-Bhikuni, para pengikut Buddha, penganut Kong Hu Cu, Ahmadi, Bahai, para pengamal dan penghayat kebatinan-kepercayaan, dan lain-lain, sehingga mereka menangisi kepulangan Gus Dur? Akal manakah yang sanggup menjelaskan fenomena kepiluan, kerinduan, dan mabuk kepayang seperti fenomena kepiluan terhadap orang besar yang satu ini? Tak ada jawaban rasional dan logis. la mungkin hanya bisa dijelaskan oleh para bijak-bestari, para sufi, dan orang-orang yang hatinya bening

dan memancarkan cahaya Ketuhanan.

22


Memperebutkan Makna Gus Our

Prosesi pemakaman Gus Dur dengan seluruh fenomenanya yang menggetarkan seperti itu mengingatkan saya pada seorang sufi-penyair terbesar sepanjang masa, dari Konya, Turki: Maulana Jalal al-Din Rumi. Begitu Rumi wafat, 16 Desember 1273, semua penduduk Konya larut dalam duka, nestapa yang panjang. Mereka menyelenggarakan ritual, menyenandungkan suasana hati yang hancur luluh berkeping-keping, menundukkan kepala sambil mulutnya komat-kamit berdoa baginya dengan penuh khidmat, berhari-hari selama 40 hari penuh. Jalan-jalan padat dalam suasana hiruk-pikuk yang luar biasa, konon, "bagai suasana Harl Kebangkitan." Orang-orang Muslim, Kristen, Yahudi dan sekte­ sekte keagamaan yang lain bergabung untuk memberikan penghormatan terakhir pada upacara pemakamannya. Kucing kesayangan Maulana Rumi ikut bersedih. Kucing itu tak mau makan dan minum sejak Maulana wafat. Akhirnya kucing itu mati seminggu kemudian, dan dimakamkan oleh Malika Khatun, putri Maulana dari istri kedua, Kira Khatun, di sebelah makam Maulana Rumi. Cerita kucing yang mati bersama Maulana Rumi ini juga pernah saya dengar di ruang dalam rumah ketika menunggu jenasah Gus Dur diberangkatkan dari rumahnya di Ciganjur. Saya ingin mencoba menjawab fenomena dahsyat di atas, dalam perspektif sufisme, yang saya mengerti, meski orang tak mempercayainya atau menganggapnya sebagai "bid'ah" atau "khurafat" (penyimpangan dalam agama). Saya ingin mengutip kata-kata Tuhan dalam bahasa Nabi Saw. (hadits Qudsi):

t ' .• ,,. . ,,..

,__..

'

.,J .:,,I

::..

oJI .

'

i

· - · , l��I\ · j•· ,� 'f ' ' .

?:

;J . ',. w .•·.,o'

,,$

· '.)w ' �' ··•f.

�,,

..

. . tt-t •; '�

�· '

JI

;

. '"� , , .. .

. ' ''I ·1..:�) J ,o

23


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

•sungguh, jika Tuhan mencintai hamba-Nya, Dia memanggil Jibril. Tuhan mengatakan: •Aku mencintai fulan, maka cintailah dia. Lalu Jibril mencintainya. jibril memanggil penghuni langit. Kepada mereka Jibril mengatakan: "Tuhan mencintai fulan, maka cintailah dia. Lalu para penghuni langit mencintainya. Maka dia dicintai para penghuni bumi."' Atau seperti kata Nabi Muhammad Saw.:

•Aduhai, betapa bahagia mereka yang berhati tuIus, mereka yang

ketika hadir tak dikenal (tak dimengerti), manakala pergi mereka dicari ke sana kemari, mereka itulah obor-obor yang menerangi jalan lurus. Melalui mereka, tampak terang benderang segala fitnah orang-orang zalim," (H.R. Al-Baihaqi).

Ya, gelombang manusia yang tak berhenti bergerak menziarahi dan mendoakan Gus Dur, adalah karena Tuhan mencintainya, karena Gus Dur mencintai lebih <lulu. Mencintai

Tuhan adalah mencintai semua dan segala ciptaan-Nya. Pikiran­ pikiran dan perjalanan hidup Gus Dur adalah kerinduan-kerinduan kepada Tuhan dan kepada seluruh ciptaan-Nya. Maka sangatlah wajar jika Dialah yang membimbingnya. Ketika Dia membimbing­ nya, maka mereka (manusia) pun mencintainya. Ini karena Gus Dur menumpahkan cintanya kepada mereka lebih dahulu dengan seluruh hainya. t Jika sudah demikian, maka getaran-getaran cinta itu kemudian menebar bagai cahaya, menerobos dan menembus relung-relung jiwa mereka. Ya, Gus Dur adalah juga cahaya. I a memancarkan gelombang-gelombang elektrik halus dengan getarannya yang begitu kuat, lalu menjalari partikel-partikel ruh

' Imam Malik bin Anas, Al-Muwatha', him. 209.

24


Memperebutkan Makna Gus Our orang-orang yang mendengar atau melihatnya. Gelombang cahaya yang dijalarkan dari jiwa yang bening akan berpendar, menyeruak dan meresap ke ruang-ruang gelap, lalu menjadi terang benderang. Segera sesudah itu, begitu reflektif dan tanpa diminta, ribuan orang berebut memberi makna padanya. Gus Dur adalah "Ulama Besar'', "Guru Bangsa", "Bapak Pluralisme", "Bapak Demokrasi", "Sang Humanis Sejati", "Pelindung kaum Minoritas'', Pembela kaum Tertindas", "Sang Pembebas", "Negarawan Paripurna", "Bapak Bhineka Tunggal Ika", "Intelektual Sejati", "Budayawan Besar'', "Waliyullah", dan masih beratus sebutan lainnya. Aku sendiri ingin menyebutnya "Sang Sufi Besar" atau "Sang Zahid". Sufi adalah orang yang mempraktikkan prinsip-prinsip tasawuf. Masyarakat Barat menerjemahkan kata ini sebagai "mistisisme Islam", meski boleh jadi tidak tepat benar. Annemarie Schimmel telah memberikan definisi yang terbaik mengenai terminologi ini sambil mengakui bahwa "Untuk menulis, katanya, "tentang sufisme atau mistisisme Islam adalah tugas yang hampir mustahil." Menurutnya mistisisme mencakup suatu misteri yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara atau upaya-upaya biasa. Mistisisme berasal dari kata "mystic" dan "mystery" (bahasa Latin)

yang berarti "menutup mata". Dalam pengertiannya yang lebih luas, Mistisisme mungkin bisa didefinisikan sebagai kesadaran akan Realitas Tunggal yang bisa dinamakan Kebijaksanaan, Cahaya, Cinta atau Ketiadaan."2 Para sufi adalah matahari-matahari dan Gus Dur dalam pandangan saya adalah "Matahari Dhuha" yang cahaya spirituali­ tasnya menebarkan kehangatan cinta, kesegaran, kegairahan sekaligus mencerahkan dan menyuburkan bumi manusia. "Gus

' Lihat, Leonard Lewishohn, (ed.), Warisan Sui' f Warisan Suisme f Persia Abad Pertengahan (1 150-1500), cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004), him. 437-438.

25


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Dur bagaikan gunung berapi yang menyimpan magma spiritualitas begitu dahsyat. Magma itu tak pernah berhenti bergolak dan begitu aktif yang seringkali meletup-letup, menumpahkan lahar panas, mengaliri tanah kering-kerontang. Manakala telah dingin, tanah berubah menjadi subur, bumi menghijau menyembulkan bunga warna-warni, indah dan menebarkan wewangian." Sahabat saya, Marzuki Wahid, penulis buku

Beyond the Symbols, Jejak Antropoligis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, dalam sebuah momen refleksi 100 tokoh atas Gus Dur, di Institute Agama Islam Nur Jati (IAIN), Cirebon, menyampaikan kata pamungkas yang mendebarkan: "Gus Dur bukanlah "Guru Bangsa", bukan "Bapak Pluralisme", bukan "Ulama", bukan "Seorang Humanis", bukan "Waliyullah", bukan "Negarawan Paripurna", dan bukan seterusnya. Sampai di sini, hati yang hadir berdegup­ degup kencang, tersekat-sekat. "Ini anak tak tahu diri dan keterlaluan," kata hati mereka, sambil menahan emosi. "Tetapi Gus Dur adalah semuanya," kata Marzuki Wahid menuntaskan bicaranya. Dan suasana spontan berubah gemuruh, menghentikan jantung yang berdegup, meredakan emosi yang tertahan, lalu menciptakan suasana yang mengharu-biru, mengalirkan kehangatan air mata yang lalu menetes pelan-pelan. Begitulah setiap orang telah dan akan terns memaknai Gus Dur dengan ungkapan dan cara yang berbeda-beda, berdasarkan pada apa yang dilihat, didengar, diingat, dan dirasakannya. Dan ini adalah hak mereka mengatakannya. Siapapun tak berhak melarangnya. Pemaknaan atas sesuatu memang selalu lahir dari pengalaman masing-masing. Eskpresi-ekspresi intelektual dan idiom-idiom psikologis selalu merupakan produk dari ruang dan waktunya sendiri-sendiri, produk pengalaman diri pemberi makna. Tak ada seorang pun yang mampu menghadang peng­ alaman spiritual setiap orang. Pengalaman, menurut Imam al­ Ghazali, adalah kebenaran sejati, meski tak bisa diraba, tak bisa

26


Memperebutkan Makna Gus Our dianalisis dengan nalar. Ia melampaui pandangan indera dan kecerdasan nalar. Pemaknaan yang beragam atas Gus Dur telah cukup menggambarkan betapa di dalam dirinya sarat dengan makna besar. Dan kebesarannya bukan karena ia pernah menjadi presiden dari berjuta-juta rakyat, dan bukan karena hal-hal lain di luarnya, melainkan karena dirinya sendiri. Ia telah mencari kebesaran itu dari dalam dirinya sendiri. Meski banyak orang memuji dan memberi penghormatan begitu tinggi kepada Gus Dur, saya meyakini Gus Dur tak akan pernah meminta diberi sebutan apapun. Ia akan mengatakan "aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku hanyalah hamba Allah." la tak pernah terganggu oleh sebutan-sebutan duniawi apapun. Lebih dari 10 gelar kehormatan akademis tertinggi yang diterimanya dari berbagai universitas prestisius dunia, tak pernah membanggakannya, tak pernah dipakainya, dan tak pernah disandangnya, bahkan bingkai-bingkainya tak dipasang di rumahnya. Entah mengapa pula orang jarang menyebutnya "Doktor Gus Dur," melainkan lebih sering Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Dan meski berbagai penghormatan lain, seperti "Man of The Year'', "Nobel Tokoh Perdamaian Dunia" dari Ramon Magsasay, dan lencana yang dipersembahkan kepadanya dari sejumlah negara dan institusi sosial, budaya, politik, agama, dan media, Gus Dur tak pernah berbangga-bangga diri dan men­ ceritakannya kepada teman-temannya. Ketika saya, suatu hari, memasuki salah satu kamar di rumahnya, saya melihat, bingkai­ bingkai bertuliskan kata "penghargaan akademis" yang prestisus

tersebut, hanya ditata rapi di atas meja. Demikian pula bingkai­

bingkai atau lencana-lencana kehormatan lainnya. Gus Dur, tak seperti yang lain yang mengejar gelar-gelar kehormatan itu untuk membesarkan dirinya atau agar membuat orang lain dan

masyarakat menghormatinya bahkan meski dengan membayar berapapun. Gus Dur sudah besar dan terhormat, meski tak diberi

27


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur sebutan kebesaran dan kehormatan apapun, termasuk gelar pahlawan. Untuk apa? Terhadap penyebutan kehormatan di atas, Gus Dur mungkin akan menyanyikan syair ini:

•Masing-masing mengaku kekasih 'Laila' Tetapi 'Laila' tak mengakui semua itu.•

Ya, Gus Dur, mungkin geleng kepala saja. Baginya, itu semua untuk apa? Pujian-pujian, bingkai-bingkai, dan lencana-lencana kehormatan itu untuk apa? Gus Dur bebas dan bersih dari keinginan-keinginan rendah dan hina. Ia tak menginginkan apapun dan tak iri hati kepada siapapun. Ia tak mengharap-harap dan meminta puja-puji apapun dan dari siapapun. Ia menerima apapun yang terjadi. Ia ridha (rela) atas segala yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. "Aku telah lama menerima dengan tulus segala pemberian Tuhan," katanya suatu saat. Jiwanya tak tergantung pada apa-apa dan pada siapa-siapa. Gelar-gelar kehormatan tak menjadikannya lebih besar. Gus Dur hanya akan mengatakan dalam hatinya: "Aku sudah bekerja." "Aku sudah berjuang." "Aku

sudah berperang." "Aku sudah memberikan." "Aku sudah membagi

cinta." "Aku sudah membagi kegembiraan," dan "Aku sudah memaafkan." "Itu sudah cukup. Selebihnya terserah Tuhan." Itu tentu karena Gus Dur telah membaca kitab suci al-Qur'an dan telah lama merenungkan maknanya:

•Katakan (wahai Muhammad): "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu

28


Memperebutkan Makna Gus Our

itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan • (Q.S. al-Taubah, [9):105). ,

Mengenai jawaban dan skap i Gus Dur tersebut saya ingat guru mengaji, seorang kiai sepuh, di sebuah pesantren, ketika saya bertanya soal makna Ikhlas. Guru itu bilang, ada berpuluh makna i adalah: "Kamu telah untuk kata yang satu ini; Ikhlas, tapi bagiku a

bekerja untuk orang lain dan telah memberikan kegembiraan kepada mereka, tetapi kamu sendiri telah lupa, tak pernah ingat telah melakukannya." Ini mengingatkan saya pada seorang sufi besar; Dzhunun al-Mishri ketika ia mengatakan:

•Ada tiga tanda keikhlasan seseorang: jika ia menganggap pujian dan celaan orang sama saja, jika ia melupakan pekerjaan baiknya kepada orang lain, dan jika ia lupa hak kerja baiknya untuk memperoleh pahala di akhirat. "3

Suatu hari Nabi Saw. bertanya kepada Jibril makna Ikhlas. Ia menjawab:

•Aku tel ah menanyakan hal ini kepada Tuhan, dan Dia menjawab: "ltu rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba­ Ku yang Aku cintai."4 3

Abu al-Qasim al-Qusyairi, Al Risa/ah al-Qusyairiyyah, him 361 . -

.

• Ibid.

29


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Lalu adakah orang yang memberi makna sebaliknya terhadap Gus Dur? Adakah orang yang membencinya dan senang atas kematiannya, atau paling tidak orang yang tak ambil peduli atas kepergian dan kematiannya? Seperti kehidupan yang warna-warni, Tuhan juga menciptakan keanekaragam individu dengan sifat kualitatif yang berbeda-beda, dengan budi dan pikiran dan dengan kecenderungan hati yang berbeda-beda. Keragaman ini akan terus ada sepanjang kehidupan belum selesai, seperti yang sering disampaikan Gus Dur. Keragaman adalah keniscayaan alam semesta, keniscayaan hukum Tuhan atas alam ciptaan-Nya. Keragaman adalah anugerah Tuhan. Maka pandangan yang tak suka kepada Gus Dur adalah hal yang niscaya pula. Saya membaca di dunia maya beragam komentar sinis terhadapnya. Gus Dur yang sudah selesai menjalani hidupnya, tetap saja dicaci-maki dan dicemooh oleh sejumlah orang, seperti ketika ia masih dan sedang menjalaninya. Kematiannya disyukuri dan disambut gembira oleh mereka. Beberapa di antaranya menulis:

•Mengucapkan Inna Lillahi wa Inna llaihi Raji'un ketika Gus Dur meninggal, adalah kesalahan besar. Kematian Gus Dur bukanlah musibah, tetapi bagian dari pertolongan Allah Al-Aziz kepada kaum Muslimin di Indonesia.• •ounia teramat senang dengan matinya gusdur, manusia paling hina di muka Bumi ini. Dunia diperlihatkan Tuhan tidak peduli dengan matinya sang gusdur. Dunia bahkan sama sekali tidak menangisinya. Sebaliknya dunia tertawa terbahak-bahak dan puas ketika tubuh gusdur membeku dingin menanti saat untuk dimakamkan ke dalam tanah sekian kali sekian meter untuk selama-lamanya." Seorang "tokoh" populer sekaligus pemimpin organisasi Islam yang menyebut dirinya pembela keesaan Tuhan, dengan cap ortodoks radikal, dan para pengikutnya mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid tak pantas dipanggil Gus, karena ini panggilan untuk anak kiai yang saleh, yang taat kepada Tuhan. Lebih tepat

30


Memperebutkan Makna Gus Our bila ia disebut "Mr. Dur" atau sebutan lainnya saja. Bahkan Mr. Dur, kata mereka, sebaiknya tak layak disebut-sebut lagi namanya. Meski tak sampai menyebut Gus Dur bukan lagi bagian dari umat Islam, tetapi tokoh dan para pengikut fanatiknya tadi mengatakan bahwa Mr. Dur telah melukai hati umat dan menjual agamanya. Orang itu mengingat apa yang pernah diucapkan dan dilakukan Gus Dur semasa hidupnya yang, kata mereka begitu banyak mengandung kekafiran, kesesatan

(bid'ah),

dan kemusyrikan

(menyekutukan Tuhan). Kehadirannya di sejumlah gereja dan rumah ibadah non-Islam lainnya, tentang pendapatnya agar "Assalamu'alaikum" diganti dengan "Selamat pagi", "Selamat siang" atau "Selamat sore", persahabatannya dengan Yahudi, Israel, bahkan menjadi penasehat Yayasan Simon Peres, serta pembelaannya yang begitu kuat kepada non-muslim adalah bentuk-bentuk kekafiran Gus Dur sekaligus melukai umat Islam.

Begitu juga prakarsanya untuk mencabut TAP MPRS No. XXV/ 1966 tentang larangan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme, serta konsistensinya yang luar biasa untuk menghargai keberagaman keyakinan manusia (pluralisme) dan sejuta soal

lainnya. Itu semua, kata mereka, adalah cacat-cacat Gus Dur yang tidak bisa dimaatkan. Untuk soal pluralisme, gagasan utama yang diusung Gus Dur, mereka menganggap bahwa ia adalah paham yang sesat dan menyesatkan bahkan merupakan kemusyrikan (menyekutukan Tuhan). Pluralisme bertentangan dengan hukum Tuhan. Karena pluralisme, menurut mereka, merupakan pengakuan atas kebenaran semua agama dan semua keyakinan manusia. Dan ini dosa maha besar yang tidak akan diampuni. Mereka menyebut kata-kata Tuhan dalam al-Qur'an: "Tuhan sungguh mengampuni segala dosa, kecuali syirik (menyekutukan Tuhan)." Pluralisme adalah "Sinkretisme (pencampuradukkan keyakinan), dan ini amatlah menyesatkan dan mengajak orang masuk neraka," kata mereka. Orang-orang itu juga menyebarkan video yang merekam Gus Dur yang seakan akan sedang dibaptis

31


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur sebagai Kristen di sebuah gereja besar. Masih banyak lagi isu-isu

lain tentang Gus Dur yang tak mereka setujui, yang mereka tentang, dan yang mereka sesatkan.

Hal yang paling menyedihkan hati orang yang berpikir sehat dan berbudi luhur adalah manakala kebencian orang kepadanya diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan yang mengenai tubuhnya, fisiknya. Ya mengenai mata Gus Dur yang buta (disable). Cara penilaian atas tubuh seperti itu juga pernah disebarkan mereka ketika Nurcholish Madjid, sang pembaru dan teman baik Gus Dur, wafat. Mereka bilang: "Wajah Nurcholish semakin hitam-legam, ketika dia meninggal dunia. Ini merupakan hukuman Tuhan atas pikiran-pikiran sesatnya." Di kutub yang lain lagi, saya melihat ada sejumlah orang yang tak bicara apa-apa. Mereka diam, membisu, tanpa kata-kata, tanpa ekspresi, atau hanya bilang

"no comment",

geleng-geleng kepala

dan membiarkan saja Gus Dur pergi. Ada pula yang berucap

singkat: "Ah, dia orang biasa saja!" "Peduli amat!" Apakah makna diam dan ekspresi mereka seperti itu? Tak mengerti apa-apa? Apakah ia adalah ekspresi kebencian yang tak bisa meledak? Apakah ia adalah luapan senang yang tersekat atas kematiannya? 0, apakah sesungguhnya makna diam mereka? Simbol ter­

perangah? Terkejut-kejutkah? Terbengong-bengongkah? Tak pahamkah? Atau memang karena mereka tak lagi mampu mau bicara apa sesudah menyaksikan peristiwa maha dahsyat itu? Diam memang menyimpan sejuta makna yang tak bisa kita pahami hari ini. Mungkin kita akan menemukan makna diam mereka kelak. Kita tunggu saja. Begitulah orang berebut memberi makna atas Gus Dur. Ber­ beda-beda: mengagumi, mencaci maki, dan membisu. Keber­ bedaan temyata berlaku di mana-mana, termasuk dalam penilaian orang atas kematian seseorang. Keberagaman tak dapat dinafikan

32


Memperebutkan Makna Gus Dur oleh siapapun, karena ia adalah nyata adanya. Maka setiap orang memaknai objek-subjek apa saja. Saya membaca karya Jalaluddin Rumi, sang maestro penyair sufi;

"Fihi Ma Fihi." Ia mengatakan

"Al-Kalam Zhill al-Haqiqah" (Kata-kata

adalah bayang-bayang

dari realitas). "Apabila "bayangan" saja dapat menawan hati, betapa memesona kekuatan realitas yang ada di balik bayangan itu." la mengatakan demikian ketika mengomentari alam semesta ciptaan Tuhan yang beragam dan warna-warni. Dalam konsep sufisme, alam adalah

'Tajalliyyat" manisfestasi-Nya.

Ia sedang

memuji Tuhan. Ucapan Rumi itu mengingatkan pada pertanyaan saya kepada seorang teman di

Facebook:

"Apakah keelokan sang

kekasih ada padanya atau pada matahati sang penatap? Dia menjawab: "Sepertinya pada matahati yang menatapnya." Ya, apa yang ada dalam imaji sesorang itulah yang menciptakan keelokan atau ketakelokan dia. Dan Rumi melanjutkan bicaranya kepada para darwis yang mengelilinginya:

•Kata-kata hanyalah pra-teks. Aspek simpatilah yang dapat menarik hati seseorang pada orang yang lain, bukan kata-kata. Unsur simpati itulah yang mengguncangkan dan menggelisahkan seseorang. Bila ia tidak ada maka warna kuning padi di sawah tak akan memesonakannya. la adalah gambaran mental dari segala sesuatu yang hinggap di kepala manusia yang akan membawanya kepada hal itu. Gambaran tentang •taman bunga• akan membawa manusia ke sebuah taman bunga itu. Tetapi terdapat suatu muslihat tersembunyi di dalam gambaran mental tersebut. Seringkali kita mengalami ketika pergi ke suatu tempat. Tiba-tiba saja kita mendapati tempat itu tak seperti yang ada dalam gambaran kita. Citraan-citraan itu bagaikan kain kafan. Sesorang dapat bersembunyi di balik kain kafan:5 Begitu pula sebaliknya, bayangan itu bisa juga memuakkan hati yang melihatnya sehingga dalam pandangannya betapa buruknya rupa sang realitas itu. Pandangan ini tentu saja karena ia

5

antipati terhadap objek-subjek itu. Ya, "bila tidak ada (simpati),

Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Pasal 2, him. 35.

33


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur maka warna kuning padi di sawah tak akan memesonakannya," mengulangi kata-kata Rumi di atas. Sampai di sini saya teringat kembali sebuah syair Imam al­ Syafi'i ketika saya di pesantren, mengenai hal tersebut:

Mata sang pecinta buta pada bopeng wajah kekasih Tetapi mata pembenci melihatnya selalu buruk rupa.• Tetapi, apakah yang menciptakan citraa-citraan tersebut? Begitu tanya teman tadi, mengejar. Saya hanya menjawab singkat: "Pengetahuan, keterlibatan, kebersamaan dengan yang dicitrakan, serta akal-budi di dalam otaknya." Adakalanya pengetahuan dapat diperoleh dari dekat, adakalanya dari jauh. Adakalanya dari yang dicitrakan sendiri, adakalanya dari orang lain atau dari kabar-kabar yang melintas di telinga sang pencitra. Mereka yang terlibat dan bersama yang dicitrakan akan tahu siapa dan bagaimana dia. Dan pada akhirnya adalah pikiran dan perspektif yang ada dalam otaknya. Perbincangan soal ini, tidak hanya untuk menilai fenomena Gus Dur, tetapi juga untuk segala fenomena, simbol, kode, kata­ kata. Sebab semuanya makhluk bisu. Ia tidak berkata-kata sendiri. Tetapi manusialah yang mengatakannya. Kita biarkan saja hari-hari akan mencatat semuanya. Ya, biarkan sejarah yang akan berbicara mengenainya. Atau kita biarkan saja, sampai kelak "mata, tangan, dan kaki akan men-

6 Diwan al-SyMi'iy, him. 9.

34


Memperebutkan Makna Gus Our ceritakannya di hadapan Tuhan. Gus Dur juga acap mengatakan demikian: "Ketika orang yang lagi mau mengerti, tak mau paham, maka biarkan saja, sejarahlah yang akan menjawabnya." Saya sangat percaya pada ucapan orang-orang saleh: "Apabila engkau berbicara baik kepada orang lain, maka kebaikan itu akan kembali padamu. Dan apabila engkau berkata-kata buruk kepada orang lain, maka ia juga akan kembali padamu." Dan ini sejalan dengan kata-kata Allah dalam al-Qur'an:

•sarangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhan-mu menganiaya hamba-hambaNya, (Q.S. Fusshilat (41):46). Dan: •sarangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula,"(Q.S. al-Zilzalah [99):7-8).

35


#3 RELA MENANGGUNG LUKA

Gus Dur bukan hanya dikagumi dan dirindukan banyak orang. Ia juga dibenci, dicaci-maki, dan disumpahserapahi sebagian orang. Caci maki, sumpah serapah, dan kutukan-kutukan para pembenci Gus Dur, tidaklah membuatnya menjadi rendah, tak menjadi kecil dan membuatnya terkucil. Itu tak menggentarkan hatinya. Sikap seperti itu justru semakin mengukuhkan kebesar­ annya, meneguhkan perjuangannya dan semakin mengalirkan simpati kepadanya. Gus Dur menanggung semuanya dengan diam. Ia tetap terus menapaki jalan yang ditempuhnya menuju cita­ citanya: Keadilan bagi semua dan persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Ia adalah orang besar yang namanya akan dicatat sejarah peradaban sebagai pejuang kemanusiaan. Kita sudah membaca sejarah umat manusia dan sejarah orang­ orang besar. Orang-orang besar selalu mengandung dualitas yang paradoks: dikagumi dan dicemooh dalam waktu yang sama. Ka'ab al-Ahbar, seorang ahli tafsir berbagai kitab suci, bilang:

•rak ada tokoh bijak-bestari di sebuah komunitas kecuali selalu saja ada orang--0rang/kelompok yang mencaci-maki dan mendengki dia."

37


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Jalal al-Din al-Suyuthi, ulama besar, seorang ensiklopedis dengan ratusan karya tulisnya, mengatakan hal yang sama, tetapi dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda:

•ridak ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali dicaci-maki orang-orang bodoh. Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang­ orang pinggiran. Dulu Nabi Adam dilawan lblis, Nabi Nuh lawan Ham dan lainnya, Nabi Daud musuh Jalut dan pasukannya, Nabi Sulaiman lawan Sakhr, Nabi Isa lawan Bukhtanshir, Nabi Ibrahim lawan Namrud, Nabi Musa lawan Firaun, dan seterusnya sampai Nabi Muhammad Saw. Beliau dilawan Abu Jahal.• Para tokoh bijak-bestari (hukama) dalam sejarahnya, memang, bukan hanya disumpah serapah dan dibenci, tetapi juga dikafirkan, dibid'ahkan, dizindikkan (dituduh ateis) dan ingin dilenyapkan oleh mereka yang tidak matang secara intelektual dan spiritual, atau oleh mereka yang pikirannya tergantung pada bentuk-bentuk kredo formal dan teks-teks literal keagamaan atau oleh fanatisme pada kebenaran diri sendiri dan buta pada kebenaran yang lain. Imam al-Ghazali, sang sufi besar menyebut mereka "orang-orang yang memiliki pengetahuan terbatas. Seyogyanya keterbatasan pengetahuan itu hanya bagi dirinya sendiri dan tak boleh dipaksakan kepada yang lain. Mereka memang tak mengerti bahwa

setiap kata-kata suci mengandung beribu makna."• 1

Imam al-Chazali, lhya Ulumiddin, Juz I, him. 289.

38


Rela Menanggung Luka Abd Allah Sahal al-Tustari,2 sufi agung, mengatakan:

"Andai hamba Tuhan dianugerahi seribu mengerti makna untuk satu hurufal-Qur'an, dia tak bisa menjangkau seluruh tanda kehendak Tuhan yang ditinggalkan dalam kitab-Nya. Karena ia adalah "Kalam Allah•(firman) yangadalah Sifat-Nya. Oleh karena Tuhan tak terbatas, maka juga tak ada batas mengerti makna firman-Nya. Setiap orang hanya bisa mengerti sebatas yang diberikan-Nya.'' Boleh jadi, mereka yang mengaku atau mengkalim paling benar sendiri sambil menololkan orang lain itu, melukai dan menyerang orang lain, sesungguhnya tak lebih dari orang-orang yang gelisah atas kondisi ketakberdayaan diri dan ketakutan yang

berlebih. Fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme, kata seorang psikolog, adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian, dari kebingungan yang akut, dari kecemasan yang menghantui dadanya, dan rasa ketidakmampuan mengatasinya. Lihatlah, tokoh sufi legendaris Abu Manshur al-Hallaj. Ia harus berdiri di atas tiang gantungan untuk mengakhiri hidupnya.

Eksekusi dijatuhkan terhadapnya menyusul fatwa sejumlah ulama

yang berkolusi atau berselingkuh dengan para penguasa, konon, demi membela Tuhan. Mereka menilai pandangan al-Hallaj tentang

Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn Isa ibn Abdullah. Lahir di Tustar. la belajar kepada Zhun Nun al Misri, seorangsufi besar. la adalah guru al­ Hallaj. la menulis Tafsir al-Qur'an al-'Azhim dalam perspektif sufisme. Meninggal pada tahun 283 H. ' Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al Qur'an, (1/9). 2

39


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur "Wahdah al-Wujud" (Kesatuan Eksistensi) atau "Hulul" (Manunggal) merupakan ajaran yang sesat, menyesatkan, kekafiran dan kemusyrikan yang nyata. Maka tak ada keraguan bahwa dia orang yang halal darahnya untuk ditumpahkan. Al­ Hallaj antara lain pernah bilang begini: 1 · �1 , , 0 � 1 j� , y ..?.: JJ J �» � r ,

-

J

� 'Jjll ��� .;;,:J-1 tJ

Ruh-Mu bercampur ruhku Bagai anggur Bercampur air bening Bila sesuatu menyentuh-Mu la menyentuhku Engkau adalah aku Dalam segala ruang dan waktu

Teorinya tentang Kesatuan Wujud (Wahdah al-Wujud) pada dasamya juga merupakan pengakuan terhadap eksistensi agama­ agama, kepercayaan-kepercayaan, keyakinan-keyakinan, dan pada saat yang sama memproklamirkan keharusan untuk menoleransi seluruh agama-agama dan segala kepercayaan yang ada di muka bumi. Al-Hallaj kokoh dengan keyakinannya itu. Tetapi dia membiarkan orang lain dengan pikiran atau keyakinan sendiri. Dia tidak punya minat menyerangnya, malah dia mendoakan mereka. Sebelum ajal menjemput, di hadapan ribuan pasang mata yang merah-padam, al Hallaj mengadu kepada Tuhan:

40


Rela Menanggung Luka

J.

J

I

. �"I· �., �I

,,

,.

sl!, � -'

c _,,

•l��': � r.r.,

J

o

�I

,, ,,.., 611' �

•o, Tuhanku, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah

berkumpul untuk membunuhku, karena semangat menggebu mereka untuk membela agama-Mu dan ingin dekat dengan-Mu. Ampunilah mereka. Andai saja Engkau singkapkan kepada mereka seperti apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan mela­ kukannya. Andai saja Engkau membutakan mataku, seperti membuta· kan mata mereka, niscaya aku tidak akan mengalami cobaan seperti ini. Hanya bagi·Mu lah segala puji atas apa yang Engkau putuskan, dan hanya bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.·•

Al-Hallaj menjalani kematian dengan riang. Ia seperti Socrates, sang filsuf atau sebagaimana Yesus dalam keyakinan umat Kristiani. Demi kebenaran dan keadilan, mereka rela menanggung Iuka dan nestapa. Ibnu Arabi, Sang Guru Terbesar kaum sufi (al-Syaikh al-Akbar), juga harus menerima beragam tuduhan dari sebagian masyarakat sebagai orang kafir, musyrik, murtad, dan sebagainya. Sebuah kisah menceritakan bahwa ketika dia sedang berada di pondokannya di Mesir, ratusan orang dengan pedang terhunus di tangan, menyerbu ke tempat itu untuk mencari

Ibnu Arabi lalu membunuhnya. Sahabatnya, Syaikh Bujayah, menyelamatkan dia. Katanya kepada mereka yang marah: "Muhyiddin memang sedang "gila". Kalian mau membunuh "orang gila?" Kata "gila" dipahami mereka sebagai hilang akal dalam arti sebagaimana dipahami orang pada umumnya. Tetapi, tidak bagi Syaikh. Ia memaknainya sebagai "ekstase'', Syathahat, atau

"Jadzab", akibat rindu mabuk kepayang sampai tak sadarkan diri. •

Ahmad Amin, Zhuhr al-Islam, cet. V, Juz ll, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1 969),

him. 74.

41


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuduhan dan serbuan terhadapnya itu, gara-gara lbnu Arabi mengemukakan pandangan pluralisme keagamaan yang diungkapkan dalam bait-bait puisinya menawan. Ia menuliskannya dalam Diwan (kumpulan puisi)nya yang terkenal: "Tmjuman al

Asywaq" (Senandung Kerinduan). Di situ ia bersenandung lagu rindu:

1 ',," ' ' •' 0 I,) .._JI...,.:? ·

t<

IJ-_-

·

'

� ' ' "I" ,,· ?"" ,, ' 1,_i1·

�J..1 '- · ._,

.I

Kemarin aku tak bersahabat Bila keyakinannya tak sama keyakinanku Kini jiwaku telah siap menyambut Segala fenomena semesta Padang rumput bagi kawanan rusa Kuil-kuil para Rahib Rumah berhala-berhala Ka'bah orang yang mengelilingi Lempengan-lempengan Taurat Lembaran-lembaran suci Al-Qur'an 0, Akulah penganut agama Cinta Ke manapun gerobak pembawa Cinta bergerak Aku mengejarnya Aku pemabuk Cinta-(Mu)5 5

lbn Arabi, Tarjuman al-Asywaq, him. 43-44.

42


Rela Menanggung Luka Abu Yazid al Bisthami (w. 804 M),6 tokoh sufi Persia, yang terkenal dengan teori mistiknya:

"Jana" (ketiadaan)

dan

"baqa"

(kekal), diusir dari rumahnya berkali-kali dan disiksa berulang­ ulang. Ucapannya yang terkenal "aneh" adalah:

Ma A'zhama Sya'ni"

"Subhani, Subhani

(Mahasuci aku, Mahasuci aku, alangkah

agungnya aku). Dzunnun al-Mishri, sufi besar dari Mesir, digiring dan diseret dengan tangan dirantai dari rumahnya di Mesir menuju Baghdad. Mereka berkali-kali menuduhnya

"zindiq" (ateis).

Ia

dituduh demikian lantaran sering mengucapkan kata-kata dan pikiran-pikiran yang tak umum

"Kalimat Gharibah" (kata-kata

aneh). Para peneliti melihat pikiran-pikiran Dzunnun, mirip sekali pikiran-pikiran Plato. Alasan lain adalah karena ia bisa mengubah kerikil jadi permata. Ia memang seorang ahli kimia.7 Samnun al-Muhib8 dilempari tulang belulang kotor kering. Sahl al-Tustari, guru al-Hallaj, diusir dari rumahnya, dari tanah airnya ke Basrah, Irak. Abu al-Qasim al-Junaidi,9 berkali-kali

6 Abu Yazid al-Bisthami, Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Lahir sekitar tahun 200 H (813 MJ di Bustam, bagian Timur Laut Persia. Meninggal dunia pada tahun 261 H (875 MJ. Abu Yazid dipandang sebagai pembawa paham a/-fana' (kehancuran diri) dan al-Baqa' (Kelanggengan) serta sekaligus pencetus paham al-lttihad (Penyatuan/ Manunggal dengan Tuhan).

7 Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al-Mishri. Lahir di lkhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856. Dzun Nun al-Mishri adalah sufi pertama yang memperkenalkan teori ma'rifat. Teori-teori ma'rifat Dzun Nun al-Mishri dianggap menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini pada intinya adalah memadukan antara teori Wahdat al-Syuhud dan Al-lttihad. Dia dipandang orang yang pertama mamasukkan unsur filsafat ke dalam tasawuf. 8

9

Abu al-Hasan Samnun bin Hamzah, lahir dan besar di Bashrah, lrak. la tokoh sufi Sunni terkemuka abad ke-3 H. Samnun dijuluki "al-Muhib" (Pecinta), karena selalu mendendangkan nyanyian cinta kepadaTuhan. la sendiri menyebut dirinya "Samnun al-Kazzab' (Samnun Pendusta). la sukajalan-jalan sambil mengatakan kepada bocah-bocah yang mengikutinya: "Panggil aku, pamanmu ini, al-Kazzab, pendusta.• Sehari semalam Samnun melakukan shalat 500 rakaat. la meninggal dunia tahun 298 H di Baghdad. Nama lengkapnyaadalah Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad ibn Junayd al­ Baghdadi. la acap dipanggil al-Junayd al-Baghdadi. la tokoh sufi dengan gelar

43


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur dituduh kafir. Dia terpaksa tak keluar rumah selama berbulan­ bulan dan bertahun-tahun sampai kematian menjemputnya. Syaikh Abu al-Hasan al-Syadizili, pendiri tarekat Syadziliyah, diusir dari Mesir. Dia dituduh ateis. Taj al Din al-Subki, ahli fiqh Syafi'i terkemuka, dikafirkan. Dia ditangkap lalu dengan tangan diborgol diarak ramai-ramai dari Syam (Siria) ke Mesir. Ibnu Rusyd al-Hafid, diusir dan diasingkan ke Alisan, sebuah kampung dekat Cordoba, yang sempat menjadi perkampungan kaum Yahudi. Banyak alasan mengapa ia dihukum demikian. Salah satunya adalah gara-gara bukunya: Fashl al-Maqalfi Ma Baina al-Syari'ah

wa al-Hikmah min al-Ittishal (Kata Putus hubungan antara Agama dan Filsafat). Dari buku itu ia dituduh mengunggulkan akal atas teks agama (naql). Padahal a i mengatakan:

"Al-Hikmah Shahib al­

Syari'ah wa Ukhtuha al-Radhi'ah" (Filsafat adalah teman agama dan saudara sesusunya). Guru besar ahli tafsir al-Qur'an: Imam Ibnu Jarir Al-Thabari.1° Suatu saat Al-Thabari mengritik pandangan keagamaan kaum tekstualis, pengikut Ahmad bin Hanbal, soal tafsir "tempat yang terpuji" sebagaimana yang tertulis dalam ayat al-Qur'an, surat Al­ Isra, 79:

10

pangeran sufi. Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia, dan wafat pada 298 H/ 910 M. Dalam disiplin sufi, ia adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqati (w. 253 H/867 H), saudara kandung dari ibunya sendiri. Di samping belajar dengan al-Saqati, ia berguru juga kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basri al­ Baghdadi al-Muhasibi (1 65 H-243 H/781-857 M), seorang sufi yang terkemuka di Baghdad ketika itu. la juga guru Husein Manshul al-Hallaj, sang martir. Nama lengkap al-Tabari adalah Abu Ja'far Muhammad lbnu Ja'far lbnu Yazid lbnu Katsir. Lahir di Amul ibukota Tabaristan, salah satu propinsi di Persia dan terletak d i sebelah utara GunungAlburz, selatan laut Qazwin, tahun 224/225H atau sekitar tahun 839-840. la dikenal dengan sebutan 'Syaikh al-Mufassirin,• guru besar para ahli tafsi r. Tafsirnya: Jami'a al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an, menjadi rujukan para ahli tafsir sesudahnya. Dia juga seorang sejarawan. Karyanya untuk bidang ini adalah Tarikh a/-Umam wa al-Muluk.

44


Rela Menanggung Luka

l)>" 0 ) ,.,.

. .)..ďż˝

"Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajjudlah kamu (Muhammad). Mudah-mudahan Allah mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (Q.S. Al-lsra,(1 7):79). Apakah yang dimaksud dengan

"Maqam Mahmud" (tempat

yang terpuji)? Para pengikut Ahmad bin Hanbal berdasarkan pendapat Imamnya, menafsirkan ayat tersebut sebagai: "Allah mendudukkan Nabi Muhammad Saw. bersama-Nya di atas Arasy. Ini sebagai balasan atas Tahajjudnya." Pendapat lainnya tidak sepakat dengan tafsir ini. Imam Ibnu Jarir al-Thabari menjadi juru bicara pandangan ini. Dalam suatu kesempatan pengajian Jum'atan dia menyampaikan bahwa duduknya Nabi bersama Tuhan di atas Arasy (Singgasana Tuhan) adalah mustahil, tidak masuk aka!. Katanya:

Maha Suci Dia Yang tak punya teman intim Dan di Singgasana-Nya tak ada teman bicara Para pengikut fanatik Ahmad bin Hanbal (Hanabilah) yang mendengar kata-kata Imam ahli tafsir ini kemudian menyerang­ nya dengan kasar. Sebagian di antara mereka menumpahkan tinta ke muka al-Thabari dan melemparinya dengan tulang-tulang. Ahli tafsir ini segera masuk ke rumahnya. Tetapi mereka mengejarnya, menyerbu rumah al-Thabari dan melemparinya dengan batu, sampai hancur berantakan. Mereka baru berhenti merusak setelah ribuan polisi dikerahkan untuk mencegah aksi kekerasan mereka. Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al Syafi'i,

Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Jalal al-Din al-Rumi, Syuhrawardi al-Maqtul, Abu Sa'id al Kharraz, Abu Bakar al-Syibli,

45


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

"sang waktu", Abu Bakar al-Nablusi, Syaikh Abu Madyan, Izz al­ Din bin Abd al-Salam, sultan para ulama, dan lain-lain juga mengalami "mihnah" (inkuisisi) dengan cara yang beragam. Mereka, seperti diketahui banyak orang, adalah tokoh-tokoh legendaris, para mahaguru pencerahan, filsuf, sufi besar, para pendiri mazhab besar, para ulama, kaum cendikiawan, para pejuang kemanusiaan. Apakah gerangan makna dari semua hiruk-pikuk kengerian

sosial di atas? Mungkin kita bisa mendengarkan puisi ini: �

�·�1

&�

. '

·

' � �� 'll1 r

•;

l�l� •!•

1J,.1J· J.Jl\ T ) •,T )J .

I� ·�Ci' _r'-"'.

Mereka Mengafirkan, Menyesatkan, dan memusyrikkan Bila para bijak-bestari mengajak berpikir

Dengarkan pula puisi elegi sang cucu Nabi, putra Husein bin Ali bin Abi Thalib, guru para sufi, Ali Zainal Abidin al-Saijad ini:

Aduhai, betapa banyak mutiara pengetahuan Andai aku sebarkan Niscaya aku dibilang: "kau pemuja berhala!• Niscaya mereka menghalalkan darahku Mereka kira Kerja buruk mereka Adalah kebaikan semata" 11

Baca: Syaikh Abd Allah al-Syarqawi, Al-lttihaf bi Hubb al-Asyraf, him. 50.

46


Rela Menanggung Luka Meskipun para bijak-bestari dan para mahaguru pencerahan itu harus mengalami nestapa dan luka karena pandangan­ pandangan agamanya yang dinilai sesat oleh keputusan fatwa institusi agama, atau vonis kekuasaan otoritarian dan despotik, mereka tetap saja tegar dan siap melawan sakit dan menanggung kengerian. Nama mereka tetap hidup sepanjang sejarah, sepanjang masa, sepanjang zaman. Pikiran-pikirannya tak pernah usang dan terus menjadi inspirasi bagi banyak cendekiawan sesudahnya. Buku-buku dan tulisan-tulisan mereka terus dibaca, dikaji, didiskusikan, diseminarkan, dan disimposiumkan, selama berabad dan berkurun-kurun. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang "rumah"nya masih dikunjungi dan diziarahi beribu orang, sampai hari ini dan untuk hari-hari depan yang panjang. Meski telah pergi, mereka tetap memberi berkah

(grace)

dan kegembiraan kepada

orang-orang yang datang menjenguk dan yang menjaga pusaranya yang penuh bunga. Demi nilai-nilai yang luhur, demi kebenaran dan kejujuran, dan demi keadilan dan cinta, mereka melawan tirani dan melawan luka. Seperti mereka, begitulah eksistensi Gus Dur. Ia dimaknai secara beragam dan kontroversial, baik ketika ia hadir di muka bumi maupun sesudah ia menghilang untuk pulang dan tak kembali lagi. Ia dikagumi, dicintai, dan dihormati oleh begitu banyak manusia, dan darinya mereka memperoleh inspirasi dari gagasan­ gagasannya, untuk menjalani hidup dengan penuh gairah. Dalam bahasa santri; "Mereka memperoleh

"berkah" atau "barokah"

(grace) Gus Dur." Tetapi dalam waku yang sama ia juga dituduh sesat, disingkirkan, dikafirkan, dan dimusyrikkan oleh orang­ orang yang tak mengerti. Di Purwakarta, saat berceramah lintas­ iman, ia diserbu segerombolan orang yang mengaku diri pembela terdepan Islam. Mereka ingin melukai Gus Dur. Alhamdulillah,

Gus Dur selamat. Rumahnya pernah diteror orang tak dikenal. Entah sudah berapa kali. Mengenai peristiwa ini, ia tak pernah

47


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

bercerita kepada siapapun. Gus Dur mungkin hanya bilang: "Ah, biarkan saja, tidak apa, semoga Allah memberi mereka penge足 tahuan dan petunjuk." "Al-Insan A'daa-u Ma Jahilu." Manusia (orang) memusuhi apa yang tak diketahuinya. "Mereka memusuhi yang lain, karena mereka tidak mengerti," kata pepatah kaum bijak. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Nabi Muhammad ketika dirinya dilukai, disakiti, dihinakan, dan dikejar-kejar oleh anak足 anak muda sambil dilempari batu sampai beliau harus keluar kampungnya sendiri, menuju Taif, sebuah kota, pusat musim panas di luar Makah. Ia masuk ke kebun orang Yahudi dan duduk di bawah pohon kurma. Melihat kekasih Allah itu diperlakukan sedemikian rupa, Jibril menawarkan bantuannya. "Jika engkau

berkenan, 0, kekasih, aku akan jungkir balikkan bumi dan

menimpakan dua gunung ini ke atas punggung mereka yang terus melukaimu," kata Jibril. Tetapi apa jawab Nabi? Beliau mengata足 kan: "Oh, tidak,jangan! Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang belum mengerti saja. Oh, Tuhan, berilah mereka petunjuk. Semoga kelak dari mereka akan lahir orang-orang yang meng-E.sa足 kan-Mu." Usai demikian, Nabi Saw. masih di bawah pohon itu, berdoa dengan seluruh hatinya.

48


Rela Menanggung Luka

Wahai Tuhan, Kepada-Mu jua aku mengadukan kelemahanku Kurangnya kemampuanku Hinaku di hadapan manusia 0, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang Engkaulah Yang melindungi orang-orang yang lemah Engkaulah Pelindungku Kepada siapakah Engkau akan menyerahkan diri hamba-Mu ini? Kepada yang jauh yang melihatku dengan muka masamkah, atau kepada mereka yang membenci aku? ]ika saja Engkau tiada memurkaiku, aku tak peduli Tetapi maaf-Mu Yang Mahaluas-lah yang sangat aku dambakan. Kami berlindung di bawah Cahaya Kasih-Mu Yang menerangi semua kegelapan, Dan atasnyalah semua urusan kehidupan di dunia dan akhirat Akan menjadi baik. Janganlah Engkau turunkan murka-Mu kepadaku Atau Engkau timpakan kepadaku Engkaulah yang berhak menegurku Hingga Engkau rela padaku Tiada daya, tiada upaya, Selain karena Engkau jua.12

Ibnu Katsir dalam kitabnya

Al-Bidayah wa al-Nihayah

mengatakan bahwa doa tak membalas, tetapi memohon ampunan dan petunjuk agar dibukakan pintu hati yang mengerti tersebut 12

Ba<;a: lbnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, dan dalam Tafsir al-Qur'an al­ 'Azhim, Juz IV, him. 176.

49


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur juga yang dikatakan oleh Nabi Isa, atau Yesus dalam sebutan umat

"YaAbataah, Ighfir Lahum Li Annahum La Ya'lamun Ma Dza Yafalun" (O, Bapa, Kristiani. Ketika ia akan disalib, ia mengatakan:

ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat," (Lukas, 23:34).

50


#4

PLURALISME GUS DUR, GAGASAN PARA S UFI

Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserahjika ada orang yang tidak suka atau berbeda pendapat dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis "Di sini dikubur Sang Pluralis." Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin mengasihinya.

"Takhallqu bi Akhlaq Allah" (Berakhlaklah dengan

akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan, dan memberi mereka contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan

"Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di menyampaikan ayat suci al-Qur'an ini:

51


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku," (Q.S. Al-Hujurat, [49]:12). "Li Ta'arafu" (saling

mengenal), tidak sekadar tahu nama,

alamat rumah, nomor telepon atau

handphone,

atau tahu wajah

dan bagian-bagian tubuh yang lain. Saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat-hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya,

ta'arafu" berarti

"Ii

agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain,

menjadi bijaksana dan rendah hati. Dalam konteks sufisme, terma ini dimaknai lebih menukik ke dalam. Kaum sufi memaknainya sebagai orang yang menyerap pengetahuan ketuhanan melalui intuisi dan perjuangan batin. Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling takwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Takwa bukan sekadar dan hanya berarti sering datang ke masjid atau menghadiri secara rutin majlis ta'lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa saban hari. Tetapi, lebih dari itu, takwa adalah mengendali­ kan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati, dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain, manusia, dan kepada alam semesta. Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur menyampaikan makna takwa dengan menyitir ayat-ayat al-Qur'an ini:

JLJ1 _}h ;:_:,,:.,,:11,

}.� ;_<0'.>\.JIJ• r':°'i·, ,. · i - i< J11 <,.,.T ,. .£..( ,, ..; ,, .,. "' ;\� J I I i ' ' I,. < �'I ' , 1 ·h ' '' J;. '-'\ .J.tl.:.J\' ·,, :,, ;..r-;J. -' .... � � if"-::' ' J ,..r- ' ...;>,:i � J

/

. ., . .A.

<

,,

. , �·11'

.

,,

.. . ;, �

'

.

!S� �� �,J�� �L.5)1 ._,li'J �'.>L� I fLifJ yLljll ..}) :;

<-"' 1

1 °

ill • .'.,t.Ul . , ,,/ ! <./l.::. ll -

52

•,

\I!-'.) f l..:. U l '-'- , � � � '"->'

.

. .• J� ' 1 1'' ',?, !';.· L..;2J <

, I "...

) I'.>..;. '.>'


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

•sukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak­ anak yatim, orang-<Jrang miskin, musafir (yang memerlukan pertolong­ an) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang­ orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa,' (Q.S. al-Baqarah, [2:]177). Semua itulah makna takwa yang dipahami Gus Dur. Ia acapkali

menyebut ayat-ayat ini dalam berbagai kesempatan yang relevan.

Dari ayat al-Qur'an ini Gus Dur sering mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari 3 rukun (pilar): Rukun Iman, Rukun Islam, dan Rukun Tetangga. Saya kira apa yang dimaksud Gus Dur tentang rukun yang ketiga ini adalah Rukun Kemanusiaan. Gus Dur tentu bukan tidak tahu rukun ini dalam konteks tradisi Islam disebut Ihsan (budi baik). Tetapi, Ihsan dalam pengertiannya yang luas adalah nilai-nilai kemanusiaan tadi. Ihsan adalah moralitas luhur, budi pekerti mulia, dan hati nurani yang bersih. Ihsan adalah puncak keberagamaan seseorang. Dengan begitu itu, Gus Dur ingin menggugah kesadaran kaum muslimin agar tidak mengabaikan atau mereduksi rukun tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa a i menjadi tujuan dari agama dalam kehidupan manusia di dunia. Untuk ini Gus Dur, sering bicara tentang kejujuran, ketulusan dalam bekerja, keteguhan, kesabaran

dalam berjuang, menghargai orang dan mengadvokasi siapa saja

yang menderita dan yang ditindas. Lebih dari itu, ia bukan hanya sekadar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan rengkuhan yang hangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja yang merendabkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi, dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela

53


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur mereka yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti, dan ditelantarkan. Ketika para pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak "jangan". Ketika Inul Daratisna dihujat ramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya bagai bor, ia "memeluk"nya dengan hangat. Ketika Dorce Gamalama disorak-sorai karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. "Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja dan lakukan hal-hal yang baik untuk orang lain," katanya. Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak diserahkan kepada negara, ia berdemonstrasi bersama istri tercintanya; Shinta Nuriyah dan bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Saya masih mengingat dengan baik, beberapa menit menjelang demo menentang RUU tersebut, saya dan Gus Dur bicara di hadapan wartawan. Kami berdua sepakat bahwa menentang RUU tidaklah berarti menyetujui pornografi. Kami tidak setuju terhadap pornografi, tetapi ia tak perlu diundangkan. RUU itu menyebut definisi pornografi yang tak jelas, ambigu, sehingga setiap orang bisa memaknainya sesuai pikiran dan otaknya. Jika yang memaknainya orang-orang yang memegang kekuasaan politik dan dibenarkan untuk menghukum, maka amat mungkin dia menjebloskan yang tak bersalah ke dalam penjara. Apalagi politik kekuasaan menjadi

panglima. Ketika orang-orang Thionghoa meminta hari raya Imlek

dan Barongsae, ia memberikannya dengan tulus. Mereka, menurut Gus Dur, berhak menjalankan tradisi keagamaan mereka, seperti umat yang lain. Meski tak bisa melihat dengan mata lahiriahnya, ia hadir menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Mata hatinya melihatnya dengan amat jelas. Gus Dur senang.

Seringkali kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu

dilakukannya seorang diri. Ia berjalan sendiri, tak ada siapa-siapa

54


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi di sampingnya, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. Ia tak peduli. Dalam perlawanannya terhadap pembredelan

Tabloid

Monitor dan pembelaannya terhadap Salman Rushdi dalam kasus bukunya The Satanic Verses, yang bikin heboh itu, karena merendahkan dan mencipakan citra amat buruk Nabi, misalnya, Gus Dur tak menemukan mata Iain yang penuh pengertian. Ia tampil sendirian saja. Tokoh besar yang lain tak cukup berani melakukannya. Seorang sufi mengatakan, "Ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yang matang, bantuan eksternal tak Iagi diperlukan." Dan Gus Dur sanggup menjalaninya seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang.

im" (Ia tak

"La Yakhaf Laumata Laa­

pernah gentar pada mata mereka yang membenci).

"Ditempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap saja sang penghulu para nabi dan utusan Tuhan,

Insan Kamil,"

katanya mengomentari urutan Nabi pada posisi ketiga di antara orang-orang yang dikagumi masyarakat Indonesia. Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi; "Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahrnu, melainkan perilaku dan hatimu." Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus Dur tetap saja membela dan menemani mereka. Ia membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas dominan dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak

melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar hukum. Orang seharusnya bercermin diri. Menyakiti orang lain sesungguhnya

55


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

menyakiti diri sendiri. Apakah dan bagaimanakah bila orang lain menyakiti dirimu padahal dirimu tak melakukan kejahatan apapun terhadapnya dan hanya karena engkau berbeda keyakinan dengannya? Membela kehormatan manusia adalah perjuangan besar dan perjuangan para nabi dan orang-orang besar. Bagi Gus Dur, ekspresi-ekspresi diri, personal, individual, yang dianggap sebagian orang sebagai tak bermoral, tak boleh melibatkan negara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang mereka miliki, tanpa kekerasan dan tanpa menghakimi sendiri.

''La Hukma liAhad 'ala al-Qalb"(Tak seorang pun bisa menghakimi hati), dan dengan mengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam dan dengan ketulusan. Ada cara-cara yang diajarkan kitab suci al­

Qur'an bagaimana seharusnya mengajak orang untuk mengerti dan berperilaku baik, beretika dan santun.

"Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu melalui pengetahuan yang tinggi (hikmah), berkata-kata yang baik dan berdiskusi dengan cara yang lebih baik."

Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai, tak bisa diberi tanda. Pikiran dan hati adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Ia dapat menge­ lana ke mana-mana. Karena burung itu bisa naik-turun, belok kanan-kiri, maka ia sulit ditangkap. Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi:

"Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat.•1 ' Fihi Ma Fihi, Pasal 23, him. 153.

56


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi Bawalah pisau tajam. Lalu gunakan pisau itu untuk membelah dada orang dan memisahkannya, lalu carilah pikiran dan gagasan dia dengan cara mengambilnya bagian demi bagian, niscaya kau tidak akan pernah bisa menemukan pikiran dan gagasan apapun di sana. Engkau juga tak akan menemukannya pada darah maupun saraf-sarafnya. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran dan kata hati pada hamba-hamba-Nya. Dialah Pemilik napas setiap yang hidup dan Dialah yang akan menanyainya kelak, bila tiba masanya napas dan hati itu kembali. Karena itu, hanya Dialah yang berhak menamainya dan menghakiminya, tidak yang lain dan tak mungkin yang lain. Itulah sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. ltulah sifat seorang sufi, seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembus kedalaman makna kata-kata Tuhan. Kata-kata­ Nya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan pengertian tak terbatas. Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan menghasilkan apa-apa, tindakan sia-sia, tak berguna, selain membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, Iuka hati dan menghambat kreativitas, kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia. Tak ada cara lain untuk menundukkan orang lain kecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan dengan otak yang cerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri, sambil katakan saja: "Anda adalah anda dan aku adalah aku. Wassalam!" Tindakan dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telah diajarkan oleh Islam, oleh para nabi dan para bijak-bestari sejak ribuan tahun lalu. Ia sering menguip t sumber literatur Islam klasik yang bicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah Al­

Mustashfa,

karya Imam Abu Hamid al-Ghazali.2 Sufi besar ini

' Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir di Thus, tahun 405 H, sebuah daerah di Persia, Iran. la dikenal sebagai *Huiiah al-Islam• (Argumentartor

57


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur mengatakan bahwa tujuan aturan agama adalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan orang, keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta. Al­ Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai ''.Al­

Kulliyyat al-Khams". Orang sering menyebutnya "Maqashid al­ Syari'ah" (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan). Lima prinsip ini merupakan pemberian Tuhan pada setiap manusia yang tak ada seorang manusia pun berhak mengurangi atau menghilangkannya. Inilah basis fundamental

(Al-Rukn al-Asasl)

pikiran-pikiran dan

Iangkah-langkah Gus Dur. "Lima prinsip perlindungan ini, kata Dr.

Abd Allah Darraz, merupakan dasar-dasar pembangunan masya­

rakat yang diajarkan dalam setiap agama. Tanpa dasar-dasar ini dunia tidak akan tegak dan keselamatan manusia pasti terancam."3 Ketika suatu hari, tahun i997, saya sedang membaca di kamar atas di rumahnya, dan Gus Dur masih belum pulih benar dari

sakitnya yang cukup panjang, beliau diberitahu ada saya di kamar atas. Dan saya dipanggil menemuinya di kamarnya. Beliau mengenakan celana di bawah lutut dan kaos, dan berbaring saja. Sesudah tanya-jawab silaturrahim, saya memberanikan diri bertanya: "Apakah politik?" Gus Dur menjawab yang saya terjemahkan sebagai :

"Berpikir

menemukan jalan dan bekerja

sampai batas tak tertanggungkan bagi kebahagiaan sebanyak­ banyak manusia." Meskipun Gus Dur membaca, mengerti, dan memahami dengan baik, ia tidak selalu mengutip pandangan atau sumber dari Barat atau Yahudi, seperti dituduhkan sebagian orang, meski mungkin saja memeroleh inspirasi darinya. Jarang sekali beliau Islam). la menu I is lebih dari 100 buku bermutu dalam banyak disiplin. Karyanya yang sangat terkenal, lhya Ulumuddin, Al-Munqizd min al-Dha/al, Tahafut a/­ Falasifah. Pandangan-pandangannya menjadi rujukan kaum Ahlussunnah wal Jama'ah. Al-Ghazali dianggap sebagai sufi ierbesar sepanjang sejarah. 3

Muqaddimah al Muwafaqat, I, him. 4.

58


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi mengutip panjang lebar ucapan filsuf atau pemikir Barat. Ia banyak menggali pikiran dan tindakannya dari sumber tradisi Islam sendiri, sekaligus mampu menginterpretasikan dengan cara­ cara yang memukau dan

genuine,

sejalan dengan konteks

kehidupan sosialnya yang selalu bergerak dan tak pemah berhenti. Khazanah intelektual Islam itu memang sangat kaya dengan referensi tradisi Islam klasik ini berikut perangkat analisisnya: bahasa, sastra, logika, sejarah, filsafat sosial, dan metode-metode keilmuan. Melalui penjagaan atas Hrna prinsip dasar kemanusiaan uni­ versal tersebut, Gus Dur memimpikan berkembang dan tersebar­ nya persaudaraan manusia atas dasar kemanusiaan

(Ukhuwwah

Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial.

Ini menurut

saya sesungguhnya merupakan gagasan para sufi besar. Para sufi yang sejumlah namanya disebutkan di atas, adalah orang-orang yang paling vokal menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan universal itu. Tak ada keraguan sedikit pun di hati mereka pada prinsip uta.ma agama bahwa tidak ada di alam semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu yang ke hadapan-Nya seluruh yang

mawjud

tunduk. Dan seluruh yang

mawjud

(ada) sejak ia ada

sampai keberadaannya tercabut, selalu dan terus mencari-cari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-beda. ,, • J

� •

.

J

,

J "· -: .• � l d.· . '1 !.lb .'->· 11 · ,, '<

• •• •

J I' < 1 '.• ' · = "• "',,, I''"...1.> -' �, '->"'""' w'.J� ,,

J

,

)

Bahasa kita begitu beragam tetapi Engkaulah Satu-satunya yang lndah Dan kita masing-masing menuju kepada Keindahan Yang Satu itu

Para mahaguru kearifan sering ditanya para santrinya: "Ada berapakah jalan manusia menuju Tuhan? Mereka selalu bilang: "Ada seribujalan menuju Tuhan." Sufi lain bilang: "Sebanyakpikiran

59


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur manusia." Sufi lain lagi mengatakan: "Sebanyak partikel pada alam semesta." Dan dengarlah apa kata Rumi mengenai ini:

;.;;._. . <JI ,

,

•Meski jalan yang d itempuh manusia bisa berbeda-beda, tujuan­ nya satu. Tidakkah kalian lihat ada begitu banyak jalan menuju Ka'bah? Sejumlah orang datang dari Anatolia, sebagian dari Syam

(Siria, Palestina), sebagian dari Persia, sebagian dari Cina, sebagian menyeberang melalui laut (atau darat atau udara). Bila kalian

merenungkan berbagai jalan yang dipilih orang, kalian akan melihat begitu banyak jalan. Akan tetapi, bila kalian melihat/memper­ timbangkan tujuan, maka kalian akan mel ihat semuanya sama dan

sepakat menuju Ka'bah.'4 Dan mereka sepakat sebagaimana dikatakan sufi besar Abi Sa'id lbn Abi al-Khair,s bahwa: 4

s

Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Pasal 23, him. 153.

Abi Sa'id lbn Abi al-Khair. Nama lengkapnya adalah Abu Sa'id Fadhl Allah ibn Abi al-Khair, lahir pada 1 Muharram 357 H (atau 967 M) di Khawaran, Khurasan Ayahnya, Abu al-Khair, atau dikenal sebagai Babu Bu al-Khair adalah dokter yang saleh dan religius, serta akrab dengan syariat dan tarekat. Syaikh Abu Said al­ Khair adalah sufi dan penyair masyhur, tokoh sufi pertama yang merancang pri nsip-prinsip aturan lembaga kerohanian atau tarekat bagi para pengikutnya. Beliau dianggap sebagai penemu pertama metode khalwat yang disebut sebagai chilla·yi ma'kus, yakni khalwat selama empat puluh hari dengan posisi badan terbalik, kepala tergantung di bawah-metode yang kelak dipakai oleh mursyid tarekat Chistiyah di India. .

60


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

"Tak ada jalan yang terpendek, terbaik, dan tercepat menuju Dia, selain memberi rasa nyaman pada orang lain." Maka kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidak

menghalangi setiap manusia untuk memahami pikiran, bahasa,

dan kehendak-kehendak manusia yang lainnya. Para sufi memandang alam semesta yang beragam dan yang seluruhnya mengandung keindahan sebagai "tajalli" Tuhan, perwujudan rahmat dan keagungan-Nya di alam semesta. Keberanekaan berasal

dari Tuhan. Dialah Sang Penciptanya. Ibnu Athaillah, nama sufi

besar yang dikagumi Gus Dur, banyak bicara soal Kesatuan Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi. lbnu Ajibah mengo­ mentari gagasan itu dalam syaimya yang indah: '

j5'

L::...._; I . ..J .. ,

'

.•

lJ ,.

Lihatlah Keindahan-Ku Tampak pada semua manusia Air mengalir, menembus pokok dahan dan ranting Engkau mendapatinya Berasal dari satu mata air Padahal bunga berwarna-warni Nab, lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh Gus Dur. Gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan pluralismenya

ternyata berangkat dari radisinya t sendiri. Ia tekun mengaji kia t b­ kitab klasik raksasa dan primer sampai khatam. Sayang, kitab-kitab

61


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapi hanya sampai kulit

luar, yang tertulis, yang literal, harfiah, dan tak khatam, tak selesai. Maka hanya orang-orang yang mampu membaca dan memahami

kitab-kitab tersebut dengan baiklah yang mengerti pikiran-pikiran Gus Dur, meski tidak selalu punya pendapat yang sama dengannya. Gus Dur bagi saya adalah seorang sufi besar. Apa yang disampaikan dan dilakukannya memperlihatkan gagasan, pikiran, dan perilaku para sufi. Sebagian daripadanya sebagaimana sudah disebutkan. Kelompok ini dalam berbagai sejarah peradaban manusia merupakan kelompok paling toleran terhadap siapa saja dan agama apa saja. Mereka sering berseberangan dengan kelompok ahli hukum (fuqaha). Kesalahpahaman antara keduanya sering dan hampir selalu terjadi di segala zaman dan tempat. Perbedaan ini sesungguhnya lebih pada cara pendekatan memahami kehendak-kehendak Tuhan. Kaum sufi memahaminya melalui pendekatan "batin", substansi yang dalam bahasa mereka sering disebut sebagai "Qalb" (hati) atau "Lubb" (biji). Sementara kaum fuqaha mendekatinya melalui fenomena atau fakta lahiriah dari tindakan manusia, atau legal-formal. Dalam bahasa kaum sufi ia adalah "Qasyr" (kulit). Mereka mengritik kaum fuqaha dengan mengatakan:

"Khudz al-Lubb wa Alqi al-Qasyr" (Ambillah bijinya

dan buang kulitnya). Imam al-Ghazali, sufi terbesar, mengatakan:

•oia (mereka) yang tercerahkan, mencari kebenaran pada makna bukan pada kata. Dia yang lemah melakukan sebal iknya; mencari kebenaran dari kata bukan dari makna."6 6

Abu Hamid al-Ghazali, Misykat al-Anwar, Abu al-'Ala 'Afifi (ed.), (Kairo: al­ Maktabah al-Arabiyah, 1964), him. 66.

62


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi Jika harus diringkas bagaimana pandangan kaum sufi terhadap realitas dunia dan relasi antarmanusia di atas bumi, maka dalam catatan Ahmad Amin, paling tidak adalah sebagai berikut:

.,

J.

..l!l J� J�_;JI

�f j1�,; ,11 j} ,:ho; ��� ,j_;.l. iJG .'· i\S' \��

.D

63


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

1.

Tuhan hanyalah Satu, Esa, Tunggal. Dia Eksistensi Yang Abadi, Eternal. Tidak ada tuhan selain Dia. Meski nama-Nya berbeda­ beda, karena keberagaman bahasa, tetapi Dia adalah Dia.

2. Tak ada hakim atas semesta, kecuali Allah. Dialah yang memberi

cahaya bagi setiap jiwa. Dialah yang membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dialah sumber segala pengetahuan. 3.

Semua agama adalah jalan atau cara mendekati Tuhan. Sebagian ada yang lebih maju dari yang lainnya sesuai dengan konteks zamannya. Semua agama menuntun manusia untuk melakukan proses menuju Eksistensi Paling Tinggi, yakni Allah.

4.

Meskipun dalam kenyataannya agama-agama berbeda-beda dalam ritus-ritusnya, akan tetapi tujuannya adalah sama; mencapai kedekatan dengan Tuhan. Seorang sufi menurut lbnu Arabi •Melihat Tuhan di Ka'bah, di Masjid, di Gereja.•

5. Memang ada banyak jalan mendekati Tuhan, akan tetapi ada satu jalan yang lurus. Yaitu meniadakan egoisme dan kepentingan diri. 6.

7.

Tidak ada persaudaraan selain persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Maka di bumi ini hanya ada satu kehidupan, yakni kehidupan bersama. Keberbedaan yang ada hanyalah fenomena belaka. Seorang manusia adalah menyatu dengan yang lain dalam relasi dalam keluarga, lalu dalam kebangsaan, kemudian dalam kemanusiaan universal. Seorang sufi tidak suka terhadap orang yang mengklaim kebenarannya sendiri. Karena baginya yang lain adalah sama dalam kemanusiaannya. Tidak ada kode moral tertinggi, selain cinta yang mengingkari Ego dan mengembangkan kebaikan. Meskipun ada banyak kode moral, akan tetapi dasar utamanya adalah cinta. Cintalah yang melahirkan harapan, kesabaran, ketabahan, toleran dan semua moral baik. Penghormatan, toleransi, memberikan kebaikan semua lahir dari cinta.7

' Baca: Ahmad Amin, Zhuhr al-Islam, cet. V, Juz II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi), him. 79-81.

64


Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi Al-Hallaj, sang sufi legendaris, seperti Syaikh Siti Jenar di Indonesia, mengungkapkan pandangannya dalam puisinya yang terkenal: ...-;, ...

,

" ... �

,

;

-

, ) . ' <:,; " J ...:.:JJ:,

. ,,•·"J 11 :·-;11L...'..! •••. � -.;. ,,, . 1 1� , �::c_ J>;- U�.) '\.I " Y � � " . ''-P 1l.A7" ' )

• •

.., · · 4 ..

1-

'

·

,

.-

t i

,,

.,

.,

� -;

,

,

-

I'' " ·. " , 'I'_, V:l... , .lt.,..q,.J � · ;J�· \..:-- ··· · .

·

'I

'

Sungguh, aku telah merenung amat panjang agama-agama Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang Jangan kau meminta orang memeluk satu saja Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam Seyogyanya biar saja akar itu membimbingnya Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan makna-makna luhur Maka dia akan mengerti (Diwan al-Hallaj, 50) Ajaran-ajaran tentang pluralisme di atas sesungguhnya telah beribu tahun, hadir dalam Bhagawad Gita. Saya yakin Gus Dur sudah lama membacanya, karena dia juga sangat mengagumi Mahatma Gandhi. Gita menyatakan: "Meski ada banyak dan beragam keyakinan dan praktik keagamaan, kesadaran spiritual yang mereka tuju pada dasarnya adalah satu dan sama."

65


#5 "SANG ZAHID" DI R UMAHNYA

La.ntunanAl-Qur'an di Pagi. Hari Sampai detik ini, sudah tiga belas tahun, atau tepatnya sejak tahun 1997, saya mondar-mandir, datang dan pergi ke rumah Gus

Dur, di Ciganjur. Ketika rumah di Ciganjur direnovasi dan pindah

sementara di Jalan Paso, saya juga datang dan pulang. Kedatangan saya ke rumah Gus Dur, tak pasti. Kadang sebulan sekali, kadang dua bulan dan kadang tak bisa dihitung dengan hari. Semua tergantung kesepakatan sebelumnya. Di rumah itu saya pada awalnya datang untuk mengaji kitab kuning:

Bayan Huquq al-Zawjain",

"Uqud al-Lujain Ji

karya ulama besar Indonesia: Kiai

Nawawi al-Bantani, bersama teman-teman, dipimpin Ibu Shinta Nuriyah. Tetapi dengan berjalannya waktu, ada ruang terbuka bagi saya untuk bercanda-canda, tertawa riang dan tergelak-gelak, berdebat panjang, mendengar dongeng-dongeng, anekdot­ anekdot, cerita-cerita epos, dengan keluarga Gus Dur, Ibu Shinta (istrinya), empat putrinya: Lissa, Yenny, Anita dan Inay, sahabat­ sahabat dan orang-orang yang ada di rumah itu. Ketika belum ada kamar tamu, saya tidur di dalam rumah di kamar lantai 1 atau di

kantor Puan, untuk satu atau dua malam, lalu pulang lagi ke Cirebon. Semuanya adalah hari-hari yang menyenangkan dan selalu merindukan. Tetapi memang saya jarang bertemu Gus Dur, apalagi terlibat dalam "ngobrol" panjang, atau "ketawa-ketiwi",

67


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur kecuali hanya beberapa kali saja. Bukan apa-apa, tetapi karena beliau memang jarang tinggal lama-lama di rumah, meski selalu pulang untuk istirahat dua atau tiga jam, paling lama empat jam. Gus Dur sering datang dini hari, tanpa jam yang pasti. Manakala orang-orang di rumah sudah mimpi indah beliau datang. Kadang pukul 24.00, pukul 01.00 atau 02.00, tetapi beliau selalu bangun pukul 04.00, sebelum Subuh. Saya tak tahu pasti apa yang dilakukannya setelah bangun. Setiap saya keluar kamar dan turun, Gus Dur sudah tidak ada lagi di rumah itu. Entah ke mana. Yang saya temukan adalah lantunan suara-suara merdu Syaikh al­ Hushari, Syaikh Sudaisi atau Syaikh Abdul Basit Abdussahamat. Mereka adalah para Qari (pelantun al-Qur'an) terkemuka dunia dengan suaranya yang amat merdu dan indah. Suara-suara bacaan al-Qur'an itu dibiarkan melantun-lantun memenuhi dan menghiasi setiap ruang di dalam rumah itu sampai cahaya matahari pagi yang hangat menembus jendela kamar. Begitu indah, sejuk, ramah dan menciptakan kedamaian di hati. "Gus Dur sendiri yang meminta kaset al-Qur'an itu diputar saban pagi, usai shalat Subuh," kata ibu Shinta. Gus Dur memang amat senang mendengar al-Qur'an dibacakan dengan suara yang indah. Bila ada ayat yang mengesan­ kan hatinya ketika itu, ia kemudian acap menyampaikannya dengan memberi tafsir atasnya menurut pikirannya. Bukan hanya melalui kaset yang diputar setiap pagi, melainkan juga mengundang

"Huffazh" (para penghafal al-Qur'an). Hampir setiap

bulan beliau mengundang mahasiwa-mahasiswi dari Perguruan Tinggi llmu al-Qur'an (PTIQ) dan lnstitut Ilmu al-Qur'an (IIQ) untuk "sema'an". "Sema'an" diambil dari kata Arab "Sima"', atau "Sami'a" yang secara literal berarti mendengarkan. Tetapi entah sejak kapan kata itu telah menjadi istilah bagi suatu ritual membaca al-Qur'an oleh para penghafal al-Qur'an

(hafiz/hafizhah)

di

hadapan orang lain yang mendengarkannya (mustamiin) sambil membuka Mushaf dan mengamati huruf-huruf suci itu yang sedang

68


uSang Zahidu di Rumahnya diperdengarkan para qari tersebut. Mereka bukan hanya orang­

orang yang hapal al-Qur'an 30 juz, melainkan juga, untuk sebagian, adalah para "Qari-Qari'ah" yang dianugerahi Tuhan suara indah dan merdu. Perguruan Tinggi Al-Qur'an yang disebut pertama adalah almamater saya, sejak 1973 sampai 1980.

Tidur diAtas LzntaiMendekap Banta/ Sering, ketika tamu sudah pulang, malam telah sepi dan bulan di langit tertatih-tatih berjalan ke barat untuk beberapa jam kemudian tenggelam, Gus Dur tak langsung masuk kamar untuk isirahat, t tidur. Beliau lebih suka tidur di ruang depan, di ruang tamu atau di ruang terbuka di mana saja yang dirasanya nyaman. Jika pun sudah di dalam kamar ia acap keluar kamar sendirian, sambil meraba-raba tembok lalu mencari kursi. Ia duduk-duduk di situ sambil tangannya tetap seperti mengetuk-ngetuk. Atau ia mengambil tempat di lantai dan merebahkan tubuhnya begitu saja atau melingkar sambil memeluk bantal. Ia tak pernah memilih tempat untuk tubuhnya. Kebiasaan ini tidak hanya ketika ia di rumahnya, tetapi juga di tempat atau rumah orang lain. Pada saat a i ke pesantren saya di Cirebon dalam rangka "diadili" para ulama, ia makan sambil duduk di lantai yang hanya dilapisi tikar. Lalu ketika ia singgah dan menginap di rumah Kiai Fuad Hasyim (aim.), Buntet Pesantren, Cirebon, ia juga melakukan kebiasaan itu. "Gus Dur sering mampir ke sini untuk sekadar cari teman

ngobrol

ngalor-ngidul, kadang sampai dini hari yang dingin, sambil lesehan, leyeh-leyeh. Jika sudah ngantuk beliau langsung merebahkan tubuhnya di lantai, begitu saja, kadang melepaskan bajunya dan tidur dalam keadaan tubuh atas terbuka." Ini cerita

Alm. Kiai Fuad kepada saya suatu hari di rumahnya. Kiai ini adalah

orang yang mengerti pikiran-pikiran saya dan tempat saya bisa

berbagi cerita sekaligus tempat saya berlindung.

69


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Bagi Gus Dur, tempat di mana-mana sama saja, sebab tubuh sangat tergantung pada jiwa. Tubuh mengikuti jiwa, bukan sebaliknya. Tanpa jiwa, bentuk adalah benda padat yang tak berguna. Seorang sufi berkata:

al-Albab," Ambillah

"Khudz al_Lubb in Kunta min Uli

saripati jika engkau seorang cendekia.

Kadang, "kenikmatan tubuh sering melalaikan Tuhan," kata para sufi. Di desa atau di dalam hutan, di dataran yang rendah atau di atas bukit, di manapun para darwis atau para bhikku tinggal, tempat-tempat itu tetap saja menyenangkan. Para sufi besar selalu memilih mengutamakan jiwa, ruh dan bukan tubuh. Gus Dur pastilah sudah membaca sejarah hidup Nabi atau pernah mendengar cerita ayahnya. Ibnu Mas'ud sering melihat Nabi tidur di rumahnya. Sahabat Nabi ini bercerita: �

J

..,

,,

'

)

,,

:J� fW j.� � �' � .:ill � �1 Jr) fLl 1_;" :Jill .�U.j d \j�J1 jl .&! Jy.5 � d�� '�/>..

� )1

'

•Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku bilang: "Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur untukmu?" Nabi mengatakan: •Apalah artinya aku dan kehidupan di dunia ini. Di sini aku hanyalah bagai penunggang unta yang bernaung sementara di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu.•1 Dengan begitu Gus Durjuga seakan-akan tak lagi memikirkan dirinya sendiri. Tak memikirkan tubuhnya harus diletakkan di mana. Ia tak peduli akan direbahkan di mana saja. Ia tak memanjakan tubuhnya. Baginya, tak ada bedanya tidur di atas kasur yang empuk atau di atas lantai yang keras. Untuk yang ' Imam Nawawi, Riyadh al-Shalihin,

70

HR. Tirmizi.


NSang ZahidN di Rumahnya terakhir ini ia sudah lama menjalaninya ketika di pesantren. Jiwanya seakan-akan selalu bergelora, resah, berdesir sarat rindu kepada orang lain. Apakah yang ada dalam pikiran dan jiwanya? Saya mengira-ngira saja. Ya, saya hanya mengira-ngira: bahwa yang ada dalam pikirannya, jiwanya, dan relung hatinya adalah manusia. Si A, B, C sebagai manusia. Ya manusialah yang selalu menjadi pikirannya, terutama terhadap mereka yang hatinya Iuka, terkoyak, dan hancur. Gus Dur boleh jadi selalu ingat kata-kata Nabi kepada para sahabatnya suatu saat: "Temani mereka yang hatinya Iuka. Jika kalian mencariku, datanglah ke tempat kumpulan orang-orang yang hatinya Iuka." Kata-kata Nabi itu lengkapnya adalah:

•Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Saw. pemah bersabda: •Allah, pada hari kiamat akan mengatakan: 'Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjengukk-Ku. • Si hamba bertanya: •sagaimana aku harus menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?" Allah menjawab: •Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba­ Ku si FuIan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Seandainya kamu menjenguknya pasti kamu temui Aku di sisinya." Dia bertanya lagi: •Hai anak Adam, Aku lapar, tetapi kamu tidak beri Aku makan.• Si hamba menjawab: "Wahai Tuhan, bagaimana aku memberi makan Engkau, padahal Engkau adalah Tuhan alam semesta?" Dia mengata­ kan: "Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri makan? Seandainya kamu beri makan si Fulan, niscaya kamu dapati Aku berada di sisinya." Allah bertanya lagi: "Hai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kamu tidak beri Aku minum.' Si hamba menjawab: •sagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?" Allah mengatakan: •Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu tapi kamu tidak memberinya minum. Seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu akan mendapati dan menemui Aku di sisinya,•

(Hadits Qudsi).

Tak Memikirkan Pakaian Sering saya melihat, Gus Dur, di rumahnya, hanya mengena­ kan kaos dan celana sebatas bawah lutut, dari bahan yang tak

71


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur tampak berkualitas. Seperti yang sudah aku ceritakan, ketika ia masih sakit, tahun 1997, saya dipanggilnya masuk kamarnya. Sastro Ng, mungkin mengabarinya saya ada di kamar atas di romahnya. Di kamar itu ia mengenakan pakaian seperti itu: celana dan kaos seperti tadi. Saya tak melihat logo "Polo" atau sejenisnya

pada dada kaos itu. Ya seperti pakaian yang dikenakannya ketika ia berdiri di depan istana, sambil melambai-lambaikan tangan kepada ratusan umatnya yang menunggunya menjelang ia dilengserkan dengan paksa dan inkonstitusional dari kursi kepresi­ denan. Tak ada bedanya, ketika ia di istana maupun di romahnya. Gus Dur memang tak memikirkan atau tak lagi terpikirkan soal bahan apa dan warna apa yang patut dipakai, meski ia mampu merabanya. Ia juga tak peduli bikinan siapa untuk pakaiannya, bikinan dalam negeri atau luar negeri, buatan orang Islam atau orang kafir, dan sedang menjadi presiden atau menjadi orang biasa. Ia menerima saja apa yang diberikan kepadanya. Tetapi tentu saja, ibu, anak-anaknya atau saudara-saudaranya memper­ hatikan untuk memilihkan apa yang pantas bagi suami, bapaknya atau kakaknya atau saudara-saudaranya. Merekalah yang memilihkan pakaian untuk suami/ayahnya/kakaknya, apa pakaian yang pantas baginya di suatu tempat dan untuk momen-momen yang dihadirinya. Sungguh, saya tak pernah melihat Gus Dur memakai sarong, seperti kiai pada umumnya, padahal ia adalah kiai besar, kecuali di foto yang tersimpan di album foto keluarganya atau di tempat lain, saya tak ingat. Padahal saya dulu, ketika masih

mondok di pesantren, menganggap sarong adalah pakaian Islam. Tak sah rasanya jika shalat atau menghadiri akad nikah, tidak pakai sarong. Jika saya masuk masjid untuk shalat dengan pakai sarong bersama orang lain yang memakainya, maka saya dianggap tidak pantas menjadi imam shalat. Tidak afdol, katanya. Bila saya menghadiri akad nikah orang di kampung dan saya tidak memakai kain sarong, wali nikah dalam beberapa kasus, tak meminta saya

72


uSang Zahidu di Rumahnya mewakili menikahkan anaknya atau menyampaikan khutbah nikah. Budaya kita acap melihat "sarung" sebagai tanda kesalehan seseorang. Paling tidak lebih saleh dari orang yang memakai celana panjang. Mungkin saja, ini akibat negeri ini pernah dijajah Belanda. Para penjajah selalu memakai celana dan dasi. Maka celana cenderung memiliki makna identitas penjajah. Konon, pemah ada fatwa haram memakai celana, karena alasan tersebut. Gus Dur, tentu juga paling paham soal budaya ini. Saya memperoleh cerita dari murid-muridnya ketika di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Manakala Gus Dur mengajar di kelas, ia mengenakan celana panjang, dan tidak pernah sekalipun memakai sarung seperti sebagian guru yang lain. Dalam perjalanan ke mana-manapun, ia tak memakai sarung, apalagi dengan sorban hijau panjang yang diletakkan di bahunya, sebagaimana beberapa kiai lainnya. Kiai A.Wahid Maryanto, atau yang akrab dipanggil Kiai Acung, santri Gus Dur ketika di Pesantren Tebuireng, suatu saat bercerita kepada saya bahwa Gus Dur sering tak betah sendirian di rumah,

baik ketika malam maupun ketika siang. Ia sering mencari-cari teman untuk sekadar menjadi tempat menyalurkan hasrat­ hasratnya; bicara

ngalor-ngidul tentang politik,

partai, negara,

dunia, bangsa, tentang NU dan umat, atau bercerita yang ringan­ ringan dan tak ketinggalan joke-joke menyegarkan dan membuat perut jadi sakit, sambil memijat-mijat kaki dan tubuhnya yang kelelahan. KiaiAcung bilang, dirinya sendiri, terutama pada malam hari, jika ada di sana, sering dipanggil "bapak" untuk keperluan yang sama. Bila "bapak" telah tidur, dia pamit. "Meski tidur sampai mendengkur kecil, "bapak" tahu kalau aku meninggalkannya, pulang ke kamar tamu di depan," katanya. "Hmm, kamu pulang Cung," kata Gus Dur pada Kiai Acung. Dan ia hanya menjawab singkat: "Inggih, Pak." Dan Gus Dur membiarkannya pulang,

meninggalkannya sendiri. "Bapak" adalah panggilannya kepada Gus Dur.

73


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Bila Gus Dur tak bisa tidur nyenyak dan tubuhnya terlihat bagai orang yang sedang resah di tempat tidur, saya amat paham. Bagi tubuh yang menyimpan magma spiritual yang bergolak, kesendirian kadang amat menyiksa. Magma itu selalu ingin ditumpahkannya lalu mengaliri siapa saja yang ditemuinya. Dan Gus Dur selalu ingin menemui orang di mana saja untuk bicara apa saja atau sekadar untuk bercanda atau menumpahkan humor­ humor segar-cerdas yang baru saja melintas dalam pikirannya. Ibu Shinta bercerita kepada saya, "Sering pada malam-malam yang telah sepi, ketika tak ada lagi orang yang jaga, Gus Dur, tiba-tiba meminta, setengah memaksa, untuk pergi ke suatu tempat yang

jauh, di Jawa Timur. Ketika disampaikan "Mas, ini sudah malam,

sudah larut, sudah jam dua dini hari, dan tak ada pesawat, beliau barn berhenti meminta, meski tampak beliau sangat kecewa." Ibu sebenarnya paham bahwa Gus Dur, malam itu, pasti sedang

mengingat dan memikirkan orang-orang di Jawa Timur yang ingin

sekali bertemu beliau. Ibu diceritai soal itu siangnya. Dan Gus Dur tak ingin mengecewakan mereka.

Ia ingin memberikan

kegembiraan atau menghibur hati mereka. Boleh jadi mereka sedang dirundung nestapa, mungkin sedang berharap mem­ peroleh kegembiraan dari Gus Dur, mungkin pula ingin memperoleh "berkah" darinya. Atau mungkin karena alasan yang lain. Tetapi apapun alasannya, Gus Dur ingin tak mengecewakan mereka yang berharap. Hal yang sama juga terjadi ketika Gus Dur dirawat di Rumah Sakit di Luar Negeri. Ia selalu saja ingin bangkit dari tempat tidurnya dan melepaskan selang yang menempel di lubang hidungnya. Ia sepertinya merasa menderita dengan keadaan itu. Tetapi bukan lantaran tak menerima sakit yang dideritanya. Ia tak pernah mengeluh soal ini. Ia gelisah pada soal tak bisa bicara

dengan orang lain. Keluarga yang dengan setia menunggu dan menjaganya sering mengingatkan larangan dokter untuk mencabut

74


uSang Zahidu di Rumahnya

selang tersebut dan beranjak dari tempatnya. Mereka juga sering "kelabakan'', seperti hilang akal manakala melihat ayahnya demikian gelisah. Tetapi berhari-hari seperti itu membuat mereka merasa kasihan pada Gus Dur. Konon, kadang, sesekali "bapak" juga menunjukkan raut muka marah, atau kesal. Lalu apa akal? Aha, "kita perlu mengundang para mahasiswa dan kawan-kawan Indonesia yang ada di kota ini," kata salah seorang anaknya, mengusulkan ide cemerlang dan disepakati. Maka mereka datang dengan suka cita, karena bisa bertemu orang besar ini. Begitu mereka datang Gus Dur tampak "sumringah". Ia seperti tak sedang sakit dan harus dirawat dengan pengawasan yang ketat. Maka berlangsunglah "ngobrol ngalor ngidul," bercerita tentang politik, budaya dan sastra, musik dan memberi kegembiraan kepada mereka. Suara "gerr", berderai-derai acap kali menguasai di ruang itu. Sesungguhnya Gus Dur sangat berharap waktu ngobrol dengan mereka berlangsung lama, tetapi dokter selalu mengingatkan keluarganya agar tak lama-lama bersamanya, karena perlu istirahat yang cukup, dan tak boleh diganggu dengan pikiran­ pikiran yang berat. Gus Dur juga sangat berharap mereka, para mahasiswa selalu berada bersamanya. Tetapi tentu harapan itu tak mungkin. Bila mereka telah kembali ke rumahnya masing­ masing, Gus Dur seperti sembuh. Begitulah cerita orang rumah yang disampaikan mereka kepada saya ketika di sana, beberapa hari setelah Gus Dur kembali dalam keadaan sehat.

Santap Ma/am yangBersahaja Saya sering makan di rumah itu, pagi, siang atau malam, baik usai mengaji atau tidak. Apabila sarapan pagi atau makan siang, ibu Shinta hanya menemani saya dan teman yang ikut ngaji bersama saya di rumah itu. lbu tak pernah ikut makan bersama, karena beliau puasa tiap hari dan itu dilakoninya selama bertahun-

75


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur tahun, sejak masih mondok di Jombang dan berkenalan dengan suaminya itu. Lauk-pauknya tak ada yang istimewa. Begitu sederhana; tempe, tahu, samba!, lalap, sayur bening atau lodeh, atau rawon atau soto Lamongan, rujak cingur, pecel, telor, daging kering, cumi-cumi dan kerupuk. Cuci mulutnya pisang, jeruk, es cendol, atau es campur. Begitulah isi meja makan di rumah itu, begitu bersahaja, tak ada kemewahan, tak ada yang istimewa, dan tak ada yang berlebih-lebihan. Bukan hanya di rumah ini menu seperti itu, tetapi juga ketika di istana, selama dua tahun. Saya sama sekali tak bisa membandingkan dengan menu makanan para pembesar yang lain di rumah mereka, di Menteng atau di Cikeas, karena tak pernah makan di sana, karena orang kecil, konon, dilarang masuk. Ada satu malam yang tak akan pernah saya lupakan. Itu adalah ketika saya, usai mengaji dari siang sampai sore di rumah Gus Dur. Saya tiba-tiba diajak makan malam bersama Gus Durdan keluarganya di rumah itu. Saya amat senang karena beliau ada di

rumah dan berkumpul bersama keluarganya, apalagi mengajak makan bersamanya. Saya amat jarang menyaksikan pemandangan

seperti ini, ya seperti malam itu. Di meja makan itu saya adalah satu-satunya "orang asing" di keluarga itu. Di samping Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriyah adalah empat orang anaknya. Menu makanan yang dihidangkan tetap saja tak terlalu istimewa, sederhana saja, seperti yang sudah disebut di atas. Saya duduk berhadapan dengan Gus Dur yang duduk di samping istrinya, lbu Shinta Nuriyah. Di sebelah kanan dan kiri saya adalah anak­ anaknya. Dari tempat duduk itu saya melihat dengan amat jelas bagaimana dan dengan apa Gus Dur makan. Manakala nasi di atas piring diletakkan di depannya, ia meraba-raba. Saya tidak melihat dia meminta diambilkan. Dan ketika lauk pauk ditaruh di atasnya,

saya melihat beliau membiarkannya saja. Ia tak bertanya apa­ apa, tak menampik/menolak lauk apa yang diberikan kepadanya.

76


NSang ZahidN di Rumahnya Beliau menerima saja, lalu mengunyah pelan-pelan sambil menikmatinya. Sepertinya tak ada makanan yang tak disukainya. Saya kira ibu dan anak-anaknya telah tabu dengan persis apa kesukaan suami dan ayahnya itu. Manakala nasi habis dan ditambahi anaknya, beliau diam saja dan melahapnya. Tapi manakala telah cukup, beliau bilang cukup. Usai makan yang "penuh berkah" itu, dengan tetap berada di depan meja, Gus Dur mulai melemparkan cerita-cerita unik dan humor-humor baru yang membuat semuanya tergelak-gelak. Lemparan humor Gus Dur disambut dengan humor-humor dari yang lainnya, kecuali saya, dengan humor-humor yang tak kalah lucu dan sanggup meledakkan tawa riuh rendah yang tak habis­ habis. Dan perut saya tiba-tiba tak lagi penuh, karena terguncang­ guncang yang tak pernah mau berhenti. Saya sendiri tak punya bahan apa-apa untuk bisa membuat orang bergembira, terbabak­ bahak atau terkekeh-kekeh, seperti mereka. Sayang sekali, saya bukan orang yang bisa menyimpan cerita atau lelucon itu dalam otak saya, bingga semuanya jadi lupa, tak bisa

diingat lagi. Akan tetapi saya membaca di buku-buku tentang "Humor Gus Dur" atau dibuku lain yang sejenis. Dan saya menemukan

sebagian cerita-cerita lucu yang menyegarkan di meja makan itu.

MendengarMusik Klasik

Bila malam telah larut, anak-anak telah menempati kamarnya masing-masing dan dapur tak lagi berasap karena ditinggal mereka yang bekerja di sana untuk istirabat, maka rumah besar itu menjadi begitu sepi. Di luar, di masjid al-Munawwarah juga sepi. Dalam situasi seperti itu Gus Dur selalu saja memperlihatkan diri tak betah. Dia segera mencari-cari teman yang barangkali ada yang

belum tidur dan berjaga-jaga di depan rumah. Teman saya si Acung (KH. Abdul Wahid Maryanto) biasanya ada di sana dan duduk-

77


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur duduk saja, menjaga gurunya itu dengan setia. Mengetahui ada dia, Gus Dur memintanya masuk untuk ngobrol barang beberapa menit. Kadang juga menyuruhnya memutarkan kaset atau CD musik klasik. Bila ini yang terjadi, maka Gus Dur akan mengambil tempat di ruang tamu atau di bangku lesehan. Kata Pak Acung: "Bapak menyimpan dan mengkoleksi banyak kaset dan CD musik klasik, wayang dan musik-musik yang lain baik Barat maupun Indo足 nesia." Beberapa nama komponis musik klasik dunia antara lain adalah Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, Johan Sebastian Bach, Frederic Chopin, Frans Schubert, Peter Ilich Tchaikovsky dan lain-lain. Akan tetapi Gus Dur amat suka pada Shimponi 9 in D minor karya besar sang maestro; Beethoven. Dia sering bercerita soal ini. Katanya pada suatu saat: Simfoni No. 9 ini menggambarkan kehidupan Beethoven yang penuh dengan perubahan-perubahan dan perjuangan keras. Ia menggapai kegembiraan dengan mengarungi badai kesulitan. Para pendengar足 nya menyebut simfoni ini sebagai "the inhuman voice." Tetapi ia bukan satu-satunya. Seorang pendeta dari Papua (saya lupa mencatat namanya) bercerita dalam sebuah simposium bahwa ketika malam telah larut "Gus Dur minta dicarikan CD Sebastian Bach dan diputar." Selain musik-musik klasik Barat, Gus Durjuga menyukai lagu足 lagu Ummi Kultsum, penyanyi legendaris dari Mesir yang dijuluki

"Kaukab al-Syarq" (Bintang Timur).

Banyak lagunya yang bagus

dan indah. Ketika belajar di Kairo Gus Dur pasti sering men足 dengarkan alunan merdu Ummi Kultsum ini. Di sana ada stasiun radio yang khusus memutar lagu-lagunya sepanjang hari. Beberapa

"Wulidal Huda" dan "Rabi'ah al-'Adawiyah" sang sufi agung perempuan.2 Lagu "Wulidal Huda",

lagunya yang sering disebut adalah

' Rabi'ah Al-Adawiyah lahir di kota Bashrah tahun 94 H dan meni nggal sekitar tahun 185 H dan dimakamkan di ternpat yang sama. Rabi'ah adalah sufi pertama

78


NSang ZahidN di Rumahnya karya Ahmad Syauqi, penyair Arab terkemuka, menceritakan tentang kelahiran Nabi Muhammad. Sementara lagu

"Rabi'ah al­

'Adawiyah" bercerita tentang puisi-puisi cinta Rabi'ah yang sangat terkenal itu. Perempuan ini adalah ikon mistisisme cinta. Syair­ syair cinta yang ditulis sufi perempuan dari Basrah, Irak, ini telah mengilhami banyak sufi besar lainnya. Salah satu syaimya yang terkenal adalah:

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta Cinta karena hasrat diriku Dan cinta karena hanya Engkau yang memilikinya Cinta hasrat, karena aku selalu sibuk menyebut nama-Mu Cinta karena Diri-Mu saja, Dan tidak yang lain Karena aku selalu berharap-harap Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu Biar aku menatap-Mu seluruh Tak ada puja-puji bagi yang ini atau yang itu Seluruh puja-puji untuk-Mu saja Kegemaran Gus Dur pada musik klasik ini mengingatkan saya sekali pada Mawlana Jalal al-Din Rumi. Sufi penyair besar ini menggemari musik dengan mengambil suara "Ney", seruling. Ney ditiup untuk mengiringi tarian-tarian yang diciptakannya yang populer disebut "Sama"'. Ia adalah tarian spiritual dengan cara berputar-putar. Di dunia Barat tarian spiritual ini disebut "Whirling Dervishes." Nada-nada "Ney" yang mendayu-dayu, berayun-ayun, dan menyayat-nyayat hati bagai nyanyi sunyi seseorang yang ditinggal kekasih, menciptakan nuansa-nuansa religiusitas yang amat kuat dan menggetarkan. Saat memutar-mutarkan tubuhnya, penari menanggalkan semua emosinya serta pikiran-pikiran

yang memperkenal kan ajaran Mahabbah (Cinta) llahi, sebuah fase perjalanan seorang salik (pejalan/pengembara menuju Tuhan). la lahir dari keluarga sangat miskin, pernah menjalani kehidupan sebagai penyanyi Bar di kotanya dan menjadi

hamba sahaya.

79


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur duniawi. Jiwanya hanyut, tenggelam, dan larut dalam kerinduan

dan kecintaan yang meluap-luap kepada Tuhan. "Setiap orang yang berada di tempat yang jauh dan terpisah dari asalnya akan selalu merindu untuk kembali ke asal." Sampai pada akhir hayatnya, 17 Desember 1273 M, Rumi tak pernah berhenti untuk menari "Sama'" karena beliau tak pernah berhenti untuk mencintai Allah, tempat segala mengada. Tarian dengan iringan Ney ini sering disebut sebagai "tarekat" Maulawiyah. Sungguh hasrat Gus Dur kepada musik klasik dengan iringan simfoni gubahan para maestro musik klasik dunia tersebut sangatlah tidak umum bagi para ulama. Banyak ulama fiqh yang justru mengharamkan nyanyian dan tarian. Alat-alat yang digunakan mengiringi nyanyian juga mereka haramkan. Nyanyian dan tari-tarian adalah tradisi orang-orang kafir, Yahudi, dan Nasrani. Fatwa-fatwa mereka menyebutkan bahwa mendengarkan musik dan menikmatinya adalah suatu kemaksiatan, suatu dosa besar

(min al-Kaba-ir). "Al-Sima' Fisq wa al-Taladzdzudz biha

Kufr" (Mendengarkan

musik merupakan perilaku buruk dan

menikmatinya adalah kekufuran). Bunyi seruling itu, adalah tiupan mulut setan, iblis yang selalu mengajak untuk menarik hasrat­ hasrat rendah, menipu, melalaikan, dan mencelakakan. Berbeda dengan mereka, Imam al-Ghazali, sang sufi terbesar, justru memberi apresiasi demikian inggi t atasnya. Dia menyampai­ kan kata-kata indah seperti ini: •

,�l�i ��

'<

j(i ,6.JU;�

q

,}

·'

�_,.ij1_, ,�jU.jlj �j·, U::4 t

;.. �� � .,_j

..... ..

•orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga­ bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati.•3 3 Al-Ghazali, lhya Ulumiddin, Juz

80

11, him. 275.


NSang ZahidN di Rumahnya Bagi al-Ghazali musik dapat meningkatkan gairah jiwa. Ia mengajak para pembacanya untuk merenungkan suara-suara burung nuri atau burung-burung yang lain. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya. Seruling yang ditiup, piano yang ditekan satu-satu, biola yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara­ suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara itu tak ada bedanya dengan nyanyian para penyanyi. Katanya:

•Mendengarkan suara-suara ini mustahil haram. Bagaimanapun ia adalah suara-suara yang indah dan berirama. Tak seorang pun yang mengharamkan suara burung nuri dan burung-burung yang lain. Tak ada beda antara tenggorokan satu dan tenggorokan yang lain, antara benda tak bergerak dan binatang. Maka seyogyanya suara burung nuri disamakan suara-suara manusia, atau suara-suara bambu, genderang, rebana, dan lain-lain:• Di tempat lain dia mengatakan dengan penuh kearifan: "Mendengarkan musik penting bagi seorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api cintanya berkobar-kobar. Tetapi, bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang fana, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan, dan karena itu haram."

Ibid., him. 271 ·275.

81


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Kata-kata al-Ghazali ini ingin menjelaskan bahwa tidak semua jenis musik dan alat-alat yang digunakannya adalah haram, sebagaimana pandangan para ulama fiqh. Ia sangat tergantung pada motif. Bila gairah akan keindahan dari musik itu diarahkan kepada Tuhan, gairah cinta kepada-Nya akan semakin kuat. Musik adalah tangga jiwa menuju Tuhan. Tetapi bila a i diarahkan untuk hasrat-hasrat duniawi ia akan mengarahkan kepada rangsangan­ rangsangan keburukan dan kejahatan. Tokoh sufi lain yang menghubungkan musik dengan spiritualitas Islam adalah Ruzbihan Baqli Syirazi. Dalam Risalah

al-Quds, dia menjelaskan signifikansi musik, kriteria orang-orang yang boleh mendengarkan dan jenis musik yang pantas untuk dimainkan dan didengarkan. Intelektual muslim modern terkemuka, seorang perenialis Seyyed Hossein Nasr mengemukakan, bahwa "Musik di dunia Islam adalah salah satu media paling universal dan berpengaruh untuk mengekspresikan hal yang terkandung di dalam inti Islam, yakni perwujudan "Keindahan Wajah Tuhan" dan kepasrahan pada Realitas ini, Realitas yang sekaligus adalah Keindahan dan Kedamaian, Kasih Sayang, dan Cinta itu sendiri."s Bagi kaum sufi, musik berfungsi menenangkan pikiran dari beban urusan kemanusiaan, menghibur kecenderungan alamiah manusia dan menstimulasinya untuk melihat rahasia ketuhanan

(asrar rabbam). Dengarlah ungkapan Sa'd al-Din Hamuyah: Ketika hati rnenikrnati konser rnusik spiritual (Sarna') la rnerasakan kehadiran Sang Kekasih Membawa jiwa ke ruang Rahasia-rahasia-Nya Melodi adalah tunggangan jiwamu

5 Sayyed Hossein Nasr, The Hear ofIslam: Pesan-Pesan Islam untuk Kemanusiaan, cet. I, (Bandung: Mizan, 2003), him. 281.

82


NSang ZahidN di Rumahnya

la membimbingmu dengan riang Ke dunia Sang Sahabat.6 Al-Isfahani, dalam bukunya yang terkenal,

Al-Aghani

(Nyanyian), mengatakan bahwa selama penyebaran Islam di berbagai wilayah: Arabia, Persia, Turki, dan India, musik berkembang sangat pesat, sebagai sarana dakwah. Di Indonesia, Sunan Kalijaga, seorang sufi besar adalah orang yang berhasil mengislamkan masyarakat Jawa yang masih menganut agama Hindu dan Budha, melalui musik. Lirik-lirik lagu yang dicipta­ kannya, seperti

Lir-ilir

atau

Tombo Ati

berisi nilai-nilai

spiritualitas yang tinggi dan mengungkapkan ajakan kemuliaan hidup berdasarkan ajaran-ajaran Agama. Maka meski Beethoven, Mozart, Chopin, Bach, Debbusi atau yang lain-lain hanya mengalunkan dengan gesekan-gesekan biola, atau dengan menekan tuts-tuts pianonya, tanpa kata-kata, suara­ suaranya menyembunyikan makna-makna yang dalam tentang kehidupan, kehidupannya, dan tentang semesta. Boleh jadi ia jauh lebih memberikan makna yang tak mungkin dituliskan dengan huruf-hurufdan dilukiskan oleh kata-kata. Ia sanggup menciptakan imajinasi-imajinasi intelektual dan spiritual yang luar biasa. Memahami suara-suara seperti itu memang tak mudah bagi pada umumnya orang. Akan tetapi tidak bagi pikiran-pikiran yang jauh dan bagi jiwa-jiwa yang tercerahkan. Gus Dur adalah bagian dari kelompok ini. Baginya gubahan-gubahan musik klasik para maestro dunia di atas mengandung makna-makna spiritual yang mendalam. Lebih dari sekadar kesenangan pribadi pada musik-musik seperti ini, bagi Gus Dur, mengutip kata-kata Beethoven, "Seni menyatukan semua orang." Musik, seperti dikatakan banyak orang, adalah universal. Ia dapat dinikmati siapa saja dan di mana saja, di setiap •

Sayyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, cet. I, (Bandung: Mizan, 1 993), him. 180.

83


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur bangsa dan negara dan budaya. Ia merupakan kekuatan untuk menyatukan dunia. Dan Gus Dur dan Mawlana Jalal al-Din Rumi terlalu berhasrat pada cita-cita ini.

Mengaji Kitab Sastra dan Tasawuf Jika Gus Dur tak pergi ke mana-mana, atau memang ada jadwal mengaji kitab kuning di masjidnya, beliau mengaji atau memberikan kuliah kepada para santrinya, sambil duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Sementara para santrinya duduk bersila dalam posisi melingkar membentuk arena. Ini yang populer disebut santri di pesantren sebagai �halaqah". Gus Dur biasanya menentukan hari Sabtu untuk mengaji kitab kuning itu. Banyak kitab yang sudah dibaca Gus Dur, di hadapan para santrinya, terutama kitab-kitab bahasa dan sastra klasik, kitab-kitab tasawuf

Ushul al-Fiqh (teori-teori dan metodologi fiqh) atau al-Qawa'id al Fiqhiyyah (kaedah-kaedah fiqh). Menurut Kiai (mistisisme) dan

Abdul Wahid Maryanto, santri yang biasa mendampingi atau membacakan kitab, Gus Dur pernah membacakan kitab

Qathr al­

Nada, sebuah kitab tata bahasa Arab karya Ibnu Hisyam. Lalu kitab Al-Mu'allaqat al-Sab', kumpulan puisi Imri al-Qais, raja penyair Arab pra-Islam. Secara literal, Al-Mu'allaqat al-Sab' adalah tujuh puisi yang digantung di dinding Ka'bah. Bila sebuah puisi sudah digantung di situ, maka ia adalah yang terseleksi dan terbaik dari sekian banyak puisi. Mereka menuliskannya secara reflektif, spontan, seketika, alias tidak mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Seleksinya dilakukan di hadapan publik di arena

sastra di pasar seni Ukaz, mungkin semacam pasar malam puisi dan sastra di Taman Ismail Marzuki atau di pusat-pusat kebudayaan yang lain.

Diwan Al-Buhturi, Maqamat a/­ Hariri, dan Diwan al-Mutanabbi. Antologi terakhir ini telah Gus Dur juga membaca

menginspirasi banyak tokoh sufi sastrawan besar, semacam Jalal

84


NSang ZahidN di Rumahnya

al-Din Rumi. Lalu ia juga menyebut kitab

Thabaqat al-Udaba

Nuzhah Alibba Ji

(Taman Para Cendikia; Biografi Para

Sastrawan) karya Abu al-Barakat al-Anbari. Buku yang terakhir ini, menurut cerita Gus Dur, masih tersimpan di lemari kakeknya; Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy'ari. Ia membacanya ketika masih sangat muda. Semuanya adalah kitab sastra Arab klasik yang bermutu tinggi dan menjadi acuan penulisan sastra Arab-Islam sesudahnya. Kitab lain yang dibacanya adalah Al-Asybah

wa al­

Nazhair, sebuah kitab tentang kaedah-kaedah hukum (fiqh), karya Imam Abd al-Rahman al-Suyuthi, seorang ensiklopedis (mausu'z), penulis ratusan kitab kuning dalam berbagai disiplin. Caranya mengaji kitab-kitab itu tidak sebagaimana di pesantren. Gus Dur tidak membaca seluruh isinya. Ia hanya membaca awalnya dan beberapa kalimat saja yang dibacakan oleh salah seorang santri, lalu menjelaskan kandungannya. Di tengah-tengah mengaji kitab­ kitab tersebut beliau juga menyinggung tentang kitab lainnya dan bercerita panjang lebar ke sana ke mari. Gus Dur juga membaca kitab-kitab tasawwuf. Pada bulan puasa Gus Dur membaca kitab

Al-Hikam al-'Athaiyyah

(Mutiara-mutiara Kebijaksanaan) karya

sufi besar Ibnu Athaillah al-Sakandari.7 Ia menyinggung dan memperkenalkan antara lain kitab Al-Jnsan

al-Kamil (Manusia

Paripuma), buku tasawuf yang amat terkenal, karya sufi besar Abd al-Karim al-Jilli.8 Tetapi dari banyak sekali kitab klasik tasawuf ' Ahmad ibn Muhammad lbn Athaillah as Sakandary (w. 1 350 M), dikenal seorang sufi sekaligus muhaddits yang menjadi faqih dalam mazhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al-Syadzili. Penguasaannya akan had its dan fiqh membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nash dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, di antaranya Al­ Hikam. Kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah al-Falah Wa Mishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), Kitab al-Tanwir Fi lsqath al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri). 8

Abd al-Karim al-Ji Ii, 'Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn 'Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Lahir di Baghdad, 767 H/1365 M. la sering disebut dengan gelar 'Qutb al-Din' (Poros Agama). jili adalah pembela gigih al-

85


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur tersebut, Gus Dur tampaknya sangat terkesan pada kitab al-Hikam

al-'Athaiyyah tadi. Kitab ini sangat dikenal luas di kalangan ulama pesantren dan selalu diajarkan di sana sampai hari ini. Kitab al­ Hikam al-'Athaiyyah adalah referensi utama sufisme Sunni, selain Qut al-Qulub (Energi Hati) karya Abu Thalib al-Makki,9 al-Risalah al-Qusyairiyyah (risalah) karya al-Abu al-Qasim al-Qusyairi,1° dan tentu saja lhya Ulum al-Din (menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) karya puncak Imam al-Ghazali. Gus Dur tampak amat menyenangi kitab

al-Hikam,

mungkin karena karya ini ditulis dalam bentuk

sastra puisi yang sangat indah dengan isinya yang penuh mutiara kebijaksanaan. Salah satu puisi Ibnu Athaillah yang sering

disampaikan Gus Dur adalah syair

"Id.fin" ini:

Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tak dikenal Sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berbuah sempurna" Syaikh al-Akbar Muhyiddin lbn 'Arabi. Karyanya yang sangat terkenal: A/-/nsan Al-Kami/ Fi Ma'rifat-1 'L-Awakhir Wa 'L-Awa'il. Karyanya yang lain: Al-Durrah Al-'Ayniyah Fi a/-Syawahid Al-Chaybiyah, Al-Kahf Wa al-Raqim Fi Syarh Bi Ismii/ah Al-Rahman Al-Rahim, Lawami Al-Barq, Maratib Al-Wujud, Al-Namus Al-Aqdam. 9

10

Muhammad bin Ali bin Athiyyah, Abu Thalib al-Makky, lahir di desa Jabal, daerah antara Baghdad dan Wasith, lrak. Dia seorang sufi besar dan penulis buku tasawufterkenal: Qut al-Qulub fi Mu'amalat al-Mahbub. Buku ini menjadi rujukan utama Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitab magnum opusnya: lhya Ulumuddin. la meninggal pada tahun 386 H di Baghdad. Al-Qusyairi, nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abd a/­ Malik bin Thalhah, Abu al-Qasim al-Qusyairi. la imam dalam tasawuf, ahli tafsir, had its, dan sastra. la dikenal sebagai *Zain al-Islam• (Hiasan Islam). Bukunya yang sangat terkenal dan menjadi pegangan utama para penganut tasawuf Sunni:

11

Al-Risa/ah al-Qvsyairiyah. Karyanya yang lain; Lathaifal-lsyarat fi Taf s ir al-Qvr'an, Kitab al-Qulub al-Shaghir, dan puluhan kitab lainnya.

lbn Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, hikmah No. 1 1 .

86


NSang ZahidN di Rumahnya Soal puisi (syair) di atas, Prof. Dr. Zaki Mubarak, sarjana tasawuf terkemuka dari Mesir, mengatakan: •syair ldfin itu amat memukau. la begitu indah. Aku tak pernah menemukan yang sepertinya di tempat lain. Di dalamnya tersimpan gejolak spiritualisme yang amat kuat. Sang penulis, agaknya, menemukan ma knanya ketika ia melakukan permenungan dalam sunyi, bening dan dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka ia menjadi kata-kata indah nan abadi, sepanjang zaman.•12 Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri, dan politik pencitraan. Arti puisi itu kira-kira begini: "Simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna." Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk

mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Hasrat ini mungkin sekarang populer disebut "politik pencitraan". Saya pernah membaca buku karya Yasraf Amir Piliang,

Posrealitas.

Ia

bilang: "Citra merupakan bentuk manipulasi realitas untuk kepentingan tertentu, dan pada titik yang ekstrem, tercerabut sama sekali dari dunia realitas. Citra tak lagi merupakan cermin realitas, melainkan cermin dari kepentingan. Yang tercipta adalah fatamorgana sosial yang di dalamnya tanda-tanda (simbol-simbol) telah tercerabut dari kebenaran." Dengan lugas Yasraf bilang: "Citra memangsa dunia realitas dan membunuh kebenaran." Makna lain dari kata-kata bijak Ibnu Athaillah di atas adalah perlunya ketulusan dan keikhlasan.

"Sepi ing pamrih, rame ing

gawe," kata pepatah Jawa.

12

Zaky Mubarak, Af-Tashawwufaf-lslami fi af-Adab wa af-Akhlaq, him. 108.

87


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur "Pecinta sejati," kata Rumi, "mengorbankan dirinya sendiri dan tidak mencari apapun demi imbalan." Ia adalah lilin dengan api yang menyala. Ia membiarkan api itu terus menyinari ruang-ruang gelap dan dirinya terbakar. Puisi lain dari sufi agung yang juga amat sering disampaikan Gus Dur dalam banyak kesempatan dan ruang, adalah: )

" ,

cl.Jl>

,

0

'

. Ia&· .. \m.r '•

,,

,,

,,.

\

'

",, l ,,

• ,

" -

' ·....- < >" • LJ

!. '

,

;

,,.

"' J

�Ll.; �\ -fa �-� 'i' Tak usahlah kau temani Mereka yang tak membangkitkan lakumu Dan yang kata-katanya tak membimbingmu kepada Tuhan'J

Kata-kata di atas juga disampaikan para bijak-bestari dari berbagai agama.

Jangan lah kau berteman setia dengan orang-orang jahat Atau mereka yang berjiwa rendah Tetapi bertemanlah dengan orang-orang baik Dan mereka yang berbudi luhur lkutilah orang yang pandai dan bijaksana Bagai bulan mengikuti peredaran galaksi

Gus Dur, sering menyampaikan di hadapan umatnya, bahwa syair inilah yang mengilhami para ulama/kiai pesantren, pada 1926, untuk memberi nama organisasi mereka: "Nahdlatul Ulama'', yang berarti Kebangkitan Ulama. Kini ia menjadi organisasi

'3

lbn Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, Hikmah No. 43.

88


uSang Zahidu di Rumahnya keagamaan terbesar di dunia, dengan berjuta-juta pengikut setia yang hari demi hari terus bertambah. Ada tokoh NU yang menyebut, jumlah pengikut NU adalah semua warga Negara Indo­ nesia, selain Muhammadiyah. Ukurannya mudah saja; sepanjang orang masih tahlil pada hari kematian, maka dia orang NU. Ini mungkin saja sekadar berkelakar. Kakek Gus Dur adalah pimpinan tertinggi pertama dengan sebutan "Rois Akbar". Predikat ini hanya disandang beliau. Gus Dur, sang cucu, kemudian melanjutkan, membesarkan dan membuat organisasi ini dikenal luas di dunia Barat maupun di dunia Timur. Gus Dur telah memimpin organisasi ini selama 15 tahun, dan di bawah kepemimpinannya NU kembali

berwibawa dan disegani banyak orang, termasuk pemerintah.

Banyak orang bilang NU telah menjadi Gus Dur. "Gus Dur adalah NU." Mengenai kata-kata ini saya ingat ucapan Rumi. Aku telah begitu banyak berdoa Hingga aku telah berubah menjadi doa itu sendiri Setiap orang yang melihat diriku Meminta doa dariku Dengan kata-kata bijak dari Ibu Athaillah di atas, Gus Dur juga telah membangkitkan pikiran para santri dan umatnya, sehingga mereka banyak yang kemudian menjadi cerdas, kritis, dan bergairah. Tak ada kekuatan apapun di bumi Yang mampu menundukkan bangsa. J ika saja mereka bangkit

Setiap mendengar Gus Dur membaca kalimat-kalimat puitis

di atas, terutama syair "Id.fin", saya tak tahan untuk bersedu sedan

sendiri. Ia begitu indah. Pesan-pesan itulah rupanya yang menuntun dan membimbing Gus Dur sepanjang hidupnya. Beliau selalu membuang hasrat-hasrat kemasyhuran diri dan lebih banyak bekerja daripada bicara. Beliau menanam begitu banyak

89


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur pohon di dalam hati dan pikirannya, tanpa banyak orang mengetahuinya. Beliau bicara jika memang harus bicara. Meskipun gemar humor atau melucu, tetapi humor-humornya selalu memberi makna yang berguna bagi orang. Humor-humornya bukan asal-asalan, tetapi menyimpan makna-makna spiritual yang membangkitkan dan kritikal. Gus Dur selalu ingin dan memang sering menemui orang-orang yang direndahkan dan disisihkan hanya karena mereka miskin, papa, tak penting, tak berharga, dan tak terjangkau pusat kekuasaan. Dia ingin menemani mereka, memberi kegembiraan, membangkitkan sehingga dapat menatap dan menjalani hari-harinya dengan optimis. Dia tak seperti para pemimpin yang lain yang suka mengeluh dan ingin selalu didengar. Baginya, orang-orang miskin dan mereka yang disisihkan itu adalah orang-orang yang telah memberi makna, kepada dirinya dan kepada kehidupan ini.

"Innama Tunsharun wa Turzaqun bi

Dhu'afa-ikum" (Kalian sesungguhnya ditolong dan diberi rizki oleh orang-orang yang lemah di antara kalian), kata Nabi. Pada sisi lain Gus Dur juga tahu persis bahwa kemiskinan acapkali menjadi sumber paling potensial yang menghancurkan moral orang, seperti kata Nabi:

"Kada al-Faqr an Yakuna Kufran." Saya

memaknai hadits ini: "Kefakiran bisa mengantarkan orang pada sikap anti (mengingkari) kebenaran dan keadilan," dan bukannya "kefakiran mendekatkan orang pada kekafiran/murtad," meski makna ini mungkin saja. Ketika orang tak lagi punya apa-apa untuk dimakan bagi diri, istri dan anak-anaknya, maka dia bisa jadi gelap mata dan moral menjadi runtuh. Bila perempuan-perempuan menjadi miskin, maka adalah sangat mungkin bila mereka terpaksa menjajakan tubuhnya untuk keperluan menahan perutnya yang sakit, atau anaknya yang terns menerus menangis minta air susu. Kelaparan merupakan penyakit yang paling berbahaya. Manakala negara telah membiarkan kaum miskin terns lapar dan kaum kapitalis bergembira ria di atas penderitaan mereka, situasi sosial yang kacau pasti akan terjadi. Para cendikiawan mengatakan bahwa

90


NSang ZahidN di Rumahnya

kemiskinan dan kelaparan bukanlah semata-mata karena mereka malas berkerja. Kemiskinan tak dikehendaki siapapun. Kebijakan politik negara turut serta menciptakannya. Gus Dur pada suatu saat mengatakan bahwa realitas keterasingan manusia yang menderitakan itu tak boleh terjadi. Jika itu terjadi maka kewajiban utama orang-orang bijak adalah mengubah dunia menjadi lebih baik dan menyejahterakan semua atau sebanyak-banyak manusia. Tindakan untuk keadilan adalah mendukung dan memperjuangkan hak-hak mereka yang tak beruntung. Keterasingan dan situasi alienasi manusia ada dalam kehidupan bersama, bukan di luarnya. Keterasingan manusia

harus dicari di sana. Keterasingan itu adalah anak kandung sistem ekonomi kapitalistik. Gus Dur juga ingin tak ada Iagi marjinalisasi dan alienasi atas mereka. Mereka harus diberi ruang yang sama untuk memperoleh kesejahteraan, dibangkitkan dan dimajukan. Mereka harus diberikan ruang dan akses yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan pengetahuan yang tinggi. Betapa banyak sudah anak-anak muda miskin diberinya bantuan, dan betapa banyak anak muda yang diberi kesempatan untuk maju dan menjadi pemimpin. Mereka mendapatkan bimbingan intelektual dan spiri­ tual Gus Dur. Beliau menyambut mereka dengan gembira dan tak mengharap balas jasa. Gus Dur tak peduli, mereka mau berterima kasih atau tidak.

91


#6 SANG ZAHID SERING TAK P UNYA

UANG

Dulu, ketika Gus Dur masih memimpin NU, Surahman,

tetangga desa saya, pernah bekerja membantu beliau di PBNU. Saban hari menunggu kantor PBNU, sekaligus membersihkan kamar di mana Gus Dur duduk berkantor. Sebelumnya, dia, beberapa tahun membantu di rumah Kiai Fuad Amin (alm.), pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, mertua saya, sambil mengaji. Lalu Kiai Fuad menugaskannya di PBNU. Surahman

pernah bercerita kepada saya mengenai pengalamannya bekerja

di PBNU dan menemani (melayani) Gus Dur. Katanya, setiap hari

Gus Dur menerima banyak sekali surat dari warga dan umatnya di

daerah-daerah; ada pengurus NU, kiai, santri, petani, nelayan, tukang kebun, pedagang kelontong, dan lain-lain. Surat-surat itu dibacanya satu persatu. Kebanyakan isinya adalah permohonan bantuan dana untuk keperluan yang beragam, baik untuk fasilitas organisasi, pembangunan masjid, mushalla, madrasah, pesantren atau untuk diri sendiri dan keluarganya yang sedang kekurangan biaya hidup. Gus Dur membacanya satu persatu dengan teliti. Ia lalu mengambil kartu pos wesel yang sengaja disiapkan dan ditaruh di lacinya. Kemudian ia menulis dengan tangannya sendiri. Di dalamnya ia menuliskan angka rupiah tertentu dan berbeda-beda. Gus Dur mengambil honor-honor yang diperolehnya dari tulisan yang dimuat atau dari seminar yang dihadirinya, Jalu dibagi menurut pertimbangannya sendiri. Gus Dur lalu memanggil

93


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Surahman dan memintanya membawa pos-pos wesel itu ke kantor pos dan mengirimkannya ke alamatnya masing-masing. Bersama dengan kartu-kartu pos wesel itu Gus Dur juga menyerahkan uangnya. Saat itu tidak ada orang lain di situ, kecuali dirinya (Surahman). Pengurus PBNU yang lain tak pemah tahu soal yang satu ini. Jika kemudian ada yang tahu, maka pastilah dari mulut Surahman sendiri, tidak yang lain. Bukan sekali saja Surahman diminta mengerjakan tugas pribadi tersebut, dan dia tidak tahu Gus Dur masih punya uang lagi atau tidak, sesudah itu. Adik saya, sekaligus keponakan Gus Dur; Nanik Zahiro, juga bercerita kepada saya. Dia pernah kuliah di Institute Ilmu Al Qur'an (IIQ), Jakarta, awal tahun 90-an, dengan biaya dari Gus

Dur. Setiapa bulan dia datang ke PBNU untuk bertemu pamannya

itu, mengambil uang kost dan biaya kuliahnya. Suatu hari dia pemah kehabisan uang, karena uang dari Gus Dur digunakan untuk keperluan lain yang tidak terduga. Dia sudah minta kiriman dari ayahnya di Tambak Beras, Jombang, tetapi belum juga tiba. Dia datang ke Gus Dur di kantor PBNU untuk meminta bantuan tambahan dan mendadak. Tetapi ketika itu Gus Dur sedang tak punya uang. Namun beliau tak menolaknya. Ia mengatakan: "Tunggu sebentar ya, Nan? Saya akan pergi <lulu sebentar." Ia pergi ke tempat sebuah seminar yang hari itu kebetulan harus dihadirinya. Tidak lama sesudah itu beliau kembali dan menyerahkan amplop honor seminar yang masih tertutup rapat itu kepada keponakannya itu. "Ambil seperlunya saja ya?" katanya. Nanik menerimanya dengan senang. Dia membuka amplop itu. Tetapi sesudah menghitung isi amplop tersebut, dia bilang bahwa keperluannya adalah seluruh isi amplop itu. Gus Dur diam saja. "Ya sudah, gak apa-apa." Suatu hari, di tengah mengaji kitab kuning, Ibu Shinta bercerita tentang keadaan keuangan organisasinya: "Puan Amal Hayati" yang makin berkurang dan tidak mencukupi untuk

94


Sang Zahid Sering Tak Punya Uang

membiayai kegiatannya pada bulan-bulan berikutnya. Puan adalah organisasi yang didirikan untuk pemberdayaan kaum perempuan pesantren. lbu Shinta menginisiasi pendirian ini, tahun

2000,

dan

saya ikut bersama mendirikannya dan hingga kini masih menjadi wakil beliau. Salah satu aktivitasnya adalah mengaji Kitab Kuning, antara lain:

Uqud al-Lujai Ji Bayan Huquq al-Zawjain,

karya

Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab ini membicarakan hak dan kewajiban suami-istri dan menjadi salah satu kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia. Keadaan keuangan Puan yang kembang kempis itu kemudian diketahui Gus Dur. Saya tidak tahu dari mana, tetapi sangat mungkin lbu Shinta menceritakannya kepada beliau ketika berdua di kamar tidurnya. Tak lama setelah itu, Gus Dur, kata lbu, segera mengambil honor artikel-artikelnya di media. Lalu uang itu seluruhnya diberikan untuk organisasi istri tercintanya itu. Dalam laporan keuangan Puan yang kemudian disampaikan kepada pengurus, saya membaca dengan jelas: "Bantuan Gus Dur, bantuan Gus Dur, bantuan Gus Dur, sumbangan Gus Dur, dan nama itu disebut berkali-kali berikut nominalnya. Oh, Gus Dur! Saya mendesah panjang. Gus Dur sering tak punya uang, karena setiap punya uang a i bagikan kepada orang lain atau pihak yang memerlukannya. Banyak cerita orang dekat Gus Dur yang menyampaikan soal kelakuannya seperti itu, termasuk ketika ia menjadi presiden. Pak Mahfud MD, antara lain, bercerita ketika mendampinginya dan menjadi pembantunya sebagai menteri. Gaji Gus Dur sebagai presiden sering diberikan kepada orang-orang yang memerlukan­ nya atau yang menurutnya membutuhkan meskipun tak diminta, termasuk kepada menterinya. Gus Dur, kata Pak Mahfud, pernah memberikan sebagian gaji pertamanya kepada Alwi Shihab, sambil mengatakan: "Nih Alwi, untuk beli jas, masa menteri jasnya jelek

begitu." Ia rupanya tahu jas yang dipakai Pak Alwi Shihab. Hal yang sama juga dilakukan kepada anak muda yang diangkat sebagai

95


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur menterinya: AS. Hikam. Sambil menyerahkan sebagian uang gajinya, kepadanya Gus Dur bilang: "Nih untuk beli sepatu, masa menteri sepatunya butut." Gus Dur lagi-lagi sepertinya tahu sepatu A.S. Hikam, meski matanya tak bisa melihat. Kebiasaannya memberi kepada orang-orang yang memerlu足 kannya, dilakukan Gus Dur tanpa menanyakan apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau hanya pura-pura saja. Ia tak peduli. Gus Dur juga tak pernah meminta orang lain menyelidiki足

nya. Ia juga memberikan tanpa melihat siapakah dia. Ia memang

dalam segala keadaan tak pernah bertanya-tanya mengenai identitas primordial seseorang. Baginya semua orang sama saja, hamba Allah. Ia bahkan juga memberikan kepada orang yang pemah dan masih terus mengritik pikiran-pikirannya, baik secara bisik-bisik maupun terbuka. Teman saya yang sudah disebut,

pernah menceritakan orang tipe yang tertakhir ini. Ia dulu adalah

santri dan temannya di Pesantren Tebuireng, sekaligus mengaji kitab kuning kepada Gus Dur. Jadi ia adalah santrinya sendiri. Kini ia menjadi kiai terkenal dan mempunyai pesantren cukup besar dan terkenal di Jakarta. Sang kiai suatu hari datang menemui Gus Dur di Ciganjur dan memohon bantuannya untuk pengembangan pesantrennya. Ia menceritakan dengan cukup detail tentang pesantrennya yang semakin berkembang dan tak lagi mencukupi. Ia lalu menyebutkan angka tertentu. Gus Dur mendengarkannya dengan tekun, lalu bilang kepada kiai tersebut: "Saya tak punya uang sebesar itu, tapi Insya Allah saya akan berusaha mencari足 kannya. Sampeyan ikut berdoa saja ya?" Saya tak tahu lagi kabar setelah itu, apakah usaha Gus Dur tersebut berhasil atau tidak, atau apakah ketika berhasil, ia memberikannya semuanya, sesuai yang dibutuhkan atau sebagian saja. Tetapi terlepas dari itu, satu hal yang sangat mengesankan adalah bahwa Gus Dur selalu saja

tak pernah ingin mengecewakan mereka yang memohon bantu足 annya.

96


Sang Zahid Sering Tak Punya Uang

Isu PesawatAWAir Suatu hari usai mengaji di rumah Gus Dur, saya pulang naik taksi menuju kost, tempat tinggal manakala saya di Jakarta. Kepada supir taksi itu saya bercerita sedikit tentang beliau. Tentu saja saya menceritakan hal yang dalam pikiran saya akan ditanggapi dengan positif dan dengan penuh kekaguman. Ya, soal kebersahajaan Gus Dur dan seringnya beliau tak punya uang. Tetapi saya salah berpikir. Supir taksi itu malahan mengritiknya. Katanya: "Gus Dur itu orang kaya raya, rumahnya bagus dan dia punya

perusahaan/maskapai penerbangan namanya "AW Air". Pak supir bicara dengan sangat yakin. "AW" itu pasti singkatan dari

Abdurrahman Wahid. Saya mencoba bertanya dari mana dia tahu itu. Ia menjawab pernah membaca koran dan mendengar cerita teman-temannya, dulu. Dan saya diam sambil senyum-senyum saja, tak hendak mendebatnya. Dalam hati saya ingin mengatakan kepada pak supir taksi itu bahwa saya tahu dengan mata kepala sendiri, beliau tak memiliki perusahan apapun, apalagi maskapai penerbangan. Lalu pikiran saya melayang ke Muktamar III Partai Kebangkitan Bangsa (versi Gus Dur) di Surabaya, 27-28 Desember 2010, dua hari menjelang Haul 1 Gus Dur. Saya menghadirinya. Di Bandara banyak orang menawarkan pesawat itu dengan tiket murah. Di sana memang berhembus isu bahwa pemilik pesawat itu adalah Gus Dur sambil menyebut kepanjangan AW, sebagai Abdurrahman Wahid. Saya mafhum dengan isu, karena memang situasi politik perseteruan antara PKB kubu Abdurrahman Wahid di bawah kepemimpin putrinya Yenny dan keponakannya Muhaimin lskandar amatlah keras.

Tiga]uta Modal]adi Presiden Manakala Gus Dur menyampaikan dirinya akan menjadi presiden, jauh hari, mungkin setahun atau beberapa bulan,

97


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur sebelum benar-benar jadi presiden, ia ditanya sahabat dekatnya, tentang jumlah uang yang dipersiapkan untuk menjadi orang nomor satu di negerinya. Menurutnya bila orang mau jadi pejabat negara di level manapun pastilah sudah mempersiapkan sejumlah uang besar untuk "membeli suara" para pemilihnya. Tak peduli

dari mana dia memperoleh uang tersebut. Apalagi untuk menjadi presiden. Sahabat Gus Dur itu sangat paham "tradisi" memberi amplop itu. Gus Dur kemudian, tanpa pikir panjang, bilang: "Tiga juta". Hah, sang sahabat tadi terperangah, tak percaya, lalu tersenyum-senyum getir, sambil mengatakan: "Tiga juta rupiah itu untuk beli Aqua bagi anggota MPR saja tidak cukup, Gus." Mendengar itu Gus Dur hanya bilang dengan tenang: "Ya sudah, kalau gak jadi presiden juga gak apa-apa.

Wong

saya gak punya

uang kok." Dan Gus Dur pun benar-benar menjadi presiden ke-4, tanpa mengeluarkan uang satu rupiah pun. la memenangkan perebutan kursi presiden atas Megawati.

Membagi.Amplop Transport Hari-hari Gus Dur adalah hari-hari yang padat agenda bertemu banyak orang untuk keperluan yang beragam. Di samping menghadiri seminar, diskusi, memimpin rapat-rapat, menulis, mengaji, menghadiri dan menjadi saksi pernikahan atau menikahkan, ia juga berziarah atau mengunjungi banyak tempat yang baik dan mengingatkan dirinya. Setiap Gus Dur ke suatu daerah, ia selalu menyempatkan diri bertemu kiai, ulama atau tokoh setempat. Kadang tak ada yang ingin disampaikannya, kecuali sekadar bersilaturahmi dengan mereka. Gus Dur juga menghadiri undangan

Hafiah Imtihan

Hafiah Imtihan

di pesantren-pesantren.

adalah istilah untuk upacara perayaan usai ujian

dan mengakhiri kegiatan selama setahun di pesanten. Teman saya yang setia mendampingi Gus Dur bercerita kepada saya. Suatu hari Gus Dur hadir untuk memberikan ceramah hafiah

98

imtihan di


Sang Zahid Sering Tak Punya Uang sebuah pesantren di Cirebon. Usai ceramah, panitia menyalaminya sambil mencium tangannya bolak balik. Lalu menyalaminya sekali lagi untuk memberi amplop.

port, sakwontene"

"Ngapunten Gus, niki kangge trans­

(Maaf Gus, ini transportnya, seadanya),

ujarnya. Begitu ia menerimanya, ampop itu segera diberikan kepada teman saya si pendamping tadi dan berpesan agar dibagikan untuk siapa saja yang menyertainya dalam perjalanan, termasuk untuk makan dan bensin kendaraan. Setiap Gus Dur menerima amplop, ia tak pernah membukanya dan tak pernah bertanya berapa isinya. la juga tak pernah menceritakan kepada siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya untuk mereka yang memerlukannya itu, kecil maupun besar. Suatu hari, dalam obrolan di rumahnya di Ciganjur, beberapa waktu sesudah Gus Dur pulang, beberapa orang teman menceritakan tentang keinginan atau niat "bapak" yang belum dipenuhi dan diwujudkannya, sampai kepulangannya tanggal 30 Desember 2009 itu. Entah di mana tempatnya, dalam obrolan malam di rumah atau di perjalanan, "bapak", kata mereka, bercita­ cita ingin membuatkan rumah untuk orang-orang yang membantunya selama ini. Konon, bapak sudah bertanya-tanya soal harga tanah di suatu tempat. Bila kelak a i punya uang, tanah itu akan dibelinya, lalu dibangunkan rumah sederhana untuk mereka. Ya, mereka yang setia menunggu malam-malam sambil menjaganya, yang siap dipanggil kapan saja jika "bapak" memerlukannya, yang menuntun dan membawanya ke mana saja, yang menjaga rumahnya. Salah seorang di antara mereka bertanya kepada saya: "Apakah itu nazar atau wasiat?" Saya bilang: bukan, tetapi keinginan yang sungguh-sungguh. Ini karena beliau tak menyebut "Ini aku nazar" secara eksplisit agar tidak menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.

99


#7

ZUHUD DAN ZAHID

Maka Gus Dur memang sering tak punya uang, meski ketika ia

menjacli presiden. la seorang zahid, seorang darwis. Sang Zahid di manapun sering tak punya uang, sebab uang baginya punya uang atau harta benda bisa akan dan sering mengganggu pikiran dan jiwanya, melalaikannya dari tugas mengabdi dan mengingat Tuhan. Gus Dur pernah suatu saat menyampaikan ayat atau

"al-Takatsur".

"Alhakum"

"Kehidupan glamor telah melalaikan kamu.

Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Oh tidak! Kamu pasti akan tahu. Kamu pasti akan melihat dengan mata kepalamu. Kemuclian, hari itu, kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan yang melalaikan itu." Uang bahkan bisa dan acap bikin malapetaka, bikin cemburu, bikin fitnah dan lain-lain. Betapa banyak kisah dalam kehidupan masyarakat di mana uang jacli akar masalah permusuhan, konflik dan perceraian suami-istri. Betapa banyak kisah pula dalam kehidupan sosial di mana ketergantungan orang pada uang bisa membuatnya melampaui batas-batas hukum, menciptakan kerakusan dan memicu kezaliman. Gus Dur sangat memahami ini. Lalu apakah seorang zahid harus tidak memerlukan uang? Suatu hari saya bertanya kepadanya,

dalam

suatu

kesempatan, soal makna "zuhud" (asketik). Saya bilang, ketika saya mengaji di pesantren, setiap kitab kuning menyebut kata "zuhud"

101


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur selalu dimaknai para kiai sebagai membenci dunia, tidak menyukai dunia. Maksudnya tidak suka hal-hal yang berbau materi. Ketika ditanya itu, Gus Dur hanya bilang "zuhud itu banyak maknanya. Tapi maksudnya adalah hidup sederhana, bersahaja, dan tendah hati." Saya lalu mencari sendiri kata-katanya. Para ulama memang mendefinisikannya secara berbeda-beda.

Zahid

(orang yang

zuhud) bukannya tidak boleh punya uang, pakaian atau kendaraan yang bagus. Tetapi semua benda itu tak boleh mengganggu hati dan pikirannya. Jika ada, dia mensyukurinya, dan jika hilang, dia tak memikirkannya, dia tidak gelisah atas kehilangan itu apalagi membuatnya jadi marah-marah. Seorang sufi bilang: "Zuhud adalah

"Adam al-Huzn 'ala Ma Faat" (Tidak berduka

ketika

kehilangan). Dan Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan:

•zahid adalah orang yang tidak merasa senang manakala diberi rizki lebih dan tidak merasa susah manakala berkurang." Kesenangan atau kenikmatan yang diperoleh dalam hidup tak membuat sang zahid lupa diri dan tidak pula membuatnya disibukkan atau dikendalikan oleh kenikmatan dan kesenangan duniawi itu seraya melupakan orang lain, apalagi melupakan Tuhan. Intinya, seperti dikatakan Gus Dur, zuhud adalah sikap hidup bersahaja serta kemampuan diri mengelola hati dan jiwanya untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang pragmatis, yang bernilai sesaat, rendah dan mementingkan diri sendiri. Gus Dur tentu sudah membaca kitab al-Aghani, karya raksasa Abu al-Faraj al-Ishfahani, terdiri dari 40 lebih jilid tebal itu. Buku ini merekam berbagai peristiwa kehidupan masyarakat sejak masa Nabi, para khalifah dari segala dinasti, ulama-ulama, para cendikiawan, para budayawan, seniman, para pemimpin rakyat, humoris, dan lain­

lain, berikut pikiran-pikiran dan tingkah laku mereka. Di dalamnya terdapat cerita-cerita keseharian mereka, bait-bait puisi, kasidah

102


Zuhud dan Zahid dan syair-syair dari yang klasik sampai masa penulisnya. Salah satunya adalah nyanyian gubahan penyair besar Abu al-Atahiyah, seperti ini:

Jika orang tak bisa bebaskan jiwanya dari harta Harta itu pasti akan menjeratnya lngatlah, hartanya adalah apa yang sudah dia berikan Bukan yang dia simpan di rumah Jika engkau punya harta Berikan segera kepada yang perlu Jika tidak, bencana akan menghancurkanmu

Bait-bait syair di atas mengingatkan saya pada peringatan Tuhan dalam al-Qur'an. Saya acap menyampaikan ayat ini pada khutbah Jum'at atau pada saat mengaji dengan para santri. Gus Dur pasti juga mengingat ayat-ayat ini. "Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak­ anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang­ orang yang saleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan

103


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan," (Q.S, Al­ Munafiqun, [63]:9-11).

]ika la Tak Punya la Memberi Kegembiraan Jika tak ada lagi yang bisa diberikan Gus Dur, karena memang benar-benar sedang tak punya, ia akan menyampaikan kata-kata yang menggembirakan dan memberikan ketenangan. Gus Dur, selalu tak ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau pulang ke rumahnya dengan wajah murung, tangan yang pulang dengan hampa dan hati duka. la membayangkan jika orang yang mengharap pertolongannya pulang lalu menemui anak-anak dan istrinya yang menangis. Hatinya amat peka dan pilu mendengar orang lain yang sering susah. Ya, dalam keadaan tak bisa memberikan uang, Gus Dur akan berpesan kepada mereka seperti nasehat Ibnu Athaillah al-Sakandari ini:

•seyogyanya, tertundanya pemberian sesudah engkau meng­ ulang-ulang permintaan kepada Tuhan, tidak membuatmu patah hati atau putus asa. Dia menjamin pemenuhan permintaanmu sesuai dengan apa yang Dia pilih bukan yang kamu pilih, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada saat yang engkau kehendaki.'' Jika begitu Gus Dur adalah Sang Zahid. Ia seorang yang bersahaja, yang selalu rela atas pemberian Tuhan, yang tak mengeluh, apalagi protes pada-Nya ketika tak punya apa-apa. Ia tak pernab gelisab ketika kebilangan kemegaban, kebormatan,

' lbn Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, Hikmah No. 6.

104


Zuhud dan Zahid kedudukan, dan kenikmatan benda-benda. Karena ia tahu dan mengerti sungguh, sejak awal, setiap orang, sejatinya, tidak punya apa-apa, lalu Tuhan memberinya dengan cuma-cuma, gratis. Ia yang percaya bahwa Tuhan menjamin hidup makhluk-Nya, asal mau berusaha dan berdoa. "Tidak ada makhluk di muka bumi kecuali Allah menanggung rizkinya," kata al-Qur'an. Lihatlah burung-burung di pepohonan itu:

Yaruhu Bithanan." "Pagi

"Yaghdu Khimashan wa

hari lapar, lalu terbang dan pulang

kandang dengan perut kenyang." Seorang zahid mengerti benar bahwa semuanya adalah anugerah dari Tuhan yang seyogyanya dan sepatutnya disyukuri. Jika kemudian dia tak lagi punya apa­ apa, seharusnyajuga tidak apa-apa, tidak mengeluhkan kehilangan itu. Mengapa harus cemas? Mengapa harus gelisah? Mengapa harus repot? dan mengapa harus marah-marah? Seorang zahid adalah dia yang tak pernah bergantung pada makhluk Tuhan. Zahid adalah orang yang selalu memulangkan segala keputusan kepada Allah, karena semuanya, dalam keyakinannya, sungguh-sungguh adalah milik Dia dan karena itu ia akan selalu berterima kasih kepada­ Nya dan bersabar bila terlambat ada. Bila orang tak sabar atau tak rela atas pemberian Tuhan, maka kepada siapakah lagi dia akan berharap? Nabi pernah mengatakan kepada para sahabatnya:

'Siapa saja yang tak rela atas keputusan-Ku, silakan cari Tuhan selain Aku.' Gus Dur juga begitu. Ia mengerti bahwa rizki manusia adalah apa yang sudah dipakai atau dikeluarkan untuk membuatnya hidup, ia mengerti pula bahwa seluruh kekayaan adalah amanat Tuhan yang harus dibagi-bagi untuk kepentingan makhluk-Nya, dan pada akhirnya ia juga mengerti bahwa kekayaan itu tak akan memberinya manfaat manakala ia kelak dihadapkan kepada Tuhan, suatu hari kelak, dengan hati bersih, seperti dikatakan al-Qur'an:

105


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

'I' .

r

ll/

..__.ll, :.11 1 ;

;

...�

..s

,..

.,.

r;. ,.. ' ' �I .)• ·' Y J. t; � 'j .Y t .H � '- .

"l !

.; 0

,,.

"

'

rY-

•(vai1ui hari di mana harta dan anak tak lagi memberi manfaat apapun, kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih." •Qalb SalimH (hati yang bersih, bening) adalah hati dan jiwa yang larut dalam cinta yang luruh dan seluruh kepada-Nya.

106


#8 MISTERI SANG ZAHID

Terlampau sering kita mendengar atau membaca cerita/kisah tentang hal-hal yang aneh dan sepertinya tak masuk akal yang muncul dari Gus Dur. Sebagian orang menyebutnya sebagai "misteri Gus Dur." Beberapa orang menyebutnya pemikiran "yang melampaui zaman." Hal ini karena pemikiran atau gagasannya tak dapat dipahami banyak orang pada masanya. Dia bahkan harus menerima caci maki dan kebodohan. Tetapi seiring berjalannya waktu orang kemudian paham bahwa apa yang dikatakannya adalah benar adanya. Cerita-cerita itu disampaikan oleh orang-orang yang menemani atau menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri. Sebagian dari mereka adalah orang-orang terkemuka, tokoh agama, pemimpin masyarakat, intelektual, mereka yang selalu berpikir rasional dan kritis, dan lain-lain. Sebut saja misalnya, Profesor Mahfud MD, (kini ketua MK), Mohammad Sobari (budayawan), Marsillam Simanjuntak (Alm., mantan Sekertaris Kabinet), Dr. Daniel Dhakidae (budayawan), Prof. Alwi Shihab, dan lain-lain. Hal yang sepertinya tak masuk akal itu dikemukakan Gus Dur dalam celotehan-celotehan atau canda-canda atau yang lain. Banyak orang yang tak percaya ketika Gus Dur menyampaikannya,

tetapi ia terbukti benar adanya pada saat yang lain. Celotehan yang populer misalnya soal DPR yang disebutnya seperti Taman

107


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Kanak-Kanak. Atau soal pernyataan dirinya akan jadi presiden. Dalam Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 16-18 Nopember 2011

yang saya hadiri, Daniel Dhakidae kembali menceritakan:

"Sekitar Juli 1999, dalam pertemuan Forum Demokrasi, Gus Dur menyampaikan: "Kalau beredar isu saya mau jadi presiden, itu bukan dari saya. Karena saya tidak berencana untuk menjadi apa yang diisukan itu. Kalau itu benar, maka itu panggilan dari langit." Semua teman-temannya tak mempercayainya, dengan cara dan gayanya yang berbeda-beda. Ada yang tertawa karena meng­ anggap Gus Dur sedang melucu seperti biasanya, ada yang tertawa mengejek, dan ada yang "merinding" karena menganggap Gus Dur sudah tak waras. Bila di kemudian hari Gus Dur benar-benar menjadi presiden, sebagian mereka masih juga tak percaya, atau katakanlah "aneh" dan "tak masuk akal." Betapapun anehnya, atau sebutan apapun, akan tetapi nyata. lrwan David, teman Gus Dur yang pada awalnya menganggapnya sebagai celotehan yang ngawur, kemudian mengatakan: "Bagi kami, orang Katolik, Gus Dur itu seperti santo yang oleh orang Islam disebut wali." Misteri Gus Dur yang lain dan sering dibicarakan orang adalah soal tidur Gus Dur. Ia dikenal suka tidur atau tukang tidur. Ia mudah sekali lenyap dan masuk dalam mimpi-mimpi, di mana saja dan dalam forum apa saja, termasuk dalam forum seminar internasional yang berkelas pemikir besar dunia. Lalu Gus Dur bangun dan segera memberikan tanggapan atau jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan audiens kepadanya. Menakjubkan. Tanggapan dan jawaban Gus Dur, mengarah, mendalam, dan memperlihatkan kecerdasan dan kegeniusan pikirannya. Gus Dur sepertinya mendengar dengan tekun seluruh pembicaraan mereka, meski dalam tidur nyenyak. Salah satu yang mengesankan saya adalah kisah Dr. Jalaluddin Rahmat. Kang Jalal, begitu ia biasa dipanggil sahabat dan teman­ temannya, suatu saat menyertai Gus Dur dalam perjalanannya ke

108


Misteri Sang Zahid

Iran untuk sejumlah pertemuan ilmiah dengan para ilmuan, para pakar dan ulama terkemuka di negeri itu, termasuk dalam pertemuan dengan Presiden Iran. Dalam sejumlah pertemuan ilmiah itu, Gus Dur, selalu menyempatkan tidur lelapnya, dan membiarkan forum berjalan sendiri. Kang Jalal, tampak sangat

kecewa, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia sangat segan untuk membangunkannya. Suatu hari Gus Dur dan rombongan Indo­ nesia hadir dalam pertemuan amat penting, dengan pembicara

seorang kepala negara di istananya. Kang Jalal, sebagaimana ditulis

dalam bukunya, membisiki Gus Dur: "Tolong ya Gus, sekali ini jangan tidur. Yang kemarin-kemarin bolehlah, tapi yang bakal kita temui kali ini adalah Presiden Iran. Jadi tolong ditahan, dong, kantuknya." Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, sang Presiden itu, mendapat giliran untuk tampil bicara. Ia mengurai dengan bangga sejarah revolusi Iran, capaian-capaian pembangunan yang membangga­ kan dan prospek-prospek yang menjanjikan bangsa Iran ke depan. Audien dengan khusyuk mendengarkannya. Tetapi Gus Dur? Duuh! Kang Jalal melihatnya dalam kelakuan yang belum berubah. Tidur. Rupanya Gus Dur tak mengindahkan bisikan yang baru saja disampaikannya. Ia lelap dan mendengkur lirih di atas kursinya. Kang Jalal merasa kali ini harus membangunkannya. Gus Dur tak boleh membuat malu bangsa Indonesia. Dan Gus Dur bangun tanpa merasa ada yang keliru atau tak sopan dari dirinya. Ia segera menganggapi pembicaraan Presiden Rafsanjani itu dengan lancar dan cerdas. Dan ia menyampaikannya dalam bahasa Arab yang bagus. Applaus panjang bergema, begitu Gus Dur, menutupnya dengan salam. Maka Kang Jalal dan teman-teman yang ikut bersamanya pun "sumringah". Wajah mereka berbinar-binar. Keresahan dan kegalauan mereka tak tampak lagi. Dan tentu saja mereka bangga.

109


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Itu adalah satu saja dari sekian banyak cerita aneh Gus Dur yang sudah ditulis sejumlah orang dan masih menjadi bahan pembicaraan yang menarik di banyak ruang sampai hari ini. Banyak orang kemudian, terutama komunitas muslim tradisionalis dan orang-orang Jawa menyebutnya sebagai: "Weruh Sakdurunge Winarah" (Mengetahui sebelum terjadi). Ini biasa dialamatkan kepada orang yang dikenal dalam masyarakat pesantren sebagai "waliyullah", kekasih Tuhan.

MemahamiMisteri Tidur Gus Dur /tu Suatu hari di rumahnya, Ciganjur, saya bertanya kepada Ibu Shinta Nuriyah, istrinya, dalam suatu pertemuan rutin di sana. Katanya: "Gus Dur memang sering ditanya orang soal sebutan tadi, yang dianggap aneh atau misteri itu, berikut kesaksian-kesaksian orang mengenainya. Mas Dur hanya menjawab: "Wah, itu sebetulnya begini: saya mendengar apa yang dikatakan pembicara pada kalimat pertamanya dan topiknya. Lalu saya tidur, karena dari situ saya tahu apa akhirnya, apa kesimpulannya." Nab. Jawaban Gus Dur tersebut boleh jadi dapat dipahami, karena ia memang sangat cerdas dengan otak yang telah menyimpan segudang informasi dari banyak buku yang dibacanya sejak lama dan bertahun-tahun atau dari kebiasaannya berdiskusi, berbicara, dan bertemu banyak orang. Orang dengan otak dan kecerdasan intelektual yang demikian, serta dengan kebiasaan mendengar orang lain bicara, mampu dan bisa membaca ke mana arah pikiran orang sejak ia menyampaikan kata pembukaannya. Kata-kata pembukaan untuk sebuah forum bicara, acap menunjuk­ kan isinya. Dalam dunia pesantren, pada kajian sastra Arab yang populer disebut Ilmu Balaghah, itu disebut "Bara'ah al-Istihla/".

110


Misteri Sang Zahid ,,

.;

t

,,.

I •1 �� .�j •, ' . - < "

,

rJ',,

,,

'-,- �y� I-· � - I'--J .• 11 _J• 1 �� .J':' )

'

'S:

"

._ )G oa I

..- "I

� ,,

r� ' ''

,

� .;

.I

I.).

•Pengarang/penulis/pembicara atau penyair, menyebut dalam pendahuluan buku atau kasidah (syair-puisi)nya beberapa kata atau kalimat yang mengisyaratkan dengan cara yang amat halus pokok krusial yang menjadi inti karya tulis/pidato atau sastra puitisnya.' Kita semua tentu melihat manusia mempunyai kapasitas intelektual dan kecerdasan yang berbeda-beda dan bertingkat dalam memahami sesuatu. Sebut saja memahami isi sebuah buku.

Ada orang yang baru bisa memahami isinya sesudah ia membaca halaman demi halaman buku itu sampai selesai. Sebagian orang bisa memahaminya dengan membaca beberapa bagian dari isi buku tersebut. Sebagian lain merasa paham dengan membaca judul pasal demi pasal sebagai yang tertulis pada daftar isinya dan kesimpulan. Dan sebagian yang lain lagi telab cukup mengerti dan pabam dengan banya membaca judulnya saja. Saya kira Gus Dur adalah manusia dalam kapasitas yang terakhir ini. Ketika orang memilih satu judul tertentu atas buku atau makalah, maka ia berbarap judul tersebut telab mencakup apa yang ingin disampaikan. Ia adalah simbol dari isi. Para sufi acap mengeluar­ kan kata-kata ringkas, tetapi padat. Ia adalah kata-kata mutiara, kata-kata bijak, atau kata-kata aneh bagi awam. Untuk memahami kata-kata ini diperlukan proses pendakian pikiran yang panjang, lama, terjal, dan berliku-liku. Kalau demikian, sesungguhnya tak lagi ada yang aneh dari ucapan-ucapan Gus Dur, meski sering dipahami sebagai aneh. Itu semacam refleksi otak cerdas saja, atau refleksi intuitif. Gus Dur memang punya otak cemerlang dan genius yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Kecerdasan itu sudah lama dikenal orang sejak

111


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur ia masih muda. Ia juga seorang yang gemar membaca buku-buku, kitab-kitab, komik-komik, anekdot-anekdot, kisah-kisah mitologi, menonton film, wayang, drama, musik klasik dan sebagainya. Gus Dur telah begitu banyak membaca karya sastra Arab, karena memang ia pernah kuliah di Fakultas Sastra, ketika di Mesir

maupun di Baghdad, Irak. Ia, sebagaimana sudah disebut di atas, telah membaca beberapa buku-buku

Dawawin (kumpulan puisi/ Antologi), di antaranya: Diwan al-Nabighat, Diwan Abi Tamam, Diwan al-Buhturi, Diwan al-Mutanabbi, Diwan Abu Nuwas, Diwan al-Farazdaq, Diwan al-Imam al-Syafi'i, Diwan Nahj al­ Balaghah karya Imam Ali bin Abi Thalib, dan karya pusi paling klasik karya penyair besar Arab pra-lslam Al-Mu'al/aqat al-Sab' karya raja penyair Arab: Imri al-Qais. Bahkan sebelum berangkat ke Kairo, ia sudah membaca karya-karya sastra tersebut, termasuk kitab sastra Nihayah Din al-Nuwairi,

al-Arbab Ji Funun al-Adab karya Syihab al­ dan Al-Aghani, karya Abu al-Faraj al-Ishfahani.

Di luar buku-buku klasik raksasa berbahasa Arab itu, Gus Dur juga telah melahap buku-buku berbahasa Inggris. Dia telah menguasai bahasa ini sejak masih di sekolah menengah. Beberapa di antaranya adalah: karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Ia juga membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul

The Story of Civilazation, Das Kapital-nya

Karl

Marx, filsafat Plato, Aristo, Thales, Ferdinand de Saussure, dan lain-lain. Tetapi baiklah demikian jawaban yang mungkin masuk akal. Namun demikian, boleh jadi ada jawaban lain. Kelakuan Gus Dur yang dianggap aneh tersebut mungkin adalah tanda lain dari pribadi seorang zahid yang dimilikinya.

112


Misteri Sang Zahid Maulana Jalal al-Din Rumi, sufi penyair agung dari Konya, Turki, mengajarkan kepada para darwis di majelisnya, bahwa:

•seorang zahid adalah seorang yang mampu melihat masa depan. Sejak pandangannya jatuh pada awal/permulaan sesuatu, dia tahu bagaimana akhirnya sesuatu itu. Bagai seorang ahli tanaman gandum, dia akan tahu bahwa biji gandum itu akan tumbuh menjadi gand um. Ketika seorang zahid melihat sesuatu pada pandangan yang pertama, meski dia tak melihat bagaimana wujud akhirnya dari sesuatu itu, dia men getahu i apa yang terjad i pada akhirnya Mereka yang dapat mengetahui sesuatu sampai ke akhir hanyalah sedikit."' .

Akan tetapi, pemaknaan di atas bukanlah satu-satunya. Jika Gus Dur mengatakan atau menyatakan sesuatu yang tak dapat dipahami para pendengarnya ketika dia mengatakan atau menyatakannya, meskipun acap dibenarkan mereka pada saat yang lain dalam berberapa waktu kemudian, maka boleh jadi kata­ katanya itu memang lahir dari lubuk hatinya yang paling dan disampaikan dengan seluruh ketulusan. Dan lubuk hati itu menyimpan cahaya-cahaya ketuhanan. Pemilik hati yang bercahaya seperti ini, adalah para kaum bijak-bestari, para zahid, kaum sufi, dan para wali. Ketika mereka hendak mengatakan atau menyatakan sesuatu hal, cahaya tersebut telah menyebar terlebih dahulu beberapa waktu, beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa tahun. Maka manakala para pendengar telah

tercerahkan, kata-kata mereka pun terhubung, sampai di pikiran

dan hati mereka {para pendengar). Inilah yang dikatakan oleh sufi besar, legendaris, Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari, orang yang sangat dikagumi Gus Dur. Kitabnya:

Al-Hikam al-'Athaiyyah

(Kebijaksanaan-kebijaksanaan atau Kearifan-kearifan Ibnu Athaillah), selalu menjadi bacaannya baik untuk pengajian Ramadlan di masjidnya di Ciganjur, maupun untuk forum

' Baca: )alaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Pasal 5, him. 53.

113


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Kongkow-nya di Utan Kayu. Pada hikmah ke-182 kitab ini menyebutkan:

•cahaya orang-orang bijak-bestari mendahului kata-katanya. Maka ketika batin telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai (ke lubuk hati pendengarnya)." Salah

seorang

pensyarah

(komentator)

hikmah

ini

mengatakan:

·sesungguhnya, orang-0rang yang arif (yang mengenal Tuhan­ nya) yang sering disebut sebagai •hukama• (orang-orang bijak-bestari), bila mereka hendak memberikan petunjuk kepada para hamba Allah, mereka menghadap-Nya dengan seluruh hatinya. Mereka berharap agar kata-kata mereka diterima dan dipahami para audiens (hamba­ hamba Allah). Manakala mereka melakukan demikian, maka memancarlah partikel-partikel cahaya dari lubuk hati mereka yang terdalam, lalu menyebar cepat sebelum kata-kata disampaikan. Dan manakala ia terhubung dan menembus ke dalam pikiran dan hati audiens yang telah tercerahkan, maka mereka pun paham, mem­ benarkan dan mengikuti kata-kata para bijak-bestari itu.• Ketika pada suatu saat saya menyampaikan kebijaksanaan

Ibnu Athaillah di atas di hadapan publik, seorang sahabat dari Hindu menemui saya. Dia mengatakan: "Apa yang barusan anda

114


Misteri Sang Zahid sampaikan itu, sesuai benar dengan kata-kata

Sidarta Gautama.

Dalam Bhagawadgita, dia mengatakan: "Selama hati manusia bekerja untuk kemanusiaan dan persahabatan yang tulus, Tuhan akan menunjukkan rahasia-rahasia-Nya. Sejauh hati kita bersih dari segala kepentingan dan merindukan kehadiran Dia, maka perkabaran Yang Ilahi akan selalu mungkin."

115


#9

TAREKAT DAN DOA-DOA GUS DUR

Orang-orang yang dekat Gus Dur, bercerita, jika tak ada teman yang diajak bicara dan beliau sendirian, maka dalam waktu yang sunyi sepi itu ia membaca surat al-Fatihah, entah berapa kali, lalu membaca

"shalawat" atas

Nabi,

"tawassul" dan

berdoa untuk

dirinya sendiri, kedua orangtua, keluarga, untuk para wali (para kekasih Tuhan), para ulama yang telah wafat dan untuk bangsa dan negara yang dicintainya. Ada juga orang yang bercerita: "Jika tangan Gus Dur tak pernah berhenti bergerak-gerak, seperti mengetuk-ngetuk, sebenarnya dia sedang berzikir: Allah, Allah, Allah. Tangan itu menggantikan tasbih." Itulah jalan spiritual

(thariqah)nya.

Saya sendiri tak pernah tahu atau mendengar dan

tak pernah bertanya, Gus Dur mengamalkan tarekat tertentu, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Mawlawiyah, Rifa'iyyah atau yang lainnya. Saya mengira dia tak terikat pada satu tarekat. Boleh jadi dia juga tak mau berkomentar soal

"mu'tabarah" (diakui)

atau

"ghair mu'tabarah" (tidak diakui)

dalam hal ini. Baginya semua tarekat baik adanya, karena ia adalah jalan spiritual yang ditemukan oleh seseorang dengan peng­ alamannya masing-masing. Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur juga mengagumi cara-cara spiritual yang dijalani oleh para pengikut agama-agama yang ada di dunia. Cerita seorang teman mengatakan bahwa beliau telah memperoleh

"Jjazah",

semacam

perkenan mengamalkan suatu tarekat, atau "pemberkatan" dari

117


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur banyak sekali guru-guru atau

"mursyid" tarekat, bukan hanya dari

dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Gus Dur terlalu sering berziarah ke tempat-tempat peristirahatan para pendiri tarekat, seperti Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dan lain-lain. Tarekat

(Thariqah)

adalah cara atau jalan menuju Tuhan

berdimensi esoterik, batin, spiritual. Para pengikut tarekat biasanya menempuh perjalanan menuju Tuhan ini melalui aktivitas ritual-ritual zikir (mengingat dan menyebut) Tuhan, permenungan dalam keheningan malam, ketika segala aktivitas manusia berhenti dan pintu-pintu rumah telah terkunci dan sepi. Zikir-zikir kepada Tuhan itu diucapkan mereka berkali-kali, puluhan dan ratusan kali, hingga Dia melekat di hatinya. Ketika Dia telah melekat dan menyatu di hatinya, maka Dia menjadi matanya, menjadi pendengarannya, menjadi tangan dan kakinya. Ini disebutkan dalam hadits Qudsi. Imam al-Bukhari, master hadits terkemuka menulis:

•Manakala hambaku mendekati-Ku, dengan selalu mengingat­ Ku, sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka dia melihat dengan Mata-Ku, mendengar dengan Pendengaran-Ku, memukul dengan Tangan-Ku, berjalan dengan Kaki-Ku. Bila dia meminta, Aku akan mengabulkannya dan bila dia memohon perlindungan-Ku, Aku melindunginya.•1 Dalam tradisi di kalangan masyarakat umum, zikir-zikir, doa­ doa, dan Istighatsah (memohon pertolongan Tuhan), dilakukan sebagai upaya melepaskan segala kegalauan, kecemasan, kerisauan dan kemelut-kemelut kehidupan atau untuk meminta sesuatu yang diimpikannya. Ini berbeda dengan para kaum sufi. Doa dan segala zikir dipanjatkan lebih dalam rangka memohonkan ampunan Tuhan atas dosa dan kesalahan yang diperbuatnya sehingga segalanya diridhai dan ia menjadi orang yang dicintai-Nya. Bagi

' Hadits Sahih Bukhari.

118


Tarel<at dan Doa-Doa Gus Dur mereka apa pun yang dilakukan dalam kehidupan, tak ada maknanya, tanpa kerelaan dan cinta Tuhan. Pada tradisi masyarakat pesantren, di samping doa, mereka

shalawat (pujian dan doa) atas Nabi dan menjadikan beliau sebagai wasilah (penengah/

juga biasanya memulai dengan membaca

juru bicara) kepada Tuhan. Di berbagai negeri muslim tradisi ini telah berlangsung sangat lama. Mereka memandang

wasilah patut

dilakukan. Karena berkat, atas peran dan melalui beliaulah manusia mengerti tentang Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya. Bahkan dalam tradisi sufisme bahwa demi Muhammad Saw. lab Tuhan menciptakan semesta. Mereka menyebutkan kata-kata Tuhan dalam hadits Qudsi:

Lawlaka Lawlaka Ma Khalaqtu al-Ajlak

(Andai tak karena kamu (Muhammad), ya, Andai tak karena kamu, Aku tak menciptakan cakrawala). Maka masih menurut mereka:

Awwal Ma Khalaqa Allah, Nur Muhammad (Ciptaan Tuhan yang pertama adalah "Nur (cahaya) Muhammad." Mereka juga meyakini bahwa Nabi Saw. adalah

al-Syafi' (sang

penolong), sebagaimana

beliau menolong umat manusia ketika dalam kegelapan zaman Jahiliyah. Berkat beliaulah umat manusia mendapatkan cahaya dan tercerahkan. Al-Qur'an menyatakan hal ini:

.11 ..:.ilJWI

\.).-

,.

< (...,�

,:_<::...,. J.j I

-!

...,

�')i.;,� ,.·

-� � f. �,. ,,- .J1 I

"

'

� � J -

•Dialah yang memberi rahmat kepadamu (Muhammad) dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengel uarkan (membebaskan) mereka dari kegelapan (kebodohan kepada cahaya (ilmu pengetahuan). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-<>rang yang beriman: (Q.S. Al-Ahzab, (33):43). "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi

119


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (Q.S. Al-Taubah, [9]: 128-129). Pada awalnya, shalawat atas Nabi dianggap sebagai doa bagi Nabi, karena kecintaan kepadanya. Akan tetapi dalam perjalanan­ nya ia kemudian dipandang sebagai puji-pujian dan penghormatan untuk Nabi yang hidup di samping Tuhan. Praktik ini memperoleh legitimasi dari kitab suci al-Qur'an. Tuhan mengatakan: "Jika engkau mencintai Tuhan, maka ikutilah Nabi. Maka Tuhan akan mencintaimu." Dan bukan hanya manusia yang dianjurkan Tuhan untuk membaca shalawat (penghormatan) untuknya, melainkan juga Tuhan sendiri dan para malaikat. Tuhan mengatakan: •\<. ,...

f,

�..:;..J1 I� ��t �

- '1 �'l � � .....,-..

..

f;;._"" ��lj l.S""" .

,

,)_,f' :.;5:;j; ,,, �- i,u 1 VeI ,, � ..

q

.

•sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (Q.S. Al-Ahzab (33]:56). Shalawat dianggap syarat penting agar doa dikabulkan. "Permohonan (doa) akan dianggap berada di luar pintu langit sampai orang yang berdoa itu mengucapkan shalawat untuk Nabi." Penyair Turki abad pertengahan, Asyiq Pasha, mengingatkan orang-orang senegerinya tentang eksistensi primordial Nabi Muhammad Saw., yang menjadi suatu segi yang begitu penting dalam profetologi mistikal:

120


Tarel<at dan Doa·Doa Gus Dur

Adam masih berupa debu dan lempung Muhammad telah menjadi Nabi Dia telah dipilih Tuhan Ucapkan shalawat untuknya'

Kaum sufi di manapun berada selalu membaca shalawat berkali-kali, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam

jama'ah (kumpulan/kelompok), untuk mengantarkan permohon­ annya kepada Tuhan. Mereka gemar sekali menyenandungkan doa shalawat itu dalam bentuk puisi-puisi yang indah. Annemarie Schimmel, pakar mistisisme Islam, pengagum berat Ibn Arabi dan Rumi, menginformasikan bahwa di beberapa kalangan Afrika Utara orang bisa mendatangi pertemuan-pertemuan shalawat di mana orang itu ikut serta dalam doa bersama untuk Nabi dan berharap agar permintaan yang diucapkan dalam pertemuan semacam itu akan segera dikabulkan. Salah satu doa shalawat yang populer di sana adalah Doa Pelipur Cordova.3

•wahai Allah, berkahilah dengan berkah yang istimewa tuan kami, Muhammad, yang olehnya segala kesulitan terpecahkan, segala kesedihan terhiburkan, segala masalah terselesaikan, yang melaluinya hal yang di ingi nkan dapat dicapai dan yang dari air mukanya yang mulia awan meminta hujan, dan berkahilah keluarganya dan sahabat­ sahabatnya.• Betapa pentingnya shalawat atas Nabi Saw. untuk mengawali doa kepada Tuhan, mengingatkan saya pada Qasidah Burdah, karya sufi penyair Imam Bushairi.• Bushairi, sastrawan sufi legendaris

2 Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Tuhan, him. 145. 3

Ibid., him. 143.

• Syarafuddin Abu Abdullah Muhammad ibn Sa'id al-Bushairi. la lahir tahun 608 H/1 2 1 2 M di Dalas, Maroko, dibesarkan d i Bushair, Mesir. la penganut tarekat Syadziliyah. Di samping seorang penyair, ia juga penulis kaligrafi indah. Karya ini dipandang paling cermerlang dan terkenal d i seluruh dunia muslim. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, antara lain: Persia, Turki, Urdu, Punjab, Melayu, Sindi, Indonesia, dan lain-lain. Terjemahan dalam bahasa

121


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur abad ke-13, menulis kasidah ini ketika dia mengalami sakit berkepanjangan, stroke. Sepanjang hari sepanjang malam dia berdoa sampai begitu lelah dan tertidur. Suatu malam ia bermimpi bertemu Nabi. Nabi yang mulia mengusapkan tangannya ke wajah Bushairi lalu menyerahkan selendangnya

(burdah).

Bushairi

terjaga dari mimpinya dan melihat dirinya tak lagi sakit. Semula kumpulan Nazham (puisi-sajak) dengan akhir huruf mim (karena

Al-Mimiyah) diberi judul panjang: Al-Kawakib al-Durriyyah Ji Mad-hi Khairi al-Bariyyah (Bintang-Gemintang itu biasa disebut;

Berpendar Gemerlap yang Memuji Manusia Paripurna). Akan tetapi, karena terlalu panjang hingga menyulitkan orang menyebut dan mengingatkannya, maka diambillah kata

Bushairi" (Selimut atau Selendang).

"Al-Burdah al­

Ketika saya ke Iskandariyah,

Mesir, tahun 1982, saya menyempatkan diri ziarah dan berdoa di pusara penyair sufi besar ini, tidak jauh dari makam sufi besar; Said Mursi. Di pesantren, saya sempat menghapalnya meski serba sedikit. Tetapi banyak santri yang hapal di luar kepala. Di Univer­ sitas Kairo, kasidah ini diajarkan pada setiap hari Kamis dan Jum'at. Di bawah ini adalah beberapa saja dari bait puisi Bushairi yang seluruhnya berisi 160 bait, yang masih saya hapal. Sebuah puisi yang memperlihatkan kerinduan Bushairi kepada Nabi Saw. Kasidah ini didendangkan dengan Bahar (nada dan ritme) Basith:

Mustafilun fa'ilun.

Indonesia ditulis oleh banyak orang, tetapi terjemah paling menarik ditulis oleh Syu'bah Asa.

122


Tarekat dan Doa-Doa Gus Dur

>..l.!�

\,·

••

1"

� · ' _ _,. _ ., .

� .�I >

""�

. r,..r,;-

..x · , ..:; "'/" _, .· ,

.;_y , -:··

I.A.A j

::.

.•l ' Il• l G � 01 • LlJ

,,

..... ...

1 • " -:.

I

.� ' '-

� ,,

....,.. I

.... '_ __,", .jljl <.u .:::,__;' i ..-. ,, . �"', J ....

'

_/

l;• ..)

,,

,

...z o

,

,.

��

� ;'�.

::_, 1.WI '� ....,

,,

� �

)

·

'1·,·

'

' ,.,,�..

�)II; ,,

• �l ·•; 1 1 , ' �,.. J,l . '-' � �

��

.

,,

�'-')lJ ->:jAI :._;. � i..s;., 1-.;; ... '

c

h• _,

Aduhai, apakah karena kau rindu pada tetangga di kampung Dzi Salam Air bening menetes satu-satu Dari sudut matamu Bercampur darah

123


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Ataukah karena semilir angin yang berhembus dari Kazhimah Dan kilatan cahaya dalam pekat malam Apakah kekasih mengira Api cinta yang membara di dada Dapat dipadamkan air mata? Andai bukan karena cinta Puing-puing tak mungkin basah air mata Andai bukan karena cinta Matamu tak mungkin jaga sepanjang malam Membayangkan keindahan gunung gemunung Dan semerbak pohon kesturi Dan tinggi semampai pohon pinus Mana mungkin kau ingkari cintamu Padahal ada saksi menyertaimu Ketika air matamu berderai-Oerai Dan kau jatuh sakit begitu memelas Dukamu menggoreskan Tetes air mata dan Iuka Bagai mawar kuning dan merah Pada dua pipi ranummu Ya, aku melihat kekasihku Mondar-mandir ketika malam muram Hingga mataku selalu terjaga Cinta telah mengganti riang jadi nestapa

Seluruh doa, zikir (mengingat Tuhan) dan shalawat atas Nabi ditujukan kepada Allah, hanya kepada Dia, tidak kepada yang lain, termasuk tidak kepada Nabi Muhammad Saw. Karena hanya Dialah Pemilik segala, hanya Dialah Penguasa atas semesta raya dan hanya Dialah Yang Mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya. Dialah Titik Pusat dari segala. Pengaduan kepada manusia, siapapun dia, akan kegundahan dan curahan hati karena kemelut hidup yang acapkali datang menghempaskan jiwa dan pikiran,

124


Tarel<at dan Doa-Doa Gus Dur seringkali mengecewakan. Mereka tak mampu memberi jalan terang, dan tak bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terns dan terns mengalir bagai air yang sangat deras. Mereka acapkali juga sibuk dengan urnsan dan kegalauannya sendiri-sendiri. Mereka juga membutuhkan kepentingan hidup yang juga terus mengejar mereka siang dan malam. Tetapi tidak bagi Tuhan. Dia tidak membutuhkan apa-apa dan siapa-siapa. Sebaliknya, Dialah Yang selalu Memberi. Dia bahkan amat senang jika hamba-hamba-Nya meminta. Gus Dur pasti l ah sangat mengenal bait-bait puisi Burdah

al­

Bushiri di atas, bahkan sebagian atau semuanya mungkin dihapal dengan baik. Saya meyakini hal itu pada Gus Dur, karena kedua

Qasidah Burdah

di atas amat populer di kalangan para santri.

Mereka menghapalnya lalu mendendangkannya dengan nada-nada lagu yang indah dalam acara-acara yang relevan. Hal yang sama juga dilakukan mereka dalam Burdah Madaih atau Na'tiyah, karya Ka'ab bin Zuhair. Burdah ini berisi penghormatan dan pujian kepada Nabi. Ia dikenal dengan Qasidah "Banat Su'ad" (Putri-putri Su'ad). Ini karena qasidah burdah yang terdiri dari 58 bait ini diawali dengan kalimat: '

,,- " "" .,_ '-'· , ../• •

,

" -" ,, �

.

,l ' •

'

, - , 1WO J1

• '

•• - ..,,,,,. ,. I

"

'

Jii •••• Jr."' iy.J' -..,!>. , I

'1

·�

o

'l.:

..:;..., :

Ka'ab Bin Zuhair, adalah seorang penyair terkenal pada masa­ nya. Ia suka sekali mencaci maki Nabi. Sikap itu membuat hidupnya jadi galau. Ia lalu menemui Nabi dan menyanyikan qasidah ter­ sebut di hadapan beliau. Nabi begitu senang mendengamya, lalu memberinya selendang

(burdah) yang sedang dikenakannya.

Kiai

Sa'id Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU, terlalu sering menyanyikan puisi-puisi ini manakala memberikan pengajian umum di berbagai

pesantren dan pada komunitas warganya; Nahdlatul Ulama. Ia hapal di luar kepala kedua qasidah burdah itu.

125


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Sebagian orang, sebut saja antara lain kelompok Wahabi di Saudi Arabia, menyebut "tawassul" dengan shalawat seperti ini sebagai praktik kemusyrikan (menyekutukan Tuhan). Tawassul, menurut mereka berarti meminta kepada manusia, meskipun ia seorang Nabi dan kekasih-Nya, bukan kepada Tuhan. Muhammad bin Abd al Wahhab, pendiri gerakan Wahabi, menganggap siapa saja yang mengagungkan para 'shalihin' (orang-orang saleh, wali) tidak berbeda dengan kaum Nasrani. Tuduhan serupa terus diulang-ulang oleh para penerusnya/pengikutnya hingga kini. "Istighatsah", yang berarti memohon wali menjadi perantara kepada Allah, menurut Syaikh Abd al-'Aziz bin Baz, tokoh Wahabi kontemporer, termasuk al-Syirk al-Akbar (syirik besar). Kita telah maklum kaum Wahabi adalah kelompok tekstualis, puritan dan kaum ortodoks garis keras. Mereka memaknai segala teks secara harfiah, literalistik dan konservatif. Mereka tidak setuju dengan pemaknaan metaforis

(majaz)

dan aforisme-aforisme sufistik.

Menurut mereka memaknai teks-teks Tuhan secara metaforis sama saja dengan tidak mempercayai kata-kata Tuhan itu. Biarkan saja, tak mengapa. Itu hak mereka. Dan itu, sebagaimana sudah dikatakan Imam al-Ghazali, menunjukkan batas pengetahuan mereka. Tetapi kita tentu amat menyesalkan bila kemudian mereka memaksakan pandangannya kepada orang lain, melalui cara-cara kekerasan, "hate speech" atau bahkan dengan menghunuskan pedang atau meledakkan born. Tawassul dan doa-doa Gus Dur itu kini telah menyebar di mana-mana, dikasetkan, di-CD-kan, di-Youtube-kan, atau disim­ pan di HP, diputar berulang-ulang, didengarkan dengan penuh khusyu' di kendaraan-kendaraan pribadi, dan dilantunkan para pengagumnya di berbagai kesempatan menghormat atau men­ diskusikan Gus Dur. Beliau menyanyikannya dengan nada-nada

elegi dini yang sendu, bagai sembilu yang menyayat-nyayat kalbu. Bait-bait doa, shalawat dan tawassul yang disenandungkan Gus

126


Tarekat dan Doa-Doa Gus Dur Dur itu sesungguhnya tidaklah asing bagi para santri. Ia telah berabad ditembangkan di pesantren-pesantren dan surau-surau. Suara Gus Dur memang tak semerdu suara Hadad Alwi atau Abdul Halim Hafiz, penyanyi kondang dari Mesir atau lainnya. Tetapi lantunan Gus Dur, meski bersahaja, terasa memiliki makna ke­ indahan mitis dan magis yang menghunjam kalbu dan menyimpan rindu-rindu. Ini tentu karena Gus Dur melantunkannya dengan suara hatinya yang bening dan ketulusan cintanya yang penuh. Di bawah ini adalah doa-doa yang selalu dibaca Gus Dur di samping doa-doa yang lain. Semua orang pesantren dan kaum Nahdiyyin mungkin sudah tahu atau bahkan hapal doa-doa itu. Doa-doa ini seluruhnya mengandung permohonan ampunan Tuhan. Doa pertobatan yang secara literal berarti kembali kepada Tuhan. Ada juga di dalamnya yang memohon petunjuk ke arah jalan lurus (amal saleh) dan anugerah ilmu yang bermanfaat. Sebagian ada yang diawali dengan tawassul melalui Al-Musthafa, Nabi Muhammad Saw. Doa yang terakhir konon ditulis oleh Abu Nawas, sang cendikiawan dan sastrawan terkemuka yang jenaka, tetapi amat cerdas itu. Hampir semua orang mengenal cerita-cerita jenaka orang ini dan mendongengkannya kepada anak-anak mereka, terutama menjelang tidur. Ia, ketika muda, konon, pemah menjalani kehidupan glamour, mabuk dan urakan, tetapi cara itu kemudian disadarinya akan mencelakakannya kelak. Tahun-tahun terakhir hidupnya Abu Nawas bertobat dan menjalani hidupnya sebagai seorang zahid, asketik.s Dengan doa-doa itu, kita tentu paham bahwa Gus Dur selalu mohon ampunan kepada Tuhan. Para nabi, orang-orang arif, kaum sufi, dan orang-orang yang rendah hati setiap hari mohon ampunan-Nya, ratusan dan ribuan kali.

5 Abu Nawas adalah nama panggilan. Nama sebenarnya adalah Al-Hasan bin Hani, lahir di Ahwaz, Kazakstan, Baral Selatan Iran, 145/762 M. Dia termasuk penyair

paling terkenal pada masa Dinasti Abbasiah. Dia juga dikenal sebagai 'Penyair Arak". 127


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Doa Pertobatan (1)

Wahai Tuhanku, Anugerahi kedamaian dan keselamatan Selama-lamanya Pada sang kekasih-Mu: Ahmad Ciptaan-Mu yang terbaik dari semuanya Berkat al-Musthafa, sampaikan maksud-maksudku Ampunilah dosa-dosa yang lewat Wahai Yang Maha Mulia Al-Musthafa, dialah sang kekasih Pertolongannya diharap-harap Bagi setiap kegelisahan yang memuncak

Doa Pertobatan (2)

128


Tarel<at dan Doa-Ooa Gus Our

Wahai Tuhanku Aku bukan orang yang pantas menempati surga-Mu Tetapi aku juga tak sanggup tinggal di neraka-Mu Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu Dan ampuni dosa-dosaku Karena hanya Engkaulah Satu-satunya yang bisa memberi ampun dosa-dosa besar Dosa-dosaku bak jumlah butir pasir di bumi Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu Wahai Yang Maha Agung Umurku berkurang setiap hari Tetapi dosaku benambah-tambah saja Bagaimana aku sanggup menanggungnya Wahai Tuhanku, Hamba-Mu yang berdosa Telah datang, telah datang Mengakui begitu banyak dosa Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu Bila Engkau mengampuniku Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni Tetapi bila Engkau menolakku Kepada siapa lagi aku bisa berharap Doa (3) Pertobatan, Amal saleh, dan Ilmu Yang bermanfaat

Aku mohon ampunan Tuhan Tuhan seluruh ciptaan-Nya Aku mohon ampunan Tuhan Dari segala kesalahan Tunjuki aku kerja yang baik Tuhanku, Tambahi aku pengetahuan yang berguna

129


SANG ZAHID: Menganmgi Sufisme Gus Dur Dalam berbagai kesempatan bersama Gus Dur, manakala diminta berdoa, beliau seringkali berdoa ini:

•wahai Tuhan kamil Anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu dan tuntunlah kami pada jalan keselamatan • (Q.S. al-Kahfi, (18):10). ,

Dan diakhiri dengan doa paling populer:

•wahai Tuhan, anugerahi kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka: (Q.S. Al-Baqarah, [2]:201).

130


#10

ZIARAH GUS DUR

Pada awal tulisan ini saya mengatakan bahwa nama Gus Dur masih akan terus disebut-sebut para pengagumnya, meski dia sendiri sudah menyampaikan selamat tinggal. Apa yang pernah dikatakan, dilakukan atau yang keluar dari Gus Dur masih terus menjadi perbincangan di mana-mana. Berbagai diskusi, seminar, simposium, kajian, ceramah dan sejenisnya masih terus diselenggarakan. Beberapa waktu yang lalu, Alissa Wahid, putri pertamanya, menggelar simposium bertajuk "Kristalisasi Pemikiran Gus Dur." Sejumlah besar orang yang mengenal, dekat maupun jauh hadir dan memberikan kesaksian atas pikiran dan langkah-langkah Gus Dur. Dalam waktu yang sama para santri muda yang pernah bersentuhan secara intelektual, politik, kebudayaan, dan seni di Pesantren Ciganjur, menyelenggarakan "sekolah pemikiran Gus Dur" dengan seperangkat modul dan atau kuri­ kulum dengan perspektif pemikiran Gus Dur. Mereka bekerja sama dengan program Kristalisasi Gus Dur di bawah komando Alissa merumuskan "mazhab Gus Dur" atau "Gusdurianisme." Dengan begitu mereka berharap gagasan pemikiran dan langkah-langkah Gus Dur semasa hidupnya akan terus hidup dan berkembang. Para pengikut dan pecinta Gus Dur dengan bangga menyebut diri sebagai "Gusdurian". Mereka melakukan berbagai pertemuan baik untuk sekadar kongkow maupun mendiskusikan berbagai isu sosial, politik kebangsaan, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Pada

131


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur saat negara seperti kehilangan pemimpin yang melindungi semua warganya, banyak orang yang merindukan Gus Dur. Saya sering mendapat keluh kesah kerinduan mereka yang teraniaya kelompok lain yang dominan dan dibiarkan saja oleh pemerintah, "Andaikata saja masih ada Gus Dur." Itu semua adalah fenomena gerakan masyarakat: kaum elite, kaum terpelajar, para sarjana, budaya­ wan, dan pemikir progresif yang mengagumi tokoh anutannya. Sementara itu, pada lapisan bawah, fenomena kecintaan pada sosok Bapak Bangsa itu, muncul secara luar biasa dalam prosesi "Ziarah". Ya ziarah ke makamnya di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sejak Gus Dur beristirahat abadi di tempat itu, setiap hari ribuan orang datang ke sana baik secara sendiri-sendiri maupun dalam rombongan, baik dengan jalan kaki maupun berkendaraan dalam berbagai jenisnya. Informasi yang diperoleh dari penjaga makam menyebutkan ada sekitar 3 ribu orang peziarah pada hari-hari biasa, dan 7 sampai 8 ribu peziarah pada hari-hari besar dan menjelang bulan Ramadlan. Teman saya yang kerap ziarah ke makam-makam para wali, terutama Walisanga, mengatakan: "Jumlah peziarah harian ke makam Gus Dur sudah

menandingi para peziarah Sunan Ampel, di Surabaya." Sebagian

peziarah adalah para tokoh masyarakat, pejabat tinggi negara dalam dan luar negeri. Ada pula rombongan peziarah dari kalangan siswa-siswa sekolah menengah. Tetapi mayoritas adalah masyarakat awam dan secara ekonomi sangat sederhana. Mereka datang dari berbagai penjuru negeri ini, bukan hanya dari pulau Jawa, melainkan juga dari penjuru lain di tanah air dari Aceh sampai Papua. Dan sebagaimana ketika Gus Dur pulang, para peziarah itu bukan hanya dari kalangan masyarakat muslim, melainkan juga dari berbagai pemeluk agama; Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Bahai, dan lain-lain. Betapa sering sejumlah orang

dengan pakaian kuning tua dan kepala tanpa rambut, bersimpuh di depan makam Gus Dur sambil menggumamkan doa puja-puji

132


Ziarah Gus Our dan permohonan ampunan Tuhan untuk penghuni makam ini. Ini lagi-lagi mengingatkan saya pada makam sang sufi penyair terbesar yang saya kagumi: Mawlana Jalaluddin Rumi di Konya, Turki. Mereka datang ke sana dalam rangka mendoakan Gus Dur sambil mencari berkah (grace) dari beliau.' Mereka telah meyakini bahwa beliau adalah seorang waliyullah setaraf "maqom" para Walisanga, para tokoh sufi dunia, dan para tokoh spiritual lainnya. Maka kini orang telah sering menyebut bukan hanya "Ziarah Walisanga" sebagaimana yang berlangsung selama ini, melainkan "Ziarah Wali Sepuluh." Saya sudah berziarah ke "maqbarah" (makam/kuburan) Gus Dur dua kali. Pertama bersama Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan kedua bersama putrinya yang kedua; Zannuba Arifah Hafshah atau yang populer dipanggil Yenny bersama teman­ temannya, manakala mereka ke Jombang. Agak sulit dipercaya mata publik bahwa pusara orang besar ini masih begitu sangat sederhana seperti ketika tubuhnya diistirahkan. Sungguh-sungguh mengharu-biru. Konon keberadaan pusara Gus Dur seperti ini merupakan kehendak istri dan anak-anaknya. "Kebersahajaan adalah khas kepribadian Bapak", ujar mereka. Di atas tanah yang sedikit menonjol itu tampak bunga warna­ warni yang masih segar dan menebarkan aroma harum yang sangat khas. Nisan di atas kuburan itu begitu sederhana dan tampak seperti masih basah, seperti ketika tubuh penghuninya baru saja diletakkan kemarin. Setiap peziarah selalu membawa bunga-bunga itu dan menaburkannya di atas tanah tersebut. Seorang peziarah dengan penuh kekaguman mengatakan: "Saya sudah ziarah ke

1 Berkah atau barakah adalah bertambah dan berlimpahnya kebaikan dan

kesejahteraan dalam hidup yang berasal dari kekuatan supranatural (Tuhan). Berkah pada mulanya terpusat pada diri Nabi Muhammad Saw., dan kemudian kepada para wali dan ulama kharismatis, karena mereka diyakini dapat menyampaikannya kepada Tuhan.

133


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur makam Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Tapi makam Gus Dur

inilah yang paling sederhana. Padahal almarhum juga seorang presiden." Bersebelahan dengan makam Gus Dur, terdapat makam ayah dan kakeknya: K.H. Wahid Hasyim dan Hadratusyaikh K.H. Hasyim Asy'ari yang juga amat bersahaja. Makam-makam itu dibiarkan terbuka menghadap Iangit biru dan disinari terik

matabari. Tak ada bangunan cungkup di atasnya. Tak ada tembok yang mengelilinginya. Di atas pusara presiden RI ke-4 itu kami menaburkan bunga lalu bersimpuh di hadapannya membaca surat Yasin, tahlil dan berdoa untuk beliau. Di belakang kami, terdapat beberapa rombongan lain yang juga melakukan hal yang sama. Suara kalimat-kalimat suci al-Qur'an dan

"La Ilaha Illa Allah" yang

diulang berkali-kali (umumnya 100 kali) menciptakan suasana gemurub bagai genderang dalam Simfoni Requim karya Mozart. Sebagian mata peziarah mengembang butir-butir air yang lalu menetes pelan-pelan ke pipi mereka. Ada juga yang memanggil­ manggil nama Gus Dur dengan sedikit keras dan berulang-ulang. Usai ziarah, saya pamit dan izin untuk memisahkan diri dari rombongan keluarga itu. Saya sengaja kembali dengan mengambil jalan yang dilalui masyarakat peziarah. Suasana jalanan dipenuhi warung-warung dan toko-toko yang menjual barang-barang khas

di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati atau makam Walisanga

yang lain: Mushaf al-Qur'an, kumpulan doa-doa dan tahlil, surat Yasin, tasbih, sabuk, peci dengan berbagai corak dan modelnya, sajadah, bunga-bunga; mawar, melati, kenanga dan kemboja dan lain-lain, serta tak lupa kemenyan dan lain-lain. Jalanan itu menjadi begitu sempit. Di bagian lain dari jalan itu banyak sekali warung makanan dan minuman. "Gus Dur, masih memberi rizki dan kebahagiaan kepada masyarakat, meski dia telah wafat," kata saya dalam hati. Para wali adalah tokoh-tokoh yang "hadir dalam ketidakhadiran;" mereka bukan hanya sebagai sosok-sosok

134


Ziarah Gus Our historis, melainkan dirasakan masih hidup dan masih aktif di dunia fana ini. Ruhnya masih bersama orang-orang yang mencintai dan dicintainya. "Kehadiran" Gus Dur telah merubah begitu dahsyat ruang­ ruang di kompleks pondok pesantren kuno dan besar itu. Kompleks tersebut kini tak lagi sebagai tempat para santri mengaji al-Qur'an, kitab-kitab kuning dan belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan, tetapi berubah menjadi dan menambah pusat Wisata Ziarah Religi. Maka pemerintah segera mengambil langkah renovasi berbagai tempat di dalam dan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat memenuhi keperluan para peziarah. Antara lain perbaikan dan penambahan sarana jalan dan pelataran parkir untuk ratusan kendaraan. Fenomena ziarah seperti di atas dengan segala suasana kharismatik, magis, dan keramaian yang damai serta melankolis, terjadi di mana-mana di berbagai bagian dunia muslim baik Sunni maupun Syi'ah, dan dalam kurun waktu yang sangat panjang dalam sejarah mereka. la ada di negeri-negeri Timur Tengah,

Bilad al­

Syam (Suriah, Jordania, Palestina, Lebanon), Persia, Turki, Afrika,

Asia, kawasan Balkan dan sebagainya. Di Mesir, ada tokoh wali

besar: Sayyid Ahmad al-Badawi (w. 1276 M), pendiri Tarekat Ahmadiyah. Makamnya di Tanta, diziarahi ribuan orang setiap hari. Pada perayaan Maulid Nabi, makam ini dikunjungi oleh sekitar dua juta manusia dari berbagai penjuru Mesir dan dunia lain. Di

Iskandiriah, Mesir, terdapat makam Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi di dalam sebuah masjid megah. Ia menjadi tempat ziarah muslim dari berbagai pelosok dunia. Abu al-Abbas kelahiran Andalusia ini adalah wali Allah besar, murid Abu al-Hasan Al-Syadzili, pendiri

Tarekat Syadziliyah. Di Kairo, ibu kota Mesir, ada tokoh ahli fiqh

besar; Imam Syafi'i. Ia dimakamkan di dalam sebuah masjid yang dikenal dengan "Masjid al-Imam". Setiap hari makam ini tidak pernah sepi pengunjung, baik siang maupun malam. Mereka

135


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur bergerak mengelilingi makam ini bagai suasana thawaf di Ka'bah. Sebagian mereka menulis surat dan meletakkannya di makam ini. Surat-surat ini kemudian dikenal dengan sebutan

Syafi'i. " (Surat-surat

"Rasail al­

al-Syafi'i). Yang dimaksudkan tentu saja

adalah bukan kitab karya Teori dan Metodologi Fiqh (Ushul Flqh), melainkan surat-surat untuk sang Imam. Di Konya, Turki, salah satu makam yang setiap hari diziarahi orang dari berbagai penjuru dunia adalah makam Mawlana Jalal al-Din Rumi. la dipandang salah satu makam terpenting, semacam Ka'bah kedua, dan menjadi pusat spiritual di Turki. Di Baghdad, Irak, ada wali yang sangat terkenal: Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani (w. 1166M), pendiri tarekat yang mengambil namanya

"Qadiriyah".

Martin Lings,2 penulis buku fenomenal

tentang sejarah Nabi Muham.mad. Buku itu berjudul Muhammad:

Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik, mengatakan bahwa kompleks makam ini adalah kedua yang terpenting dari sudut jumlah peziarah, sesudah makam Nabi Muhammad Saw. di Madinah al-Munawwarah, Saudi Arabia. Di Indonesia ada sejumlah makam para wali, terutama Walisanga

(Wall Sembilan).3

Di dunia Syi'ah, fenomena ziarah yang spektakuler menyebar di mana-mana, terutama di Najf, Iran. Di tempat ini ada tokoh besar: Imam Ali bin Abi Thalib dan putranya yang terbunuh di Karbala: Imam Husein bin Ali. Setiap hari kedua makam tidak pernah sepi dari para peziarah dalam jumlah besar. Jumlah 2

3

Martin Lings yang setelah masuk Islam mengganti namanya menjadi Abu Bakr Siraj Ad-Din, lahir di Burnage, Lancashire, Amerika Serikat, pada 24 Januari 1909. la adalah filsuf, sufi, dan penyair modern terkenal. Namanya sering disejajarkan denganTitus Burckhardt, Rene Guenon, FritjhofSchuon. Tanggal 12 Mei 2005 lalu, Martin Lings menghembuskan napas terakhir dalam usia 96 tahun. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Am pell, Syaikh Syarif Hidayatullah (Sun an Gunung Jati), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Qasim (Sunan Derajat), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Umar Said (Sunan Murial, Raden Paku Ainul Yaqin (Sunan Giri), dan Ja'far Shadiq (Sunan Kudus).

136


Ziarah Gus Our peziarah terbesar, mencapai satu juta lebih, terjadi pada 10 Asyura/Muharram, hari kematian Imam Husein bin Ali. Makamnya berada dalam sebuah masjid amat megah dengan kubah dan menara yang terbuat dari emas. Konon kemegahannya tak dapat ditandingi oleh makam wali manapun yang ada di dunia. Di samping di Iran, ada pusat-pusat ziarah kubur bagi keturunan Imam Ali bin Abi Thalib. Di Mesir makam Imam Husein bin Ali juga ada di sana. Makamnya berada di seberang Universitas al­ Azhar, dan dalam masjid yang disebut dengan namanya: Masjid Husein. Di Kairo juga ada makam Sayyidah Zaenab, putri Imam Abi bin Abi Thalib, dan Sayyidah Nafisah, cucunya. Makam­ makam para Imam Syi'ah sangat ramai diziarahi masyarakat muslim, bukan hanya dari kalangan Syi'ah, melainkan juga Sunni. Mereka menghormati keturunan Nabi Muhammad Saw.

Ziarah dalam Pert:kbatan Sepanjang sejarah ziarah itu, perdebatan mengenai halal dan haramnya tak pernah berhenti. lbn al-Jauzi dalam "Talbis Iblis",

Ibn Taymiyah dan penerusnya Muhammad bin Abd al-Wahhab

dalam fatwa-fatwa mereka adalah beberapa tokoh besar yang dengan gigih dan ekstrem menyerang praktik ziarah kubur tersebut sambil menyebutkan bahwa ia merupakan praktik keagamaan yang sesat (bid'ah) dan musyrik (menyekutukan Tuhan). Sementara para ula.ma besar lain mendukung dan melakukan pembelaannya dengan seluruh argumentasi keagamaannya. Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505M), melancarkan kritik tajam terhadap pandangan-pandangan Ibn Taymiyah. Dia menolak setiap gagasan generalisasi terhadap bid'ah (inovasi), termasuk dalam isu Ziarah Kubur ini. Bid'ah dan kemusyrikan harus dipandang berdasarkan sifatnya menurut katagori lima hukum. Berdasarkan pikiran ini,

tidak setiap orang yang berziarah kubur bisa dicap sebagai pelaku bid'ah dan syirik. Ini lebih berkaitan dengan niat atau maksudnya.

137


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Mengenai hal ini, saya teringat pada teman saya seorang dosen Universitas Islam Indonesia (UIN) dan cendekiawan Muhamma­ diyah terkemuka. Ketika ditanya dalam wawancara di televisi, apakah ziarah kubur termasuk syirik. Dia menjawab bahwa ziarah kubur dianjurkan oleh Nabi:

"Kuntu Nahaitukum 'an Zirarah al­

Qubur, Ala Fazuruha (Aku dulu memang pernah melarang orang berziarah kubur, tetapi ketahuilah bahwa sekarang saya memerintahkannya). Saya sendiri sering ziarah kubur. Di sana saya berdoa dan saya tetap muslim yang baik." Tentu saja tidak hanya Bachtiar, tetapi juga ada jutaan peziarah seperti dia, meski mungkin ada pula yang tidak sepertinya. Hajji Khalifah (w. 1657 M), tokoh moderat, menolak sikap ekstrem Ibn Taymiyah dan para pengikutnya. Ia menulis buku untuk ini:

Mizan al-Haqq

(Neraca Kebenaran). Abd al-Ghani al­

Nablusi (w. 1731M), melalui berbagai fatwanya membela mati­ matian para tokoh sufi falsafi semacam Ibn 'Arabi, Ibn al-Farid dan lain-lain serta ziarah kubur ini. Tokoh ini membenarkan fungsi wali sebagai perantara kepada Tuhan, baik mereka yang telah wafat maupun ziarah ke makamnya. Yusuf al-Nabhani (w. 1931 M), dalam bukunya

Syawahid al-Haqq,

mengumpulkan dokumen­

dokumen, setebal 6000 halaman untuk menyampaikan pembela­ annya atas praktik-praktik ziarah ini. Makam wali adalah kawasan damai di tengah hiruk-pikuk dan karut-marut kehidupan dunia. Di sana para peziarah menemukan kedamaian dan kebebasan untuk mengungkapkan kegelisahan hati dan keruwetan pikiran. Di banding masjid, yang acap kali kosong dan mencekam, makam para wali menghadirkan kegembiraan, bebas dari berbagai tekanan dan tempat permenungan serta menumpahkan harapan. Di tempat itu semua sekat-sekat sosial dan gender sirna, membaur. Hubungan antarmanusia berlangsung dalam suasana persaudaraan yang akrab. Maka ziarah memiliki makna kebersamaan kolektif dan menghidupkan keakraban yang

138


Ziarah Gus Our amat jarang ditemukan dalam kehidupan di luar tempat itu. Para peziarah yang tinggal untuk beberapa hari atau bahkan satu bulan, dapat saling berkenalan dan membagi pengalaman hidupnya dengan peziarah yang lain. Di tempat tinggal mereka, baik di masjid maupun di rumah-rumah penduduk setempat, mereka menjalin persahabatan, bahkan kekeluargaan. Mereka makan dan minum serta berbagi cerita duka (curhat) maupun gembira dalam suasana yang hangat bagai dalam satu keluarga. Pada banyak pengalaman praktik berziarah ke tempat-tempat para wali atau para sufi, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para peziarah, baik laki-laki maupun perempuan sangatlah beragam mulai dari yang bersifat informal, dan ini yang paling umum, sampai yang terorganisasi dengan baik. Di samping berdoa mereka juga membaca wirid, hizb, dan shalawat dengan irama­ irama yang teratur. Di sejumlah "mazar' (tempat ziarah), seperti

di makam Sayyid Ahmad Badawi di Tanta, Mesir atau di makam

Rumi di Konya, Turki, shalawat dan zikir dilakukan dengan cara menari-nari. Bacaan-bacaan itu sebagian merupakan karya para pendiri tarekat sendiri. Berkaitan dengan tarian berputar

(Sama')

Rumi menulis banyak syair atau puisi. Antara lain:

Musik adalah hidangan pecinta Tuhan Api cinta berkobar-kobar ketika nada musik mengalun indah Mendengar nyanyian dan suara seruling ini Jiwa menghimpun tenaga Datang, Datanglah Marilah kita berputar mengelilingi kebun mawar Marilah kita berputar seperti jarum kompas yang mengelilingi titik kemuliaan llahi Kita telah menyebar banyak benih di tanah Dan menanami tempat yang gersang Marilah sekarang kita berputar Mengelilingi padi yang tidak dapat dipahami lumbung.4 4 Lihat, Leonard Lewishohn, (ed.), Warisan Sufi' Warisan Sufisme, him. 121. 139


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Mereka yang pulang dari ziarah merasakan getar-getar keindahan spiritual yang sulit diungkapkan. Mereka pulang dengan riang dan menatap hidup ke depan dengan penuh gairah. Di makam Gus Dur, suasana dan praktik-praktik ziarah seperti di atas begitu terasa, meski baru saja

iooo

hari dia beristirahat di

sana. Masjid pesantren setiap hari ramai. Para peziarah yang datang dari pulau-pulau yang jauh menginap di sana untuk beberapa hari. Mereka bergerombol-gerombol sambil asyik bercerita atau bercanda, menjalin persahabatan, bertukar alamat dan nomor

handphone.

Suasana mistik dan cerita-cerita

"kekeramatan" Gus Dur selalu menjadi bahan obrolan mereka yang tak pernah habis. Masing-masing orang membagi pengalamannya. Boleh jadi di antara mereka ada yang menjalin kekeluargaan. Sementara para penduduk telah merenovasi rumah-rumahnya menjadi kamar-kamar sempit atau luas sebagai tempat menginap

ribath (pondok­ zawiyah-zawiyah atau khanaqah­

para tamu peziarah. Boleh jadi kelak akan ada pondok persinggahan),

khanaqah, tempat permenungan para pencari Tuhan. Hari ini saya mencoba membayangkan masa depan kompleks di mana Gus Dur dimakamkan ini. Kompleks pesantren bersejarah itu akan hilang. Kompleks itu akan berubah menjadi pusat keramaian dan pertemuan ribuah manusia, laki-laki dan perempuan, dengan strata sosial yang beragam dan bertingkat­ tingkat sebagaimana makam-makam para wali yang lain? Mungkin saja pondok-pondok tempat para santri mengaji dan belajar kitab kuning akan berubah menjadi "zawiyah-zawiyah" (tempat berzikir dan merenungkan diri sendiri), dan pesantren itu akan dipindahkan ke tempat yang lain.

140


#11 DOA UNTUK SANG ZAHID

Dalam setiap Haul (ulang tahun kematian) Gus Dur, ribuan orang pengagumnya hadir. la diselenggarakan tidak hanya di Ciganjur dan di Tebuireng, Jombang, tempat Gus Dur dimakamkan, tetapi juga di berbagai tempat di tanah air. Mereka yang hadir tidak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga dari berbagai agama dan kepercayaan. Beberapa di antaranya adalah Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, Bahai, Sunda Wiwitan, Kuningan Cirebon, dan Ahmadiyah. Para tokoh agama-agama itu hadir di sana untuk menyampaikan doa bagi Gus Dur. Dan saya merasa terhormat ketika diminta panitia membacakan doa mewakili Islam, pada haul beliau di Ciganjur. Inilah doa yang saya bacakan: Segala dan seluruh pujian hanya bagi Tuhan Pencipta dan Pemilik semesta. Keselamatan dan kedamaian semoga dilimpah­ kan kepada kekasih-Nya: Muhammad bin Abd Allah, kepada para sahabat dan para pengikutnya.

Wahai Tuhan Alam semesta Wahai Tuhan semua manusia Hari ini, seribu hari yang pergi Hamba-Mu yang Mencintai-Mu dan yang kami cintai Abdurrahman Wahid Telah pulang, kembali kepada-Mu

141


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Memenuhi panggilan-Mu Kami, hamba-hamba-Mu yang hadir di sini Memohon kepada-Mu, Ampuni, maafkan dan sayangi dia Tempatkan dia di atas Pangkuan-Mu, Dan dalam Rengkuhan Kasih-Sayang-Mu Bagi kami, dia, Abdurrahman Wahid Adalah hamba-Mu yang tulus memenuhi Ajakan-ajakan-Mu Dia yang selalu meminta kepada-Mu Sepanjang hari, sepanjang malam Agar kami tak lagi bertengkar hanya karena pikiran kami beda Agar kami damai, bersaudara dan menjalin kasih Biarpun baju kami beda Agar kami membangun negeri ini bersama-sama, Meski dengan seluruh kebiasaan kami yang beda-beda Agar negeri ini selalu utuh, damai, Diliputi keadilan dan sejahtera lahir dan batin Wahai Tuhan Yang tak ada tuhan selain Engkau Meski dia telah tak lagi bersama kami Dia selalu ada di dekat kami Dan kami selalu ingin bersamanya Melanjutkan mimpi-mimpinya yang indah Bagi bangsa dan negeri kami Yang kami cintai Wahai Tuhan, Engkaulah Pencipta kami semua Pencipta alam semesta Dalam keragaman yang indah Yang begitu elok Kami semua hamba-Mu, Kami berasal dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu jua Ampuni kami jika kami salah dan tak sopan kepada-Mu ***

142


Doa untuk Sang Zahid

Ya Allah, aku mohon kepada-Mu Penuhi relung hati kami dengan cinta kepada-Mu, dengan keimanan dan keyakinan kepada-Mu, dengan mabuk rindu pada-Mu dan rasa cemas berpisah dengan-Mu

Ya Allah, Tuhan kami Bawalah kami dalam bahtera-Mu Karuniakan kami kenikmatan intim bersama-Mu Curahkanlah cinta-Mu Dan rasa manisnya kasih-Mu Jadikan perjuangan kami hanya di jalan-Mu Tumbuhkan hati kami kegembiraan mengabdi kepada-Mu Tuluskan niat kami dalam bekerja hanya untuk-Mu Sesungguhnya kami rindu bersama-Mu dan untuk-Mu Dalam perjumpaan yang intim (Dikutip dari doa Ali Zainal Abidin) ***

143


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuhanku, Orang-orang yang meminta telah tiba di depan pintu-Mu Orang-orang fakir telah berlindung di dekat-Mu Perahu orang-orang miskin telah tiba Di pantai lautan kemuliaan-Mu Mereka berharap-harap segera menyeberang Menuju kasih dan anugerah-Mu Tuhanku, Jika saja Engkau tiada memuliakan kecuali mereka yang setia dan tulus mengabdi kepada-Mu Kepada siapa pendosa yang lalai dapat selamat Ketika dia tenggelam dalam lautan dosa

144


Doa untuk Sang Zahid

Tuhanku Jika Engkau tiada menyayangi Kecuali pada mereka yang taat kepada-Mu Siapakah yang akan menyayangi Orang yang durhaka kepada-Mu Jika Engkau tiada menerima Kecuali mereka yang mematuhi perintah-Mu Siapakah yang akan menerima orang yang nakal Tuhanku Beruntunglah mereka yang percaya kepada-Mu Berbahagialah mereka yang bangun malam menyembah-Mu Selamatlah mereka yang tulus mengabdi-Mu Kami adalah orang-orang yang berdosa kepada-Mu Anugerahi kami Kasih-Mu Berilah kami kemuliaan dan nikmat-Mu Ampuni kami semua Selamat dan sejahtera untuk kekasih-Mu Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya *** ,,,,,,

-' J�

4�

� "

0

)

� 1 1 - 11 ' '' ,,._I � '-,?' ,, J

11. 'l . �I u,,

·,

.

"'

,,,,,

J.

- -1- }� J'I

. ... � 4� ..:... . ...

...

1...:i:h 0"'¥$ �

J

,

-

,,

._ �· I -'.. J-

'

• _,;;J '\

4;,J

..

,,· :

..:,... .u '

� . ...,.'- .-� ,..."' l>-

Semua mata telah tertidur

Bintang-gemintang pun telah berada di puncak langit Engkau Maharaja, Yang Hidup, Yang Jaga

145


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuhan kami, raja-raja telah menutup pintunya Dan para punggawa telah siap berjaga-jaga Tetapi pintu-Mu selalu terbuka bagi para peminta Kami datang pada-Mu, Kami datang Agar Engkau menatap kami dengan Cinta Wahai Yang Maha Kasih Wahai Yang memperkenankan Permohonan orang-orang yang kesulitan, yang berada dalam kegelapan yang pekat yang ingin lepas dari bencana, dari derita dan sakit Kami datang kepada-Mu, Kami datang Ampuni dan Kasihi kami J ika maaf-Mu tak lagi diharap para pendurhaka pada-Mu Maka siapa lagi yang akan memberi kegembiraan kepada mereka

Wahai, Dia Yang menyambut orang--0rang yang datang Yang memberi anugerah kepada mereka dengan kasih Yang menyayangi orang-orang yang lupa menyebut-Nya Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang

146


Doa untuk Sang Zahid

Juga pada mereka yang berpaling menuju pintu-Nya Yang Maha Mencinta dan Yang Maha Lembut Wahai Tuhan Kami mohon kepada-Mu Berikan bangsa kami pengawasan-Mu Selamatkan bangsa dan negara kami dari kehancuran Jaga kami dari segala kegalauan Lindungi kami dari malapetaka Turunkan kepada kami kedamaian Sinari wajah kami dari Cahaya Cinta-Mu Yang menuntun kami kepada kokohnya benteng-Mu Dan yang melindungi kami dengan Rengkuhan Kasih-Mu Wahai Yang Maha Kasih, Maha Sayang (Dikutip dari doa Al-Sajjad) Wahai Tuhan Anugerahi kami kebaikan hidup di dunia Dan kebaikan hidup di akhirat Jaga dan jauhkan kami dari siksa neraka Tuhan, perkenankan doa kami Tuhan, kabulkan, kabulkan

147


Epilog SANG PENGEMBARA: SELAMAT DATANG

Gus Dur adalah satu dari sedikit para pengembara (ghuraba). Sebagaimana umumnya pengembara, ia sering menjadi subjek yang aneh, asing, dicurigai atau bahkan dimusuhi oleh mereka yang tak mengerti, tak paham, tak cerdas atau tak tercerahkan. Manakala sang pengembara memasuki suatu perkampungan, ia akan dianggap aneh atau asing oleh orang-orang di kampung itu, bukan hanya pakaian dan perilakunya, tetapi juga pikiran­ pikirannya yang tak umum. Maka ia acap dianggap pribadi yang aneh atau "nyleneh" atau boleh jadi "orang gila". Jika ia kemudian mengungguli otoritas yang ada di sana, karena daya tariknya yang luar biasa dan setapak demi setapak langkahnya menyedot semakin banyak pengikut yang mengaguminya, maka ia akan segera dianggap mengganggu kenyamanan dan kemapanan otoritas sosial. Kaum pengembara

(Ghuraba)

akan selalu hadir pada setiap

situasi sejarah sosial yang sarat konflik, menjelang runtuh atau ketika jalan sejarah tak lagi lurus. Mereka hadir untuk mendakwahkan, mengajak, dan menawarkan kepada masyarakat manusia untuk kembali ke ide keasalan dan janji primordial manusia, ketika mereka belum mewujud. Tuhan mengatakan:

"Alastu bi Rabbikum? Qalu Bala" (Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab: Ya, Engkau Tuhan kami). Para pengembara tersebut memproklamirkan kembali tauhid, tentang Kemahaesaan

149


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Tuhan kepada siapa semua eksistensi di muka bumi harus menyerah, bersimpuh, dan menundukkan diri. Mereka juga menjajakan tentang kehanifan (kejujuran, ketulusan, dan jalan lurus). Di atas landasan itu, mereka, para pengembara itu, lalu tampil gagah untuk memberangus praktik-praktik kekuasan yang despotik, tiranik dan membodohi rakyat jelata yang acap berlindung di bawah ketiak apa saja yang dianggap memiliki otoritas, termasuk agama dan nilai-nilai moral. Pada saat yang sama mereka hadir untuk menancapkan kembali pilar-pilar kemanusiaan yang terkikis, hilang atau diberangus oleh otoritas­ otoritas sosial, politik, dan keagamaan demi kepentingan diri, keluarga, kelompok atau golongannya. Ide-ide kemanusiaan yang ditawarkan para pengembara itu tak pelak mengguncang dan merontokkan setiap otoritas politik, kebudayaan dan keagamaan tersebut. Para pemegang otoritas itu lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk menggerakkan massa awam guna melawan sang pengembara. Mereka bukan tak mengakui kehebatan, kebenaran dan kecemerlangan pikiran-pikiran dan gagasan­ gagasan cerdas pengembara, melainkan karena semata-mata cemburu buta kepadanya. Sang pengembara seperti itu, boleh jadi dalam sejarahnya kemudian, menjadi seorang wali, kekasih Tuhan. Al-Syaikh al­ Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, sang maestro dalam sufisme, menyebut, pengembara itu harus selalu hadir pada setiap zaman sampai dunia berakhir dan hancur lebur. Tak boleh ada situasi kosong tanpa sang pengembara, sang wali. Ini karena mereka adalah para penerus dan pewaris risalah kenabian. Mereka adalah para penjaga bumi dan dunia kemanusiaan. Bila mereka tak hadir, maka dunia kacau balau, porak-poranda, dan mengatakan:

150

chaos. Al-Hujwiri


Epilog

}

.,,,.-._, .:. ·�•

,, , �·' ·::' ' , ,�_.: .... ..('?J ')" .,..:, ,� I"' ' ...,_, ·;.J;'' , , ,.,...., J-1'+'� · · ...,, ,),)"I )� � .�

·�

::.

�,,

,,

;)

•Allah

menjadikan mereka para wali dunia, sehingga hujan akan turun dari langit (lalu menyuburkan tanah-tanah yang gersang) berkat kehadiran mereka, dan menumbuhkan pepohonan dari tanah berkat kejernihan hati mereka. Berkat semangat mereka, orang-orang yang menyerahkan diri kepada keputusan Tuhan (a/-Mus/imun) akan mengalahkan musuh-musuh mereka yang ingkar kepada kebenaran (a/-Kuffar). Andaikata merekatak hadir, sistem dunia akan luluh-lantak, dan menjadi chaos bagaikan negara tanpa pemerintah, tanpa polisi dan tanpa tentara."' Para sufi, wali, dan zahid adalah para pengembara di belantara

raya bumi manusia. Mereka seperti tak pernah lelah berjalan dan terus berjalan, mengelana ke mana-mana, ke negeri antah­

berantah, menuruni lembah-lembah, mengarungi gurun pasir yang kering kerontang dan gersang, mendaki gunung-gemunung yang terjal dan meliuk-liuk, menapaki jalan setapak yang lengang, atau

menerobos rimbaraya

yang penub

onak-duri

dan

menggentarkan. Di sana mereka melihat keindahan-keindahan sekaligus juga kengerian-kengerian yang menantang. Mereka telah siap dan rela menanggung penderitaan caci-maki, pengucilan dan pengusiran dari orang-orang yang tak suka dan membencinya. Gus Dur adalah salah seorang pengembara itu untuk dunia

hari ini, paling tidak di sini, di negeri ini. Dia telah meninggalkan

jejak di mana-mana, bukan hanya di bumi tempat ia dilahirkan,

melainkan juga di beberapa negeri yang jaub, dengan cara yang

' Lihat, Muhammad Abed al-Jabiri, Naqd al-'Aql al-'Arabi; Bunyah al-'Aql al­ 'Arabi, cet. V, (Beirut-Libanon, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah, 1 996), him. 364.

151


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur begitu mengesankan. Dia telah menitipkan pikiran-pikirannya kepada mereka yang mengaguminya. Meski kata sebagian orang pikiran-pikiran itu asing, aneh, dan "menyimpang", tetapi sesungguhnya ia, seluruhnya, adalah pikiran-pikiran para bijak­ bestari, para wali, kekasih Tuhan, orang-orang yang diberikan kebijaksanaan ketuhanan (Hikmah Ilahiyyah) dan para zahid yang hadir dengan sayap-sayap yang diturunkan ke bumi, rendah hati dan bersahaja.

IslampadaAwalnyaAsing Maka dengarkanlah apa kata Nabi yang agung, Muhammad bin Abd Allah, Saw., tentang kehadiran para pengembara itu:

•1slam hadir bagai orang asing, (bagai pengembara). Dan ia akan kembali asing, seperti pada awalnya. Maka berbahagialah wahai orang-orang asing (yang mengembara).• Imam Muslim mencatat hadits ini dalam buku Sahihnya. Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya dan sejumlah ahli hadits menyebutkan validitas hadits ini. Para komentator hadits ini

mengatakan: "Islam ketika ia hadir pertama kali di Makah, adalah narasi atau wacana yang asing. Hal ini karena Nabi Muhammad mendeklarasikan Ke-Esa-an Tuhan." Wacana ini menjadi titik tolak bagi pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan, mencanangkan kesetaraan manusia dan penegakan keadilan. Gagasan ini ingin menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan manusia atas manusia. Karena itu tak boleh ada penindasan manusia atas manusia. Dan ia hanya diminati oleh segelintir orang saja. Nabi Muhammad yang membawakannya dicaci maki, disumpah

serapah dan distigma masyarakatnya sendiri sebagai orang gila

(majnun), tukang sihir (sahir), dan pendongeng mitologi-mitologi

152


Epilog kuno

(asathir al-awwalin) yang amat lihai.

Nabi dituduh mereka

sebagai laki-laki yang sesat dan menyesatkan. Ia diasingkan, dikucilkan, dibenci lalu mereka mengusir dan berusaha membunuhnya. Nabi yang mulia bersama pengikutnya yang sedikit itu kemudian pindah ke Madinah. Di tempat yang baru itu, meski ada pertolongan penduduknya, beliau juga masih dianggap "gharib" (asing). Dinasti Quraisy di Makah yang merasa legitimasi­ nya terancam oleh kehadiran Nabi, tetap tak ingin membiarkan

dia hidup. Mereka tahu bahwa Muhammad (Saw.) adalah penakluk pikiran yang ulung. Kata-katanya yang berupa ajakan kepada jalan hidup baru yang menjanjikan keselamatan amatlah indah dan memukau pendengarnya. Jika dibiarkan saja, dia bisa membangun kekuatan besar di Madinah dan bisa mengancam. Maka meski Nabi telah meninggalkan tempat kelahirannya, dia dan para pengikut­ nya masih tetap saja harus menghadapi berbagai tekanan dan ancaman. Dia dan para pengikutnya berkali-kali harus terlibat dalam perang maha dabsyat dan mereka harus mempertahankan diri. Pertumpahan darah sama sekali tak dikehendaki, namun hidup wajib dipertahankan dan gagasan dan misi Keesaan Tuhan harus tetap hidup sepanjang zaman. Dan mereka yakin Tuhan pasti akan menolong dan memberinya kemenangan pada saat yang dikehendaki-Nya. Maka sang Nabi, orang asing itu, terns saja melangkah setapak demi setapak. Dengan tetap memperlihatkan kejujuran, kebersahajaan, ketulusan, ketenangan, dan kesabaran yang penuh, ia memperoleb makin banyak simpati masyarakatnya. Perangai dan budi pekertinya yang luhur itu membuat masyarakat di sekitarnya satu-satu dan diam-diam jatub cinta pada ajaran-ajaran yang dibawanya. Dan dalam tempo amat singkat, sesudab itu, ketika ia pulang kembali ke tempat kelahirannya di Makab, situasi tak dibayangkan dan mencengangkan pun hadir. Orang-orang yang beberapa tahun sebelumnya mengucilkan, membenci, dan

153


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

memusuhinya di sana, tiba-tiba saja tersentak, situasi mental galau meliputi mereka dan terdiam seribu basa. Nabi berdiri saja sambil mengulum senyum menyaksikan pemandangan yang indah itu. Mereka mengatakan:

"Anta Akh Karim, Ibn Akh Karim, (Engkau

saudara yang mulia putra saudara yang mulia). Nabi Saw. dengan tetap menunjukkan kharismanya yang luar biasa, mengatakan sambil mengutip kata-kata Nabi Yusuf: -,, -4

�Wk)t

.t<>f-;

}

/

"\\ · � �il I� ''.);. . tr.' ;- " ·, .

t< " '-;-./.(" J

,,

,

•Hari ini, tidak ada balas dendam atas kalian. Pergilah ke mana kalian suka. Kalian orang-orang yang bebas." Ucapan itu sungguh-sungguh menggetarkan hati mereka, dan tak lama sesudah itu secara berbondong-bondong mereka jatuh dalam pelukan Nabi, lalu mencintainya. Al-Qur'an mencatat peristiwa ini:

•Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenan gan Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong­ bondong. Maka Mahasucikan Dia dengan memuji-Nya. Dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat," (Q.S. Al Nashr, [1 01):1-3). .

-

Para penafsir hadits kemudian menjelaskan makna

"al­

Gharib" (orang asing) atau "al-Ghuraba" (orang-orang asing).

154


Epilog

Orang-orang asing itu, adalah mereka yang selalu konsisten, yang teguh pada prinsip kemanusiaan Bagi mereka adalah surga dan kebahagiaan Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki kehidupan sosial Ketika telah rusak Ketika keadaan tak lagi damai Ketika segalanya jadi tak lagi jelas Mereka adalah orang-orang yang bekerja baik Yang tetap berjalan di alas kebenaran Yang teguh pada keyakinan yang benar Yang Meng-Esa-kan Tuhan Yang tulus mengabdi kepada-Nya Mereka adalah orang-orang asing

Dan merekalah yang disebut-sebut Tuhan:

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takutdan janganlah merasa sedih; dan kabarkan kepada mereka berita gembira, dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,• (Q.S. Fusshilat, [41):30).

155


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur "Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," (Q.S. Fusshilat, [41]:31-32).

' • ._. .I , _

/ .,� � 1 , ' � �i ...,.,, � ' .;' � , ,., , . .... ,_... "--'-' • ,. .._, ci o,,_ ....- 't..J ... _; I .. ,, .,.J •

•'

, .o,, �. I � .;..t. .. ...:.....o

:.

.,

,,

..u I I.:>' .u•

•� �

" , . I • ,.,_..-.

•siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: •sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar, "(Q.S. fusshi/at, [41): 33-35).

jadilah SangPengembara Suatu hari di masjidnya di Madinah, Ibn Umar, sahabat Nabi, menemuinya. Nabi menyambutnya dengan hangat. Kedua orang ini terlibat dalam obrolan serius tapi disampaikan dengan santai. Sambil memegang pundak sahabatnya itu, Nabi yang mulia kemudian mengatakan:

•jadilah bagai pengembara atau peziarah."

156


Epilog Nabi yang mulia lalu mengatakan:

•Apalah aku ini dan kehidupan dunia ini. Perumpamaanku dan dunia ini adalah bagaikan seorang pengendara. la tidur (istirahat) sebentar di siang hari, di bawah pohon, lalu meninggalkannya dan berjalan lagi. • Menjadi pengembara adalah menjadi dia yang hadir untuk membangun peradaban berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan; menghargai dan menyambut siapa saja dengan kegembiraan, membebaskan penderitaan manusia dan menjadi saksi untuk keadilan sekaligus menegakkannya.

Gus Dur Sang pengembara itu, telah pulang, Selamat Jalan! Orang asing itu telah pergi, Selamat Jalan! Orang aneh itu telah berangkat, Selamat Jalan! Hari ini orang hanif itu telah pindah. Selamat Jalanl Dunia mengantarmu dengan doa. Selamat Jalanl Suara-suara riang di langit menyambutmu: Marhabanl Selamat Datang! Bila hari-hari telah pergi, biarkan Katakan saja: Pulanglah Aku tak khawatir engkau pulang Karena engkau masih di sini Wahai, yang tak ada orang sepertimu (Rumi, Matsnawi, 1/15) Jiwa-jiwa para pecintamu merinduimu Dan kelezatan bertemu engkau Membuat jiwa mereka damai (Suhrawardi)

157


DAFTAR BACAAN

Al-Qur'an al-Karim. Ibn Jarir al-Thabari.

Jami'a al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an.

Musthafa al-Babi al-Halabi. Mesir. Cet. III. 1968. Ibn Katsir.

Tafsir al-Qur'an al-'Azhim.

Dar al-Ma'rifah. Beirut.

1969. Jalal al-Din Rumi.

Fihi Ma Fihi, Ahadits Mawlana Jalal al-Din.

Terj. Isa Ali al-'Akubi, Dar al-Fikr al-Mu'ashir. Beirut.

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim.

AI-Risalah, Abd al-Halim Mahmud.

Dar al-Sya'ab. Kairo. 1989. Ibn Athaillah al-Sakandari.

,Al-Hikam al-'Athaiyyah.

Amin Banani, Richard Hovannisian dan Georges Sabagh (eds.).

Kidung Rumi, Puisi dan Mistisime dalam Islam. Risalah Gusti. Surabaya. Cet. I. 2001. Luis Masignon.

Diwan al-Halla}.

Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, Penghormatan terhadap Nabi Sa., dalam Islam. Mizan.

Annemarie Schimmel.

Bandung. Cet. I. 1991.

Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (eds.). Ziarah dan Wali

di Dunia Islam.

Serambi Ilmu Semesta. Cet. I. 2007.

159


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Ahmad Amin.

Zhuhr al-Islam.

Llbanon. Cet. V. 1969.

Dar al-Kitab al-Arabi. Beirut,

Abu Hamid al-Ghazali. Misykat al-Anwar. Abu al-'Ala 'Afifi (ed.). Maktabah Arabiyyah. Kairo. 1964.

-----. Ihya Ulum al-Din.

Dar al-Ma'rifah. Beirut, Lebanon.

1983. Zaki Mubarak. Al-Tasawwuf al-Islamy Ji al-Adab

wa al-Akhlaq.

Dar al-Kutub. cairo. Ibn 'Arabi.

TaTjuman al-Asywaq.

Dar al-Shadir. Beirut. 1966.

Amin al-Khuli. Manahij al-Tajdidfi al-Nahwi wa al-Balaghah wa

al-Tafsir wa al-Adab.

Hai'ah Mishriyyah al-'Ammah Ii

al-Kitab. Kairo. 1995. Al-Zarkasyi. Al-Burhanfi 'Ulum al-Qur'an. Dar al-Ma'rifah. Beirut. Cet. II. Al-Jabiri, Muhammad 'Abid.

Bunyah al-'Aql al-'Arabi.

Markaz

Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah. Beirut, Libanon. Cet.

v. 1996. Al-Bushairi.

Burdah.

Yasyraf Amir Piliang.

Posrealitas. Jalasutra. Yogyakarta.

Al-Ashifi, Muhammad Mahdi. Al-Hubb

al-Ilahifi Ad'iyah Ahl al­

Bait. Majma' Ahl al-Bait. Al-Syathibi. Al-Muwafaqat. Al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra. Kairo. Mesir. t.t. Nawawi, Abu Zakariya Yahya, Syaraf al-Din.

Riyadh al-Shalihin

Min Kalam Sayyid al-Mursalin. Seyyed Hossein

Nasr. Spiritualitas dan Seni Islam.

Bandung. Cet. I. 1993.

160

Mizan.


Daftar Bacaan

----. The Heart ofIslam, Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. Mizan. Bandung. Cet. I. 2003. ----. William C. Chittick, and Leonard Lewisohn (eds.). Warisan

Sufi.

Pustaka Sufi. Surabaya. Cet. I. 2003.

161


TENTANG PENULIS

..

.

.

KH. Husein Muhammad. Lahir di

Cirebon, 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren

Lirboyo Kediri Jawa Timur (1973), dia melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta Oulus 1980). Kemudian meneruskan belajar di Al-Azhar Kairo, Mesir. Kiai Husein juga aktif di berbagai kegiatan diskusi dan seminar keislaman. Ia juga menulis di sejumlah media massa dan menerjemahkan beberapa buku. Selain menjadi direktur pengembangan wacana di LSM RAHIMA, Kiai Husein juga aktif di Puan Amal Hayati, Komisioner Komnas Perempuan Jakarta, pendiri Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, dan pendiri Fahmina Institue, lembaga yang bergerak di bidang pengembangan gerakan keagamaan kritis berbasis tradisi keislaman pesantren untuk perubahan sosial. Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat ini pemah dianugerahi penghargaan Award

for Heroism dari Pemerintah AS untuk Heroes Acting to End Modern-Day Slavery (Trafficking in Person) pada 2006.

163


SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur Karya-karyanya yang berupa buku telah banyak dipubli­ kasikan, di antaranya adalah

Kiai Husein Membela Perempuan (LKIS), Fiqh Perempuan Rejleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (LKiS), dan Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Mizan).

164


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.